ZAKAT, SHADAQAH, PUASA, HAJI DAN ADAB-ADAB ISLAMPr00042
Tuntunan Rasulullah tentang Zakat
Tuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengenai zakat merupakan tuntunan yang paling sempurna, baik dad pertimbangan waktu, ukuran, batasan, siapa yang harus mengeluarkan dan siapa yang berhak menerimanya. Dalam hal ini beliau mempertimbangkan kemaslahatan para pemilik harta dan juga kemaslahatan orang-orang miskin. Allah menjadikan zakat sebagai pembersih harta dan did pemiliknya, yang sekali2us kenikmat¬an bagi orang-orang yang kaya. Nikmat itu tidak akan habis karena mereka mengeluarkan zakat, bahkan zakat itu akan menjaga harta dan mengem-bangkannya, menghilangkan gangguan dan menjadikannya sebagai penjaga atau pelindung harta benda.
Allah menetapkan zakat pada empat jenis harta, yang pasalnya meru-pakan inti perputaran harta di antara manusia dan kebutuhan mereka terhadap jenis-jenis harta ini sangat urgen, yaitu:
1. Hasil tanaman dan buah-buahan.
2. Hewan ternak, seperti onta, sapi dan kambing.
3. Batu mulia yang menjadi incaran manusia, yaitu emas dan perak.
4. Harta perdagangan dengan berbagai macam jenisnya.
Keharusan mengeluarkan zakat ini sekali dalam setahun, sedangkan untuk tanaman dan buah-buahan ketika panen. lni merupakan cara yang pal¬ing adil. Sebab jika keharusan mengeluarkan zakat itu sekali dalam satu bulan atau setiap pada had Jutn’at, tentu akan berbahaya bagi pemilik harta. Tapi jika harus dikeluarkan sekali seumur hidup, tentu akan berbahaya bagi orang¬orang miskin yang seharusn) a menerima zakat itu. Tidak ada yang lebih adil daripada mengeluarkan zakat sekali dalam setahun.

Zakat ini dibeda-bedakan, tergantung dari usaha pemi I ik harta dan bagaimana cara mendapatkannya, tingkat kemudahan dan kesulitannya. Allah mewajibkan zakat seperlima bagian dari harta yang diperoleh secara kehetulan dan dalam jurnlah yang banyak, yaitu harta terpendam, yang perolehannya dianggaptanpa usaha. Jika suatu harta diperoleh dengan usaha yang lebih berat lagi, maka zakatnya setengahnya lagi atau sepersepuluh bagian, seperti zakat hasil cocok tanam dan buah-buahan, yang tanpa harus mengolah tanah, tidak mengairi dan mengolahnya, atau yang airnya tidak membeli. Allah mewajibkan setengahnya lagi atau seperduapuluh jika pemiliknya harus mengolah tanam, menanam dan mengairi, apalagi airnya harus membeli. Allah mewajibkan zakat setengahnya lagi atau seperempat puluh, jika pengolahannya harus dilakukan secara terus-menerus.
Karena tidak mungkin semua harta harus dizakati. maka ada batasan minimal yang pasti atau nishab. Untuk perak ialah senilai dua ratus dirham. Emas sebanyak dua puluh mitsgal..) Biji-bijian dan buah-buahan sebanyak lima wasaq atau sekitar barang yang bisa diangkut lima ekor onta Arab. Kam-bing sebanyak empat puluh ekor. Sapi sebanyak tiga puluh ekor. Onta sebanyak lima ekor.
Telah ada ketetapan hikmah Allah untuk menjadikan batasan tertentu untuk dikeluarkan zakatnya, yang tidak memberatkan dan bisa mencukupi orang-orang, miskin. Karena itu Allah mewajibkan zakat dalam harta orang-orang kaya untuk membantu orang-orang miskin. skin. Jika yang kaya menolak melaksanakan apa yang diwajibkan kepadanya, maka akan terjadi kezhalim¬an di antara kedua belah pihak, yang kaya menjadi kikirdan yang miskin bisa mengambil semaunya sendiri di luar haknva, yang kemudian menimbulkan bahaya yang besar di kedua belah pihak. Allah sendiri yang menetapkan pembagian shadaqah dan membagikannya kepada delapan golongan, yang secara umum dapatdikelornpokkan menjadi dua bagian. Pertama, yang boleh mengambilnya karena kebutuhan, artinya karena memang keadaannya yang membutuhkan, karena lemah dan tidak mampu, sedikit maupun banyak, yaitu orang-orang fakir, miskin, orang yang dalam perjalanan dan untuk menthe¬baskan hudak. Kedua, orang yang mengambil karena manfaat yang diberi¬kannya. yaitu am ilnya, orang mu’allaf yang hatinya masih lemah, orang yang di Wit hutang dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.
Di antaratuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi ika beliau mengetahui seseorang yang layak menerima zakat, maka beliau langsung memberinya. Jika ada seseorang yang layak menerima zakat mem inta kepada beliau, sementara beliau tidak mengetahui keadaannya, maka beliau langsung
Satu nutscial menurut ketetapan vadat ialah seherat 3,436 [Nam.

memberinya setelah orang itu memberitahukan kepada beliau tentang ke¬adaan dirinya yang tidak mendapat bagian dari orang-orang yang kaya.
Tuntunan beliau ialah membagi-bagikan zakat dan shadaqah kepada orang yang berhak menerimanya di tempat zakat itu diambil, dengan ukuran-ukuran tertentu. Apabila lebih, zakat itu dibawa kepada beliau, lalu beliau membagi-bagikannya. Beliau mengutus Mu'adz untuk mengambil zakat dari penduduk Yaman dan menyalurkannya kepada penduduk Yaman yang miskin.
Beliau mengirirnkan para penarik zakat hanya kepada orang-orang ang secara nyata mem iliki harta, seperti hasi I cocok tanam atau pun buah¬buahan. Beliau juga mengutus penaksir kepada para pemilik kebun korma atau anggur, sebelum dipanen, untuk mel ihat berapa wasaq yang harus dikeluarkan sebagai zakat. Biasanya penaksir ini menyuruh pemilik untuk meninggalkan sepertiga atau seperempat bagian. Dengan taksiran ini dapat dihitung berapa banyak zakat yang harus dikeluarkan sebelum is masak dan dirnakan atau ditebang. Selain itu pemiliknya bisa berbuat apa pun yang dike-hendakinya. Karena itu beliau mengurus penaksir ke perkampungan Khaibar dan para petani di sana, agar mereka meninggalkan sebagian di antaranya. Dalam hal ini beliau mengutus Abdullah bin Rawahah. Karena mereka hen¬dak menyogok dan berkolusi dengannya, maka dia berkata, "Apakah kalian hendak memberiku sesuatu yang Karam? Demi Allah, aku datang kepada kalian dari sisi orang yang paling kucintai, dan kalian adalah orang-orang yang lebih kubenci daripada keberadaan kalian sebagai kera dan anjing. Tapi kebencianku kepada kalian dan cintaku kepada beliau, tidak mendorongku untuk tidak berbuat adil kepada kalian."
Mereka pun berkata, "Karena sikap yang demikian inilah langit dan bumi bisa tegak."
Beliau tidak mengambil zakat dari kuda, budak, keledai dan baghal, tidak pula dari sayur-sayuran, semangka, bawang, buah-buahan yang tidak bisa ditakar dan disimpan, kecuali anggur yang bisa disimpan menjadi kismis dan korma segar yang bisa diawetkan menjadi korma kering. Tapi tidak ada perbedaan antara keadaannya yang masih segar maupun yang sudah diawetkan. Jika ada seseorang menyerahkan zakatnya, maka beliau berdoa baginya. Kadang-kadang beliau mengucapkan,
"Ya Allah, berkahilah pada dirinya dan pada ontanya.
Dan, kadang-kadang beliau mengucapkan,
" l'a Allah, bershalawatlah was dirinya."
Beliau tidak mengambil zakat dari yang baik-baik saj a, tapi yang pertengahannya. Karena itu beliau melarang Mu'adz, saat dia melakukan hal itu. Beliau melarang orang yang mengeluarkan zakat atau shadaqah, membeli lagi barang yang diserahkan sebagai zakat. Tapi orang yang kaya boleh

memakan dari shadaqah, jika orang miskin menghacliahkan kepadanya. Be¬liau pernah rnemakan dari da2ing yang dishadaqahkan kepada Barbarah. Kadang-kadang beliau berhutang dengan atas nama shadaqah, seperti yang beliau lakukan ketika sedang mcmpersiapkan pasukan perang. Sementara onta saat itu sudah habis.
Sedangkan untuk zakat fitrah, beliau mewajibkannya kepada setiap orang Muslim, kepada siapa pun yang mempunyai makanan. tua maupun muda, laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak, yaitu satu sha." karma, tepung atau kism is. Penyerahannya sebelum pergi untuk shalat 'Id. Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Umar. dia berkata, "Ra¬sulullah Shallallahu Alaihi 1i a Sallaln memerintahkan zakat fitrah d ikeluar¬kan sebelum manusia pergi untuk shalat."
Di dalam As-Suncin disebutkan juga clari Ibnu Umar, "Siapa yang me-ngeluarkannya sebelum shalat, maka itu adalah zakat yang bisa diterima. dan siapa yang mengeluarkannya setelah shalat. maka itu adalah termasuk shadaqah."
Berdasarkan dua hadits ini, maka zakat fitrah tidak boleh ditunda hingga setelah shalat 'Id. Kebalikannya adalah penyembelihan korban pada 'Idul-Adhha. Siapa yang menyembelihnya sebelum shalat, maka itu merupa¬kan penyembelihan sebagaimana biasa. Hewan korban disembelih setelah shalat.
Beliau memberikan zakat fitrah ini secara khusus kepada orang-orang miskin dan tidak menyalurkannya kepada delapan kelompok secara merata serta tidak memerintahkannya. Tak seorang pun di antara para shahabat yang juga melakukannya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn adalah orang yang paling banyak menshadaqahkan apa yang dim ilikinya. Beliau tidak pernah meng-anggap banyak apa pun yangdianugerahkan Allah dan juga tidak mengang-gapnya sedikit. Tak seorang pun yang mem inta sesuatu kepada beliau, melainkan beliau pasti memberinya, sedikit maupun banyak. Pemberian beliau adalah pemberian orang yang tidak takut m i skin. Memberi dan men¬shadaqahkan rnerupakan sesuatu yang paling beliau sukai. Kegembiraan dan kesenangan beliau pada saat memberi, lebih besar daripada kegembiraan orang yang menerirnanya. Beliau adalahorang.yang paling dermawan kepada manusia. Kebaikan beliau seperti angin yang terus-mcnerus berhembus.
Jika ada seseorang yang membutuhkan sesuatu, maka beliau lebih mementingkan orang itu daripada diri sendiri. Terkadang berupa makanan dan terkadang berupa pakaian. Beliau juga meragamkan jenis pemberian, terkadang berupa hadiah, shadaqah, hibah, dan terkadang membeli sesuatu, lalu memberikan barang dan harganya kepada penjualnya, seperti yang beliau lakukan terhadap Jabir saat membeli ontanya. Terkadang beliau meminjam

esuatu, lalu mengernbalikannya dengan jumlah yang lebih banyak, lebih Dail( dan lebih besar. Terkadang beliau membeli barang dan memberi uang iebih banyak daripada harga semestinya. Bel iau menerima hadiah dan mem
hadiah itu dengan hadiah yang lebih banyak. Shadaqah dan kebaikan . ang beliau berikan bisa berupa harta yang dimiliki, bisa dengan keadaan atau perkataan. Apa pun dikeluarkan dari nisi beliau dan beliau memerintahkan shadaqah, menganjurkan dan mengajak untuk melaksanakannya, dengan perkataan dan praktik. Jika ada orang bakhil dan kikir melihat keadaan beliau. tentu keadaan beliau akan mendorongnya untuk bershadaqah. Siapa pun yang bergaul dan menyertai beliau, tentu akan membuat hatinya menjadi lapang. Karena itu beliau adalah orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwa¬nya, paling mu I ia hatinya. Karena shadaqah mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap kelapangan dada. Padahal Allah sudah melapangkan dada beliau dengan nubuwah dan risalah.
Tapi sebab yang membuat kelapangan dada adalah tauhicl, kesem¬purnaan dan kekuatan. Jika hal-hal ini semakin bertambah, maka bertambah pula kelapangan dadanya. Firman Allah,
"Maka apakah orang-orangyang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam, lalu is mendapat cahaya dart Rabbnya (so¬ma dengan orang yang membatu hatinya)? " (Az-Zumar: 22). "Barangstapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk) Islam. Dan, barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah is sedang mendaki ke langit. " (Al-An'am: 125).
Inilah beberapa hal yang menjadi sebab kelapangan dada yang paling besar:
1. Petunjuk dan tauhid. Sementara syirik dan kesesatan merupakan sebab kesempitan dada dan penyimpangannya yang paling, besar.
2. Cahaya yang dimasukkan Allah ke dalam hati hamba, yaitu berupa cahaya iman. Jika cahaya iman ini lenyap dari hatinya, maka hatinya menjadi sesak, lebih sempit daripada bilik penjara.
3. Ilmu. Dengan ilmu ini hati menjadi lapang, seakan lebih lapang dari dunia. Sementara kebodohan men i mbulkan kesempitan dan pengungkungan. Se lagi ilmu hamba semakin luas, maka dadanya ju ga semakin terasa lapang. Tapi hal ini tidak berlaku untuk seluruh [mu, namun hanya ilmu yang diwarisi dari Rasulul fah Shallallahu Alaihi wa Sallan2. yaitu ilmu yang bermanfaat. Orang yang memiliki ilmu ini merasa hatinya lapang, paling balk akhlaknya dan paling nyaman hidupnya.
4. Kepasrahan kepada Allah dan mencintainya dengan segenap hati, meng-hadap kepada-Nya dan menikmati ibadah kepada-Nya. Tidak ada yang

lebih melapangkan hati hamba selain dan hal ini. Maka ada yang berkata, "Sekiranya aku berada di surga seperti keadaanku in i, tentulah aku berada dalam kehidupan yang nyaman." Sementara sehab kesempitan dada ialah berpaling dari Allah, menggantungkan kepada selain-Nya, ]alai berdzikir kepada-Nya dan mencintai selain-Nya. Siapa yang mencintai sesuatu selain Allah, maka dia akan disiksa dengan sesuatu yang dicintainya itu, hatinya dipenjara oleh cintanya itu. Tidak ada sesuatu pun yang lebih membuatnya menderita selain dari sesuatu itu.
5. Senantiasa berdzikirkepada Allah dalam keadaan bagairnana pun. Dzikir mempunyai pengaruh yang amat hesar untuk melapangkan dada dan mendatangkan kenikmatan di dalam hati. Sementara kelalaian berdzikir akan menyempitkannya dan hati menjadi terasa tersiksa.
6. Berbuat baik kepada sesama manusia. memberikan manfaat menurut kesanggupan, baik dari hartanya, kedudukan, badan dan segala bentuk ke¬bajikan. Seorang dermawan dan orang yang murah hati adalah orang yang paling lapang dadanya dan paling baik jiwanya. Sementara orang yang bakhil adalah orang yang paling sesak dadanya, paling resah hidupnya dan paling sedih. Rasuluilah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan per¬umpamaan tentang orang bakhil dan orang yang suka bershadaqah, seperti dua orang yang mengenakan pakaian dad besi. Setiap kal i orang yang suka bershadaqah hendak mengeluarkan shadaqah, maka baju besinya terasa semakin longgar di badannya, sehingga dia bisa menjulurkan pakaiannya dan baju besi itu tidak meninggalkan bekas di kulitnya. Tapi selagi orang bakhil hendak mengeluarkan shadaqah, maka setiap bagian dari baju besi itu terasa rnenyempit di tempatnya dan dia tidak merasakan kelonggaran sama sekali. Begitulah gambaran kelapangan dada orang Mukm in yang suka bershadaqah dan kesempitan dada orang bakh i 1 yang merasa sayang terhadap hartanya.
7. Keberanian, karena seorang pemberani merasa dadanya lapang dan hati¬nya terhampar luas. Sementara seorang penakut dan keel I hati senantiasa merasa dadanya sesak, tidak memiliki kegembiraan dan kesenangan.
8. Mengel uarkan kerak-kerak hati, berupa sifat-sifat yang tercela, yang ten¬tunya hanya akan mcnyesakkan dada dan menyiksa hati. Jika ada sebab¬sebab yang sebenarnya membuat hati manusia lapang, tapi dia tidak mengeluarkan sifat-sifat yang tercela elan hatinya, maka dia tidak akan mendapatkan kelapangan itu. Sebab di dalam hatinya ada dua unsur yang saling bermusuhan.
9. Meninggalkan hal-hal yang berlebih, balk perkataan, pandangan, pende¬nganan, pergaulan, makan, tidur dan lain sebagainya. Sebab hal-hal yang berlebih ini akan menciptakan berbagai macam penderitaan dan keresahan hati.

Maksud dari uraian ini, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam adalah orang yang paling sempurna dalam segala sifat yang bisa menda¬tangkan kelapangan dada, keluasan hati, kegembiraan dan kehidupan ruh. Beliau adalah orang yang paling sempurna dalam semua ini. Sejauh mana seseorang mengikuti beliau, maka sejauh itu pula dia akan memperoleh kela¬pangan dada, kegembiraan dan kenikmatan hidup.
Tuntunan Rasulullah tentang Puasa
Maksud dari puasa adalah menahan jiwa dari syahwat, menyapihnya dari hal-hal yang disenangi dan menundukkan kekuatan nafsu, agar is siap dalam mencari tujuan kebahagiaan dan kenikmatannya, agar bisa menerima kesucian kehidupannya yang abadi. Orang yang berpuasa harus menanggung rasa lapar dan dahaga, agar keadaannya itu mengingatkan akan keadaan or¬ang-orang miskin yang senantiasa kelaparan. Untuk menyempitkan jalan sye¬tan pada diri hamba ialah dengan menyempitkan jalan makanan dan minum¬an, menghambat kekuatan tubuh agar tidak bebas menuruti tabiat yang bisa merusak kehidupan dunia dan akhiratnya. Puasa adalah tali kendali orang¬orang yang bertakwa, baju besi di badan para mujahidin, dan latihan bagi orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Puasa adalah bagi Allah. Orang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu, meninggalkan syahwat, ma¬kan dan minumnya hanyakarena Dzat yang disembahnya. Dia meninggalkan hal-hal yang disenangi jiwa dan kenikmatannya, karena mementingkan cinta Allah dan keridhaan-Nya. Puasa merupakan hubungan rahasia antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak bisa diketahui orang selainnya. Manusia hanya bisa mengetahui bahwa dia meninggalkan makan dan minum. Itu saja. Tapi niat¬nya meninggalkan makan dan minum karena sesembahannya, merupakan perkara yang tidak bisa diketahui orang lain. Inilah hakikat puasa.
Puasa mempunyai rahasia yang menakjubkan dalam memelihara ang¬gota tubuh yang tampak dan kekuatan batinnya, menjaganya dari pencampur¬adukan unsur yang merusak, yang andaikan unsur ini lebih dominan. maka bisa merusaknya_ dan sekaligus menjaga unsur-unsur kotor yang bisa meng¬hambat kesehatannya. Jadi puasa bisa menjaga kesehatan hati dan juga badan. mengembalikan apa yang direbut tangan syahwat kepadanya. Puasa juga merupakan pendorong ketakwaan yang paling besar, sebagaimana firman¬Nya,
-Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orangsebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baciarah: 183).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Puasa itu adalah perisai.”(Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

Beliau mernerintahkan orang yang kcinginarinya sudah menggebu¬gebu dan sulit menahannya, agar berpuasa. karena puasa itu bisa menjadi penawar baginya.
Dengan kata lain, mengingat kemaslahatan dan manfaat puasa itu bisa dirasakan, dilihat dan diterirna akal sehat, maka Allah mensyariatkannya bagi hamba-hamba-Nva, sebagai suatu kebajikan bagi mereka, rahmat dan perl in-dungan. Sementara tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi 14′0 Sallain tentang puasa ini merupakan tuntunan yang paling sempurna dan merupakan sarana yang paling besar untuk mencapai tujuan serta mudah bagi jiwa.
Mengingat menyapih jiwa dari hal-hal yang disenangi merupakan perkara yang berat dan sulit. maka kewajiban puasa ini ditunda hingga masa pertengahan Islam setelah hijrah, ketika tauhid dan shalat sudah mantap di dalam hati manusia dan perintah-perintah Al-Qur’an juga sudah banyak yang disampaikan. Kewajiban puasa ini turun pada tahun kedua setelah hijrah. Beliau meninggal dunia clan sudah ada tujuh Ramadhan yang dilewati. Awal rnulanya puasa diwajibkan dengan memberikan pi I ihan antara puasa dan memberi makan satu orang miskin setiap harinya. Kemudian beralih kepada penetapan puasa. Sementara puasa boleh ditinggalkan orang yang sudah tua atau wanita yang mcmang tidak sanggup melaskanakannya. Mereka boleh tidak berpuasa tapi harus memberi makan satu orang miskin setiap harinya. Ada pula rukhshah bagi orang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa, tapi keduanya harus mengqadha’ pada bulan lain. Bagi wanita hamil dan menyu¬sui, jika ada kekhawatirkan atas dirinya dan menimbulkan dampak bagi janin atau anaknya, maka di sampi rig mengqadha’, mereka bisa memberi makan orang miskin setiap hari.
Di antara tuntunan RasulullahShallallahuAlaihi wa Seam pada bulan Ramadhan ialah memperbanyak macam-macam ibadah. Pada bulan ini Jibril turun mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau. Jika Jibril menemui beliau, maka beliau lebih murah hati dalam memberikan kebaikan daripada angin yang berhembus. Beliau adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi jika pada bulan Ramadhan. Beliau memperbanyak shadagah, membaca Al-Qur’an, rtikaf dan dzikir. Pada bulan ini beliau mengkhususkan ibadah yang tidak dikhususkan pada bulan-bulan lain, hingga terkadang Beliau me lakukannya secara terus-menerus agar lebih banyak mengisi waktu siang dan malarnnya dengan ibadah. Tapi beliau melarang para shahabat untuk berpuasa secara terus-menerus, tanpa sahurdan berbuka, dan dilakukan hingga beberapa hari, yaitu yang disebut puasa wishal. Lalu mereka bertanya, “Tapi engkau sendiri melakukannya.” Maka beliau menjawab, “Aku tidak seperti keadaan kalian. Aku senantiasa berada di sisi Rabbku yang memberi¬ku makan dan minum.”
Tapi bagaimanakah jelasnya hukum masalah puasa wishal ini, diper-bolehkan, diharamkan ataukah dimakruhkan?

Ada perbedaan pendapat mengenai hukumnya. Ada yang memperbo-lehkannya bagi yang kuat dan sanggup. Yang demikian ini diriwayatkan dari Abdul lah bin Az-Zubair dan lain-lainnya dari kalangan salaf. Ibnuz-Zubair puasa wishal hingga beberapa hari. Ada pula yang mengharamkannya. Ini merupakan pendapat Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’ y, Ats-Tsaury dan la in-lainnya. Pendapat ketiga dan ini yang paling adil, bahwa puasa wishal diper¬bolehkan dari waktu sahur hingga waktu sahur berikutnya. Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Ahmad dan Ishaq untuk hadits Abu Said Al-Khudry, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jangan-lah kalian puasa wishal. Tapi siapa di antara kalian yang ingin melakukannya, maka hendaklah dia melakukannya hingga waktu sahur.” (Diriwayatkan A1-Bukhary).
Di antara tuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa puasa Ramadhan belum dimulai kecuali setelah ada ru’yah hilal yang meya-kinkan atau atas kesaksian seseorang. Maka beliau memulai puasaatas kesak-sian Ibnu Umar. Pada lain kali atas kesaksian seorang A ‘raby. Beliau meian-daskan permulaan Ramadhan kepada pengabaran keduanya. Tapi beliau tidak memaksakan lafazh kesaksian kepada mereka. Sekalipun itu hanya sekedar pengabaran dari satu orang saja, toh hal itu sudah cukup untuk memasuki bulan Ramadhan. Jika tidak bisa melakukan ru’yah dan tidak ada kesaksian, maka beliau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Jadi beliau tidak memulai puasa jika hari sedang mendung dan tidak bisa melihat hilal. Karena itulah beliau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Hal ini tidak bertentangan dengan sabda beliau, -Apabi la mendung menghalangi pandangan kalian, maka hisablah.” Artinya sempur-nakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Banyak riwayat yang mcnyebutkan larangan memulai puasa Rama¬dhan hingga hilal terlihat nyata atau dengan cara menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban. Begitu pula ketika menghentikan puasa Ramadhan, yang ha¬rus ditandai dengan melihat hilal secara nyata.
Orang-orang pernah berdebat kusir tentang hilal Ramadhan. Sebagian berkata, “Hari Sebagian lain mengatakan,”Besok”. Lalu datang seorang Araby kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya mengabarkan bahwa dia melihat hilal.
Beliau bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Ilah se lain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?”
Araby menjawab, “Benar.”
Lalu beliau memerintahkan Bilal agar mengurnumkan kepada semua manusia untuk berpuasa.
Jadi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan manusia berpuasa hanya dengan kesaksian seorang Muslim saja, dan untuk meng-

akhiri Ramadhan dengan kesaksian dua orang Muslim. Jika ada dua orang yang memberikan kesaksian, sementarasudah lewat waktu untuk mendirikan shalat ‘Id, maka beliau memerintahkan para shahabat menghentikan puasa, lalu shalat id pada keesokan harinya.
Beliau menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur serta menganjurkan yang demikian itu. Beliau menganjurkan berbuka dengan karma. Jika tidak ada, maka dengan air. Ini merupakan kesempurnaan syafaat dan nasihat beliau kepada umatnya. Karena memakan sesuatu yang manis, sernentara perut dalam keadaan kosong, Iebih mudah diterima dan lebih me¬nambah kekuatan. Terutama kekuatan pandangan. Tentang air, maka organ dalam menjadi kering karena puasa. Jika dibasahi dengan air, maka fungsi untuk menerima makanan setelah itu menjadi lebih baik. Karena itu orang yang dalam keadaan haus dan lapar, lebih baik merninum sedikit air sebelum memakan makanan.
Beliau biasa berbuk.a sebelum shalat, yaitu dengan memakan beberapa buah korma segar dan yang sudah matang jika memang, ada. Jika tidak ada, maka beliau memakan korma yang tidak lagi segar. Jika tidak, maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.
Diriwayatkan bahwa beliau mengucapkan doa saat berbuka,

“Hilang rasa dahaga, kerongkongan menjadi basah dan pahala fetal) in.sya Allah.” (Diriwayatkan Abu Daud, Ad-Daruquthny dan Al-Ha¬kim).
Doa selain di atas yang diriwayatkan dari beliau adalah lemah dan yang lain mursal.
Beliau pernah bepergian pada bulan Ramadhan, yang terkadang beliau puasa dan terkadang tidak. Beliau juga memberikan dua pilihan ini kepada para shahabat jika sedang dalam perjalanan. Tani jika mereka sedang berj ihad dan sudah dekat dengan musuh, maka beliau memerintahkan agar mereka tidak berpuasa, agar badan mereka kuat ketika berhadapan dengan musuh. Dua peperangan paling besar yang dijalani Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan ialah perang Badr dan Fathu Makkah. Dalam hal ini Ungar bin Al-Khaththab berkata, “Kami pernah berperang bersama Rasulullah Shallal lahu A laihi wa Sallarn pada bulan Ramadhan sebanyak dua kali, yaitu perang Badrdan Fath.Kami tidak berpuasa pada dua kali peperang¬an itu.”
Bukan termasuk tuntunan beliau yang membatasi jarak perjalanan untuk tidak berpuasa bagi musafir dan juga tidak ada riwayat yang shahih tentang pembatasan ini dari beliau. Bahkan Dihyah bin Khalifah Al-Kal by

pernah tidak berpuasa ketika bepergian sejauh tiga mil. Lalu dia berkata kepada orang-orang yang berpuasa saat itu, “Mereka kurang suka terhadap tuntunan Muhammad Shallallahu Alaihi wa
Selagi para shahabat sudah memulai perjalanan, mereka tidak lagi berpuasa tanpa mempertimbangkan bahwa rumah masih terlihat. Mereka rnengabarkan bahwa yang demikian itu merupakan Sunnah beliau. Ubaid bin Jabr berkata, “Aku pernah bepergian naik perahu bersama Abu Bashrah Al-Ghifary, seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dari Fusthath pada bulan Ramadhan. Belum lama meninggalkan rumah, dia sudah mem i nta bekal makanan, seraya berkata, “Bawa ke sini makanan Aku bertanya, “Bukankah engkau masih bisa melihat rumar- Abu Bashrah balik bertanya, “Apakah engkau tak menyukai Sunnah Rasulullah Shallallahu _Valhi wu Sallam?” (Diriwayatkan Abu Daud dan Ahmad).
I11 merupakan atsaT yang sangat je las, bahwa siapa yang ingin beper¬gian pada bulan Ramadhan, maka lebih baik baginya untuk tidak berpuasa.
Di antara tuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau pernah memasuki waktu fajar, sementara beliau dalam keadaan jun ub. Maka beliau mandi setelah waktu fajar dan tetap puasa. Beliau juga pernah memeluk sebagian istrinya ketika sedang puasa Ramadhan. Pelukan orang yang puasa ini menyerupai berkumur dengan air.
Tentang riwayat Abu Daud dari Mishda’ bin Yahya, dari Aisyah, bah¬wa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memeluknya tatkala beliau sedang berpuasa dan menyedot lidahnya, maka hadits ini dipertentangkan. Sebagian ada yang mendha’ ifkannya dan sebagian lain menghasankannya.. Di samping Mishda’ yang dianggap dha’if itu juga ada isnad lain yang dha’ if, vaitu Muhammad bin Dinar.
Tidak ada satu riwayat pun yang shahih, bahwa beliau membedakan antara yang tua dan muda. Yang paling balk tentang hal ini adalah had its riwayat Abu Daud dari Nashr bin Ali, dari Abu Ahmad Az-Zubairy, dia ber-kata, “Kami diberitahu Israel, dari Abul-Anbas, dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang laki-laki yang berkumpul dengan istrinya, padahal dia sedang berpuasa. Maka beliau memberikan rukhshah kepada orang itu. Lalu datang orang lain yang menanyakan masalah yang sama. Maka beliau mclarangnya. Orang yang diberi rukhshah itu adalah orang tua, dan yang dilarang adalah anak muda. Tapi dalam isnad had its ini tidak diketahui dan tidak ada yang menjelaskan jati dirinya.
Bel iau menggugurkan qadhaf. terhadap orang yang makan atau minum karena lupa saat dia berpuasa. Makan atau minum bukan atas kernauannya, tapi itu karena kehendak Allah. Hal ini sama dengan makan atau minum dalam keadaan tidur. Sementara tidak ada takl if terhadap orang yang tidur.

Yang membatalkan puasa adalah makan, minuet, berbekam dan muntah. Sementara AI-Qur’an menunjukkan larangan bed Tidak ada larangan mengenakan celak saat puasa. Ada riwayat yang shahili bahwa beliau bersiwak saat berpuasa. Beliau juga pernah mengguyurkan air ke kepa¬la saat puasa, berkumur dan menghirup air lewat hidung (istinsyaq). Tapi beliau melarang berlebih-lebihan dalam istinsyaq ini. Tidak ada riwayat yang shahih bahwa beliau berbekam saat berpuasa. Begitulah yang dikatakan Al-Imam Ahmad. Mahna berkata, -Aku pernah bertanya kepada Al-Imam Ah¬mad, tentang hadits lbnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berbekam, padahal beliau sedang berpuasa dan ihram.
Maka dia menjawab, dalam hadits ini tidak disebutkan bahwa beliau
sedang berpuasa, tapi beliau sedang ihram.”
Tuntunan Rasulullah tentang Puasa Sunat
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah puasa hingga d ikata¬kan, tidak berbuka.” Tapi beliau juga pernah tidak puasa hingga dikatakan, “Beliau tidak puasa.” Beliau tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidak puasa yang lebih banyak daripada puasanya di bulan Sya’ban. Tidakada satu bulan pun yang berlalu me lainkan beliau pasti berpuasa pada bulan itu. Beliau tidak pernah puasa tiga bulan se¬cara terus-menerus seperti yang banyak dilakukan orang. Beliau tidak hanya puasa pada bulan Raj ab dan tidak pula mensunatkan puasa bulan Rajab. Ada perbedaan pendapattentang puasa beliau pada sepuluh Dzul-Hijjah. Artinya, ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau melaksanakannya dan ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa beliau tidak melaksanakannya pada hari itu. Tentang puasa enam hari pada bulan Syawal, ada riwayat yang shahih. Dalam hal ini beliau bersabda,
“Puasa Syawal yang menyertai Ramadhan menyantai puasa setahun penuh.” (Ditakhrij Muslim).
Ahmad menyebutkan dari sebagian istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau pernah puasa tanggal sembi Ian Dzul-Hijjah, bulan Asyura’, tiga hari dari setiap bulan, atau pada hari Senin dan Kamis.
Tentang puasa hari Asyura’, sebelumnya beliau biasa melakukannya seperti hari-hari lain. Ketika tiba di Madinah dan mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu dan mengagungkannya, maka beliau bersabda, “Kam i lebih berhak terhadap diri Musa daripada kal i an.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkannya. Hal ini terjadi sebelum ada perintah puasa bulan Ramadhan. Sete lah ada perintah puasa Ramadhan, maka beliau bersabda, “Siapa yang ingin, dapat berpuasa, dan siapa yang ingin dapat meninggalkannya.” (Ditakhrij Al-Bukhary).
Sebagian orang ada yang menganggap m usyki I masalah ini dan

berkata. -Rasulu lah Shallallahu Alaihi 1-Va Sallum tiba di Madinah pada bulan Rabi ‘ul-Awwal. Maka bagaimana rn ungkin I bnu Abbas berkata, “Lalu beliau mendapatkan orang-orang Yahudi puasa hari Asyura`?”
Jawabannya, bukan berarti saat tiba di Madinah beliau mendapati crang-orang Yahudi melakukan puasa Asyura’. Apa yang beliau ketahu i ten-tang kebiasaan orang-orang Yahudi itu adalah ketika pada tahun berikutnya setelah kedatangan beliau di Madinah.
Di antara tuntunan Rasta] ul I ah Shallallahu Al aihi wa Sall am ialah tidak berpuasa pada hari Arafah saat berada di Arafah. Hal ini disebutkan di dalam Ash-Shahihain. Sementara Muslim rneriwayatkan, bahwa puasa Arafah hisa menghapus kesalahan setahun yang lampau dan setahun mendatang.
Tentang dilarangnya puasa Arafah saat berada di Arafah. mengandung beberapa hukum:
- Agar hisa menguatkan badan untuk banyak berdoa.
- Tidak puasa dalam perjalanan lebih baik daripada puasa.
- Hari itu, saat beliau melarangnya, hertepatan dengan hari Jum’at. Semen
tara ada larangan mengkhususkan hari Jum’at dengan puasa.
Diriwayatkan dan Rasulullah Shallallahu Alaihi WC/ Sallam, bahwa beliau lebih banyak puasa pada hari Sabtu dan Ahad. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Puasa setahun pen uh bukan termasuk tuntunan R asulu I lab Shallallahu Alaihi Iva Sallam. Bahkan beliau bersabda,
“Siapa yang puasa se tahun penuh, maka dia tidakpuasa danjugo t idak
pula tidak puasa. (Ditakhrij Ahmad, An-Nasa’y dan Al-Hakim).
Tentu saja tidak termasuk hari-hari yang memang diharamkan ber¬puasa. Bel iau bersabda seperti itu sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang, “Apa pendapat engkau tentang puasa setahun penuh?” Maka jawaban beliau seperti itu bukan berarti mengesahkan puasa pada hari-hari yang di larang berpuasa. Dengan kata lain, apakah dia puasa atau tidak puasa, maka sama saja, tidak akan mendatangkan pahala dan juga tidak mendatangkan siksa. Tuntunan beliau yang sudah pasti, puasa sehari dan tidak puasa sehari, lebih baik daripada puasa terus-menerus dan lebih disukai Allah. Berarti puasa setahun penult secara torus-menerus adalah perbuatan makruh. Sekiranya tidak makruh, maka puasa ini dianggap lebih balk daripada puasa sehari dan
puasa sehari, karena pengamalannya lebih banyak. Pengertian in i jelas ditolak had its shahih yang menyebutkan,
“Sesungguhnya puasa yang paling disukai Allah ialahpueLsa Daud. {Ditakhrij A I -B ukhary).

Berarti tidak ada puasa (sunat) yang lebih afdhal daripada puasa Daud ini, sehari puasa dan sehari tidak puasa. Jika dikatakan bahwa keutamaan keduanya sama, juga ditolak. Atau bisa dianggap mubah dan sama kedu¬dukannya, tidak dianjurkan dan juga tidak dimakruhkan. Anggapan seperti ini juga tertolak. Sebab yang demikian ini bukan termasuk ibadah yang dilandasi dalil.
Jika dikatakan, “Bukankah puasa Ramadhan yang d isusuli dengan pua¬sa Syawwal enam hari, sama dengan puasa setahun penuh? Bukankah puasa tiga hari setiap bulannya sama dengan puasa setahun penuh? Bukankah yang demikian itu menunjukkan bahwa puasa setahun penuh lebih balk daripada puasa yang diserupakan dengannya? Bukankah pahalanya lebih banyak daripada dua puasa tersebut?”
Jawabannya, penyerupaan sesuatu yang sudah ditetapkan, bukan berarti menunjukkan pembolehannya, apalagi jika dianggap sebagai anjuran. Penyerupaan ini berlaku untuk pahalanya. Dalilnya adalah hadits tentang penyerupaan itu sendiri, bahwa puasa tiga hari setiap bulan menyerupai puasa setahun penuh. Sebab satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa. Kalau dihitung secara harian, jumlahnya adalah tiga puluh enam hari (3 X 12 = 36), berarti sama dengan tiga ratus enam puluh hari. Dengan begitu dapat diketahui bahwa yang dimaksudkannya adalah mendapatkah pahala ini. Begitu pula puasa Syawwal enam hari, yang berarti menjadi tiga puluh enam hari jika digabung dengan puasa Ramadhan, yang serupa dengan puasa tiga ratus enam puluh hari.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn pernah masuk rumah, lalu bertanya kepada keluarganya, “Apakah kalian mempunyai sesuatu (makan-an)?” Jika mereka menjawab, “Tidak ada”, maka beliau bersabda, -Kalau begitu aku puasa.”
Jadi niat puasa sunat itu terlontar pada slang hari. Terkadang beliau berniat puasa sunat, tapi kemudian pada slang harinya beliau membatal¬kannya. Hal ini dikabarkan Aisyah. sebagaimana yang diriwayatkan Mus¬lim dan An-Nasa’ y. Adapun tentang had its dari Aisyah yang disebutkan di dalam As-Sunan, dia berkata, “Aku dan Hafshah sedang puasa sunat. Lalu ada makanan yang disodorkan kepada kami. Maka kami memakannya, karena makanan itu adalah kesukaan kami. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallain tiba mendatangi kami. Hafshah mendahului aku menemui beliau, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, tadinya kami berdua puasa, lalu kami disodori makanan yang membangkitkan se lera kami. Maka kami pun memakannya.- Maka beliau bersabda, -Qadha’lah satu hari sebagai ganti¬nya.” Ini adalah hadits yang cacat.
Jika beliau sedang bertamu dalam keadaan berpuasa, maka beliau menyempumakan puasanya dan tidak makan suguhannya, sebagaimana yang

beliau lakukan ketika menemui Ummu Sulaim. Lalu dia menyuguhkan korma dan keju. Maka beliau bersabda, “Kembalikan keju dan korma ini di tempatnya, karena aku sedang puasa.” (ditakhrij A l-Bukhary dan Ahmad).
Adapun tentang had its riwayat Ibnu Majah, At-Tirmidzy dan Al¬Baihaqy, dari Aisyah dan dia memarfu’kannya, bahwa siapa yang bertamu kepada seseorang, maka hendaklah dia tidak puasa sunat kecuali setelah mendapat perkenan dari tuan rumah.” Hadits ini hadits mungkar, tak seorang pun yang tsiqat.
Rasulullah Shallallahu Alaihi tivaSallam memakruhkan pengkhususan puasa hanya pada hari Jum’at, dan beliau juga tidak melakukannya. Hal ini disebutkan dalam hadits shahih dari Jabir bin Abdul lah, Abu Hurairah.
binti Al-liarits dan lain-lainnya. Bahkan beliau pernah minum pada hari Jum.at ketika sedang berada di atas untuk memperlihatkan kepada mereka bahwa beliau sedang tidak puasa.
Tuntunan Rasulullah tentang I’tikaf
Kebaikan hati dan istiqamahnya tergantung pada kebersamaannya dengan Allah, perjalanannya kepada Allah dan celaan terhadap kekusutannya saat menghadap Allah. Kekusutan ini tidak bisa dicela kecuali dengan menghadapkannya kepada Allah. Sementara bergaul secara berlebih-lebihan. makan secara berlebih-lebihan, tidur secara hanya menam¬bah i kekusutan itu, lalu menyebar kemana-mana, memotongperjalanannya kepada Allah dan melemahkannya.
Karena itu sudah ditetapkan rahrnat Allah terhadap hamba-Nya, dengan mensyariatkan puasa bagi mereka, yang bisa menghambat kelebihan makan dan minum, mengosongkan hati dari syahwat. Pensyariatan ini untuk kemaslahatan, yang memberikan manfaat bagi hamba di dunia dan di akhirat, tidak berbahaya haginya dan tidak menghambat kepentingannya dalam kehidupan saat ini atau kelak.
Kemudian Allah mensyariatkani’tikaf, yang maksudnya dan intinya adalah menempatkan hati di hadapan Allah, nicnyendiri hersama-Nva, memutuskan dari segala kesibukan dengan makhluk dan hanya menyibuk¬kannya dengan Allah, sehingga hanya Allah yang diingat dan dicintainya. semua hasrat tertuju kepada-Nya, semua pemikiran hanya untuk mendapat¬kan keridhaan-Nya, mempersiapkan hati untuk bcrsanding bersama Allah pada saat dia menyendiri di dalam kubur. lnilah maksud yang terbesar dari i’tikaf.
Karena maksud dari i’tikaf adalah sebagai penyempurna dari puasa, maka i’tikaf ini disyariatkan pada hari-hari paling utama dari hari-hari puasa, yaitu sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Tidak pernah d inuki I dari

Nabi Shallallahu Alaihi iaSallain. bahwa beliau i’tikaf pada hari ketika tidak puasa. Bahkan Aisyah berkata, “Tidak ada i’tikaf tanpa puasa.- (Ditakhrij Abu Daud dan Ad-Daruquthny, dan rijalnya tsiqat).
Allah tidak menyebutkan rtikafkecuali bersama puasa, dan Rasulullah Shallallahu /Valhi wa Sallam juga tidak mengerjakannya kecuali bersama puasa Ramadhan. Dal il paling kuat yang digunakan Jumhur salaf, bahwa puasa merupakan syarat dalam ialah seperti yang ditegaskan Syaikhul¬Islam Ibnu Taimiyah.
Telah ada ketetapan syariat bagi umat untuk menahan lidah dari segala perkataan yang tidak bermanfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan tentang tidur, maka telah ada ketetapan syariat agar mereka bangun ma’am, sehingga tidak terlalu banyak tidur, tapi juga tidak boleh terlalu banyak berjaga. Jadi pertengahan di antara keduanya, yang ben-nanfaat bagi hati dan badan, tidak menghambat kemaslahatan hamba. Yang paling balk ialah rnengikuti jalan Nabawy, tidak menyimpang ke salah satu sisi. Kita sudah menjelaskan tun¬tunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang puasa, bangun malam dan perkataan. Maka berikut ini akan kami jelaskan tuntunan beliau tentang i’tikaf.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hingga saat meninggal du¬nia. Sekali beliau pernah meninggalkannya, tapi kemudian mengqadha’nya pada bulan Syawwal. Sekali beliau pernah i’tikaf pada sepuluh hari yang pertama, lalu pertengahan, lalu yang terakhir untuk mencari lailatul-qadar. Lalu rnenjadi ketetapan bagi beliau pada sepuluh hari yang terakhir. Beliau senantiasa melakukannya hingga akhir hayat.
Beliau memerintahkan untuk mendirikan tenda di masjid lalu beliau
berada di dalamnya, menyendiri bersama Allah. Jika hendak i’tikaf, beliau
shalat fajarterlebih dahulu. Bel iau juga memerintahkan pendirian tenda-ten
da untuk istri-istri beliau. Setelah shalat subuh, beliau melihat ke arah tenda
tenda itu lalu memerintahkan untuk merobohkannya. Beliau i’tikaf sepuluh
hari setiap tahunnya. Tapi pada tahun terakhir, beliau i’tikaf dua puluh hari.
Saat i’tikafbeliau memasuki kemahnya sendirian, tidak masuk rumah
kecuali untuk keperluan-keperluan yang bersifat manusiawi. Beliau pernah
melongokkan kepala ke bilik Aisyah. Lalu Aisyah menghampiri beliau dan
membasuh kepala beliau di dalam masjid, sementara saat itu Aisyah sedang
haid. Sebagian istri yang lain datang berkunjung saat beliau i’tikaf. Jika istri
yang berkunjung ini bangkit untuk pulang, maka beliau ikut bangkit dan
mengantarkannya hingga tiba di rumahnya. Saat itu waktunya malam hari.
Selagi melakukan i’tikaf, beliau tidak mencampuri istri-istrinya, sekalipun
hanya memeluknya. Jika sedang i’tikaf, kasur beliau dipindah ke tempat
i’tikafnya. Ketika sedang i’tikafdan beliau keluar untuk keperluannya, beliau

melewati orang yang sedang sakit. Tapi beliau tidak menghampirinya dan juga tidak menanyakan keadaannya. Beliau juga pernah menggelar tikar sebagai alas ketika sedang i’tikaf. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan tujuan i’tikaf, tidak seperti keadaan orang-orang bodoh yang mempersulit diri ketika i’tikaf dan sengaja membuka diri untuk dikunjungi manusia. Cara ini jelas berbeda dengan cara yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Tuntunan Rasulullah tentang Haji dan Umrah
Setelah hijrah beliau melakukan empat kali umrah dan sem uanya pada bulan Dzu I -Qa. idah, yaitu:
Umrah saat peristiwa Hudaibiyah pada tahun keenam setelah hijrah. Saat itu orang-orang musyrik menghalangi beliau untuk datang ke Ka’ bah. Karena itu beliau hanya menyembelih korban dan mencukur rambut serta melakukan tahallul bersama para shahabat.
Umrah qadha’ pada tahun berikutnya. Beliau hisa masuk Makkah dan menetap di sana selama tiga hari, kemudian keluar setelah menyempurna¬kan umrah.
Beberapa kali umrah bersama haji. Hal ini dikuatkan dengan beralasan dalil.
- Umrah beliau dari Ji’ranah, ketika keluar ke Hunain kemudian kembali
ke Makkah. Jadi beliau umrah dari arah Ji’ranah lalu memasuki Makkah.
Tidak ada satu umrah pun yang beliau lakukan saat keluar dari Makkah seperti yang di lakukan hanyak orang pada zaman sekarang. Semua umrah beliau dilakukan saat masuk ke Makkah. Selama tiga belas tahun menetap di Makkah setelah menerima wahyu, tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau umrah saat keluar dari Makkah. Umrah yang di lakukan Rasulullah Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam dan disyariatkannya adalah umrah saat masuk ke Makkah dan bukan saat keluar dari Makkah. Tak seorang pun yang melaku¬kan terakhir ini kecuali Aisyah, karena dia sudah mengucapkan ta]biyah lalu haid. Maka dia memasukkan haji ke umrah. Beliau mengabarkan bahwa tha
afnya di Ka’ bah dan sas inya antara Shafa dan Marwah berlaku untuk haji dan umrahnya. Lalu dia berpikir agar teman-temannya sesama wan ita kern-ball untuk haji dan umrah secara terpisah, karena mereka tidak melakukan haji tamattu dan bukan haji qiran. Maka dia pun kembali dengan umrahnya. Lalu dia menvuruh saudaranya untuk menggantikan umrahnya dari Tan’ im, sekedar untuk rnenyenangkan hati. Padahal tidak ada umrah dari Tan’im pada saat itu.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memasuki Makkah setelah hijrah sebanyak lima kali. Yang pertama kali beliau hanya sampai di Hudaibiyah, karena dihalangi orang-orang musyrik. Semua umrah beliau dilakukan pada

bulan-bulan haji, untuk membedakan dengan kebiasaan orang-orang musy¬rik, karena mereka tidak melakukan umrah pada bulan-bulan haji, yang menurut mereka merupakan kekejian yang nN ata. Hal ini menunjukkan bahwa umrah pada bulan-bulan haji lebih baik daripada bulan Rajab. Lalu mana yang lebih baik antara umrah pada bulan-bulan haji dan pada bulan Ramadhan? Ada riwayat shahih bahwa beliau memerintahkan Ummu
yang tidak bisa ikut menunaikan haji bersama beliau, untuk umrah pada bulan Ramadhan, sambi I men gabarkan bahwa umrah pada bulan Ramadhan menyerupai haji. Tapi Allah tidak memi I ihkan bagi Nabi-Nya untuk umrah kecuali waktu yang paling tepat dan paling layak untuk umrah itu. Umrah pada bulan-bulan haji menyerupai haji pada waktunya. Bulan-bulan ini telah dikhususkan Allah untuk ibadah ini. Umrah adalah haji kecil. Maka waktu yang paling tepat ialah pada bulan-bulan haji. Sernentara pada bulan Rama¬dhan beliau lebih banyak menyibukkan dengan berbagai macam ibadah yang lebih penting daripada umrah. Tapi tidak memungkinkan bagi beliau untuk menyatukan ibadah-ibadah itu dengan umrah. Maka beliau menunda umrah hingga tiba bulan-bulan haji. Sekiranya beliau umrah pada bulan Ramadhan, maka manusia akan berbondong-bondong melakukan umrah pada bulan Ramadhan, sehingga akan menjadi sulit dan berat bagi mereka untuk mema-dukan umrah dengan puasa. Sebenarnya banyak amal yang hendak dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tapi beliau mengurung-kannya, karena khawatir akan memberatkan umat.
Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau umrah dua kali dalam satu tahun. Banyak orang yang beranggapan bahwa beliau umrah dua kali dalam setahun. Mereka berhujjah dengan hadits riwayat Abu Daud di dalam Sunan-nya, dari Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah umrah dua kal i, yaitu pada bulan Dzul-Qa’idah dan pada bulan Syawwal. Hadits ini sama sekali tidak kuat. Yang pasti, beliau umrah hanya empat kali. Dari yang empat kali itu sama sekali tidak ada riwayat yang menyebutkan umrah beliau pada bulan Syawwal. Memang beliau pernah berperang pada bulan Syawwal dan pada bulan itu pula beliau keluar dari Makkah. Setelah peperangan usai, beliau melaksanakan umrah pada bulan Dzul-Qa’ idah, sehingga beliau tidak melakukan umrah dua kali pada tahun itu, sebelum maupun sesudahnya. Siapa yang meneliti sejarah dan kehidupan beliau secara teliti, tentu akan meragukan masalah ini.
Jika ada yang bertanya, “Lalu apa alasan anjuran melaksanakan umrah hingga beberapa kali dalam satu tahun, jika tidak ada riwayat yang dem ikian itu dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?”
Ada perbedaan pendapat tentang masalah ini. Menurut Malik, umrah lebih dari satu kali dalam setahun hukumnya makruh. Lain lagi dengan pendapat Mutharrif. Menurutnya, boleh melakukan umrah beberapa kali

dalam satu tahun. Begitu pula menurut Al-Mawwaz. Dia berkata, “Aisyah pernah umrah dua kali dalam satu bulan. Saya tidak sependapat jika seseorang dihalangi untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amal¬amal ketaatan dan mencari banyak kebaikan di satu tempat. Di samping itu juga tidak ada satu nash pun yang melarangnya.” Yang terakhir ini juga merupakan pendapat Jumhur. Hanya saja Abu Hanifah mengecualikan lima hari yang tidak boleh digunakan umrah, yaitu hari Arafah, hari menyembel ih korban dan hari-hari tasyriq.
Ada seseorang yang bertanya kepada Al-Qasim, “Apakah tidak ada seorang pun yang, mengingkari perbuatan Aisyah itu?” Maka dia balik bertanya, “Apakah yang demikian itu layak dilakukan terhadap Ummul¬Mukminin?-
Di riwayatkan dari Ali bin Abu Thalib, bahwa dia pernah umrah bebe-rapa kali dalam satu tahun. Beliau juga bersabda,

“Umrah ke umrah berikutnya merupakan penebus dosa di antara keduanya.” (Ditakhrih Al-Bukhary dan Muslim).
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa beliau hanya melakukan haji satu kali setelah hijrah ke Madinah, yaitu haji Wada., dan tidak ada perbedaan pendapat, bahwa hal itu dilakukan pada tahun kesepuluh.
Tapi ada perbedaan pendapat, apakah beliau pernah haji sebelum hijrah? Dalam riwayat At-Tirrnidzy disebutkan bahwa beliau pernah haji tiga kali. Dua kali sebelum hijrah dan satu kali setelah hijrah. Tapi hadits ini sania sekali tidak kuat dan tidak terjaga.
Ketika turun perintah haji, maka beliau langsung menunaikan tanpa menundanya. Kewajiban ini diturunkan pada masa-masa akhir, yaitu pada tahun kesembilan atau sepuluh. Tentang firman Allah, “Dan„velnpurnakan¬/oh ibadah haji dan umrah karena Allah”, (Al-Baciarah: 196), sekalipun turun pada tahun keenam atau pada tahun peristiwa Hudaibiyah, toh ayat ini turun tidak mcnunjukkan kewajiban haji. Itu hanya sekedar perintah penyempur¬naan haji dan umrah, setelah ada pensyariatan keduanya. Tapi bukan berarti itu menunjukkan dimulainya ibadah haji dan umrah. Jika ada yang bertanya, “Dari mana kalian tahu kewaj iban haj i itu turun pada tahun kesembilan atau kesepuluh?”
Ada yang berpendapat, karena kandungan surat All Imran turun pada tahun datangnya para utusan. Pada waktu itu ada utusan Najran yang mene¬mui Nabi Shallallahu Alaihi dan menjalin perdamaian, dan mereka menyatakan kesanggupan mernbayar jizyah kepada beliau. Sementara ayat tentang jizyah ini turun pada saat perang Tabuk atau pada tahun kesembilan.
Bel. Peiyithvia71 Xn/1,0M7I

Pada saat itulah turun kandungan surat Ali linran, beliau berdebat dengan Ahli Kitab dan mengajak mereka kepada tauhid dan juga menantang mereka untuk bermubahalah. Hal ini juga dikuatkan, bahwa penduduk Makkah dari kalangan orang-orang musyrik masih merasakan penyesalan atas barang dagangan mereka yang hilang. Kemudian turun ayat,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrikUu najis, makajanganlah mereka mendekati Masjidil-Haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28).
Lalu Allah menggantikannya dengan jizyah, yang semua itu terjadi pada tahun kesembilan.
Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallarn berhasrat hendak haji, maka beliau mengumumkannya kepada orang-orang. Lalu mereka pun bersiap-siap untuk haji bersama beliau. Para penduduk di sekitar Madinah juga mendengar hal ini, hingga mereka pun datang ingin bergabung bersama beliau. Bahkan j um lah mereka yang bergabung di tengah perjalanan semakin bertambah banyak, hingga tak terhitung lagi jumlahnya. Mereka berjalan di depan, di belakang, di samping kanan dan kiri beliau. Mereka semua tampak bergerak sejauh mata memandang. Keberangkatan dimulai pada slang hari setelah shalat zhuhur, enam hari sebelum habis bulan Dzul-Qa’idah. Setelah shalat beliau berpidato, mengajarkan cara ihram, hal-hal yang wajib dan sunat. Beliau menggeraikan rambut dan meminyakinya. Kemudian singgah di Dzul-Hulai fah dan shalat ashar dua rakaat. Beliau menginap di Dzul-Hulaifah ini, sehingga shalat maghrib, isya”, subuh dan zhuhur di tempat ini. Semua istri beliau ikut. Pada malam itu beliau menggilir mereka semua. Ketika hen¬dak ihram, beliau mandi untuk yang kedua kalinya karena hendak ihram, dan bukan mandi yang pertama karena jima’.
Aisyah meminyaki beliau dengan minyak wangi, pada bagian badan dan kepada, sehingga bekas minyak itu tampak pada anak rambut dan jenggot beliau. Kemudian beliau membiarkan minyak wangi itu dan tidak mencuci¬nya. Kemudian beliau mengenakan kain dan mantelnya, shalat zhuhur dua rakaat, lalu mengucapkan talbiyah untuk haji dan umrah di tempat shalatnya itu. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau shalat dua rakaat untuk ihram.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn meminyaki rambutnya dengan minyak tumbuh-tumbuhan agar menggumpal dan tidak berserakan. Beliau mengucapkan talbiyah di tempat shalatnya itu lalu naik onta dan terus mengucapkan talbiyah hingga tiba di Baida’. Terkadang beliau bertalbiyah untuk haji dan umrah, terkadang untuk haji, sebab umrah merupakan bagian dari haji, yang berarti merupakan haji (Oran. Tapi ada yang mengatakan, itu adalah haji tarnattu’, dan ada yang mengatakan, itu adalah haji ifrad.. Ibriu Hazm berkata, itu beliau lakukan tak lama sebeluin shalat zhuhur.” Tapi

ini hanya sekedar dugaan. Yang pasti, beliau bertalbiyah setelah shalat zhu¬hut-. dan tak seorang pun mengatakan bahwa ihramnya sebelum zhuhur. lbou r=mar herkata. “Rasulullah Shallallahu A laihi iva Salim)] tidak mengucapkan nlbiyah kecuali sejak dari dekat pohon, ketika ontanya bangun.” Anas berka¬ta. “Bel iau shalat zhuhur kemudian naik onta.- Kedua hadits ini disebutkan ui dafamAsh-Shahih. Jika keduanya dikompromikan, maka dapat disimpul¬kan bahwa beliau mengucapkan talbiyah setelah shalat zhuhur. Bel iau mengucapkan talbiyah,
“Kits-ambit! panggilan-Muya Allah kusambittpanggilan-Mu. Kusam¬but panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Se.s.ungguhnya puji, nikmat dan kerajaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu hagi-Mu.”
Beliau rnengeraskan talbiyah ini sehingga para shahabat di sekitar dapat mendengarnya. Lalu beliau rnemerintahkan agar mereka juga mengeraskannya atas perintah Allah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Iva Saila/77 memberikan pilihan kepada mereka ketika ihram antara tiga nusuk (ifrad, giran dan tamattu’). Ketika sidah mendekati Makkah untuk menghapus haji dan (Oran kepada umrah bagi orang yang tidak mempunyai hewan korban. Kemudian beliau menetapkan hal itu ketika berada di Marwah.
Pada waktu itu Asma’ binti Umais melahirkan Muhammad bin Abu Bakar. Beliau menyuruh Asma’ untuk mandi dan lalu menyumpal selaniz-kangannya dengan kain untuk menahan keluarnva darah, sehingga Asma¬:etap dalam keadaan ihram dan juga bertalbiyah. Di sini beliau memperboleh¬kan (prang yang ihram untuk membasuh badan, sedangkan wanita haid harus mandi. Jadi ihram tetap sah bagi wanita haid. Beliau terus berjalan sambil mengucapkan talbiyah, sementara orang-orang ada yang melakukan lebih banyak dan ada pula yang melakukan lebih sedikit dari apa yang beliau lakukan.
Setiba di Ar-Rauha’, beliau melihat keledai liar, tak jauh dari tempat beliau. Maka beliau bersabda, “Biarkan saja ia. Sebentar lagi pemburunya akan datang.” Ketika pemburu keledai itu tiha, maka dia menyerahkannya kepada beliau. Lalu beliau mernerintahkan Abu Bakar untuk membagi-hagi dagingnya. Di sini terkandung pembolehan memakan daging huruan yang halal sewaktu ihram. se lagi bukan orane yang melakukan ihram itu yang memburunya.
Ketika tiba di Atsayah. antara Rusyah dan Arj, ada seekor rubah yang terikat pada tali jerat di tanah. di bawah sebatang pohon. Beliau memerintah-kan seseorang agar menungguinya, agar tidak dijamah seseorang. Per¬bedaannya dengan keledai di atas, bahwa keledai itu diketahui secara jelas kehalalannya.

Ketika tiba di Wady Usfan, beliau bertanya kepada Abu Bakar, “Hai Abu Bakar, wadi apa
Abu Bakar menjawab, “Wady Usfan.-
Beliau bersabda, “Di tempat ini Nabi Daud dan Shalih pernah me lewati dua orang gadis, yang tali kekangnya dari sabut, kainnya dibuat mantel dan selendangnya dari wol. Mereka bertalbiyah untuk haji ke AI-Baitul-Atiq.”
Setiba di Sarif, Aisyah datang bulan. Beliau berkata kepada para shaha¬bat selagi tiba di Sarif itu, “Siapa yang tidak mempunyai hewan korban, dan hendak menjadikan niatnya umrah, maka hendaklah melakukannya. Bagi yang sudah mempunyai, tidak perlu melakukannya.”
In i semua me rupakan rentetan lain dari beberapa rentetan pilihan saat di miciat. Tapi ketika di Makkah, beliau menetapkan perintah yang pasti. Siapa yang tidak mempunyai hewan korban, maka hendaknya berniat umrah lalu bertahallul dari ihramnya. Sedangkan siapa yang mempunyai hewan korban, maka dia tetap dalam ihramnya dan tidak bisa dihapus oleh apa pun.
Setiba di Dzi Thuwa atau yang juga disebut Abar Az-Zahir, beliau menginap di sana pada malam Ahmad, empat hari terakhir dari bulan Dzul¬Qaf idah. Beliau juga shalat subuh di sana, mandi pada hari itu, lalu melan¬jutkan perjalanan ke Makkah, hingga memasuki Makkah pada slang hari, dari arah Tsaniyah, datarannya yang tinggi, dan ketika umrah beliau masuk Makkah dari datarannya yang rendah, lalu terus berjalan hingga masuk masj id. Ath-Thabrany menyebutkan bahwa beliau masuk dari pintu Bani Abdi Manaf yang juga disebut pintu Bani Syaibah. Tapi Ahmad menyebut¬kan dari suatu tempat dari Daru Ya’ la yang langsung menghadap ke Ka’ bah. Ath-Thabrany juga menyebutkan, bahwa ketika melihat Ka’bah, beliau men gucapkan,
“Ya Allah, jadikanlah Rumah ini semakin dimuliakan, diagungkan, dihormati dan disegani. “
Diriwayatkan pula bahwa beliau mengangkat kedua tangan saat melihatnya, bertakbir dan bersabda,
“Ya Allah, Engkaulah yang mendatangkan kesejahteraan, dari-Mu datangnya kesejahteraan, hidupkanlah kami wahai Rabb kami dengan kesejahteraan. Ya Allah, jadikanlah Rumah ini semakin dimuliakan, diagungkan, dihormati dan balk. “*)
Ketika sudah masuk masj id, beliau langsung menuju Ka’bah dan tidak melakukan shalat tah iyatu l-masj id. Sebab tahiyatnya adalah thawaf. Ketika tiba di dekat Hajar Aswad, beliau menciumnya dan tidak ada orang lain yang ikut bergabungatau berebut. Beliau tidakmendatangi Rukun Yamani terlebih
*) Hadits ini mursal, yang berarti tidak kuat.

dahulu sebelurn mencium Hajar Aswad ini dan tidak pula mengangkat tangan ke arahnya, j uga tidak mengucapkan. “Aku berniat dengan thawafku ini tujuh kali”, tidak pula memulainya dengan takbir, tidak mencium atau memeluk Hajar Aswad dengan seluruh badannya. Beliau juga tidak berdoa saat di pintu Ka’bah, tidak pula di samping Ka’bah maupun di salah s atu rukunnya. Tidak ada dzikir yang beliau ucapkan saat thawaf. Tapi ada dzikir yang diriwayat¬kan dari beliau saat berada di antara dua rukun, yaitu,
Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari siksa neraka.”
Be I iau mempercepat jalan saat thawaf pada putaran tiga yang terakhir. api dengan iangkah-langkah kaki yang lebih pendek. Beliau menyelernpang¬kan kain di atas salah satu pundak (kiri) dan memperlihatkan pundaknya yang ;ain (kanan) dan bahunya. Setiap kali lewat di depan Hajar Aswad, beliau memberi isyarat kepadanya dengan tongkatnya lalu beliau memeluk tongkat itu.
Diriwayatkan bahwa beliau mencium Rukum Yamany, tapi tidak memeluknya dan tidak pula memeluk dengan tangan tatkala menciumnya. Ada riwayat bahwa beliau memeluk Hajar Aswad, ada pula bahwa beliau mencium beserta tangannya, dengan meletakkan tangan padanya, kemudian memeluknya. Adakalanya beliau mencium dengan tongkatnya. Jadi ada tiga cara dalam hal ini. Ath-Thabrany menyebutkan dengan isnad yang jayyid, bahwa tatkala mencium itu beliau mengucapkan,
ft,-;cf:Lbc)
“Dengan asma Allah, Allah Muhabesar.
Kemudian tatkala melewati Hajar Aswad pada thawaf berikutnya, beliau hanya mengucapkan Allahu Akbar dan tidak menciumnya.
Setelah selesai thawaf, beliau menuju belakang Maqam, seraya membaca ayat,
“Dan, jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. ” (Al – Baqarah: 125).
Kemudian beliau shalat dua rakaat. Posisi rnaqam antara beliau dan Ka’bah. Sesudah A1-Fatihah beliau membaca surat Al-Kafirun dan Itchlash. Seusai shalat beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menciumnya. Kemudian beliau inenuju Shafa dari pintu yang berbeda. Ketika mendekati Shafa, beliau membaca,
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah.” (Al-Bagarah: 158).
Beliau naik ke bukit Shafa sehingga dapat melihat Ka’bah. Dengan

menghadap ke arah Ka” bah, beliau mengesakan Allah dan mengagungkan¬nya, dengan mengucapkan,
“Tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu baginya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Tiada Rah selctin Allah semata, yang memenuhi janji-Nya, yang menolong hamba-Nya dan yang mengalahkan pasukan musuh semata,”
Di antara Shafa dan Marwah beliau juga mengucapkan hal yang sama tiga kali. Kemudian turun ke Marwah dengan berjalan kaki. Ketika menuruni Wady, beliau berjalan cepat, dan ketika melewati Wady dan jalannya menan¬jak, beliau berjalan biasa.
Setiba di Marwah beliau naik ke atas bukit lalu menghadap ke arah Ka’bah, sambil mengagungkan Allah dan mengesakan-Nya. Beliau me laku¬kan hat yang sama seperti ketika di Shafa. Ketika sa’inya selesai di Marwah, beliau memerintahkan orang yang tidak mempunyai hewan korban untuk bertahallul, dan tetap menetap di sana hingga hari Tarwiyah (sehari sebelum wuquf di Arafah).
Beliau menetap bersama orang-orang Muslim di dekat Makkah selama empat hari, dan selama itu beliau mengqashar shalatnya. Pada hari Kamis pagi, beliau dan semua orang-orang Muslim berangkat menuju Mina. Setiba di Mina, beliau turun dari hewan tunggangannya dan shalat zhuhur serta Ashar serta bermalam di sana. Keesokan paginya setelah matahari terbit beliau pergi ke Arafah. Bel iau mengambil jalan di samping kanan dari jalan yang biasa dilalui orang-orang pada zaman sekarang. Di antara para shahabat ada yang bertalbiyah, ada pula yang bertakbir. Beliau hanya diam saja dan tidak mengingkari perbuatan mereka. Bel iau mendapatkan kemah sudah didirikan di Namirah, sebuah dusun di sebelah timur Arafah. Bet iau singgah di tempat itu. Ketika matahari sudah tergelincir, beliau mem inta ontanya Al¬Qashwa’, lalu pergi lagi, hingga tiba di sebuah wadi di bilangan Uranah.
Di sana beliau menyampaikan khutbah yang amat agung dari atas punggung ontanya, yang di dalamnya beliau menyampaikan kaidah-kaidah
menghancurkan sendi-sendi kemusyrikan dan Jahiliyah. Dalam khutbahnya itu beliau menyampaikan hal-hal yang diharamkan, seperti yang juga diharamkan agama-agama samawi lainnya, baik yang berkaitan dengan darah, harta maupun kehormatan diri, meletakkan berbagai urusan Jahiliyah d i bawah telapak kakinya, mem batilkan sesembahan Jahiliyah, mewasiatkan perlakuan yang balk terhadap wanita, menyebutkan hak-hak wanita yang harus dipenuhi dan juga kewajiban-kewajibannya, para wanita itu berhak mendapatkan rezki dan pakaian secara layak, dan beliau tidak membuat pa¬tokan tertentu dalam hal ini. Beliau membolehkan swami memukul istri jika dia memasukkan orang lain yang tidak disukainya ke dalam rumahnya,

mewasiatkan kepada umat agar berpegang teguh kepada Kitab Allah, seraya mengabarkan bahwa mereka tidak akan sesat selagi mereka tetap berpegang kepadanya. Beliau mengabarkan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap Kitab Allah itu, lalu meminta mereka untuk mengatakan apa yang hendak Jikatakan dan dipersaksikan. Maka para shahabat berkata, “Kami bersaksi bahwa eng-kau telah menyampaikan, melaksanakan dan menyampaikan nasihat.- Lalu beliau menunjuk jarinya ke langit dan meminta agar mereka bersaksi kepada Allah tiga kali, dan memerintahkan agar mereka yang hadir saat itu menyampaikan isi khutbah ini kepada mereka yang tidak hadir. Beliau hanya menyampaikan satu kali khutbah.
Setelah selesai. beliau memerintahkan Bilal untuk adzan lalu iqamat. Beliau shalat zhuhur dua rakaat dengan rnerahasiakan bacaan, padahal saat :to hari uni’at. Hal ini menunjukkan bahwa rnusafir boleti tidak shalat Jum’at. Kemudian beliau memerintahkan Bilal untuk iqamat sekali lagi, lain
mendirikan shalat ashar dua rakaat. Sementara di tempat itu ada pendu-Juk Makkah yang juga ikut shalat bersama beliau, dengan cara mengqashar Jan menjama’. Di sini terkandung dalil bahwa perjalanan jarak yang pendek tidak perlu dibatasi dengan jarak tertentu.
Seusai shalat beliau naik hewan tunggangan dan melanjutkan perjalan
hingga tiba di tempat wuquf. Beliau wuquf di lereng bukit. Dengan meng-hadap ke arah Ka’bah, beliau berdoa, bertahlil dan merundukkan diri kepada Allah hingga matahari tenggelam. Beliau memerintahkan agar orang-orang naik lagi ke Uranah, dan mengabarkan bahwa seluruh tempat di Arafah adalah tempat wuquf. Beliau memerintahkan agar orang-orang tetap berada di tempat mereka masing-masing dan wuqufdi sana. Dalam berdoa di Arafah ini beliau mengangkat tangan ke arah dadanya, seperti orang miskin yang meminta uluran makanan. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya sebaik-baik doa adalah hari Arafah.”
Di dalam wuqufnya ini beliau mengucapkan doa,
“Ya Allah, bagi-Mu segala puji seperti yang kami ucapkan, dan ke-baikan dari apa yang kami ucapkan. Ya Allah, bagi-Mu shalatku, Thu¬dahku, hidupku dan matiku, kepada-Mu tempat kembaliku, bagi-Mu va Rabbi warisanku. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-
.
Mu dari adzab kubur, bisikan di dada dan urusan yang eel-al berai. Ya Allah, aku berlinclung kepada-Mu dari kejahatan yang di bawa angi n. ” (Diriwayatkan At-Tirmidzy).
Doa beliau yang lain,
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mendengar perkataanku, melihat tempatku, mengetahui rahasia clan penampakanku, tidak ada sesuatu pun yang terse mbunyi dari-Mu dari urusanku, aku adalah yang sengsara danfakir, yang meminta pertolongan danperlindungan, yang

takut dan peril’ dikasihani, yang mengakui do.sa-dosanya. Aku memo¬hon kepada-Mu dengan permohonan orang yang oilskin dan yang berdoa kepada-Mu dengan doa orang yang berdosa dan hina. Aku berdoa kepada-Mu dengan doa orang yang takut lagi tak tahu apa¬apa, sambil menekurkan luttttnya kepada-Mu, yang kedua matanya meneteskan air mata, dengan merendahkan jasadnya dan memburuk¬kan hidungnya. Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan aku dengan doa kepada-Mu ini orang yang celaka. Jadilah Engkau menyayangi aku dan mengasihi wahai sebaik-haik Dzat yang diminta, wahai se¬balk-balk Dzat yang memberi.”
Ahmad menyehutkan dari hadits Amr bin Sydaib. dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dzikir Nabi Shallallahu Alaihi wa S’allam yang paling banyak dibaca saat di Arafah adalah,
“Tiada flab selain Allah somata, yang dada .sekutu bagi-Nya. Bagi-Nva kerajaan clan bagi-Nya segala putt. Di Tangan-Nva kebaikan dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesucttu.”
Saat di Arafah itu pula turun ayat,
“Pada hart ini telah Kusem
purnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah: 3).
Di sana pula ada seseorang yang jatuh dari hewan tunggangannya dan meninggal dun ia. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerin-tahkan agar orang itu dikafani dengan kainnya, tidak boleh diberi vvewangian, dimandikan dengan air dan dicampuri dengan pohon bidara, kepala dan wajahnya tidak ditutupi train, dan beliau mengabarkan bahwa Allah akan mernbanizkitkan orang ini pada hail kiamat sambil bertalbiyah.
Dalarn kejadian ini terkandung dua betas hukum:
1. Kewajiban memandikan mayit.
2. Mayit bukan sesuatu yang naj is. Sebab andaikan najis, maka najisnya jus¬tru bisa bertambah saat is dimandikan.
3. Mayit itu dimandikan dengan air yang dicampur pohon bidara
4. Perubahan air dengan hal-hal yang suci tidak menghilangkan kesucian¬nya.
5. Orang yang claim keadaan ihram boleti dimandikan.
6. Orang yang sedang ihram boleh dimandikan dengan air yang dicampur pohon bidara.
7. Urusan kafan hams lebih dahulu diurus daripada urusan warisan. Sebab beliau memerintahkan untuk mengafani orang itu dengan dua lembar kainnya tanpa menanyakan warisan atau hutangnya.

S. Boieh membatasi jumlah kafi i dengan dua lembar kain.
Orang yang sedang ihram tick ‘c boleh mengenakan wewangian. Orang yang sedang ihram tide boleh menutup kepalanya.
II Orang yang sedang ihram tidak menutup wajahnya. Tapi sebagian
shahabat ada yang memperbolehkann,
r Tetap menjaL+a keadaan –! sudah meningaal.
Setelah m2+-1 ienggelam secara sempurna dan tidak ada lagi warna
Cil ufuk. heliau meni iggalkan Arafah dengan pelan. tapi tidak
Amah bin Zaid membonceng di belakang seraya bersabda. “Wahai manusia, henclaklah kalian dalam keadaan
karena kebajikan itu tidak dengan cara terburu-buru.”
Bei iau meninggalkan Arafah dari jalan yang berbeda dengan saat memasukinya. Begitulah kebiasaan yang dilakukan heliau saat berjalan me-.3.ksanakan hari besar. Beliau terus-menerus bertalbiyah dalam perjalanannya
i tanpatersela. Di tengah perjalanan beliau turun untuk buang air kecil, lalu wudhu’ sepintas lalu raja. Ketika Usamah berkata, “Waktunya shalat wahai Rasulullah”, maka beliau menjawab, “Tempat shalat di depanmu.”
Setiba di Muzdalifah beliau wudhu’ secara sempurna untuk shalat, memerintahkan mu’adzin untuk adzan dan disusul iqamat, lalu shalat magh
sebelum onta-onta diderumkan dan hewan-hewan lain ditambatkan. Seusai shalat rnaghrib beliau memerintahkan untuk menambatkan hewan dan menderumkan onta, lalu memerintahkan iqamat dan disusul shalat isya’, :anpa adzan lagi. Di antara maghribdan isya’ ini beliau tidak melakukan apa nun. Setelah itu beliau tidur dan bangun keesokan paginya.
Beliau tidak menghidupkan malam itu dengan shalat, dan tidak ada
7iwayat shah ih yang menyebutkan penghidupan ma’am dua ‘Id. Pada malam
beliau memerintahkan para keluarganya yang kurang kuat untuk pergi
ebih dahulu ke Mina sebelum fajar, dan malam itu rembulan tidak tampak
memerintahkan agar mereka tidak melempar jumrah kecuali setelah
matahari terbit. Adapun tentang had its yang menyebutkan bahwa Ummu
Salamah inelempar jumrah sebelum fajar, maka itu adalah hadits mungkar,
ang diingkari Ahmad dan lain-lainnya. Tapi setelah itu Ahmad juga menye
butkan had its Saudah dan juga hadits-hadits lain yang sama (ada yang
melempar jumrah sebelum matahari terbit). Karena itu dia berkata, “Sebe
narnya tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits ini. Beliau memerin
tahkan anak-anak agar tidak melemparjumrah kecuali setelah matahari terbit.
Tapi tidak salah bagi mereka untukmendahulukan melempar jumrah (sebe
lum matahari terbit). Begitu pula para wanita yang melakukannya sebelum
matahari terbit, karena alasan tertentu, seperti takut berdesak-desakan. lnilah
yang ditunjukkan As-Sunnah tentang diperbolehkannya melempar jumrah
sebelum matahari terbit, karena alasan tertentu, seperti orangnya sudah tua

atau sakit. Tapi bagi orang yang sehat dan kuat, maka hal itu tidak di per-bolehkan. Yang ditunjukkan oleh had its itu ialah mendahulukan pada saat rembulan tidak tampak, bukan pada slang hari.-
Ketika fajar sudah menyingsing, beliau segera shalat subuh, lalu pergi dengan naik hewan tunggangan hingga tiba di Masy’aril-Haram. Di sana beliau menghadap ke arah kiblat, berdoa, memohon, bertakbir, bertahlil dan berdzikir secara sungguh-sungguh. Beliau tetap berada di tempatnya itu, dan memberitahukan kepada orang-orang bahwa semua wilayah Muzdalifah adalah tempat wuquf. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan dengan membonceng Al-Fadhl. Dalam perjalanan ini beliau terus-menerus bertal¬biyah. Usamah berjalan di barisan terdepan dari orang-orang Quraisy.
Di tengah perjalanannya itu beliau memerintahkan Ibnu Abbas agar memungutkan batu-batu untuk melempar jumrah sebenyak tujuh biji, dan tidak membawanya dari bukit pada malamnya seperti yang dilakukan orang¬orang yang tidak mengetahui dan tidak pula memungutnya di tengah jalan pada ma lam hari. Beliau menggenggamnya di telapak, yang besarnya memang pantas untuk dilemparkan, seraya bersabda, “Batu semacam inilah yang kalian gunakan untuk melempar, dan jauhilah oleh kalian berlebih¬lebihan dalam agama. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dibinasa¬kan karena berlebih-lebihan dalam agama.- Setiba di Muhassir, beliau mem¬percepat jalan ontanya. Begitulah kebiasaan beliau di wilayah ini, yang di sana musuh-musuh Allah mendapat kebinasaan. Di tempat itulah pasukan penunggang gajah dibinasakan seperti yang dikisahkan Allah dalam Kitab¬Nya. Karena itu wilayah itu disebut Wady Muhassir, karena pasukan gajah dibinasakan di tempat itu, sehingga tidak bisa masuk ke Makkah.
Muhassir adalah padang antara Mina dan Muzdalifah. Sedangkan Al-Masy “aril-Haram tidak termasuk keduanya. Mina termasuk tanah haram (suci) yang juga disebut masy’ar. Sebenarnya Muhassir juga termasuk tanah haram, tapi bukan masy’ar. Muzdalifah termasuk tanah haram dan masy’ar. Tapi Arafah tidak termasuk masy’ar.
Bel iau me lalui jalan tengah, tidak terlalu menyamping, merupakan jalan untuk Jumrah Kubra, hingga tiba di Mina. Beliau tiba di tempat Jumrah Aqabah dan berhenti di bagian bawah lembah. Posisi Ka’bah ada di sebelah kiri beliau dan Mina ada di sebelah kanan beliau. Beliau menghadap ke arah Jumrah dengan tetap di atas hewan tunggangan. Bel iau melemparnya tanpa turun dari punggung hewan setelah matahari terbit, satu demi satu sambil bertakbir setiap kali lemparan batu dan menghentikan talbiyah. Salah satu dari Bilal atau Usamah yang selalu bersama beliau, memegang tali kekang onta beliau, dan yang lain memayungi beliau dari terik matahari dengan kainnya. Di sini terkandung pembolehan menggunakan payung bagi orang yang ihram.

Kemudian kembali ke Mina. Sesarnpai di sana beliau menyampaikan pidato yang agung, di dalam pidato itu beliau menyampaikan kesucian hari korban dan keutamaannya, kesucian Makkah di antara semua tempat. Beliau memerintahkan ketaatan dan kepatuhan kepada siapa pun yang memimpin mereka berdasarkan Kitab Allah dan hendaklah setiap orang mempelajari manasik haji dari beliau, lalu bersabda, “Boleh jadi tahun depan aku tidak lagi menunaikan haji.” Maka beliau mengajarkan manasik haji kepada mereka, menempatkan orang-orang Muhajirin dan Anshar di tempat masing,- masing, memerintahkan manusia agar tidak kembali kepada kekafiran setelah beliau, melarang sebagian membunuh sebagian yang lain di antara mereka, memerintahkan agar mereka menyampaikan apa yang telah beliau sam pai¬Lan. dan mengabarkan bahwa berapa banyak orang yang menyampaikan ustru lebih radar claripada sekedar mendengarkan. Bel iau juga menyampai-’Kan, “Seseorang tidak berbuat jahat, melainkan dia berhuat jahat terhadap jirinva sendiri.” Beliau menempatkan orang-orang Multajirin di samping kanan kiblat, dan orang-orang Anshar di sebclah kiri kiblat, scdangkan yang lain berada di sekitar beliau. Saat itu Allah membukakan pcndengaran semua manusia, sehingga penduduk Mina yang ada di rumah mereka masing¬rnasing hisa mendengar pidato beliau. Dalam pidatonya itu beliau bersabda. Semhahlan Rabb kalian, kerjakanlah shalat lima waktu kalian, puasalah bulan Ramadhan kalian dan taatlah kepada pemimpin kalian, niscaya kalian masuk surga Rabb kalian.” Saat itu beliau seperti menyampaikan kata perpi¬sahan, sehingga mereka menyebutnya Haji Wada’.
Kemudian beliau kembali ke tempat menyembelih korban di Mina. Tak kurang dari enam puluh tiga hewan korban yang beliau sembelih sendiri, kemudian menyuruh Ali untuk menyembelih sisanya hingga seratusan ekor, kemudian memerintahkan agar dagingnya dishadaqahkan kepada orang-orang m skin, begitu pula kulitnya, dan kalau pun menggunakan jagal, maka anal itu tidak boleh diberi dari hewan korban itu. Beliau bersabda, “Karni akan memberi upah tersendiri dari kami.”
Tidak ada riwayat bahwa beliau maupun shahabat yang mengom
prom ikan antara korban yang disembelih sewaktu haji dan hewan korban
Hasa. Yang pertama disembelih di Mina dan yang kcdua disembelih di tern
pat lain. Tentang perkataan A isyah, “Beliau menyemhc I h korhan atas nama
istri-istrinya dengan seekor sapi”, maka yang dimaksudkan adalah korban
sewaktu haji. karena mereka semua melakukan haji tamattu’, yang berarti
harus rnenycmbelih hewan korban, yang berarti beliau menyembelih atas
nama mereka. Tapi di sini ada yang musykil, karena jumlah mereka sembilan,
yang berarti lebih dari tujuh orang, padahal seekor sapi untuk tujuh orang.
Nieman ada perbedaan pendapat tentang jumlah orang yang bisa
berhimpun pada seekor sapi. Ada yang berpendapat, untuk tujuh orang, dan

ada yang berpendapat, untuk sepuluh orang. Dari beberapa hadits tentang masalah ini. ternyata hadits-hadits yang untuk tujuh orang lebih shahih dan lebih banyak. Jika dikatakan, onta sebanding dengan sepuluh ekor kambing, seperti yang pembagian untuk harta rampasan, agar pembagian itu adil. Tentang peruntukannya bagi tujuh orang, maka itu merupakan ketetapan syariat.
Beliau menyembelih hewan korban di tempatnya, yaitu di Mina, dan memberitahukan bahwa seluruh tempat di Mina merupakan tempat menyem-belih korban, dan jalan ke Makkah bisa dilalui dan jugs bisa digunakan untuk menyembelih korban. lni menunjukkan bahwa penyembelihan korban tidak hanya khusus di Mina saja, tapi siapa pun yang menyembelih dalam perjalanannya ke Makkah, diperbolehkan. Beliau ditanya, bagaimana jika dibuatkan lindungan untuk melindungi beliau dari terik matahari? Maka beliau menjawab, Tidak. Mina adalahtempat bagi siapa yang lebih dahulu tiba.” Ini menunjukkan bahwa setiap orang Muslim bersekutu terhadap Mina. Siapa yang telah lebih dahulu tiba hingga di suatu tempat di sana, maka dialah yang lebih berhak atas tempat itu hingga dia pergi dari sana, dan setelah itu dia tidak lagi berhak atas tempat tersebut.
Setelah menyempurnakan penyembelihan korban, beliau memanggil pencukur, yang kemudian is (Ma’mar) mencukur rambut beliau. Saat itu beliau bersabda, “Hai Ma’ mar, Rasul Allah memberikan kekuasaan kepada-mu dari semenjak cuping telinganya. Sementara di tanganmu ada pisau.”
Ma’mar berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, yang demikian ini benar-benar merupakan nikmat dan karunia Allah yang dilimpahkan atas diriku.”
Beliau bersabda,”Bagus. Kalau begitu aku mengiyakannya.” Di dalam riwayat lain beliau bersabda,”Peganglah.- Beliau memberi isyarat ke sebelah kanan. Ketika sudah selesai, beliau membagi rambutnya untuk dicukur or¬ang lain. Kemudian beliau memberi isyarat ke sebelah kiri samba bersabda, “Ke sini wahai Abu Thalhah.”
Beliau mendoakan tiga kali orang yang bercukur dan satu kali kepada orang yang memendekkan rambutnya. Hal ini menunjukkan bahwa mencukur merupakan ibadah yang sifatnya tidak mutlak dengan batasan tertentu.
Sebelum zhuhur beliau berangkat menuju Makkah sambil naik hewan tunggangan, lalu melakukan thawaf ifadhah, dan sama sekali tidak mela¬kukan thawaf yang lain. Beliau tidak mempercepat jalan saat thawaf wada’, tapi melakukannya pada thawaf qudum.
Kemudian beliau pergi ke Zamzam, yang saat itu orang-orang sedang mengambil dan meminumnya. Beliau bersabda, “Kalau bukan karena orang

orang mengalahkan kalian, tentu aku pun ikut mengambilnya bersama kalian.” Kemudian mereka memberinya empat cibukan yang berisi air Zainzam dan beliau meminumnya sambil berdiri. Lalu bagaimana dengan larangan minum sambil berdiri dari beliau? Ada yang menjawab, bahwa larangan minum sambil berdiri karena berdasarkan pilihan. Tapi alasan karena menurut kebutuhan adalah yang lebih pas. Setelah itu beliau kembali ke Mina.
Ada perbedaan pendapat, apakah beliau shalat zhuhur di Mina ataukah di Makkah? Pada hari itu Aisyah melakukan sekali thawaf dan sekali sa.y, ang dipisah antara untuk haji dan umrah. Pada hart yang sama Shafiyah juga melakukan thawaf, lalu datang haid. Maka dia memasukkanny a sebagai zhawafwadd. Telah ditetapkan dalam As-Sunnah, bahwa jika w an ha datang ;laid sebelum thav,, af, maka dia cukup dengan sekali thawaf dan sa’y. Jika datang bald setelah thaw of ifadhah, maka dia bisa menganggapnya sebagai thawaf wada’.
Pada had itu pula bcliau kembali ke Mina dan bermalarn di sana. Pada i.,:eesokanny a beliau menunggu hinggamatahari tergelincir. Setelah itu bcliau berjaian ke tempat Jumrah tanpa naik hewan tunggangan. Beliau memulai dengan Jumrah Ula yang tempatnya sctelah melewati masj id Khaif. Beliau meletnparnya dengan tujuh batu,dalam setiap lemparan beliau mengueapkan Allahu Akhar. lalu beralih ke Jumrah berikutnya. Beliau menghadap ke arah kiblat, menengadahkan tangan dan rnengucapkan doa yang panjang, kira-kira sama dengan selama membaca surat Al-Baqarah. Kemudian mendatangi Jumrah Wustha dan melemparnya.
Kemudian beranjak ke sebelah kiri wady. Di sana beliau menghadap ke arah kiblat, menengadahkan tangan dan berdoa seperti yang dilakukan sebelumnya. Kemudian mendatangi Jumrah Aqabah, memposisikan Ka’ bah di sebelah kiri, lalu metemparnya tujuh kali. Setelah itu kembali dan tidak berada di Jumrah Aqabah ini (tidak berdoa seperti Jumrah sebelumnya). Ada ang mengatakan, karena keterbatasan waktu. Tapi pendapat yang benar, karena doa beliau biasa dibaca pada saat ibadah, sebelum menyelesaikannya. Maka dengan selesainya melempar Jumrah Aqabah, selesai pula melempar Jumrah itu. Sementara doa di tengah ibadah adalah yang afdhal. Tapi saya masih tetap bertanya-tanya, apakah beliau melempar Jumrah itu sebelum ataukah sesudah shalat? Tapi menurut perkiraan saya yang lebih kuat, beliau melakukannya sebelum shalat. Sebab Jabir dan lain-lainnya berkata. “Beliau melempar Jumrah selagi matahari tergelincir.”
Dari semua rentetan haji yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi ita Sallam , terdapat enam tempat untuk memanjatkan doa, yaitu: Di atas Shafa, di atas Marwah, di Arafah, di Muzdalifah, saat melempar Jumrah Ula dan saat melempar Jumrah Wustha atau kedua.

Beliau menyampaikan khutbah dua kali di Mina, yaitu saat menyembe¬lih korban, dan kedua di pertengahan hari-hari tasyriq. Al-Abbas meminta izin kepada beliau untuk bermalam di Makkah heberapa malam sebagai ganti dari bermalam di Mina, karena hendak mengurus masalah air. Maka beliau mengizinkannya. Dia juga meminta izin untukmengurus onta saat bermalam itu di luar Mina, yaitu di tempat penggembalaan onta. Beliau memberikan rukhshah kepada orang-orang untuk melempar Jumrah pada hari penyembe¬lihan korban, lalu mereka bisa menghimpun melempar Jumrah dua hari setelah itu, dengan melempar pada salah satu dari dua hari tersebut.
Siapa yang mempunyai harta dan dikhawatirkan akan hilang, atau orang sakit yang dikhawatirkan akan ketinggalan, atau orang sakit yang tidak memungkinkan bermalam, maka me lemparnya menjadi gugur. Dia tidak mungkin maju dari dua hari itu, tapi harus menundanya hingga menyempur-nakan melempar Jumrah pada hari ketiga.
Pada hari ketiga setelah zhuhur beliau pergi ke Mihshab atau Abthah. Beliau mendapatkan Abu Rail sudah mendirikan tenda beliau di sana. Se¬kalipun tenda itu sangat berat, tapi dia mampu membawanya berkat taufik dari Allah dan tanpa disuruh oleh beliau. Beliau shalat zhuhur dan ashar di sana, begitu pula maghrib dan isya’, lalu tidur. Keesokannya pergi ke Makkah untuk melakukan thawaf wada’, yang dilakukan pada malam hari, tepatnya pada waktu sahur sebel um fajar.
Banyak orang berpendapat bahwa masuk Ka’bah termasuk sunat haji karena mengikuti Nabi Shallallahu A laihi waSallam. Padahal yang ditunjuk-kan As-Sunnah, beliau tidak pernah masuk Ka’bah saat menunaikan haji maupun umrah. Beliau memasuki Ka’bah saat Fathu Makkah. Begitu pula wuquf di Multazam. Yang diriwayatkan dari beliau, bahwa hal itu dilakukan saat Fathu Makkah. Tentang riwayat Abu Daud dari hadits Amr bin Syu’ aib, dar ayahnya, dari kakeknya, bahwa beliau meletakkan dada. wajah, lengan, telapak tangan sambil mengembangkannya, lalu dia berkata, “Begitulah kulihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam rnelakukannya”, maka bola jadi hal ini terjadi sewaktu thawaf wada’ atau pada kesempatan lain. Tapi Mujahid dan lainnya berkata, “Dianjurkan berada di Multazam setelah thawaf wada’.”
Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak keluar dari Makkah, sementara Ummu Salamah belum thawaf karena dia sakit dan dia juga ingin keluar bersama, maka beliau bersabda kepadanya, -Jika didengungkan iqamat untuk shalat subuh, maka thawaflah dengan naik ontamu, di saat orang-orang shalat subuh.” Maka Ummu Salamah mengerjakannya dan tidak ikut shalat hingga dia keluar dari sana. Tentu solo ini mustahil terjadi pada hari penyembelihan korban. Berarti yang dilakukan Ummu Salamah itu adalah thawaf wada’.

Dari sini juga dapat disimpulkan bahwa beliau shalat subuh di Makkah pada hari itu, dan Ummu Salamah mendengar beliau membaca surat Ath-Thur. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.
Setiba di Ar-Rauha’, beliau bertemu dengan sekumpulan orang. Beliau mengucapkan salam kepada mereka, seraya bertanya, “Siapakah kalian?” “Katni orang-orang Muslim,” jawab mereka.
“Lalu siapakah kalian?” mereka ganti bertanya.
“Aku adalah Rasul Allah,” jawab beliau.
Ada seorang wanita yang mengangkat bayinya, dan bertanya. “Apakah ini juga mendapat pahala haji?”
Beliau menjawab, “Ya, dan engkau pun mendapatkannya.-
Setiba di Dzul-Hulaifah, beliau bermalam di sana, dan ketika Madinah sudah terlihat, beliau bertakbir tiga kali, sambil rnengucapkan doa tiba dari 7,edalanan. Beliau masuk Madinah pada siang hari dari jalan Al-IVIa’arras, Jan ketika berangkatnya melewati jalan Asy-Syajarah.
Tuntunan Rasulullah tentang Hewan Sembelihan, Korban dan Aqiciah
Hcwan yang dapat dijadikan korban adalah delapan pasang yang disebutkan di dalam Al-An’am: 143. Tidak pernah disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Ala/hi wa Sallam atau seorang pun dari para shahabat, adanya hewan korban selain dari delapan pasang itu. Inilah yang bisa disimpulkan dari Al-Qur’an, yang terhimpun dalam empat ayat,
“Dihalalkan hagi kalian binatang ternak.” (Al-Maidah: 1).
“Dan, supaya mereka menyebut a.s.ma Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah herikan kepada mereka, herupa binatang ternak. ” (Al-Hajj: 28).
“Dan, di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk peng¬angkutan dun ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rezki yang telah diherikan Allah kepada kalian, danjanganlah kalian mengikuti langkah-langkah .svelan. Sesungguhnya svetan itu musith yang nyata bagi kalian, (vaitu) delapan hinatang yang berpasangan„svpa.sang dari domba dan sepasang dari kambing. Katakarilah, Apakah duct yang jantan yang clihurcunkan ataukah dua yang bet ill(’ ataukah yang ada a dalam kandungan duct betinanya?’” (Al-An’am: 142-143).
“Yung dibawa sampai ke Ka ‘bah.” (AI-Maidah: 95).
In i menunjukkan bahwa binatang ternak yang dibawa ke Ka’ bah ada¬lab delapan pasang tersebut di atas. Begitulah yang disimpulkan Ali bin Abu Thal ib. Adapun jenis sembe I ihan yang merupakan ibadah dan qurban kepada Allah ada tiga macam: Binatang ternak yang disembelih ketika haji, hewan

korban dan aqiqah. Beliau pernah menyembelih binatang di waktu haji. beru¬pa kambing dan onta, menyembelihnya bagi istri-istri beliau, menyembelih ketika umrah, ketika bermukim dan ketika haji. Di antara sunnahnya ialah mengikat binatang korban itu dan tidak memberinya tanda dengan menoreh kulitnya. Jika beliau mengirimkan hewan korbannya. maka beliau tidak mengharamkan sedikit pun dari dagingnya dan menghalalkannya. Jika beliau menyembelih onta sebagai korban sewaktu haji, maka beliau mengikatnya dan juga memberinya tanda, dengan cara sedikit menoreh kul it di bagian punuk kanannya, hingga darahnya keluar dari torehan itu. Torehan pada punuk ini tidak membuatnya merasa sakit sedikit pun.
Beberapa shahabat bergabung dalam menyembelih korban, seekor onta untuktujuh orang, begitu Pula sapi. Orang yang membawa hewan korban itu boleh menaikinya secara baik, kalau memang hal itu diperlukan, sampai akhimya dia mendapatkan hewan lain yang bisa dinaiki. Air susunya juga boleh diminum. Begitu kata Ali bin Abu Thalib.
Di antara tuntunan beliau saat menyembelih onta ialah menyembelih¬nya saat onta pada posisi berdiri, diikat pada kaki kirinya. Saat menyembelih beliau membaca tasmiyah dan bertakbir. Hewan korban untuk haji disembe¬lih oleh beliau send iri, dan pada kesempatan lain beliau mewakilkannya kepada orang lain, sebagaimana beliau rnenyuruh Ali untuk menyembelih sisanya hingga seratus ekor. Saat menyembelih kambing, beliau menginjak¬kan kaki pada bagian leher atas, membaca tasmiyah, bertakbir lalu menyem¬belihnya. Beliau memperbolehkan umatnya untuk mernakan dari sebagian hewan korban atau yang korban saat haji. dan bah kan boleh berbekal dengannya. Tapi beliau pernah melarang untuk menyimpannya hingga tiga hari, karena pada tahun itu terjadi paceklik yang menimpa manusia.
Di antaratuntunan beliau ialah menyernbelih hewan korban di Marwah saat umrah. korban haji qiran di Mina, dan begitulah yang dilakukan Ibnu Umar. Beliau tidak menyembelihnya kecuali setelah tahallul dan tidak pula menyembelihnya sebelum hari penyembelihan korban dan tak seorang pun di antara shahabat yang melakukannya. Beliau menyembelih hewan korban setelah matahari terbit dan setelah melempar Jumrah. Ada empat rentetan yang dilakukan pada hari penyembelihan korban: Melempar Jumrah, me¬nyembel ih, mencukur dan thawaf. Tidak ada rukhshah penyembelihan sebe¬lum matahari terbit. B i la dilakukan, berarti bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau. Jika disembelih sebelum matahari terbit. maka hukum¬nya sama dengan penyembelihan biasa.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Salim?? tidak pemah ketinggalan menyem¬belih korban (tidak pada saat haji atau umrah). Beliau biasa menyembelih dua gibas, yang disembelih setelah shalat ‘Id, dan beliau mengabarkan bahwa siapa yang menyembelih sebelum shalat maka itu sama sekali bukan

korban, tapi merupakan penyembelihan biasa, sebagaimana layaknya me-nyembelih hewan untuk keluarganya. lnilah Sunnah dan tuntunan beliau. Yang menjadi pertimbangan bukan karena waktu shalat atau khutbahnya, tapi memang begitulah yang beliau lakukan, dan begitulah seharusnyakita melak¬sanakan agama Allah. Bel iau juga memerintahkan mereka untuk menyern¬belih anak domba (yang sudah berumur enam atau tujuh bulan), atau yang sudah lepas giginya.
Diriwayatkan dari beliau, “Setiap hari tasyriq bisa dilakukan penyem-belihan korban”. Tapi sanadnya terputus, yang berarti tidak kuat.
Tentang larangan menyimpan daging korban lebih dari tiga hail, hukan berarti mentinjukkan diperbolehkannya menyernbelih hewan korban hingga tiga hari. Sebab hadits in i merupakan dalil larangan bagi orang yang bekorban untuk menyimpannya dagingnya lebih dari tiga. Andaikan dia boleh menunda penyembelihan hingga hari ketiga, tentunya dia boleh menyimpannya tiga hari laei setelah itu. Mereka yang ingin membatasinya tiaa hari penyembeti¬han, memahami larangan menyimpan daging korban lebih dari tiga hari, yang dihitung sejak hari pertama korban. Mereka berkata, “Tentu saja penyem-belihan tidak bisa disyariatkan pada hari ada larangan memakannya. Maka kemudian pengharaman makan itu dihapuskan, sehingga yang menyisa adalah waktu penyembelihan.”
Dapat di katakan kepada mereka, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu .41aihi tiva Sallam tidak melarang kecuali menyimpan daging korban dari tiga hari, dan tidak menyinggung larangan penyembelihan korban setelah tiga hari itu. Tentu saja keduanya jauh berbeda, dan tidak ada kaitan antara apa yang di larang dengan pengkhususan penyembelihan pada tiga hari.”
Di antara tuntunan beliau, bahwa siapa yang hendak bekorban dan sudah memasuki hari kesepuluh, hendaknya dia tidak mengambil cfari bulu hewan korban atau kulitnya sedikit pun. Hal ini disebutkan di dalam Shahih Muslim. Tuntunan beliau ialah mem iliki hewan yang bagus, sehat dan tidak carat. Bel iau melarang hewan yang putus telinga atau tanduknya atau patali separo lebih. Mata dan telinga hewan korban juga harus dicek kenormalan¬nya. Beliau juga melarang hewan yang buruk, yang telinga bagian depan atau bclakangnya putus, yang te I inganya terbelah atau pecalt.Juga diriwayatkan dari he I iau, ada empat macam hewan yang tidak diperbolehkan sebagai korban: Cacat dan nyata cacatnya. sakit dan nyata sakitnya, yang pincang dan nyata pi ncangnya, serta yang kurus sekali.
Tuntunan beliau ialah menyernbelih hewan korban di tempat shalat, seperti yang diriwayatkan Abu Daud dari Jabir, bahwa dia pernah meithat hewan-hewan korban di tempat shalat. Seusai khutbah, beliau turun dari mi mbar dan mem inta dihadirkan seekor gibas, lalu beliau send iri yang me¬nyembel ihnya, dengan mengucapkan,

“Dengan asma Allah, Allah Mahabesar, ini dariku dan dart orang yang tidak bisa bekorban dart umatku.”
Begitu pula yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa beliau menyembelih hewan korban di tempat shalat.
Abu Daud meriwayatkan bahwa menyembelih dua ekor gibas pada hart korban, yang warnanya putih berearnpur hitam dan Ketika sudah menghadapinya, beliau bersabda,
“Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang menc iptakan langit dan bumf dengan lurus, dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku untuk Allah Rabbul-alamin, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan kepada yang demikian itu aku diperintahkan, dan aku termasukyangpertama-tama berserah dirt. Ya Allah, dart-Mu dan bagi-Mu, dart Muhammad dan umatnya, dengan asma Allah, Allahu Akbar.”
Setelah itu beliau menyembelihnya. Beliau juga memerintahkan orang-orang untuk melakukan penyembelihan dengan cara yang baik. Artinya dengan cara mempercepatnya, dan jika mereka membunuh binatang, hendaklah melakukannya dengan cara yang balk pula. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebajikan atas segala se
suatu. ” (Ditakhrij Muslim).
Daging korban bisa dibagi untuk orang yang bekorban dan sanak keluarganya, sekalipun jumlah mereka banyak.
Tuntunan Rasulullah tentang Aqiqab
Di dalam Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam clitanyatentang aqiqah. Maka beliau menjawab, “Aku tidak menyukai pegadaian.” Seakan-akan beliau tidak menyukai istilah aqiqah atau uquq. Dalam riwayat disebutkan, mereka berkata, -Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kita harus menyembelih hewan karena anaknya?” Beliau menjawab, “Siapa di antara kalian suka menyembelih hewan karena anaknya, maka dia botch melakukannya, yaitu dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan.”
Ada riwayat shahih dart Aisyah, beliau bersabda,
“Untuk unak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing.” (Ditakhrij At-Tirmdizy, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Beliau juga pernah bersabda,

“Setiap anak tergadaikan dengan aqigahnya. Pada hari ketujuh (dari kelahirannya) disembelihkan (kambing) dan dicukur rambutnva serta diberi nama.” (Ditakhrij Ahmad, Abu Daud, At-Tirrnidzy dan An¬Nasa’ y).
Ar-Rahn menurut bahasa berarti tertahan. Artinya, seorang anak tidak mendatangkan syafaat bagi kedua orang tuanya. Menurut zhahir hadits, anak tergadaikan bagi dirinya, terhalang dan tertahan dari kebaikan yang dikehen¬daki darinya, tapi dia tidak layak mendapat siksa atas hal ini di akhirat. Jika dia tertahan dari kebaikan itu karena kedua orang tuanya tidak me laksanakan 1.”; qah maka anak tidak mendapatkan kebaikan karena kelalaian kedua orang tuanya, sekalipun memang itu bukan karena perbuatannya sendiri, seba2ai¬rnana yang terjadi saat jima’. Jika kedua orang tuanya menyebut asma Allah
an berdoa. maka syctan tidak bisa mendatangkan mudharat kepada anaknya. Jika tidak melakukannya, maka anak yang dihasi lkan dari jima’ itu tidak terlindung dari syetan.
Hat ini mernbuktikan bahwa agigah ini mendekati keharusan, yang keharusannya digambarkan dengan tergadaikan. Berangkat dari sinilah ada orang yang mewaj ibkan aqiclah, seperti Al-Laits bin Sa’d, Al-Hasan Al-Bash¬ry dan Ahli zhahir.
Abu Daudineriwayatkan di dalamAl-Marasil, dari Ja’ far bin Muham¬mad, dari ayahnya, bahwa ketika Fathimah mengaq iqahi Al-Hasan dan Al-Husain, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kirimlah utusan ke rumah di depan untuk menyerahkan daging bagian kaki, lalu makanlah kalian dan berikanlah kepada orang-orang serta janganlah kalian memotong tulang-tulangnya.” (Ditakhrij Al-Baihaqy).*)
Ibnu A iman menyebutkan dari hadits Anas RadhiyallahuAnhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengagiqahi diri sendiri setelah menerima nubuwah. Tapi hadits ini dha’ f.
Abu Daud menyebutkan dari Abu Rafi’, dia berkata, “Aku melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumandangkan adzan di telinga Al¬Hasan bin Ali saat is dilahirkan ibunya, Fathimah.” (Ditakhrij Abu Daud, At¬Tirmidzy dan Al-Baihaciy).”)
Tuntunan Rasulullah tentang Nama Anak dan Khitannya serta Julukan
Pemberian nama dan khitan dilakukan pada hari ketujuh setelah kela¬hiran anak. Tapi Ibnu Abbas mengatakan, “Oran-orang tidak mengkhitan
” Di dalam sanadnya ada vane terputus, berarti hadits ini tidak kuat.
• Di dalam sanadnva ada Ashim bin Abdu[lah, dia adalah dha' if. Tapi ada hadits ihnu Abbas yang diriwayatkan Al-Baihagy. yang meneuatkan hadits ini.

kan anaknya hingga anak itu mengetahuinya.- A l-Hasan tidak suka anak dikhitan pada hari ketujuh. Abu Abdullah berkata. "Kalaupun anak dikhitan pada had ketujuh, tidak apa-apa. Dan kalaupun Al-Hasan tidak suka khitan pada hari ketujuh, itu karena dia tidak suka menyerupai orang-orang Yahudi. Tapi ini pun juga tidak menjadi masalah."
Makhul berkata, "Ibrahim mengkhitani anaknya pada hari ketujuh, sedangkan Isma'iI dikhitan pada umur tiga belas tahun."
Syaikhul-I slam lbnu Taimiyah berkata, "Pengkhitanan lshaq menun-jukkan bahwa khitan ini merupakan sunnah pada anak-anaknya, begitu pula pada anak keturunan Ism&
Telah diriwayatkan dad Nabi Shallallahu Alaihi Sallam, bahwa
beliau bersabda,
"Sesungguhnya nama yang paling Nina di sisi Allah ialah seseorang yang me naincti dirinya raja diraja, padahal tidak ada raja melainkan Allah." (Ditakhrij AI-Bukhary).
Beliau juga bersabda,
"Naina-nama yang paling di.sukai Allah adalah Abdullah dan Abdur¬rahman. Yang paling benar adalah Harits dan Hammam. Yang paling buruk adalah Harb dan Murrah." (Ditakhrij Muslim).
"Janganlah engkau menamai anakmu Yasar, Rabah, Najih atau
Karena engkau akan berkata, 'Apakah memang dia begitu? Tidak
akan terjadi. Lalu dia menjawab, `Tidak (Ditakhrij Muslim).
Beliau pernah mengganti nama Ashiyah (wanita durhaka) menjadi Jamilah. Beliau mengganti Juwairiyah I3arrah (Juwairiyah yang bersih dari kesalahan) menjadi Juwairiyah saja. Lalu Zainab binti Ummu Salamah ber-kata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang nama ini seraya bersabda, 'Janganlah kalian menganggap diri kalian suci. Allah lebih menge-tahui tentang orang yang suci di antara Beliau mengganti nama Abul-Hakam menjadi Abu Syuraih, karena Al-Hakam adalah asma Allah. Beliau juga mengganti nama Ashram (orang miskin lagi banyak anaknya) menjadi Zar' ah, mengganti nama Hazan (sedih) menjadi Sahl (mudah).
Abu Daud meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengganti nama Al-Ashi, Uzair, Atlah, Sy aithan, Al-Hakam, Ghurab, Hubab, Syihab.Nama Syihab diganti menjadi Hisyarn, Harb menjadi Salam, Al-Mudhthaj i menjadi Al-Mumba' its. Beliau juga mengganti daerah yang bernama Afrah (berdebu dan tandus) menjadi Khadh irah (subur), mengganti nama perkampungan Dhalalah (sesat) menjadi Hidayah (petunjuk),Ineng¬ganti nama Ban i Mughwiyah menjadi Risydah.
Mengingat nama itu menunjukkan kepada makna yang dikandungnya, maka sudah ada ketetapan hikmah untuk mengaitkan antara keduanya, maka janganlah makna yang menyertainya hanya sekedar unsur sampingan yang

tidak terkait dengannya, karena hikmah Allah tidak menghendaki yang seperti itu. Nama mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap sesuatu yang dinamai dan sesuatu yang dinamai dipengaruhi oleh namanya. balk buruknya, berat ringannya, tebal tipisnya.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyukai nama yang bagus dan beliau memerintahkan agar utusan yang menghadap kepada beliau memiliki nama yang indah dan wajah yang bagus. Beliau juga biasa mengartikan dari nama sesuatu, baik tatkalatidur maupun terjaga. Sewaktu beliau dan beberapa orang shahabat herada di perkampungan Uqbah bin Rafi', maka mereka disuguhi huah korma yang, masih segar dari I bnu Thaba. Maka beliau Lang-sung memberikan penakwi Ian, hahwa orang-orang di perkampungan itu akan memiliki ketenaran dan kesudahan yang baik di akhirat, dan agama yang telah dipilih Allah bagi mereka akan menjadi segar dan baik. Bel iau juga menak
kemudahan utusan saat perjanjian Hudaibiyah, ketika melihat keda¬tangan Suhail bin Amr. Suhail artinya orang yang memiliki kemudahan sekalipun hanya sedikit.
Beliau pernah meminta beberapa orang untuk memerah susu domba. Maka ada seseorang yang berdiri hendak memerahnya. Beliau bertanya, "Siapa namamu?"
Orang itu menjawab, "Murrah." Yang artinya pahit.
Beliau bersabda, "Duduklah."
Lalu ada orang kedua yang bangkit. Beliau menanyakan namanya. Orang itu menjawab, "Harb." Yang artinya perang.
• Beliau menyuruhnya duduk. Lalu ada orang ketiga yang berdiri. Beliau menanyakan namanya, dan orang itu menjawab, "Ya' isy." Yang artinya hidup. Maka beliau memperbolehkan orang itu memerah susu domba itu.
Beliau juga tidak menyukai nama-nama tempat yang maknanya diingkari dan beliau tidak mau melewati tempat itu. Suatu kali dalam suatu peperangan, beliau hendak melewati jalan yang diapit dua bukit. Ketika beliau menanyakan nama jalan itu, mereka menjawab, "Namanya Fadhih dan Mukhzi." Yang pertarna artinya ternoda dan yang kedua artinya memalukan. Maka beliau tidak mau melewatinya dan memilih jalan lain.
Mengingat antara nama dan sesuatu yang dinamai mempunyai keter-Laitan dan kedekatan, seperti halnya pembungkus dan isinya, atau seperti jiwa dan raga, maka yang terlintas dalarn akal ialah kait-mcngait di antara kedua¬nya. Maka ketika lyas bin Mu'awiyah dan rekan-rekannya met i hat keadaan seseorang, maka dia langsung membuat perkiraan hahwa nama orang itu begini dan begitu. Ternyata memang nama orang yam?, bersangkutan tidak jauh menyimpang dari perkiraan itu, yaitu adanya keterkaitan antara keadaan¬nya dan namanya.

Suatu ketika Umar bin A 1-Khaththab bertanya kepada seseorang, "Siapa namamu?"
"Jarnrah," jawab orang itu, yang artinya bara api.
"Siapa nama ayahmu?" tanya Umar.
"Syihab," jawabnya, yang artinya jilatan lidah api.
"Dari mana asalmu?" tanya Umar.
"Dari Huraqah," jawabnya, yang berarti terbakar.
"Di bilangan mana tempat tinggalrne- tanya Umar.
"Di Harratin-Nar," jawabnya, yang berarti panasnya api. "Di mana kampungmu?" tanya Umar.
"Di Dzati Ladza," jawabnya, yang berarti membara.
Umar berkata. "Pergilah, karena rumahmu terbakar."
Ketika orang yang dimaksudkan itu pulang, ternyata apa yang dikata¬kan Umar itu menjadi kenyataan. Umar biasa menghubungkan Iafazh kepada ruhnya, sebagaimana Rasulul lah ShallallahuAlaihi wa Salim yang mengar-tikan nama Suhail kepada kemudahan urusan saat menetapkan perjanjian Hudaibiyah. Padahal sebelum kedatangan Suhail, pembicaraan mengenai butir-butir perjanjian berjalan amat alot dan bahkan buntu. Beliau memerin¬tahkan umatnya untuk membaguskan nama dan mengabarkan bahwa mereka akan dipanggil dengan nama mereka pada hari kiamat. Di sini juga terkan¬dung peringatan agar membaguskan perbuatan, yang disesuaikan dengan pembagusan nama, agar panggilan itu pun menjadi bagus.
Perhatikan sifat Rasulullah ShallallahuAlaihiSallam yang diam¬bilkan dari dua nama yang hampir serupa maknanya, yaitu Ahmad dan Muhammad. Karena banyaknya sifat-sifat yang terpuj i, maka beliau disebut Muhammad, dan karena kemuliaan dan kelebihannya di atas sifat-sifat yang lain, maka beliau disebut Ahmad. Nama berkait dengan sesuatu yang dina¬mai, seperti kaitan ruh dan jasad. Begitulah sebutan Abu Lahab yang diberi¬kan Allah kepada Abdul-Uzza, karena dia akan menuju neraka yang apinya nnenjilat-jilat. Julukan ini sangat tepat dan pas untuk keadaan dirinya.
Ketika Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam tiba di Madinah, yang nama sebenarnya adalah Yatsrib, sementara yang dikenal juga hanya nama itu, maka beliau menjulukinya Thaibah (yang bagus, lezat, subur). Yatsrib artinya tidak ada cercaan. Nama yang kedua ditambahkan ke nama pertama, sehingga semakin bagus.
Karena nama yang bagus itu bisa mengimbas kepada apa yang dina¬mai, maka beliau pernah bersabda kepada sebagian kabi lah Arab yang beliau seru kepada Allah dan tauhid. "Wahai Bani Abdullah, sesungguhnya Allah telah membaguskan nama kalian dan nama bapak kalian." Begitulah cara beliau dalam rnengajak kepada ibadah dengan memanfaatkan kebagusan nama ayah mereka.

Perhatikan nama enam orang yang beradu tanding saat perang Badr, Yang kesudahannya sesuai dengan nama dan keadaan mereka saat itu. Dari 1;.alangan orang-orang kafir muncul Syaibah, Utbah dan Al-Walid, nama-na¬ma yang mengandung pengertian lemah. Al-Walid adalah permulaan kondisi lemah. Syaibah berarti kesudahan kondisi lemah. Utbah berasal dari kata al-atab, yang berarti celaan. Nama-nama mereka itu menunjukkan celaan yang menimpa mereka dan kelemahan yang menghinggapi mereka. Sementara lawan tandingnya dari pasukan Muslimin adalah Ali, Ubaidah dan Al-Harits,
nama yang pas dengan sifat-sifat mereka, yaitu ketinggian untuk nama Ali. ubudiyah untuk nama Ubaidah dan usaha cocok tanam untuk Al-Harits. \lereka dapat mengalahkan lawan tandingnya dari pasukan kafir dengan ketinggian, ubudiyah dan usaha mereka untuk tanaman akhirat.
Nama yang paling disukai Allah ialah yang mencerminkan sifat-sifat yang paling disukai-Nya, seperti Abdullah dan Abdurrahman. Penambahan ubudiyah kepada nama Allah dan kepada nama Ar-Rahman, lebih Dia sukai daripada penambahan kepada nama-nama Allah yang lain, seperti A l-Qadir dan Al-Qahir. Maka nama Abdurrahman lebih disukai Allah daripada nama Abdul-Qadir, nama Abdullah lebih disukai Allah daripada nama Abdi Rabbah. Sebab keterkaitan antara hamba dan Allah terletak pada ubudiyah semata, sedangkan keterkaitan antara Allah dengan hamba adalah rahmat semata. Dengan rahmat-Nya hamba menjadi ada dan keberadaannya menjadi sempurna. Tujuan Allah menciptakan hamba adalah agar dia menjadikan Allah sebagai sesembahannya semata. mencintai dan takut kepada-Nya. sehingga dia menjadi hamba bagi Allah. Ilarnba menyembah Allah, karena di dalam nama Allah terkandung makna uluhiyah, yang tidak layak dibcrikan kepada selain-Nya. Karcna rahmat Allah mengalahkan murka-Nya, maka rahmat lebih disukai Allah daripada murka. Karena itu nama Abdurrahman lebih disukai Allah daripada nama Abdul-Qahir.
Karena setiap hamba itu bergerak dengan kehendak, sementara hasrat merupakan permulaan kehendak, dari kehendaknya ini muncul tindakan dan gerakan, maka nama yang paling benar dan jujur adalah Harnmam dan Harits. Sebab apa yang dinamai dengan dua nama ini tidak terpisah dari hakikat maknanya. Karena kerajaan yang sebenarnya adalah milik Allah semata, dan tidak ada raja da lam pengertian yang hakiki kecuali Dia, maka nama yang paling buruk dan paling hina di sisi Allah serta yang paling dimurkai-Nya adalah nama Syahansyah, yang artinya raja segala raja, sultan segala sultan. Yang dernikian ini tidak layak dimiliki seorang pun selain Allah. Maka penamaan itu merupakan kebatilan yang paling bath, dan Allah tidak menyu¬kai kebatilan.
Ketika sebagian u lama ada yang diberi gelar Qadhil-qudhat yang berarti hakim segala hakim, maka dia berkata, "Tidak ada hakim segala

hakim kecuali yang menghakirni secara hay dan Dialah sebaik-baik yang membuat keputusan, yang j ika menetapkan sesuatu. maka Dia berkata, fah', maka jadilah ia."
Nama-nama berikut juga termasuk nama yang dimakruhkan, buruk dan mengandung kedustaan, seperti Sayyidun-nas (pemimpin semua manusia), Sayyidul-Kulli (pemimpin segala-galanya). Yang dcinikian ini hanya layak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu Aloihi Iva Sallam secara khusus, sebagaimana.yang- beliau sabdakan, "Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat dan tidak ada kebanggaan." (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
Karena para nabi adalah pemimpin-pemimpin bani Adam, akhlak me-reka adalah akhlak yang paling mulia, amal mereka adalah amal yang paling shalih, maka nama mereka adalah nama-nama yang paling mulia. Karena itu Nabi ShallallahuAlaihi waSallam menganjurkan umatnya untuk memberi¬kan nama seperti nama-nama mereka, sebagairnana yang disebutkan di dalam Sunan Abu Daud dan An-Nasa'y, beliau bersabda,
"Berilah nama dengan nama-nama para nabi.
Karena yang demikian itu akan mcmberikan imbas pengaruh terhadap sesuatu atau orang yang dinamai, di samping untuk mengabadikan nama¬nama para nabi, agar tidak terlupakan.
Tentang larangan menamakan anak dengan nama Yassar (orang yang mendapatkan banyak kemudahan), Allah (orang yang paling beruntung), Najih (orang yang selalu selarnat), Rabbah (orang yang banyak laba), maka hal in i karena adanya makna lain seperti yang diisyaratkan dalam hadits beliau, "Engkau akan bertanya, `Apakah mernang dia begitu?' Maka akan dikatakan, `Tidak'."
Telah ada ketetapan hikmah pembawa syariat yang sangat mengasihi dan menyayangi umatnya, dengan mencegah mereka dari sebab-sebab yang membuat mereka mendengarkan hal-hal yang tidak disukai atau sesuatu yang akan terjadi, yang berbeda dengan nama yang diberikan. Scbagai misal, sese-orang dinamai Yassar, sementara dia justru orang yang paling banyak menda-patkan kesulitan. atau dia diberi nama Najih tapi kenyataannya justru apes terus, atau diberi nama Rabbah tapi kenyataannya selalu merugi. yang akhir¬nya bisa inembuatnya membuat kedustaan terhadap Allah. Di samping itu, dia akan selalu dituntut untuk merealisir sesuatu sesuai dengan namanya, padahal dia tidak mcmpunyai kesanggupan untuk itu, lalu hal ini menim¬bulkan cemoohan bagi dirinya. Dikatakan dalam sebuah syair.
Mereka menamaimu Si Benar karena kebodohan
padahal kehenaran itu tidak ado pada dirimu
engkau dikenal penuh dengan kerusakan
karena kerusakan itu merupakan duniamu.

Begitu pula dengan pujian, yang justru menjadi celaan yang menjatuh¬kan martabat orang yang dipuj i di tengah manusia, karena dia dipuji dengan sesuatu yang sama sekali tidak ada pada dirinya. Maka semua manusia me-nuntut realisasi pujian itu, yang ternyata tidak ada pada dirinya, sehingga puji¬an itu pun berbalik menjadi cemoohan. Sekiranya dia dibiarkan begitu saja tanpa ada pujian, tentu diatidakakan mendapat cemoohan.Keadaannyasama dengan pejabat yang buruk reputasinya, lalu dia dicopot dari jabatanny a, yang membuat martabatnya lebih rendah daripada keadaannya sebelum menjadi pejabat dan manusia tidak lagi menghormati dirinya.
Di samping itu, pada diri orang yang diberi nama bisa muncul anggap¬an dan keyakinan bahwadirinya seperti nama yang diberikan kepadanya, lalu menganggap dirinya hebat dan suci, lebih hebat dari orang lain. lni lah makna yang terkandung dalam larangan Nabi Shallallahu Alarhr we Sallam untuk memberi nama Barrah kcpada anak, yang berarti bersih dari kesalahan. Dalam hal ini beliau bersabda, "Janganlah kalian menganggap dirimu suci. Allah lebih mengetahui tentang orang yang suci di antara kalian."
Atas dasar ini pula dimakruhkan nama At-Taqy atau Al-Muttaqy (orang yang bertakwa), Al-Muthi', (orang yang taat), Ar-Radhy (orang yang ridha), Al-Muhsin (orang yang baik), Al-Mukhlish (orang yang ikhlas), A l¬Munib (orang yang kembali kepada Allah), Ar-Rasyid (orang yang mendapat petunjuk), As-Sadid (orang yang benar). Sedangkan penamaan orang-orang kafir dengan nama-nama itu, sama sekali bukan merupakan doa bagi mereka dan pengabaran tentang, keadaan mereka. Justru Allah amat murka kepada mereka karena nama-nama itu.
Sedangkan tentang julukan, sebagian ada yang merupakan penghor-matan bagi orangnya. Nabi Shallallahu Alaihi vva Sallam menjuluki Shihaib dengan Abu Yahya, menjuluki All bin Abu Thalib dengan Abu Turab, lalu menjulukinya dengan Abul-Hasan, suatu julukan yang paling beliau sukai. Beliau juga menjuluki saudara Anas bin Malik dengan Abu Urnar, selagi dia masih kecil. 13 el iau juga biasa menjuluki orang yang mempunyai anak maupun yang tidak mempunyai anak. Tidak pernah ada riwayat bahwa beliau melarang julukan, kecuali julukan Abu I-Qasim. Dalam hal ini beliau bersab¬da, -Berilah nama dengan namaku. dan janganlah menjuluki dengan julukanku." (Diriwayatkan Al-Bukhary).
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang dibedakan menjadi empat macam:
Secara mutlak tidak bolch membuat julukan dengan julukan beliau. balk julukan itu sendiri atan digabung dengan nama beliau, balk ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat, karena hadits larangan ini bersifat MUM.
Larangan itu berlaku jika nama dan julukan beliau digabung menjadi satu.

Jika salah satu dipisah dan tidak digabung, maka hal itu diperbolehkan.
- Boleti menghirnpun nama dan julukan beliau. Hal ini didasarkan kepada hadits riwayat At-Tirmidzy dengan isnad shahih, dari Ali bin Abu Thalib.
- Jululan Abul-Qasirn dilarang pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sal-lam dan diperbolehkan setelah beliau wafat. Sebab larangan itu dikhusus¬kan pada semasa hidup beliau.
Di antara orang salafmemakruhkan julukan Abu Isa, namun sebagi an lain memperbolehkannya. Abu Daud meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, bahwa Umar bin A I-Khaththab pernah memukul seorang anaknya yang dijuluki Abu isa. A I-Mugh irah bin Syu' bah juga dijuluki begitu. Maka Umar bertanya kepada Al-Mughirah, "Apakah belurn cukup jika engkau dijuluki Abu Abdullah?"
Al-Mughirah menjawab, "Toh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam juga pernah memberiku suatu julukan."
"Rasulullah adalah orang yang dosanya yang lampau maupun yang akan datang sudah diampuni. Sementara kita semua berada dalam ketidak¬pastian," kata Umar. Maka Al-Mughirah dijuluki Abu Abdullah hingga me¬ninggal dunia.
Aisyah juga pernah dijuluki Ummu Abdullah. Istri beliau yang lain ada yang dijuluki Ummu Habibah dan Ummu Salamah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang sebutan al-karma (kemuliaan) untuk buah anggur, seraya bersabda, "Kemuliaan adalah hati orang Mukmin." Sebab sebutan al-karmu untuk sesuatu berarti banyak ke¬baikan dan manfaatnya. Sementara hanya hati orang Mukm in lah yang layak menerima sebutan itu dan bukan pohon anggur. Tapi apakah yang dimaksud¬kan larangan itu khusus hanya kepada pohon anggur dengan nama ini, lalu hati orang Mukmin lebih layak mendapat julukan itu? Berarti tidak ada larangan menyebut pohon anggur dengan julukan itu, seperti orang miskin yang juga bisa disebut orang tidak punya. Ataukah larangan itu karena buah anggur bisa dijadikan khamr yang diharamkan? Ada kemungkinan seperti ini. Tapi hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih tahu hal ini.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salim?? juga pernah bersabda,
"Janganlah sekali kali orang-orang A 'raby mengalahkan kalian ata.s.
nama shalat kalian. Ketahuilah, bah wa shalat itu adalah i.sya', sedang
kan mereka menamakannya al-atamah. " (Diriwayatkan Al-Bukhary
dan Muslim)
Namun beliau juga bersabda,
"Sekiranya mereka mengetahui apa yang tick pada al-atamah (shalat isya ) dan subuh, tentulah mereka akan mendatanginya sekalipun dengan cara merangkak. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

Ada yang berpendapat, hadits kedua menghapus hadits pertama. Ada yang berpendapat justru kebalikannya. Tapi dua pendapat ini tidak benar semua. Sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits ini. Beliau tidak melarang secara mutlak sebutan al-atamah untuk shalat isya'. Itu merupakan larangan agar sebutan isya' tidak dihindari, sebab begitulah yang disebutkan Allah di dalam Kitab-Nya sehingga mengalahkan sebutan al¬atamah. Selagi tetap digunakan sebutan isya' dan sesekali digunakan sebutan al-atamah, maka diperbolehkan. Larangan itu merupakan penjagaan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam atas nama yang diberikan Allah, sehingga tidak boleh dihindari atau yang selainnya lebih dipentingkan seperti yang di lakukan orang-orang muta'akhirin terhadap lafazh-lafazh nash yang sudah baku, lalu diganti dengan istilah-istilah baru.
Tuntunan Rasulullah tentang Menjaga Lidah dan Memilih Kata-kata
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa mem ilih lafazh- lafazh yang paling bagus bagi umatnya, paling indah dan paling lennbut, jauh dari kata-kata yang biasa digunakan orang-orang yang berperangai kasar, keras dan keji, karena memang beliau bukanlah orang yang keji dan suka berkata keji, bukan orang keras kepada dan kasar.
Beliau tidak menyukai kata-kata mulia yang diperuntukkan bagi orang yang tidak layak menerimanya, begitu pula kata-kata yang hina dan dibenci yang diperuntukkan bagi orang yang tidak layak menerimanya. Gambaran yang pertama seperti kata panggi Ian "Ya Sayyid" bagi seorang munafik. Da-lam hal ini beliau bersabda, "Sekiranya dia benar-benar menjadi pemimpin, berarti kalian telah membuat Allah murka." (Diriwayatkan Abu Daud, dengan isnad yang shah ih).
Beliau juga melarang penyebutan pohon anggur dengan al-karmu, melarang menyebut Abu Jab! dengan Abuf-Hakarn, merubah nama Ahul-Hakam dari kalangan shahabat dengan sebutan Abu Syuraih, seraya bersabda. "Sesungguhnya A llahlah yang menjadi pengadil dan kepada-Nya hukum kembali.-
Beliau juga melarang budak memanggil nyonya atau tuannya dengan panggilan, "Rabbi Rabbati", tapi dengan panggi !an, "Sayyidi sayyidati". Tuan juga tidak bola memanggil budaknya, "Abdi", tapi dengan panggilan, "Fataya Fatah".
Beliau bersabda kepada orang yang biasa dipanggil tabib, "Engkau adalah orang yang ramah dan tabib yang menciptakan ilmu ketabi ban.- Sementara orang-orang bodoh menyebut orang kafir yang mempunyai sedikit ilmu tentang gejala alam dengan sebutan orang bijak." Tentu saja ini merupa¬kan kebodohan yang nyata.

Beliau pernah bersabda kepada Al-Khathib, yang arti namanya ahli pidato atau orator, "Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia telah mengikuti petunjuk, dan siapa yang mendurhakai keduanya, maka dia telah sesat. Seburuk-buruk ahli pidato adalah engkau." (Diriwayatkan Mus¬lim).
Beliau juga bersabda,
"langanlah kalian mengatakan, `Menurut kehendak Allah dan
kehendak Tapi katakanlah, Alenurut kehendak Allah, kemud
Ian menurut kehendak Fulan'."(Diriwayatkan Abu Daud).
Ada seseorang pernah berkata kepada beliau, "Menurut kehendak Allah dan kehendak engkau." Maka beliau menghardiknya, "Apakah engkau akan menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah? Tapi katakanlah,
`Me
nurut kehendak Allah somata'." (Diriwavatkan Ahmad).
Perkataan lain yang sejenis dengan makna persckutuan yang di larang ini ialah seperti, "Aku bersama Allah dan bersamamu, aku menurut Allah dan menurutmu, aku tidak mempunyai apa pun selain Allah dan dirimu, aku bertawakal kepada Allah dan kepadamu, ini dari Allah dan darimu, Allah menjadi milikku di langit dan engkau menjadi milikku di bumi, demi Allah dan demi hidupmu." Perkataan semacam ini, yang menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Khalig, termasuk perkataan yang dilarang keras dan perkataan yang amat buruk, seperti halnya perkataan. -Menurut kehendak Allah dan kehendakmu." Tapi jika dikatakan, "Aku bersama Allah dan bersamamu, menurut kehendak Allah kemudian menurut kehendakmu", diperbolehkan.
Di antara jenis perkataan yang juga dilarang ialah memperuntukkan celaan kepada orang yang tidak layak menerimanya, seperti larangan beliau untuk mencaci zaman atau waktu, seraya bersabda,
"Sesungguhnya Allah itu adalah zaman."
Dalam hadits lain beliau bersabda,
c.5
"Allah Azza tiro Jolla hefirman, 'Anak Adam menyakitl Aku, karena
is mencaci ZU1174117. Aku adalah zaman, di Tangan-Ku segala urusan,
Aku memhalik malam dan (Diriwavatkan A l-flukhary dan
Muslim).
Dalam ucapan yang dilarang terkandung tiga mica keburukan: Cacian terhadap sesuatu yang tidak layak menerimanya. Sehah zaman adalah ciptaan Allah yang ditundukkan dan patuh kepada-Nya. Orang

yang mencaci zaman lebih layak untuk dicaci daripada cacian terhadap zaman itu.
Caciannya itu mengandung syirik, karena dia mencai zaman dengan anggapan bahwa zaman itu bisa memberi manfaat dan mudharat. Cacian itu dikembalikan kepada pelakunya, yang andaikan kebenaran mengikuti nafsunya, maka rusaklah langit dan bumi. Jika apa yang terjadi sesuai dengan nafsunya, maka dia memuji zaman. Penguasa zaman adalah yang berhak memberi dan menahan, merendahkan dan meninggikan. Zaman tidak mempunyai kuasa apa pun. Maka caciannya terhadap zaman sama dengan mencaci Allah, dan yang demikian ini menyakiti Allah, sebagaimana yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah, beliau bersabda, "Allah befirman, 'Anak Adam menyakitiku, karena dia mencaci zaman, padahal Aku adalah zaman."
Rastifullah Shallallahu Alaihi wa Sallamjuga pemah bersabda tentang
perkataan yang dilarang,
"Janganlah salah seorang di antara kalian mengatakan, `Celakalah syetan'. Karena dengan begitu is bisa membesar hingga menjadi sebe¬sar rumah, lalu is (syetan) berkata, Dengan kekuatanku aku bisa mengalahkannya'. Tetapi hendaklah dia mengucapkan, Dengan naina Karena dengan hegitu la mengecil hingga menjadi se-peril seekor lalat." (Diriwayatkan Abu Daud dan Ahmad).
Dalam hadits lain disebutkan,
"Sesungguhnyajikahamba melaknat syetan, maka is (syetan) berkata, 'Sesungguhnya engkau benar-benar melaknat orang yang memang layak dilaknat "
Yang serupa dengan perkataan yang dilarang ini ialah, "Sernoga Allah menghinakan syetan", atau, "Semoga Allah memburukkan syetan", karena semua itu membaut syetan merasa senang dan besar kepala, seraya berkata, -Anak Adam tahu bahwa aku dapat mengalahkannya dengan kekuatanku", sehingga hal ini membuatnya semakin semena-mena dan sama sekali tidak memberikan manfaat kepada orang yang mengatakannya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan tuntunan, bahwa jika dia mendapat bisikan syetan. hendaklah mengingat Allah, menyebut nama-Nya dan berlindung kepada-Nya dari godaan syetan. Yang demikian ini lebih bermanfaat baginya dan lebih dibenci syetan.
Rasulu I ah Shallallahu Alaihi waSallam juga melarang seseorang mengatakan, "Khabutsat no fsi", tapi hendaknya dia mengatakan, "Laqisat nafsi", sekalipun sebenarnya maknanya sama dan tak jauh berbeda, yaitu: Alangkah buruknya diriku dan jelek akhlaknya. Tapi kata-kata khubuts me-ngandung makna buruk dan sekaligus kotor. Maka beliau memberi tuntunan untuk menggunakan kata-kata yang lebih balk dan pantas.
/NW Pey?zierziaN ke,4Ahirof 117

Bel iau juga melarang seseorang yang kehilangan sesuatu atau tidak berhasil mendapatkan sesuatu, dengan mengatakan. Andaikan aku tadi ber¬buat begini dan begitu". Dalam hal ini beliau bersabda, "Sesunggultnya kata¬kata 'andaikan' itu membuka perbuatan syetan." Beliau memberi tuntunan kata-kata yang lebih balk dan lebih bermanfaat, yaitu,
"Allah telah menetapkan dan apa pun yang dikehendaki-Nya, tentu akan dilakukan-Nya," (Diriwayatkan Muslim).
Sebah perkataan, "Andaikan aku tadi berbuat begini dan begitu, tentu aku tidak akan kehilangan atau aku tidak begini jadinya", merupakan per¬kataan yang sama sekali tidak mendatangkan faidah kepadanya, dia tidak membalik apa yang sudah terjadi dan tidak bisa membebaskan ketergel in¬cirannya hanya dengan perkataan andaikan. Dalam kata-kata ini juga terkandung pembualan, sekiranya saja urusan itu seperti yang ditetapkan oleh di rinya, yang berarti tidak seperti yang ditetapkan dan ditakdirkan Allah. Berarti apa yang terjadi itu berbeda dengan apa yang diharapkannya, padahal itu terjadi atas qadha' dan qadar Allah serta kehendak-Nya. Jika dia berkata, "Andaikan aku berbuat begini, maka akan menjadi lain kejadiannya", tentu saja sesuatu yang mustahil. Sebab menyalahi apa yang sudah ditakdirkan adalah sesuatu yang mustahil. Berarti perkataannya itu merupakan dusta, kebodohan dan sesuatu yang mustahil. Sekiranya dia selamat dari pendustaan terhadap qadar, belum tentu dia selamat dari kontradiksi kata-kata andaikan itu.
Jika ada yang mengatakan, "Dalam perkataan ini tidak terkandung penolakan dan penentangan terhadap qadar. Karena sebab-sebab yang diharapkan juga berasal dari qadar. Qadar bisa ditolak dengan qadar lain, sebagaimana qadar sakit yang dapat ditolak dengan qadar obat, qadar dosa ditolak dengan qadar taubat, qadar musuh ditolak dengan qadar jihad. Ma-sing-masing dari dua pasangan ini berasal dari qadar."
Dapat dijawab sebagai berikut: Memang begitulah yang benar. Tetapi yang demikian itu bermanfaat sebelum terjadinya qadar yang tidak disukai. Jika sudah terjadi, maka tidak ada jalan untuk menolaknya. Sekiranya ada jalan untuk menolaknya atau meringankannya dengan qadar lain, maka tugasnya dalam keadaan seperti itu ialah menerima perbuatannya yang bisa digunakan untuk menolak atau meringankan dampak dari apa yang sudah ter¬jadi, tidak perlu berandai-andai dan mengharapkan apa yang tidak mungkin terjadi. Karena yang demikian justru menunjukkan kelemahannya. Padahal Allah mencela kelemahan dan menyukai kecerdikan dan memcrintahkannya. kecerdikan ialah mencari sebab yang dikaitkan Allah dengan akibatnya yang bermanfaat bagi ham ha di dalam kehidupan dunia dan akhirat. Deegan eara in ilah dibukakan amal kebaikan. Sedangkan kelemahan hanya akan membu¬kakan amal syetan. Jika seseorang menjadi lemah dan tidak sanggup mencari

apa yang bermanfaat baginya, kemudian dia hanya beralih kepada angan¬angan batil, dengan berkata, "Andaikan aku begini dan begitu, andaikan aku berbuat begini dan begitu", maka dia hanya membuka perbuatan syetan atas dirinya, karena memang pintu syetan adalah kelemahan dan kemalasan. Karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi waSallam berlindung kepada Allah dari dua perkara ini, yang juga merupakan pintu segala kejahatan, yang kemudian membuahkan kekhawatiran, ketakutan, kelemahan hati, kikir, hutang dan akhirnya dia dikuasai orang lain. Sumber dari semua ini adalah kelemahan dan kemalasan, adapun mereknya adalah andaikan. Benar apa
ang disabdakan beliau, "Andaikan itu membuka perbuatan syetan." Orang :.ang berangan-angan adalah orang yang paling lemah dan bangkrut. Angan-angan adalah modal orang yang bangkrut dan kelemahan merupakan kunci segala kejahatan.
Sumber segala kedurhakaan juga kelemahan. Jika hamba lemah dan tidak sanggup mencari sebab-sebab amal ketaatan, mencari sebab-sebab yang menjauhkannya dari kedurhakaan, maka dia akan terseret kepada kedurhaka¬an. Hadits beliau ini menghimpun pangkal kejahatan dan cabang-cabangnya, permulaan dan kesudahannya, yang mel iputi delapan perkara. Setiap dua perkara merupakan satu pasangan. Bel iau bersabda, "Aku berlindung kepada Allah dari kekhawatiran dan ketakutan". Dua perkara ini merupakan pasang¬an. Sesuatu yang membuat hati tidak suka, sebabnya ada dua macam, entah karena sesuatu yang sudah lampau, yang menimbulkan kesedihan, ataukah sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang, yang menimbulkan kekha¬watiran. Keduanya termasuk kelemahan. Sesuatu yang sudah berlalu tidak bisa ditolak dan dienyahkan dengan kesedihan, tetapi dengan ridha, mennuji, sabar, iman kepada qadar dan berkata, "Allahlah yang menakdirkan dan apa ang dikehendaki, maka Dia mengerjakannya."
Apa yang akan datang juga tidak bisa dienyahkan dengan kekha¬watiran, tapi dengan kiat tertentu untuk mengenyahkannya, yang berarti dia tidak menjadi lemah, atau tanpa mendapatkan kiat untuk mengenyahkannya, yang berarti dia tidak boleh terguncang karenanya. Dalam hal ini dia bisa membekali dan mempersiapkan diri dengan tawakal, tauhid dan kepasrahan kepada Allah, ridha kepada-Nya sebagai penguasa dalam segala sesuatu. Dia tidak bisa dikatakan ridha kepada Allah sebagai penguasa jika dia mencintai sesuatu yang di benci-Nya. Berarti dia tidak ridha kepada Allah sebagai penguasa secara mutlak, dan akibatnya Allah juga tidak ridha kepadanya sebagai hamba secara mutlak. Kekhawatiran dan ketakutan sama sekali tidak memberikan manfaat kepada hamba. Mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya, karena keduanya bisa melemahkan hasrat, mencemaskan hati, menjadi penghambat bagi hamba untuk mengusahakan sesuatu yang bermanfaat, memotong perjalanan, atau bahkan menariknya ke belakang,

mengharnbat atau pun menghentikan dan menjadi pcnghalang untuk meliha, tanda perjalanan. Keduanya merupakan beban yang amat herat di pundak orang yang sedang mengadakan perjalanan. Tapi j ika kekhawatiran dan kesedihan menghalangi dirinya untuk menuruti syahwat dan keinginan yang merribahayakan hidupnya di dunia dan di akhirat, rnaka justru amat berman¬faat baginya. Ini termasuk hikmah Allah Yang Maha Bijaksana, yang menja¬dikan dua pasukan ini sebagai penguasa bagi hati manusia yang berpaling dari-Nya. yang tidak meneintai-Nya, tidak takut dan berharap kepada-Nya, tidak pasrah dan tawakal, tidak lari dan kembali kepada-Nya, yang kemudian menimbulkan kegelisahan, keresahan dan penderitaan batin yang jault
banyak daripada kedurhakaan yang di lakukannya. Had semacam ini berada di dalam penjara yang kelam di dunia ini, dan di kemudian hari berada di claim penjara neraka. Dia senantiasa berada di dalam penjara ini hingga membebaskan diri dan beralih ke tauhid, menghadap kepada Allah, menja-dikan cinta kepada-Nya sebagai pengganti dari segala sesuatu yang melintas di dalam hatinya.
Secara unnum dapat dikatakan, bahwa tidak ada yang layak bagi seorang hamba kecuali apa yang ditegakkan pada dirinya. Hikmah dan pujian hanya bagi Allah, yang telah menegakkan dirinya pada suatu kedudukan yang memang hanya layak bagi dirinya, bukan bagi orang lain. Karena itu dia tidak perlu menelusurinya. Allah lebih mengetahui, di mana Dia meletakkan pemberian dan karunia-Nya. Allah lebih mengetahui, di mana Dia meletak¬kan risalah-Nya.
"Dan, demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebagian yang lain (orang-orang yang miskin), supaya (orang-orang yang kaya) berkata, 'Orang-orang .semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka? (Allah befirman), `Tidakkah Allah lebih mengetahui tenting orang¬orang yang bersvukur (kepada-Nya)? " (A I -A n' am: 53)
Allah lebih mengetahui di mana meletakkan karunia, dimana tempat pengkh ususan dan tempat yang dihalangi. Dengan pujian dan h kmat-Nya Dia memberi, dengan pujian dan hikmah-Nya dia menahan. Siapa yang tidak mendapatkan, lalu dia mcmasrahkan diri dan sekal igus berharap kepada-Nya, maka keadaannya beralih menjadi orang yang diberi. Siapa yang hanya sibuk dengan pemberian-Nya tapi mernutuskan diri dengan-Nya. maka keadaannya akan berubah menjadi orang yang tidakdiberi. Segala sesuatu yang membuat hamba lalai dari Allah akan menjadi kesialan haginva, dan apa pun yang mengalihkannya kepada Allah akan menjadi rahmat baginya, Allah ingin agar hamba-Nya berbuat. Tapi perhuatan itu tidak akan terjadi hingga Allah herkehendak untuk menolongnya. Allah menghendaki agar kita senantiasa istiqamah dan mencari jalan menuju kepada-Nya. Dia mengabarkan kepada

kita bahwa kehendak itu tidak akan terwujud kecuali jika Dia berkehendak untuk menolong kita dan berkehendak terhadap kita. Jadi di sini ada dua macam kehendak: Kehendak dari hamba untuk berbuat, dan kehendak dari Allah untuk menolong hamba. Tidak ada jalan kepada perbuatan kecuali dengan adanya kehendak ini. Allah befirrnan,
"Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. " (At-Takwir: 29).
Kebutuhan hamba terhadap ruh lain yang dinisbatkan kepada ruhnya, seperti penisbatan ruhnya kepada badannya, yang membutuhkan kehendak Allah, agar dia bisa berbuat. Jika tidak, maka dia tidak mempunyai tem pat dan wadah untuk menerima. Siapa yang datang tanpa membawa wadah, tentu dia akan kembali dengan hampa tangan.
Maksudnya, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berlindung dari kekhawatiran dan ketakutan, yang keduanya merupakan pasangan, berlin-dung dari kelemahan dan kemalasan, yang keduanya merupakan pasangan. Seorang hamba tidak bisa memperoleh kesempurnaan dan kebaikannya, entah karena tidak mempunyai kesanggupan, yang berarti lemah, atau entah karena sebenarnya sanggup namun tidak berkehendak, yang berarti malas. Karena dua sifat ini segala kebaikan menjadi sirna dan muncul berbagai keburukan. Di antaranya adalah tidak ingin mendatangkan manfaat dengan badan, yang disebut kecil hati, dan tidak ingin mendatangkan manfaat dengan hartanya yang disebut bakhil. Dari sini muncul dua macam kekuasaan, yaitu kekuasaan secara benar, yaitu kekuasaan hutang, dan kekuasaan secara bati I, yaitu kekuasaan orang lain. Semua ini bermula dari kelemahan dan kemalasan. Karena itulah Rasulullah bersabda kepada seseorang,
"Cukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik-baikpenolong
Sesungguhnya Allah mencela kelemahan, tetapi hendaklah engkau
memiliki kecerdikan. Jika ada suatu urusan yang menguasaimu, makes
ucapkanlah, `Cukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik
balk penolong'. " (Diriwayatkan Abu Daud).
Yang dem ikian ini diucapkan ketika tidak memiliki kecerdikan. Seki¬ranya hamba memiliki kecerdikan ini, tentu dia diberi kemenangan terhadap musuhnya. Jika dia sudah mengantisipasi sebab secara mestinya yam!, membuatnya cerdas dan cerdik, tapi tetap saja kalah, lalu dia mengucapkan, Tukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik-baikpenolong', berarti kalimat ini sudah ditempatkan pada posisinya, seperti yang dilakukan Ibrahim Al-Khalil, ketika dia diperintahkan untuk mencari sebab yang dian¬jurkan, lalu tetap saja be I iau kalah dalam menghadapi musuh, sehingga beliau dilemparkan ke kobaran api. Dalam keadaan seperti itu beliau tetap meng¬ucapkan, -Cukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik-baik peno¬long". Kali mat ini diucapkan tepat pada tempatnya, sehingga memberikan

pengaruh yang amat besar.
Begitu pula yang di lakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi Sallan1 dan para shahabat sewaktu perang UhUd,tepatnya setelah mereka mengalami kekalahan (meskipun tidak mutlak), saat mereka dal= pedalanan pulang dad Uhud, lalu ada seseorang yang mengabarkan kepada beliau. "Sesungguh¬nya musuh telah menghimpun pasukan yang besar. Karena itu takutlah kepada mereka." Seketika itu pula mereka hers iap-siap lagi dan berbalik untuk menghadapi musuh. Mereka bangkit kembali dan mem iliki kekuatan dari dalam jiwa, kemudian mereka berkata, -Cukuplah Allah sebagai pelin¬dungku, dan Dia scbaik-haik penolong." Ucapan ini mempunvai pengaruh yang sangat hebat. Karena itu Allah befirman,
"Barangsiapa hertakwa kepada Allah, niscava Dia okan neengaelakan baginya jalan keluar, dan meenberinya rezki dari cerah tang hada disangka-sangkanya. Dan, harangsiapa hertawakal kepada Allah, niscava Allah akan mencukupkan (keperhean)nva. (Ath-Thalaq: 2¬3).
Allah menjadikan tawakal setelah takwa, yang menjadi penopang segala sebab yang diperintahkan. Pada saat itulah tawakal kepada Allah sudah cukup baginya. Firman-Nya yang lain,
"Bertawakallah kalian kepada Allah, dan kepada Allah hendaknya orang-orang Muknein bertawakal. " (A l-Maidah: 11).
Tawakal dan mencukupkan keperluan kepada Allah tanpa memper-hatikan sebab yang diperintahkan adalah kelemahan. Maka tidak selavaknya hamba menjadikan tawakalnya sebagai.kelemahan dan tidak menjadikan kelemahannya sebagai tawakal, tapi menjadikan tawakalnya termasuk sejumlah sebab yang diperintahkan, yang suatu tujuan tidak akan tercapai kecuaii dengan hal itu.
Berangkat dari sini ada dua golongan yang menyimpang. Golongan pertarna beranggapan bahwa tawakal semata merupakan sebab yang berdiri sendiri, sudah cukup untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki, lalu dia mengabaikan sebab-sebab yang sudah ditctapkan hikmat Allah, yang dapat menghantarkannya kepada akibat atau tujuan, sehingga mereka terpuruk dalam kelemahan dan pengabaian, tergantung dad seberapa jauh mereka meninggalkan sebab. Tawakal mereka menjadi lemah, karena mereka menganggap kekuatan tawakal ini hams di lak ukan dcngan cant mengabaikan sebab. Mereka menghimpun seluruh hasrat, hingga menjadi satu hasrat. Sekalipun di sini ada kekuatan, tapi di sisi lain sebenarnya merupakan kelemahan. Selagi sisi tawakal menjadi kuat, tapi tawakal ini dibuat lemah oleh pengabaian sebab, yang sebenarnya merupakan landasan tawakal. Landasan dan tempat tawakal adalah sebab. Kesempurnaannya dengan tawakal kepada Allah. Hal ini seperti tawakalnya para petani dan pecocok

tanam yang mengolah tanah, menaburkan benih, mengurusi tanaman, lalu dia bertawakal kepada Allah untuk pertumbuhan tanamannya. Beginilah cara memberikan hak yang benarterhadap tawakal. Begitu pula tawakalnya musa¬tir yang memperpendek jarak tempuhnya. dengan cara memotong perjalanan dengan mempercepat jalannya.
Golongan kedua yang menyimpang ialah yang terlalu mengandalkan peranan sebab dan yang berpaling dari tawakal. Jika sudah mendapatkan suatu sebab, maka mereka tidak merasakan adanya tawakal dan terlepas dari pertolongan Allah terhadap mereka. Padahal mereka adalah orang-orang
ang lemah karena tidak memil iki tawakal. Kekuatan dari segala kekuatan ada dalam tawakal kepada Allah. sebagaimana yang dikatakan sebagian salaf, "Di antara salah satu rahasia, bahwa untuk menjadi manusia yang paling kuat ialah dengan bertawakal kepada Allah. Kekuatan tersimpan bagi orang yang tawakal, merasa cukup dengan pertolongan Allah dan dukungan-Nya. Kekuatan ini berkurang tergantung clari kekurangan takwa dan tawakalnya. Sebagai bukti, hanya dengan takwa dan tawakal ini Allah menjadikan jalan keluar dari segala kesulitan yang menimpa manusia dan hanya Allah yang menjadi penolongnya."
Dengan kata lain, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membimbing hamba kepada sesuatu yang menjadi tujuan kesempurnaannya dan apa yang dicarinya, mendapatkan apa yang bermanfaat bagi dirinya dan juga berusaha. Pada saat itulah dia akan terbantu jika mengucapkan, "Cukup I ah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik-baik penolong.- Berbeda dengan orang
ang suka mengabaikan sehingga tidak mendapatkan kemaslahatan, sctclah itu dia mengucapkan, "Cukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik¬baik penolong." Tentu saja Allah mencelanya.
Tuntunan Rasulullah tentang Dzikir dan Doa
Rasulullah Shallallahu Alaihi tivaSallamadalah makhluk yang paling sempurna dalam berdzikir kepada Allah. Bahkan semua perkataan beliau atau tatkala beliau tidak sedang berkata merupakan dzikir. Perintah, larangan dan pensyariatan beliau terhadap umat, merupakan dzikir kepada Allah, begitu pula pengabaran beliau tentang asma' dan sifat Allah, hukum, perbuatan, jan¬ji, peringatan, saat mem uj i-Nya, berdoa, tasbih, mengagungkan, saat diam, berdiri, duduk, telentang, berjalan, naik kendaraan dan semua gerak-gerik beliau merupakan dzikir kepada Allah.
Saat bangun tidur, beliau mengucapkan,
"Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya tempat kembali.
Beliau mengabarkan bahwa siapa yang bangun pada malam hari, lalu mengucapkan,

'`Tiada flab selain Allah semata, yang tiada sekuni bagi-Aya, bagi-Nya kerafaun dan segala puji, dan Dia Berkuasa alas segala sesuatu, segala puji bagi Allah. Huhu, slier Allah, clan t Lucia Ilah.s.elain Allah, Allah Mahabesar. liada duya clan kekuatan selain dart Allah Yang Afahutinggi lagi Mahaugung'', kemudian dia mengucupkan, -Fa Allah ampunilah bagiku utau dia bercloa dengun Jou yang lain, maka akan dikabulkan baginya..fika dia wudhu ' dan shalat, maka shalutnya diterima. (Diriwayatkan A]-Bukhary).
Ibnu Abbas berkata saat dia bermalam di rumah Nabi Shallullahu Alaihi wa Sallam, bahwa ketika bangun tidur, beliau menengadahkan kepala ke langit, kemudian membaca sepuluh ayat terakhir dart surat Ali Imran. Kemudian beliau mengucapkan,


“Ya Allah, hagi-Mu segala puji, engkau cahaya langit dan baud serta siapa pun yang ada di dalamava. Bagi-Mu segala puji, Engkau yang menegakkan langit dan bumi dan siapa pun yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji don Engkau Yang Mahabenar, janji-Mu henar, firman-Mu henar, perjumpaan dengan-Mu benar, surga itu, neraka itu henry’, para nabi itu benar, Muhammad itu benar, hart kiamat itu be¬nar. Ya Allah, kepada-Mu aku memasrahkan dirt, kepada-Mu aku

beri man, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali, kare¬na-Mu aku berperang, kepada-Mu aku mengadukan perkara. Maka ampunilah bagiku apa yang kudahulukan dan yang kuakhirkan, apa yang kusembunyikan clan apa yang kutampakkan. Engkau Ilahi, yang tiada Ilah selain Engkau, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung. (Ditakhrij A l -B ukhary dan Mus¬lim).
Aisyah Radhiyallahu A nha berkata, jika bangun dari sebagian waktu malam, beliau mengucapkan,
“Ya Allah, Rabbnya fibril, Mika ‘il dan Israfil, Pencipta langit dan bu¬rnt’, Yang inengetahui yang gaib dan yang tampak, Engkau memutizskan di antara hamba-hamba-Mu tentang apa-apa yang mereka perm lisih¬kan. Berikanlah petunjuk kepadaku tentang kebenaran yang di dalamnya ada yang diperselisihkan dengan se izin-Mu, sesungguhnya Engkau memberi petunjuk orang yang Engkau kehendaki kepadajalan yang lurus. (D itakhrij Muslim).
Boleh jadi Aisyah juga pernah berkata, “Beliau biasa membuka shalat¬nya dengan bacaan ini. Kemudian j ika sudah selesai mengerjakan shalat witir, beliau mengucapkan,
“Mahasuci Allah, Raja dan Yang Mahasuci. “
Beliau mengucapkannya tiga kali dan memanjangkan suara untuk bacaan yang ketiga kalinya.
Saat keluar dari rurnah, beliau mengucapkan,

“Dengan asma Allah, aku bertawakal kepadaAllah. Ya Allah, sesung¬guhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan atau disesatkan, dari ketergelinciran atau digelincirkan, dari kezhaliman atau dizha¬limi, dari kebodohan atau dibodohi.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Ibnu Majah, An-Nasa’y dan Ahmad).
RasuluIlah Shallallahu A laihi Sallant juga pernah bersabda,

“Barangsiapa mengucapkan saat keluar dari rumahnya, ‘Dengan asma Allah, aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari maka dikatakan kepadanya, ‘Engkau telah diberi

petunjuk, dicukupkan. dilindungi dan syetan pun menjazth darinya. (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Abu Daud).
Ibnu Abbas berkata saat dia berrnalam di rumah beliau. bahwa beliau keluar untuk mclaksanakan shalat subuh, seraya mengucapkan.

“Ira Allah, jaclikanlah di dalam hatiku cahaya, jadikunlah di Bala an lisanku eahava,jadikanlah di dalam pendengaranku cabana, jadikan¬lah di dalam penglihatanku cahaya, jadikanlah dart he lakangku cohava clan dart depanku cahava,judikanlah dan atasku cahaya dun jc-tclikanlah dari hau’ahkl.r cahaya. in Allah, berikanlah kepadaku calutia (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu A laihi wa Sallam bersabda,

“Apabila salah seorang di antara kalian masuk mars jid, henduklah dia mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu Alaihi Sultam dan juga mengucapkan,’YaA11ah, bukakanlah hagikupintu-pintu rahmat¬Mu ‘, clan jika keluar, hendaklah mengucapkan, Ta Allah„sesungguh¬nva aku me mohon kepada-Mu dart karunia-Mu ‘.” (Diriwayatkan Muslim. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Seusai shalat subuh, Rasulullah Shallallahu Alaihi Sallam biasa duduk di tempat shalatnva Flinn matahari terbit untuk berdzikir kepada Allah. Kemudian jika pagi menjelan2, beliau mengucapkan,

“Yu Allah, dengan-Mu aku memasuki waktu pagi dan dengan-Mu aku memasuki waktu sore, karena-Mu aku hidup, karena-Mu aku mail clan kepada-Mu tempat kemhali. (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Beliau juga mengucapkan doa pada pagi hari,

Kami memasuki waktu pagi dan kerajaan menjadi milik Allah. Segala puji bagi Allah, yang tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nyasegalapitji, dan Dia Maha Berkuasa alas segala sesuatu. Ya Rabbi, aku memohon kebaikan apa yang ada pada hari ini dan kebaikan sesudah itu. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudah
Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan keburukan takabur. Vu Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari siksa di dalam neraka dan siksa di datum kubur. ” Dan jika memasuki waktu sore
beliau mengucapkan, Kami memasuki waktu sore dan kerajaan
menjadi milik Allah…. dan seterusnya. (Diriwayatkan Muslim).
Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu berkata kepada Nabi Shal-lallahu A laihi wa Sallam, “Perintahkanlah kepadaku beberapa kalimat saat aku memasuki waktu pagi dan sore hari.”
Maka beliau bersabda, “Ucapkanlah,


“ya Allah, Pencipta langit dan bumf, yang mengetahui yang gaib dun yang tampak, Rabb segala sesuatu, Pemilikdan Rajanya, aku bersaksi bahwa dada Ilah selain Engkau. Akuberlindungkepada-Mu dari keja¬hatan diriku, dari kejahatan syetan dan syiriknya, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang kuperbuat terhadap diriku atau yang kutimpakan kepada seorang Muslim. “

Beliau bersabda. “Ucapkanlah doa ini jika engkau mernasuki waktu
pagi dan sore harm serta ketika engkau beranjak ke tempt- tidurmu.” tDiriwa
atkan At-Tirmidzy). Beliau juga bersabda,
“Tidaklah seorang hamha mengucapkan di Ivaktitpagi sedap hail dan waktu sore menjelang malam„ `Dengan a.sma Allah, yang scarf pun di bumf dan di langit yang membahayakan dengan menyebut asma-Nya,
dan Dia Maha Mendengar lagi Maha tiga kali, melain
kan memang tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya (Diri
wayatkan At-Tirmidzy, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah). Beliau juga bersabda,

“S’iapa yang mengucapkan ketika pagi dan sore hari, ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sehagai nabi’, maka ada hak atas Allah untuk meridhai
nya. (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Al-Hakim).
Beliau juga bersabda,

“Siapa yang mengucapkan ketika pagi dan sore hari, Ta Allah, se-sungguhnya aku memberikan kesaksian kepada-Mu dan memberikan kesaksian kepada para malaikat yang membawa Ar.sy-Mu dan para malaikat-Mu yang lain serta semua makhluk-Mu, bahwa Engkau

adalah Allah yang tiada Ilah selain Engkau, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Mu’, maka Allah membebaskan seperempat siksa-Nya dari neraka. Jika dia mengucapkannya dua kali, maka Allah membebaskan separoh siksanya dari neraka. Jika dia mengucapkan¬nya tiga kali, maka Allah membebaskan tiga perempat siksa-Nya dari neraka. Jika dia mengucapkannya empat kali, maka Allah membe¬baskannya dari siksa neraka. “(Ditakhrij Abu Daud, A1-Bukhary dan At-Timirdzy).
Doa yang juga pernah beliau baca pada pagi dan sore adalah,
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon afiat kepada-Mu di dunia dan di akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan dan afiat kepada-Mu di dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah aibku dan amankanlah rasa takutku. Ya Allah, jagalah aku dari depan, dari belakangku, dari samping kananku, dari samping kiriku dan dari atasku. Aku berlindung kepada keagungan-Mu dari apa-apa yang hisa me mperdayaiku dari bawah. ” (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Bel iau juga bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian me masuki waktu pagi, maka hen¬daklah dia me ngucapkan. ‘Kami memasuk waktu pagi dan kerajaan menjadi milik Allah Rabb semesta alam. Ya Allah. sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan hari ini, pembukaunnya, pertolongan

nya, cahayanya, barakahnya dan petunjuknya. Aku berlindung kepa¬da-Mu dari kejahatan yang ada di dalamnya dan kejahatan sesudah¬nya’. Kemudianjika memasuki waktu sore, hendaklah dia mengucap¬kan doa yang sama. (Diriwayatkan Abu Daud).
Beliau pernah bersabda kepada seseorang dari kalangan Anshar, “Ba-gaimana jika aku mengajarkan kepadamu beberapa perkataan, yang jika eng¬kau mengucapkannya, maka Allah akan menghilangkan kekhawatiranmu dan melunasi hutangmu?”
Orang Anshar itu menjawab, -Balk wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda “Ucapkanlah,

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dart kekha
watiran dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan
dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mudari kecil hati dan bakhil,
aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan paksaan orang.
Orang Anshar itu berkata, “Setelah aku mengucapkannya, maka Allah benar-benar menghilangkan kekhawatiranku dan hutangku pun menjadi lunas.”
Beliau pernah bersabda kepada putrinya, Fathimah, “Apo yang meng-halangimu untuk mendengar apa yang kuwasiatkan kepadamu, yaitu hendak¬lah engkau mengucapkan saat pagi dan sore hart,
“Wahai Yang Mahahidup, wahai Yang Berdiri sendiri, dengan rah-mat-Mu aku memohon pertolongan, maka perbaikilah keadaanku, dan j an ganlah Engkau biarkan diriku walau sekejap mata pun. ” (Ditakhrij Al-Hakim).
Doa beliau yang lain pada waktu pagi,


‘`Pagi ini kanzi ada pada fitrah Islam dan kalimat ikhlas, agama nab i kita Muhammad dan millah bapak kita, Ibrahim yang hanif dan berserah dirt, dan dia tidak termasuk orang-orang yang musyrik. (Ditakhrij Ahmad).

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang ben

manfaat, rezki yang balk dan amal yang diterima. ” (Diriwayatkan Ibnu Majah).
Beliau juga bersabda,

,
“Pemimpin istighfar jika seorang hamba mengucapkan, Ta Allah, Engkau Rabbku, yang tiada Ilah selain Engkau. Engkau me nciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku berada pada sumpah dan janji¬Mu menurut kesanggupanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang kulakukan. Aku mengaku kepada-Mu atas nikmat-Mu kepadaku, dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah bagiku, karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau’. Siapa yang mengucapkannya ketika memasuki waktu pagi dengan penuh keyakinanpadanya, lalu dia mati pada hari itu, maka dia masuk surga. Dan, .siapa yang mengucapkannya pada sore hari dengan penuh keyakinan padanya, lalu dia mati pada malam hari itu, maka dia masuk surga.” (Diriwayatkan Al-Bukhary).
“Siapa yang mengucapkan ketika memasuki waktu pagi dan sore hari, ‘Mahasuci Allah dan dengan puji-Nya’, seratus kali, maka tak seorang pun datang pada hari kiamat dengan membawa yang lebih balk daripada apa yang dibawanya dengan bacaan itu, kecuali orang yang mengucapkan hal yang sama dengan apa yang dia ucapkan itu, atau lebih banyak darinya.” (Diriwayatkan AI-Bukhary dan Muslim).


“Siapa yang mengucapkan ketika me ntasuki waktu pagi sebanyak
BeZr/ Pri,W6wevy IrriXdrit 131

“Siapa yang mengucapkan ketika memasuki waktu pagi, Tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu maka dia mendapat pahala memerdekakan budak dari anak Amu dihapuskan darinya sepuluh keburukan dan ditinggikan baginya sepuluh derajat dan dia dalam lindungan dari syetan hingga sore hari. Dan, jika pada sore hari, juga seperti itu hingga pagi hari.” (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).

“Barangsiapa yang mengucapkan ketika pagi hari, `Tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nycl pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu’, seratus kali dalam satu hari, maka dia mendapat pahala lama de ngan memerdekakan sepuluh budak wanita, ditetapkan seratus kebaikan baginya, dihapuskan seratus kesalahan darinya, dan dia mendapat perlindungan dari syetan pada hari itu hingga sore hari, dan tiada seorang yang datang dengan me mbawa yang lebih baik dari apa yang dibawanya kecuali seseorang yang beramal lebih banyak darinyu.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
Semua isnad hadits yang disebutkan di sini adalah shahih, dan sebagian kecil ada yang hasan. Dan, di camping doa dan dzikir yang disebutkan di sini, masih ada dzikir dan doa lainnya.
Doa-doa Rasulullah di Beberapa Kesempatan dan Tempat 1. Dzikir clan Doa Saat Mengenakan Pakaian atau Lainnya
Jika Rasulul lab Shallallahu Alaihi wa Sailam mengenakan jenis pakai¬an Baru dari kain, entah berupa sorban, baju atau mantel, maka beliau meng-ucapkan,

“Ya Allah, bagi-Mu segala puji, Engkau yang memberikupakaian ini, aku memohon kepada-Mu kebaikannya clan kebaikan yang diciptakan baginya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang diciptakan baginya. (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Abu Daud, Ahmad dan An-Nasa’y).
Beliau juga pernah bersabda,

“Siapa yang mengenakan pakaian lalu berkata, `Segala puji bagi Allah yang telah memberiku pakaian ini dan mengaruniakannya kepadaku, tanpa ada Jaya dan kekuatan dariku maka Allah mengam¬puni dari dosanya yang telah lampau.
Di dalam Sunan I bnu Majah disebutkan. bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat Umat yang sedang mengenakan baju. Lalu beliau bertanya, “Pakaianmu ini baru ataukah sudah pernah dicuci?”
Umar menjawab, sudah pernah dicuci.”
Lalu beliau bersabda.
I
“Kenakanlahpakaian baru, hiduplahsebagal arcing yang terpuji dan matilah sebagai orang yang !nut’ syahid.
2 Tuntunan Rasulullah Saat Masuk Rumah
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah pu tang secara tiba-tiba untuk mengecoh mereka, tetapi beliau senantiasa menemui keluarga dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada mereka sebelum masuk rumah. Beliau juga mengucapkan salam, dan jika sudah masuk, beliau me¬mulai dengan menanyakan keadaan merekaatauterkadang beliau bertanya, “Apakah kalian punya makanan?” Atau terkadang beliau tidak menanyakan¬nya hingga beliau disuguhi makanan seadanya.
Diriwayatkan bahwa beliau pernah mengucapkan saat kembali ke rumah,

“Segala puji bagi Allah yang telah mencukupiku dan melindungiku, segala puji bagi Allah yang telah memberiku makan dan minum, segala puji bagi Allah yang telah memberikan karunia kepadaku dan meng¬utamakannya, aku memohon kepada-Mu agar Engkau melindungiku dari neraka.” (Ditakhrij Muslim).
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi xa Sallam, bahwa beliau bersabda kepada Anas.

Apabila engkau menemui keluargamu, maka ucapkanlah salam, niscaya akan menjadi barakah bagimu dan bagi keluargamu. ” wayatkan At-Tirmidzy).
Di dalam As-Sunan disebutkan dari Rasulullah, beliau bersabda,

“Apabila seseorang masuk rumahnya, hendaklah dia mengucapkan, `Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan tempat masuk don kebaikan tempo’ keluar. Dengan astna Allah kami masuk dan kepada Allah Rabb kami, kami bertawakal kemudian hendaklah dia mengucapkan salam kepada keluarganya.” (Diriwayatkan Abu Daud).
Ada hadits shahih dari beliau,
“Apabila seseorang memasuki rumahnya .seraya menyebut nama Al¬lah saat masuk dan juga saat makan, maka syetan berkata (kepada syetan-syetan lainnya), `Tidak ada tempat tinggal dan makan bagi kalian’. Apabila dia masuk rumah tanpa menyebut nama Allah saat masuknya itu, maka syetan berkata, ‘Kahan mendapatkan tempat tinggal dan apabila dia tidak menye but nama Allah saat makannya, maka syetan berkata, ‘Kahan mendapatkan tempo! tinggal dan makan’. ” (Diriwayatkan Muslim).
3. Saat Masuk Kumar Keel!
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa saat masuk kamar kecil beliau mengucapkan,

Ya Allah, sesungguhnya aku herlindung kepadamu dari kotoran clan hal-hal yang kotor.”
Beliau juga bersabda,

“Tab ir antara jin dan aurat Bani Adam saat salah seorang di antara kalian masuk kamar kecil ialah jika dia mengucapkan, ‘Bismillah’,” (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah).
Diriwayatkan bahwa ada seseorang mengucapkan salam kepada Ra-sulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, pada saat beliau buang air kecil. Maka beliau tidak menjawab salamnya itu. (Ditakhrij Muslim).
Seperti yang sudah disebutkan di atas, beliau tidak pernah buang air atau kotoran sambil menghadap ke arah kiblat atau pun membelakanginya. Bahkan beliau melarang hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Ayyub, Salman Al-Farisy, Abu Hurairah dan beberapa shahabat lainnya. Kebanyakan hadits tentantt hal ini shahih, sekalipun ada yang hasan dan juga dha’if.
Jika keluar dari kamar kecil, beliau mengucapkan,

“A mpunan-Mu yang kuharapkan. “
Diriwayatkan pula bahwa beliau pernah mengucapkan,

‘`Segala puji bagi Allah yang telah menyingkirkan penyakit dariku dan memberikan afiat kepadaku. ” (Diriwayatkan Ibnu Majah).
4. Dzikir Wudhu ‘
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu bahwa beliau meletakkan kedua tangannya di atas bejana yang di dalamnya ada air, kemu¬dian bersabda kepada para shahabat, -Vv’udhu’ lah kamu seka I ian dengan
menyebut asma (Diriwayatkan A l-Bailtagy dan Ad-Daruquthny).
Ahmad meriwayatkan dari had its Abu Hurairah. Said bin Zaid dan Abu Sa’ if Al-Khudry, beliau bersabda,


“Tidak sah suatu wudhu’ bagi orang yang tidak menyebut asma Allah.”
Beliau pernah bersabda,

“Barangsiapa yang mengerjakan wudhu kemudian berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tiada Ilahselain Allah semota, -rang tiada sekutu bagi¬Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul¬Nya’, maka dihukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan, dia bisa masuk dart pintu mana pun yang dike hendakinya. ” (Diriwayat¬kan Muslim).
At-Tirmidzy menambahi dengan isnad yang shahih setelah tasyahhud
ini,
“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat don jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mensucikan dirt.
5. Doa dan Dzikir Saat Adzan
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi waSc-rllam, bahwa be-liau mensunnahkan adzan dengan pengulangan maupun tanpa pengulangan, mensyariatkan iqamah dua-dua atau satu kali. Tetapi yang pasti ada kalimat iqamah, yaitu Qad gamatish-shalah. Tidak ada riwayat yang shahih bahwa bacaannya sekali saja. Takbir di awal adzan empat kali, dan tidak ada riwayat yang shahih bahwa takbir itu hanya dua kali. Sedangkan hadits yang menye-butkan, bahwa Bilal diperintahkan untuk menjadikan adzan berpasangan dan menunggalkan iqamah, tidak menafikan pembacaannya empat kali. Sebab bacaan cmpat kali ini disebutkan secara jelas di dalam hadits shahih, yaitu dalam hadits Abdullah bin Zaid, Umar bin Al-Khatlithab dan Abu Mah¬dzurah.
Tentang bacaan iqamah yang hanya sekali, disebutkan secara shahih dari Ibnu Umar tentang bacaan iqamah dua kali. Dia berkata, “Adzan pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dua kali dua kali, iqamah satu kali satu kali. Hanya saja beliau bersabda, “Qadqamatish-shalah, gad qamatish-shalah”. Disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhary, dari Anas, bahwa Bilal diperintahkan untuk menjadikan adzan berpasangan dan

menunggalkan iqamah, kecuali iqamah (qad qamatish-shalai).
Tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang dzikir sewaktu adzan sesudahnya, maka beliau mensyariatkan lima hal:
Pendengar mengucapkan seperti yang diucapkan mu’adzin, kecuali dalam lafazh hayya ‘alash-shalah dan hayya ‘alal-falah, yang diganti dengan ucapan la haula wa la quwwata illa billah.
Pendengar mengucapkan sebagai berikut,

“Aku hersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah, dan bahwa Muham
mad adalah Rasul Allah. Aku ridha kepada Allah sebagai Rabb,
kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sehagairasul.” Beliau mengabarkan bahwa siapa yang mengucapkannya, maka dosanya diampuni.
Bershalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah men irukan lafazh mu’adzin.
Mengucapkan doa seusai adzan,
A

“Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini dan shalat yang ditegakkan ini, berikanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, bangkit¬kanlah is di tempat yang terpuji seperti yang Engkau janjikan.” (Diriwayatkan AI-Bukhary).
Berdoa untuk diri send iri setelah itu dan memohon karunia kepada Allah, niscaya Dia akan mengabulkannya. Disebutkan di dalam hadits shahih, beliau bersabda,
“Doa tielak akan tertolak antara adzan dan iqamah”. Mereka her-tanya. “Apa yang horns Irwin ucapkan wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Mohonlah alien kepada Allah di dunia dan di akhirat. (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Ahmad).
6. Dzikir Saat Melihat Hilal
Saat inelihat hilal, beliau mengucapkan,

“Ya Allah, datangkanlah rembulan ini dengan membawa keamanan dan keimanan kepada kami, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.” (Diriwayatkark At-Tirmidzy).
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Allah Mahabesar. Ya Allah, datangkanlah rembulan ini dengan mem¬bawa keamanan dan keimanan kepada kami, keselamatan dan Islam serta taufik seperti yang disukai dan diridhai Rabb kami. Rabb kami
dan Rabbmu adalah Allah. (Diriwayatkan Ad-Darimiy).
7. Dzikir Sebelum dan Sesudah iviakan
Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memegang makanan, maka mengucapkan bismillah dan beliau menyuruh orang yang hendak makan untuk mengucapkannya. Beliau bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian makan, maka hendaklah menve¬but asma Allah. Jika dia lupa menyebut a.sma Allah pada permulaan¬nya, maka hendaklah dia mengucapkan, `Dengan asma Allah pada permulaan dan akhirnycl ” (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Abu Daud dan Al-Hakim).
Tapi yang waj ib dilakukan ialah membaca basmalah itu ketika hendak makan. Sebab hadits-hadits yang rnemerintahkan hal ini sudah jelas dan kuat, tidak ada yang sal ing bertentangan, tidak ada Pula ijma’ yang menentangnya atau mengeluarkannya dari zhahir hadits. Siapa yang tidak membacanya, maka dia merupakan sekutu syetan.
Dal am hal ini ada masalah yang perlu dipecahkan. Jika yang sedang makan jumlahnya banyak, apakah keterlibatan syetan dalarn makanan itu sudah bisa tersingkirkan jika yang membaca basmalah hanya satu orang di antara mereka, ataukah syetan itu belum tersingkirkan kecuali jika mereka semua membacanya?
Asy-Syafi’y menetapkan bahwa bacaan satu orang itu sudah mewakili yang lainnya. Rekan-rekan Asy-SyalCy menganggap hal ini serupa dengan mem balas salarn dan menjawab orang yang bersin. Tapi bisa saja dikatakan, “Keterlibatan syetan tidak bisa disingkirkan kecuali setiap orang mengucap¬kan basmalah dan tidak cukup hanya dengan bacaan orang lain atas dirinya. Karena itu disebutkan di dalam hadits Hudzaifah, bahwa dia bersama bebe¬rapa orang shahabat menghadiri jamuan makan. Tiba-tiba datang seorang wanita yang sepertinya didorong-dorong. Maka dia beranjak menghampiri makanan clan menyodorkan tangan untuk mengambilnya. Maka beliau

menepis tangannya. Kemudian muncul seorang Araby yang hendak melakukan hal yang sama, lalu beliau menepis tangannya. Bel iau bersabda, ‘Sesungguhnya syetan hendak menghalalkan makanan yang tidak disebutkan asma Allah. la datang bersama \-vanita ini untuk menghalalkannya. Maka aku menepis tangannya. Lalu ia datang bersamaA-Raby ini untuk menghalalkan¬nya, maka aku menepis tangannya. Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, sesungguhnya Tangan-Nya ada di tanganku, di samping tangan kedua orang ini.’ Setelah itu beliau mengucapkan basmalah lalu makan. Sekiranya satu orang yang membaca basmalah sudah cukup bagi yang lain, tentunya syetan tidak akan meletakkan tangannya di makanan itu.
Tapi hal ini dapat disanggah, bahwa Nabi ShallallahuAlaihi waSallam belum meletakkan tangan dan membaca basmalah kecuali belakangan. Wani¬ta yang lebih dahulu mengulurkan tangan ke makanan tanpa membaca basmalah. Begitu pun yang dilakukan A’raby, sehingga syetan bergabung dengan keduanya. Maka bagaimana mungkin engkau katakan bahwa syetan bergabung dengan orang yang belum membaca basmalah, sementara basma¬lah itu belum diucapkan siapa pun?
Maka inilah yang bisa dikatakan tentang masalah ini, bahwa At-Tirmi¬dzy meriwayatkan dan dia menshahihkannya, dari hadits Aisyah, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyantap makanan bersama enam orang shahabat. Lalu ada seorang A’raby dan langsung makan dua kali suapan. Maka beliau bersabda, -Sekiranya dia membaca basmalah, maka hal itu sudah cukup bagi kalian.”
Tapi yang pasti, beliau dan enam shahabat itu j uga membaca basmalah. Lalu ketika A’raby itu datang, dia langsung ikut makan tanpa membaca bas-malah, sehingga syetan bergabung bersama rnakanannya hingga dia makan dua kali suapan. Sekiranya dia membaca basmalah, tentu hal itu cukup bagi semuanya.
Tapi masalah ini berbeda dengan membalas salam dan menjawab orang yang bersin. Syetan berwasilah lewat makanan untuk bergabung dengan orang yang makan, selagi tidak membaca basmalah, sehingga ia bisa ikut makan bersamanya. Sekali pun orang lain sudah membaca basmalah, toh tidak mampu menghalau syetan untuk bergabung dengan orang yang tidak membaca basmalah.
iika makanan sudah diangkat dari hadapan beliau, maka beliau mengucapkan,

“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang hanyak, balk dan penuh barakah di dalamnya, tanpa merasa cukup, tidak ditinggalkan dan selalu dibutuhkan, wahai Rabb kami.”(Diriwayatkan AI-Bukhary dan At-Tirmidzy).
Doa selain itu,

“Segal(’ puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minuet serta menjadikan kami orang-orang Muslim.” (Diriwayatkan At¬Tirmidzy, Abu Daud dan Ibnu Majah).

“Segala puji bagi Allah yang telah mencukupi kami dan memberi
tempal tinggal kepada kami.” (Diriwayatkan Al-Bukhary).
Ketika beliau menemui keluarganya, terkadang beliau bertanya kepada mereka, -Apakah kalian mempunyai makanan?” Sekali pun beliau tidak pemah mencela makanan. Jika makanan itu mengundang sclera. maka beliau mernakannya, dan jika beliau tidak menyukainya, maka beliau men ing,gal- kannya dan diam.
Terkadang beliau memuji makanan, seperti saat beliau mem inta lauk kepada keluarganya. Namun mereka hanya mempunyai cuka. Maka beliau mem intanya dan makan dengan cuka itu seraya bersabda, -Lauk yang pa¬ling nikmat adalah cuka.”
Dalam hal makanan ini tidak ada sanjungan yang melebihkan susu, daging, madu, sayur maupun kuah. Hanya dalam kesempatan itulah beliau memuji lauk. Padahal jika beliau disodori susu atau daging, lebih layak bagi beliau untuk rnemujinya daripada memuji cuka. Hal ini dimaksudkan untuk menyenangkan hati orang yang menyuguhkannya, bukan berarti menyanjung cuka ini daripada lauk atau makanan Iainnya.
Jika ada makanan yang disodorkan. sementara beliau sedang berpuasa, maka beliau mengatakan, “Aku sedang berpuasa.-
Beliau memerintahkan orang yang disodori makanan padahal dia sedang berpuasa, untuk mengucapkan shalawat atau mendoakan orang yang menyodorinya makanan itu. Jika tidak sedang puasa, hendaknya dia mema-kannya atau sebagian di antaranya.
Jika beliau diundang ke jamuan makan dan ada orang lain yang ikut bersamanya, maka beliau memberitahukannya kepada tuan rumah atau or¬ang yang mengundang, seraya bersabda, “Orang ini ikut kami. Jika engkau

menghendaki. maka engkau bisa memperkenankannya, dan jika engkau menghendaki, dia bisa kembali.”
Beliau memerintahkan orang untuk mengambil makanan yang paling dekat dengannya, dan beliau mempersilahkan tamu berulang kali untuk makan, seperti yang biasa dilakukan orang yang murah hati dan dermawan. Jika beliau makan di tempat orang lain, maka beliau tidak meninggalkannya sehingga berdoa baginya. Beliau berdoa di rumah Abdullah bin Busr,

“Ya Allah, berkahilahbagi mereka dalam apa yang Engkau anugerah¬kan kepada mereka, ampunilah bagi mereka dan rahmatilah mereka. (Diriwayatkan Muslim).
Beliau juga berdoa di rumah Sa’d bin Ubadah, seraya bersabda, “Orang-orang yang puasa diberi makan di tempat kalian, orang-orang bajik yang makan makanan kalian dan para malaikat pun bershalawat kepada kalian.” (Diriwayatkan Abu Daud).
Abu Daud meriwayatkan tentang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang makan di rumah Abul-Haitsam bin At-Taihan bersama para shahabat. Seusai makan, beliau bersabda kepada para shahabat, “Berikan imbalan kepada saudara kalian ini.”
Mereka bertanya, “Apa imbalannya wahai Rasulullah.”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya jika rumah seseorang dimasuki, lalu makanannya dinikmati, minumannya diminum, lalu mereka berdoa baginya, maka itulah imbalannya.” (Dalam sanadnya ada yang majhul).
Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa suatu malam beliau memasuki rumah dan mencari makanan, tapi tidak mendapatkannya. Maka beliau bersabda, “Ya Allah, berikanlah makanan kepada orang yang telah memberiku makanan, dan berilah minuman orang yang teiah memberiku minuman.” (Diriwayatkan Muslim).
Beliau biasa mendoakan seseorang yang menjamu orang-orang miskin dan mem uj inya. Suatu kali beliau bersabda, “Ketahuilah. orang yang menja¬mu ini adalah orang yang dirahmati Allah.”
Beliau bersabda kepada seorang Anshar dan istrinya yang rnemberikan makanan bagi anak-anaknya kepada tamunya dan lebih mcmentingkan tamunya itu daripada anak-anaknya, “Allah benar-benar ta’ ajub terhadap sikap kalian berdua semalam terhadap tamu.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
Beliau memerintahkan menggunakan tangan kanan untuk makan dan me arang makan dengan tangan kiri, seraya bersabda.

“Sesungguhnya syetan itu makan dengan tangan kn. inya dan minuet dengan tangan kirinya pula. ” (Diriwayatkan Muslim).
Kesinnpulan dari hadits ini adalah pengharaman dengan tangan
dan inilah pendapat yang benar. Sebab yang makan dengan tangan kiri, entah syetan, entah orang yang serupa dengan syetan. Bel iau pemah bersabda kepa-da orang yang makan di dekat beliau dengan tangan kirinya, “Makanlah dengan tangan kananmu.”
Orang itu berkata, ”Aku tidak bisa.”
Beliau bersabda, ”Tidak, engkau bisa melakukannya.-
Ada beberapa yang, mengadu kepada beliau, balk\ a mereka beim) merasa kenyang,. Maka beliau memerintahkan agar mereka rnerwumpulkan semua makanan yang ada dan tidak botch makan sendiri-sendiri. Lalu meme rintahkan agar mereka menyebut asma Allah, agar makanan itu diberkahi.
8. Salon], Merninta kin clan Menjawab Orang Bersin Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari Abu Hurairah.

“Sesungguhnya Islam yang paling utama dan paling balk ialah mem¬ber! makan don mengucapkan salam kepada yang orang yang engkau kenal don kepada arcing yang behon engkau kenal.” (Di riwayatkan A l¬Bukhary dan Muslim).
Di dalam Ash-Shahihainjuga disebutkan, bahwa setelah Adam dicipta-kan Allah, maka dia diperintahkan, “Temuilah sekumpulan para malaikat itu, ucapkan salam kepada mereka, dan dengarkan apa ucapan selamat yang mereka sampaikan kepadamu, karena itulah ucapan selamatmu dan anak keturunanmu.”
Maka Adam mengucapkan, “As-Salamu ralaikum. “
Mereka menjawab. “A s-Salamu ralaikum wa ralnatullah.” Mereka menambahinya dengan Ira rahmatullah (Diriwayatkan A l-B ukhary).
Di dalam Ash-Shahihain juga disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintalikan untuk menyebarkan,salarn dan menga¬barkan bahwa jika mereka menyebarkan salam di antara mereka, tentu mere¬ka akan saling mencintai, dan mereka tidak akan masuk surga kecuali jika mereka beriman, dan mereka tidak disebut beriman kecuali jika saling men¬cintai.
A l-Bukhary menyebutkan di dalam Shahih-nya, Ammar berkata, “Siapa yang menghimpun tiga perkara, maka dia telah menghimpun iman,

adil terhadap diri sendiri, mengucapkan salam kepada seluruh alam dan berinfak pada saat kikir.”
Di dalam ungkapan ini terkandung pangkal-pangkal kebaikan dan cabang-cabangnya. Keadilan mengharuskan adanya pemenuhan hak-hak Allah dan juga hak-hak manusia secara sempurna, tidak menuntut yang tidak layak kepada manusia, tidak membebani yang tidak layak kepada mereka, rnempergauli mereka dengan cara yang dia pun suka jika dipergauli dengan¬nya, memaalkan mereka yang dia pun suka jika dimaafkan, termasuk pula keadaan terhadap diri sendiri, seperti tidak membual dengan sesuatu yang sama sekali tidak ada pada dirinya, tidak mengotori, tidak menghinakan, tidak rnelecehkan diri sendiri dengan mendurhakai Allah, mengangkat dan me-ninggikan diri sendiri dengan menaati Allah, mencintai, takut dan berharap kepada-Nya. Jadi maksud adil terhadap diri sendiri ini mengharuskan adanya pengetahuan tentang Allah dan hak-hak-Nya, mengetahui dirinya dan apa
ang diciptakan bagi dirinya, tidak ikut campur dalam penciptaan ini, dengan mengaku memiliki hak kekuasaan dan kepemilikan, lebih mendahulukan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan Khaliq, membagi kehendak Khaliq dengan kehendaknya menurut kemauannya sendiri, seperti pemba¬gian yang dilakukan sebagian orang yang difirmankan Allah,
“Lulu mereka berkata dengan persangkaan mereka, ‘Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala hunt Maka saji-saj tan yang diper¬untukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah, dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sujian itusampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu. ” (Al-An’am: 136).
Maka hendaklah seorang hamba melihat, agar dirinya tidak menjadi seperti orang yang, membuat pembagian semacam itu, yaitu pembagian untuk Allah dan sekutu-sekutu-Nya, yang dilakukan hanya karena kebodohan dan kezhalimannya, atau dia terpedaya dan tidak menyadarinya. Memang begitulah manusia yang diciptakan dalarn keadaan zhalim dan bodoh. Maka bagaimana mungkin orang, yang disifati zhalim dan bodoh dituntut untuk adil? Bagaimana mungkin orang yang tidak adil terhadap makhluk mau berbuat adil terhadap Khaliq? Disebutkan di dalam atsar
“Wahai anak Adam, kamu tidak berbuat adtl kepada-Ku. Kehaikan-Ku turun kepadcunte„sedanglam keburukaninte naik kepada-Ku. Berapa banvak Aker membuat mu senang dengan berhagai nikmat. dan Aku tidak 111e171butuhkat7171U, dan herapa banyak kamu membuat-Ku murka dengan herbagal kedurhakaan dan kamu memhutuhkan Aku. Malaikat yang mulia .5enantiCISCI naik kepada-Ku dart sistmu sambil membawa amal yang buruk “
Mengucapkan salam kepada seluruh aim mencerminkan tawadhu’

dan tidak takabur terhadap siapa pun. Dia mengucapkan salam kepada yang muda maupun yang tua, kepada orang tehormat maupun kepada orang yang hina, kepada orang yang dikenal maupun kepada orang yang tidak dikenal. Sementara orang yang takabur tidak akan mau melakukan hal ini, bahkan dia tidak mau menjawab salam dari setiap orang yang mengucapkan salam kepa-danya, karena rasa takabur. Maka bagaimana mungkin dia mau mengucapkan salam kepada setiap orang?
Berinfak pada saat kikir tidak akan terlaksana kecuali karena keyakin¬an yang kuat terhadap Allah, karena dia merasa bahwa Allah akan mengganti apa yang telah di infakkannya.
Muslim meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallollahu Alaihi wa Sal-lam pernah melewati sekumpulan anak-anak kecil, lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka. Suatu hari beliau juga pernah melewati sekumpulan wanita. Maka beliau melambaikan tangan sebagai gambaran salam kepada mereka. Sementara Abu Daud meriwayatkan dari Asma’ binti Yazid. dia ber¬kata, “Nabi Shaliallahu wa Sallam pernah melewati kami dalam satu rombongan orang-orang wanita, lalu beliau menyampaikan salam kepada
Tapi yang pasti beliau memberi isyarat dengan tangannya kepada mereka sebagai gambaran penyampai an salam.
Dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan bahwa sekumpulan shahabat melewati seorang wanita tua dalam perjalanan mereka sepu Lang dari shalat Jurn’at, lalu mereka mengucapkan salam kepadanya. Lalu wanita tua itu memberi mereka gandurn.
Jadi yang benar dalam masalah salam kepada para wanita ialah meng-ucapkan salam hanya kepada wan ita tua dan mah ram, tidak kepada yang selainnya.
Disebutkan di dalam Shahih A l-Bukhary tentang siapa yang lebih layak mengucapkan salam terlebih dahulu,

“Yang muda mengucapkan salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang berkendaraan kepada yang berialan. dan yang sedikil kepada yang banyak
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan.
“Orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang ber
Di dalam Musnad Al-Bazzar disebutkan dengan isnad shahih, Orang yang berkendaraan mengucapkan salam kepada yang berja-
144 Zactui-Ma’ad

lan, yang berjalan kepada yang duduk, dan dua orang yang berjalan, mana yang memulai adalah yang lebih utama.”
Diriwayatkan dari beliau dengan isnad yang shahih,

“Sesungguhnya orang yang lebih utama di sisi Allah ialah siapa yang
lebih dahulu mengucapkan salam.”(Ditakhrij Ahmad dan Abu Daud).
Tuntunan Rasulullah ShallallahuAlaihi tina Sallam ialah mengucapkan salam setiap kali menemui sekumpulan orang dan ketika meninggalkan mere-ka. Diriwayatkan dari beliau.

“Jika salah seorang di antara kalianduduk (dalam .suatu pertemuan), maka hendaklah mengucapkan salam, dan Jika bangkit, hendaklah mengucapkan salam puler. dan yang pertama tidak lebih berhak dari¬pada yang akhir.” (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzy).

“Jika salah seorang di antara kalian bertemu temannya, maka hendak
lah dia mengucapkan salam kepadanya. Jika di antara keduanya ter
halang pohon atau dinding, kernudian berternu lagi, maka hendaklah
dia mengucapkan salam juga,” (Diriwayatkan Abu Daud).
Di antara tuntunan beliau, bahwa orang yang masuk masjid memulai dengan shalat dua rakaat tahiyat masjid, kemudian menghampiri orang-orang yang ada di dalamnya dan mengucapkan salam kepada Inereka. Jadi tahiyat masj id dilakukan sebelum mengucapkan salam kepada orang-orang yang ada di dalamnya. Sebab tahiyat masjid itu merupakan hak Allah dan saiam merupakan hak makhluk. Hak Allah harus didahulukan daripada hak makh I uk. Berbeda dengan hak yang berkaitan dengan harta. Perbedaan di antara keduanya terletak pada kebutuhan anak Adam dan tidak mampunya harta untuk mernenuhi dua hak secara sekaligus. Regitulah kebiasaan orang¬orang bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallarn. Jika di antara mereka ada yang masuk masjid, maka dia shalat dua rakaat terlebih dahulu, lalu datang menghampiri beliau dan mengucapkan saiam. Karena itu disebutkan di dalam hadits Rifa’ah bin Rafi’, bahwa suatu hari beliau duduk di masjid bersama

beberapa shahabat.lu datang seseorang yang menyerupai orang badui, lalu dia shalat dua rakaat dengan cepat-cepat. Ketika orang itu menghampiri beliau dan mengucapkan salam, beliau menyuruhnya untuk shalat lagi dua rakaat, karena shalatnya itu tidak sungguh-sungguh. Di sini beliau menging¬kari cara shalat orang itu dan tidak mengingkari penundaan salamnya kepada beliau.
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa orang yang masuk masjid disunat-kan menyampaikan tiga salam secara berurutan, yaitu salam saat masuk masj id dengan ucapan, “Bismillah wash-shalatu ala Rasulillah”, kern udian shalat dua rakaat sebagai tahiyat atau ucapan salam ke masjid, kemudian mengucapkan salam kepada orang yang ada di dalamnya.
Muslim meriwayatkan, jika beliau pu tang, kepada keluarganya pada malam hari, maka beliau mengucapkan salam dengan suara pelan, yang tidak membangunkan orang yang sedang tidur, namun bisa didengar orang yang masih terjaga.
Disebutkan dalam beberapa riwayat, namun tidak kuat, bahwa salam diucapkan sebelum berbicara yang lain atau menanyakan sesuatu. Siapa yang lebih dahulu bertanva sebelum salam, maka pertanyaannya tidak perlu dija¬wab. Begitu pu la orang yang meminta izin terlebih dahulu sebelum salam, maka dia tidak perlu diberi izin.
Rasulu I lah Shallallahu A laihi wa Sallam senantiasa mengucapkan salam kepada orang yang berhadapan dengan beliau, menyampaikan salam kepada orang lain yang tidak had ir dan juga membalas penyampaian salam kepada orang yang menyampaikan salam kepada beliau, seperti yang beliau lakukan dengan menyampaikan salam dari Allah Azzawa Jalla kepada Kha-dijah binti Khuwail id, istri beliau, sebagaimana yang dikatakan Jibril kepada beliau, dia Khad ijah yang datang kepadamu sambil membawa makanan. Maka sampaikan salam kepadanya dari Rahh-nya dan juga dariku, serta sam¬paikan kabar gem bira kepadanya tentang, sebuah rumah di surga.” (Diriwa¬yatkan Al-Bukhary).
Beliau jun menyampaikan salam Jibril kepada A isyah, Jibril
menyampaikan salam kepadamu.”
Maka A isy ah berkata, “Salam kepadanya, rahmat Allah dan barakah-Nya. Dia melihat apa yang tidak dapat kulihat.”
Salam beliau selalu diakhiri dengan waharakatuh. An-Nasa’y meriwa-yatkan, bahwa Lida sescorang menemui beliau serava mengucapkan, “As-Salamu ‘alaikum”.
Maka beliau menjawab salamnya itu seraya bersabda, “Sepuluh,” Lalu beliau duduk, dantak lama kemudian datang orang lain dan meng-ucapkan salam, “A s-Salamu ‘alaikum wa rahmatzillah.

Maka beliau menjawab salamnya itu seraya bersabda, “Dua puluh.”
Beliau duduk dan tak lama kemudian datang orang lain yang meng-ucapkan salam, -As-Salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.”
Beliau menjawab salam itu seraya bersabda, “Tiga puluh.”
Di antara tuntunan beliau ialah mengucapkan salam hingga tiga kali, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhary, dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu. dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi
Sallam menyampaikan perkataan, maka beliau biasa mengulangnya tiga kali hingga perkataan bet iau bisa dipahami. Jika beliau menemui sekumpulan orang lalu mengucapkan salam kepada mereka, maka beliau mengucapkan¬nya tiga (Diriwayatkan Al-Bukhary, At-Tirmidzv dan Al-Hakim).
Boleh jadi tuntunan beliau tentang salam ini ditujukan kepada orang banyak, yang tidak bisa didengar oleh mereka semua jika salam itu di ucapkar hanya sekali, atau itu merupakan perkiraan dari iau, bahwa salam yang pertama belum cukup didengar oleh mereka semua, seperti yang beliau lakukan ketika berkunjung ke rumah Sa’d bin Ubadah, dengan mengucapkan salam tiga kali. Ketika tak seorang pun menjawab salamnya setelah meng¬ucapkannya tiga kali, maka beliau kembati. Kalau memang petunjuk beliau tentang salam ini selalu beliau ucapkan hinggatiga kali, tentunyapara shaha¬bat juga mengucapkannya tiga kali, atau beliau mengucapkannya tiga kali kepada siapa pun yang berpapasan dengan beliau, atau beliau mengucapkan¬nya tiga kali ketika hendak masuk rumah. Maka siapa yang memperhatikan tuntunan beliau tentang masalah ini, tentu akan mengetahui bahwa permasa¬lahannya tidaklah seperti itu. Pengulangan salam yang bet iau lakukan hingga tiga kali itu hanya sesekali waktu saja.
Beliau selalu mengucapkan salam lebih dahulu kepada orang yang berpapasan dengan beliau. Jika ada orang mengucapkan salam lebih dahulu kepada beliau, maka beliau membalasnya seperti salam yang diucapkan or¬ang itu atau lebih baik dan lebih lengkap, dilakukan seketika tanpa menun¬danya, kecuali karena ada alasan tertentu, seperti scat shalat dan buang hajat.
Beliau memperdengarkan balasan salam kepada orang yang mengu-capkan salam, tidak membalas hanya dengan isyarat Langan, kepada atau jari, kecuali ketika shalat. Isyarat dalam shalat ini disebutkan di beberapa hadits dan tidak ada riwayat yang bertentangan dengannya kecuali riwayat batil dan tidak shahih, seperti hadits yang diriwayatkan Abu Ghathafan, seseorang yang tidak jelas identitasnya, dari Abu 1 lurairah, dari beliau, “Siapa yang memberi isyarat dalam shalat dengan suatu isyarat yang bisa dipahami, maka hendaklah dia mengulang lagi shalatnya.” Yang benar dan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau memberi isyarat dalam shalat.

Tuntunan beliau bagi orang yang mengucapkan salam terlebih dahulu ialah dengan ucapan, “As-Salamu ‘alaikum wa rahmatullah.” Dimakruhkan mengucapkan salam dengan ucapan sebatas Alaikas-salam bagi orang yang lebih dahulu mengucapkan salam.
Abu Daud meriwayatkan dengan isnad yang shahih, bahwa Abu Jary Al-Hujaimy berkata, “Aku menemui Nabi Shallallahu Alaihi Iva SalIamlalu kuucapkan, “Alaikas-salam wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Janganlah engkau ucapkan begitu, karena yang demikian itu ucapan selamat kepada orang yang sudah
Namun beliau membalas salam dengan ucapan, “Wa ‘alaikas-salam”. Dengan tambahan huruf wawu di awalnya.
Lalu bagaimana tuntunan beliau tentang masalah salam terhadap Ahli Kitab? Ada riwayat shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. bahwa beliau bersabda,
“Janganlah kalian lebih dahulu mengucapkan salam kepada mereka. Jika kalian bertemu mereka di jalan, maka paksalah mereka ke jalan yang paling sempit.”
Tapi ada yang berpendapat, sabda beliau ini berkaitan dengan kejadian khusus, yaitu tatkala mereka mendatang i Bani Quraizhah. Apakah ini merupakan hukum secara umum yang berlaku bagi setiap Ahli Kitab, ataukah itu khusus bagi mereka yang keadaannya seperti Bani Quraizhah? Memang masalah ini harus ditegaskan. Maka dalam riwayat Muslim disebutkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Iva Sallam bersabda,
“Janganlah kalian lebih dahulu mengucapkan salam kepada orang
orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalianbertemu salah seorang di anta
ra mereka di jalan, maka paksalah mereka ke jalan yang paling sem
pit. “
Menurut zhahirnya. hukum ini berlaku secara umum. Namun begitu masih ada perbedaan di kalangan salaf dan khalaf tentang masalah ini. Mayoritas di antara mereka berpendapat, memang mereka tidak layak diberi ucapan salam terlebih dahulu. Sebagian ada yang berpendapat, boleh lebih dahulu mengucapkan salam kepada mereka. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Umamah dan lbnu Muhairiz, dan ini juga merupakan salah satu dari pendapat Asy-Syatly. Tapi mereka menetapkan hanya sebatas ucapan as-salamu `alaika. tanpa kelanjutannya dan dengan lafazh tunggal, bukan ‘alaikun7yang merupakan lafazh jama-. Golongan lain ada yang berpendapat, boleh lebih dahulu mengucapkan salam kepada mereka atas pertimbangan kemaslahatan yang jelas, seperti karena keperluan kepada mereka, takut dari ancaman mereka, adanya hubungan kekerabatan atau sebab lain yang memang diperlukan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’y dan A Iciamah. Sementara Al-Auza-y berkata, “Jika engkau mengucapkan

salam kepada mereka, maka orang-orang shalih pun melakukannya, dan j ika engkau tidak mengucapkan salam kepada mereka, orang-orang shalih pun melakukannya.”
Mereka jugs sating berbeda pendapat tentang membalas salam Ahli Kitab. Jumhur ulama mewajibkannya, dan ini pendapat yang benar. Ada golongan yang berpendapat, tidak wajib, sebagaimana tidak wajibnya membalas salam ahli bid’ah.
Al-Bukhary meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati suatu majlis yang di sana ada orang-orang Muslim, orang-orang musyrik yang menyembah berhala dan ada juga orang-orang Yahudi, lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka. Dalam surat yang kirimkan kepada Heraklius, beliau juga menulis, “Salam kepada orang yang mengikuti petunjuk.”
Di antara tuntunan beliau ialah membalas salam yang disampaikan kepada beliau dari orang lain, baik kepada pemberi salam atau yang menyam¬paikan salam itu, sebagaimana yang disebutkan di dalam As-Sunan, bahwa ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Ayahku menyampaikan salam kepada engkau.” Maka beliau menjawab, “Salam atas dirimu dan juga kepada ayahmu.” (Diriwayatkan Abu Daud. Tapi dalam isnadnya ada yang majhul).
Lalu bagaimana tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang meminta izin? Diriwayatkan dari beliau, bahwa beliau bersabda,
“Meminta izin itu liga kali, jika engkau di izinkan, danjika tidak tidak,
maka kembalilah. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
“Me minta izin itu ditetapkan karena pandangan. (Ditakhrij Al
Bukhary dan Muslim).
Diriwayatkan bahwa beliau pernah hendak mencongkel mata orang yang melihat beliau dari celah di bilik beliau. Diriwayatkan bahwa beliau juga pernah bersabda,

- -
“Sekiranyaada seseorang mengintipmu tanpa meminta izin, lalu eng¬kau menimpuknya dengan bale hingga mencongkel matanya, maka engkau tidak berdosa. (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim). Salam diucapkan sebelum meminta izin. Ada seseorang meminta izin
kepada beliau, seraya bertanya, “Bolehkah aku masuk?”
Bel iau menjawab, “Ucapkan teriebih dahulu, ‘As-Salamu alaikum, bolehkah aku masuk?’”
Orang itu mendengamya, maka dia mengucapkan salam, lalu meminta

izin untuk masuk. Maka orang itu pun masuk setelah beliau mengizinkannya. (Ditakhrij Abu Daud).
Jika orang yang meminta ditanya, “Siapa?” Maka dia harus menjawab secara jelas, “Fulan bin Fulan”, atau menyebutkan julukannya, dan tidak bo¬leti menjawab, “Aku.” Jawaban semacam ini juga dilakukan Jibril saat mi’raj, ketika beliau meminta agar pintu langit dibukakan, dan ditanya, “Siapa.” Maka Jibril menjawab. “Jibril.” Begitu seterusnya setiap kali beliau meminta dibukakan di setiap lapisan langit. Begitu pula Jawaban Abu Bakar, Umar dan Utsman, ketika mereka ditanya, “Siapa?”
Tentang meminta izin yang diperintahkan Allah kepada para budak dan anak-anak yang belum baligh pada tiga waktu, yaitu pada waktu sebelum fajar, waktu zhuhur dan saat tidur, maka Ibnu Abbas memerintahkan yang demikian itu_ seraya berkata, “Pada saat-saat itu manusia sedangtidak beker¬ja.” Menurut yang lain, bahwa ayat ini terhapus. Tapi dia tidak mengajukan hujjah yang lain. Ada pula yang berpendapat, itu merupakan perintah yang bersi fat anjuran dan tuntunan, bukan wajib dan baku. Tapi dia tidak menga¬jukan dalil yang bisa mengalihkan dari zhahir ayat ini. Ada pula yang ber¬pendapat, yang diperintahkan seperti itu hanya berlaku untuk wan ita saja. Bagi orang laki-laki bisa meminta izin kapan pun yang diperlukan, tanpa kecuali. Pendapat ini jelas batil. Sebab kata alladzina tidak menunjukkan pengecualian bagi kaum wanita. Ada pula yang berpendapat kebalikannya, bahwa yang diperintahkan itu adalah khusus kaum laki-laki, dengan melihat kata alladzina yang digunakan dalam ayat ini. Tapi makna ayat ini secara keseluruhan tidak bisa rnenerimanya. Ada pula yang berpendapat, bahwa mem inta izin pada waktu-waktu itu karena ada keperl uan, lalu dianggap tidak ada. Sementara hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu alasan, menjadi gugur jika alasan itu tidak ada.
Abu Daud meriwayatkan di dalam Sunan-nya, bahwa ada beberapa or-ang dari penduduk Irak yang bertanya kepada Ibnu Abbas. “Wahai Ibnu Abbas, apa pendapat engkau tentang ayat yang memerintahkan untuk memin¬ta izin pada tiga waktu itu?”
Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang terhadap orang-orang Mukmin. Dia menyukai tutupan. Sementara banyak orang yang rurnahnya tidak mempunyai tabir atau pun penyekat-penyekat. Boleh jadi pembantu masuk, anak atau anak yatim yang dipelihara. Maka Allah memerintahkan agar mereka meminta izin pada wak-tu-waktu itu. Maka Allah memberikan tabir dan kebaikan kepada mereka. Tapi sayang, saya tidak melihat ada orang yang melaksanakannya.”
Yang benar tentang masalah ini, jika di sana ada kondisi yang membe-rikan indikasi seperti meminta izin. seperti membuka pintu yang merupakan tanda ada yang masuk atau tanda-tanda lain, maka hal itu sudah bisa rnewakili

permintaan izin. Jika tidak ada tanda-tanda itu, maka harus tetap meminta izin.
9. Tuntunan Rasulullah tentang Dzikir Saat Bersin Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,


“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Jika .salah seorang di antara kalian bersin dan membaca hamdalah, maka ada hak alas setiap prang Muslim yang mendengarnya untuk meng¬ucapkan, ‘Semoga Allah merahmatimu Adapun menguap adalah sebagian dari .syetan. Jika salah seorang di antara kalian menguap, hendaklah menahannya menurut kesanggupannya. Sesungguhnyajika salah seorang di antara kalian menguap, maka syetan tertawa karena¬nya. ” (Diriwayatkan AI-Bukhary).
Bel iau juga bersabda,


“Jika salah seorang di antara kalian bersin lalu mengucapkan, ‘A 1- hamdulillah maka hendaklah saudaranya atau rekannya menyahut,•’Yarhamukallah’. Jika dia berkata, ‘Yarhamukallah’, hendaklah yang bersin menyahut, ‘Yandikurntillah wa yushlihu baluktim “(Diriwayat¬kan Al-Bukhary).
“Apabila salah seorang di antara kalian bersin lcrlu mengucapkan hamdalah, maka hendaklah kalian mengucapkan, Tarhamukallah’. Apabila dia tidak mengucapkannya, maka kalian juga tidak perlu mengucapkannya.” (Diriwayatkan Muslim).

“Hakorang Muslim atas orang Muslim lainnya ada enam: Jika engkau
hertemu dengannya, maka ucapkanlah salam. Jika dia mengundang
mu, maka penuhilah. Jika dia meminta nasihat kepadamu, maka beri
lah dia nasihat. Jika dia bersin dan memuji Allah, maka ucapkanlah
`Yarhamtikallah’. Jika dia sakit, maka jenguklah. Jika dia meninggal
dunia, maka iringilah,” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
Karena orang yang bersin telah mendapatkan nikmat dan manfaat dari bersinnya itu, yang ditandai dengan keluarnya uap yang mengendap di dalam selapot otaknya, yang andaikan uap itu tetap berada di sana bisa mendatang-kan penyakit yang berat, maka dia diperintahkan untuk memuji Allah atas nikmat ini, sehingga badannya dalam keadaan yang stabil, setelah is tergun¬cang seperti bumi yang sedang mengalami gempa, karena memang bersin menciptakan gerakan dan guncangan di badan. Ada yang mengatakan, bersin ini merupakan tindakan untuk membuat syetan merasa kecewa. karena orang yang bersin membuat syetan marah setelah dia mengucapkan hamdalah, sebagai ungkapan atas nikmat Allah dan kecintaan Allah kepadanya. Sebab Allah juga menc intainya. Jika hamba menyebut asma Allah dan memuj i-Nya, maka yang dem ikian itu mengecewakan syetan. Bersin itu merupakan sesuatu yang disukai Allah, yang disertai dengan ucapan hamdalah, doa bagi orang Muslim agar dikaruniai rahmat, mendapat petunjukdan keadaannya dibagus¬kan. Semua ini membuat syetan marah dan sedih.
Di antara tuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saat ber-sin, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzy, dari Abu Hurairah,-dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersin, maka beliau meletakkan tangan atau kainnya di mu lut, menekur atau mena-han
Diriwayatkan dari beliau, bahwa bersin dengan suara yang keras atau menguap lebar-lebar termasuk perbuatan syetan. Allah tidak menyukai suara yang keras saat menguap dan bersin.
Ada riwayat yang shahih dari beliau, bahwa ada seseorang yang bersin di dekat beliau. Maka beliau mengucapkan, “Yarhamukallah.- Kemudian orang itu bersin lagi. Maka beliau bersabda, “Orang ini terserang selesma.”
Da lam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari Salamah bin A l-Akwa’, dia berkata, -Ada seseorang yang bersin di dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan aku menyaksikannya. Maka beliau mengucapkan, Yarhamukallah’. Kemudian orang itu bersin lagi kedua lalu ketiga. Maka beliau bersabda, “Orang ini terkena selesma.”
Diriwayatkan dengan isnad hasan, dari Abu Hurairah, dan dia memar-fu’kannya, bahwa jika salah seorang bersin, maka hendaklah teman di dekatnya mengucapkan.”Yarhannukallah”. Jika lebih dari tiga kali, maka itu

pertanda selesma. Maka setelah yang ketiga kali itu tidak perlu mengucapkan ‘Yarhamukallah’.
Boleh jadi ada yang berkata, “Kalau memang itu merupakan tanda selesma, tentunya dia lebih layak untuk didoakan daripada orang yang tidak akan terkena selesma.” Hal ini dapat dijawab sebagai berikut: Dia didoakan layaknya doa untuk orang yang sakit, bukan sebagai orang yang sedang bersin.
Bersin merupakan nikmat Allah dan Allah menyukainya, karena bersin membuat badan terasa ringan dan uap yang mengendap bisa keluar. Sabda beliau, “Orang ini terkena selesma”, merupakan peringatan bahwa dia layak didoakan dan dimintakan afiat, karena selesma termasuk penyakit.
Ada perbedaan pendapat dalam dua masalah sehubungan dengan ber¬sin ini. Pertama, jika orang yang bersin mengucapkan hamdalah, lalu sebagi¬an ada yang mendengar bacaannya dan sebagian lain tidak bisa mendengar¬nya. Apakah bagi orang yang tidak mendengar ucapan hamdalahnya juga disunatkan untuk mengucapkanyarhamukallah? Ada dua pendapat tentang masalah ini. Tapi yang pasti dia harus mengucapkan yarhamukallahjika dia merasa yakin bahwa yang bersin itu mengucapkan hamdalah, sekalipun dia tidak mendengarnya secara langsung, sebagaimana orang tuli yang juga harus berbuat hal yang sama selagi dia melihat gerak bibir orang yang bersin, bahwa dia mengucapkan hamdalah.
Kedua, jika orang yang bersin tidak mengucapkan hamdalah, apakah orang yang ada di dekatny a harus mengingatkannya ataukah tidak? Ibnul-Araby berpendapat, orang yang di sampingnya tidak perlu mengingatkannya. Sementara Ibrahim An-Nakha’y berpendapat sebaliknya, yaitu perlu meng-ingatkannya untuk mengucapkan hamdalah. Sebab hal ini termasuk amar ma ‘ref dan nasi hat-menasi hati. Zhahir As-Sunnah lebih menguatkan penda¬pat I bnul-A ra by. Sebab Nabi Shallallahu A laihi wa Sallam tidak mem ba las orang yang tidak mengucapkan hamdalah saat bersin dan tidak pula meng¬ingatkannya, sebagai peringatan baginya bahwa dia tidak mendapatkan ba¬rakah hamdalah. Karena dia lalai terhadap Allah, maka Allah pun menahan Iidah dan hati orang-orang Mukmin untuk tidak mendoakannya. Sekiranya mengingatkan hal itu merupakan Sunnah, tentunya beliau akan melakukan¬nya.
Ada riwayat yang shahih dari beliau, bahwa orang-orang Yahudi per¬nah hers in sama-sama di dekat beliau, dengan harapan beliau akan meng¬ucapkan yarhamukumullah. Tapi ternyata beliau mengucapkan, ” Yandiku¬mullah wa yushlihu balakum”.
10. Dzikir dan Adah Perjalanan
Ada riwayat shahih dari Rasta lul lah Shallallahu Alaihi wa Seam, bah-wa beliau bersabda,


salah seorang di antara kalian menginginkan suatu urusan, maka hendakluh dia shalat dun rakaat selain yangfardhu, kemudian mengucapkan, Ta Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang baik dengan ilmu-Mu, aku memohon ketetapan kepada-Mu dengan takdir-Mu, aku memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau kuasa dan aku tidak kuasa, engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui yang gaib. Ya Allah, sekiranya Engkau inengetahui bahwa urusan ini (menyebutkan apa yang diinginkan) baik bagiku dalam agamaku dan kehidupanku, duniaku dan akhiratku, maka tetapkanlah is bagiku, mudahkanlah is bagiku dan berkahilah in bagiku di dalamnya. Dan, sekiranya Engkau mengetahui is buruk bagiku dalam agamaku dan kehidupanku, duniaku dan akhiratku, maka jauhkanlah is dariku. Tetapkanlah kebaikan bagiku apa pun jadinya, kemudian buatlah aku ridha kepadanya’.” (Diriwayatkan Al-13ukhary).
Rasulullah Shallallahu Alaihi waSallam mengganti kebiasaan Jahili¬y an yang, melepaskan burung atau membuat undian dengan anak panah atau undian macam apa pun, dengan doa yang mulia in i. Orang-orang Jahiliyah yang musyrik biasa membuat undian itu, yang maksudnya untuk mengetahui dan menetapkan apa yang beim diketahui, yang disc but istig,sam (penetapan keputusan dengan undian). Sementara doa ini mencerminkan tauhid, kebutuhan. ubud iyah, tawakal dan permohonan kepada Dzat yang di Tangan-Nya terdapat sennua kebaikan, yang apa pun bentuk kebaikan pasti datang dari-Nya dan apa pun keburukan yang disingkirkan, atas perbuatan-Nya. Sehiruzga jika Dia membukakan rahmat bagi seorang hamba, tiada seorang

pun yang bisa menahannya, dan jika Dia menahan rahmat dari seorang ham-ha, tiada seorang pun yang bisa memberikannya, entah dengan kekuatan man¬tera maupun ilmu nujum. Doa ini mengandung pengakuan terhadap eksistensi Allah, pengakuan terhadap kesempurnaan sifat, ilmu, kehendak dan kekuasa¬an-Nya, pengakuan terhadap Rububiyah-Nya, penyerahan urusan kepada¬Nya, permohonan pertolongan dan tawakal kepada-Nya, pengakuan hamba terhadap kelernahan dirinya, ketidaktahuannyatentang kemaslahatan dirinya, kekuasaan dan kehendaknya, yang semua itu ada di Tangan Allah yang menciptakan dan melindunginya.
Maka ketika seseorang hendak mengadakan perjalanan, dia akan me-m inta petunjuk kepada Allah dengan doa istikharah ini, tidak melakukan seperti yang dilakukan orang-orangJahiliyah, dengan membuat undian atau ramalan dari tengara-tengara alam di sekitarnya.
Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menunggang hewan tunggangannya, maka beliau bertakbir tiga kali, kemudian mengucapkan,

“Mahasuci Dzat yang telah me nundukkan semua ini bagi kami, pada¬hal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami,
Kemudian beliau mengucapkan,
a ; ftio
L-; LLA C “-13L-”
-4 V
_lc
7
7 11′ A
u JP:LI g
. ,4T5′ Ls:9_
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohan kepada-Mu claimm perjalan¬an kami ini kebajikan dan takwa serta amal yang Engkau ridhai. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah kepada kami yang jauh. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan peng¬ganti di tengah keluarga. Ya Allah, tenianilah /canal dalam perjalan¬an kami dan jadikanlah pengganti bagi kami di tengah keluarga ka
mi. 31
Jika sudah kembali,beliau mengucapkan doa ini pula lalu menambahi
nya,

“Komi dalam keadaan kembali, bertaubat dan beribadah kepada Rabb kami serta memuji.” (Ditakhrij Muslim).
Di dalam Shahih Muslim disebutkan, bahwa jika beliau hendak beper-gian, maka beliau mengucapkan,
- 1-;:c.-
„,SI -t;
-
/ 0 / 0 0
Szti j .1,1,-; .1 11 • „4_,
• ,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan dalam perjalan¬an, kesedihan saat kembali, dart kebingungan setelah berkumpul, dari doa orangyangdizhalimi, dari keburukan pemandangan. baik dalam keluarga maupun harta. “
Apabi la beliau hendak berpisah dengan para shahabat, maka beliau bersabda kepada salah seorang di antara mereka,
“Aku titipkan agamamu, amanatmu dan kesudahan amalmu kepada Allah. (Diriwayatkan At-Tirmidzy).
Ada seseorang menemui beliau seraya bersabda, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku hendak mengadakan perjalanan. Maka berilah aku bekal.” Beliau bersabda, “Allah memberimu bekal takwa.”
“Tambahi lagi!” kata orang itu.
mengampuni dosamu,” sabda beliau.
“Tambahi lagi!” kata orang itu.
Beliau bersabda, “Allah memudahkan kebaikan bagimu di mana pun engkau berada.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Al-Hakim).
ika Rasulullah Shallallahu A laihi wa Sallam dan para shahabat mela-!ui jaian yang menanjak, maka mereka bertakbir. dan jika mereka melalui jalan yang menurun, maka mereka bertasbih.
Beliau memakruhkan seorang musafir berjalan sendirian pada waktu rnalam. seraya bersabda,
“Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada di batik kesendirian
nva, tentulah seseorang tidak akan melakukan perjalanan sendirian
pada malam hari. “(D itakhrij A l-B ukhary, At-Tirmidzy dan Ad-Dari my).
Bahkan beliau memakruhkan perjalanan sendirian tanpa seorang teman pun yang menyertainya. Beliau bersabda,
-Sesungguhnya satu orang itu ada sate syetan, dua ()rang ada dua syetan dun tiga orang merupakan rombongan. (Diriwayatkan At¬Tirnn idzy dan Abu Daud).

Beliau bersabda tentang adab saat singgah,
4 0 4 j,2_,i3 j_; r_)1
o soo ,
4′49 (47-
“Jika salah seorang di antara kalian singgah di suatu tempat persing¬gahan, hendaklah dia mengucapkan, Aku berlindungdengan kalimat¬kalimat Allah yang sempurna, dari keburukan yang diciptakan-Nya’, maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya, hingga dia me¬ninggalkan tempat persinggahan itu.”(Diriwayatkan Muslim dan Abu Daud).
Tuntunan beliau yang lain dalam perjalanan,

a 1 a
0 0
1_,12cu r;1
ft– ;fit
.S51.! r1_41; cs,t;
Vika kalian melakukan perjalanan di daerah yang subur, maka be-rikanl ah bagian onta dari daerah itu, dan jika kalian melakukan perjalanan di daerah yang tandus, maka percepatlah jalannya, dan jika kalian singgah untuk istiruhat sebentar pada malam hari, jauhilah jalan, karena itu juga jalannya hewan dan tempat kembalinya ular pada malam hari. (Ditakhrij Muslim).
Rasulullah Shallallahu A laihi wa Sallam melarang perjalanan ke negeri musuh sambil membawa Al-Qur’an, karena dikhawatirkan akan jatuh ke tangan musuh. Beliau juga mclarang kaum wanita bcpergian tanpa disertai mahrarn, walaupun sebagai duta. Beliau juga melarang seseorang mcndatangi keluarganya pada ma’am hari jika kepergiannya cukup lama. Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa beliau tidak pernah menemui keluarganya pada malam hari lalu masuk ke rumah mereka, baik kepergiannya pada pagi atau petang hari. Setiap kali beliau tiba dari bepergian, maka yang pertama kali menyambut kedatangan beliau adalah anak-anak. Beliau juga biasa rnemeluk clan merangkul seseorang dari keluarga atau kerabat yang baru tiba dari perjalanan.
11. Dzikir pada Saat Pernikahan
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam pernah mengajarkan khutbah dalam perhelatan kepada para shahabat,
“Sesungguhnya pa jinn itu bagi Allah. Kami memuji-Nya. memohon
pertolongan dan maghfirah kepada-Nya. Kami berlindung kepada

Allah dari kejahatan diri kami dan dari keburukan amal kami. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah, tiada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah se-lain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang tiada sekutu bagi¬Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul¬Nya. “
Kemudian beliau membaca tiga ayat berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali ka¬lian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. ” (Ali lmran: 102). “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan daripadanya Allah men¬ciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawa.si kalian.” (An-Nisa.: 1).
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagi kalian arnal-amal kalian dan mengampuni bagi dosa-dosa kalian. Dan, barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesung¬guhnya is telah mendapat kemenangan yang besar. (Al-Ahzab: 70¬71).
Syu’bah berkata, “Aku bertanya kepada Abu !shag, ‘Apakah hal ini berlaku untuk khutbah nikah atau juga untuk lainnya?- Dia menjawab. “Untuk semua keperluan.”
Bel iau pernah mengucapkan kepada orang yang menikah,
1 „1-4.1
J
Sernoga Allah memberkahi bagimu, memberkahi atas kami dan me-ngumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (Ditakhrij Abu Daud. Ibnu Majah, Ahmad dan At-Tirmidzy).
Tuntunan beliau bagi suami istri yang hendak berjima’.
, ‘-• ,
,
‘,DO,: %Si L;;- Jt_i
„.,

“Jika salahseorang di antara kalian hendak berkumpul dengan istri¬nya, seraya berkata, `Dengan asma Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami’, makajika ditakdirkan anak di antara keduanya dalam Jima’ itu, maka sekali-kali syetan tak bisa mendatangkan mudharat kepadanya.” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
12. Dzikir Saat Melihat Orang Yang Mendapat Bala’
Disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

0 4.,
LD-4-A L5`”
4 4)

us
“Tidaklah seseorangmelihat orang yang mendapat bala lalu meng-ucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan afiat kepada¬ku clan apa yang Engkau timpakan kepadanya dan yang telah melebih¬kan aku atas sekian banyak orang yang diciptakan-Nya dengan suatu kelebihan’, melainkan dia tidak akan tertimpa bala ‘ itu, apa pun wu¬judnya. ” (Ditakhrij At-Tirmidzy dan Ibnu Majah).
13. Dzikir Ketika Bermimpi Buruk
Disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
- „
J..”,,JL,,2.1l vjjil
•* 4. 0
U 31)’51 Lys-
-1
o s A* * A -5′ a. 6
-• a * fi 1!,
Ct LC1 L; 4– 4) ox;2;
) • • -
“Mimpi yang baik itu dari Allah dan mimpi-mimpi ,selainnya dari syetan. Barangsiapa bermimpi sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah dia meludah ke arah kirinya tiga kali, dan hendaklah berlindung kepada Allah dari syetan, karena yang demikian itu tidak akan me mbahayakannya, dan hendaknya dia tidak mengabarkan mimpinya itu kepada seorang pun. Jika dia bermimpi yang balk, maka hendaklah dia bergembira dan tidak mengabarkannya kecuali kepada orang yang clistikainya. ” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
B-Xul Pe/yWobww 159

Beliau juga memerintahkan orang yang berm impi buruk untuk meru¬bah posisi tidurnya dan memerintahkannya untuk shalat. Jadi kaitannya dengan mimpi buruk ini beliau memerintahkan lima perkara:
- Meludah ke samping kirr)
- Berl indung kepada Allah dari syetan atau membaca ta’awudz
- Tidak mengabarkannya kepada siapa pun
- Merubah posisi tidur
- Bangkit dan mendirikan shalat.
Jika Umar bin Al-Khathathab hendak diberitahu suatu mimpi, maka dia berkata, “Ya Allah, jika itu mimpi balk, maka is adalah bagi kami, dan jika mimpi buruk, maka itu bagi musuh kami.”
14. Dzikir Saat Dirasuki Bisikan Syetan
Diriwayatkan dari lbnu Mas’ud, dia memarfu’kannya,
411j . (2.-43 jt)”_ .’1•6 ca A1 ….(%SC 341 -1:1/.11aB J4
.0 a a
L
— ” — .=3tJ .-La3
,..7.1 30, 11..„1 4 (6_.-A ; 4′ 4
4
./ • Le J
1) a
c a a
j.:1: Ci4 4-11 c):-;a
o•.• o „ 3
o
• „j Lle
“Sesungguhnya malaikat yang diwakilkan mempunyai bisikan di hati oranganakAdam, dan syetan juga mempunyai bisikan. Bisikan malai¬kat ialahmeinhawanya kepada kebaikan, pembenaran kebenaran dan harapan untuk kebaikan pahalanya. Sedangkan bisikan syetan ialah inembawanya kepada keburukan, pendustaan kebenaran dan mence¬gah dari kebaikan. Jika kalian mendapatkan bisikan malaikat, maka pujilah Allah dan mohonlah kepada-Nya dari karunia-Nya, dan jika kalian mendapatkan bisikan syetan, maka berlindunglah kepada Allah dan mohonlah ampunan kepada-Nya. ” (Diriwayatkan Ath¬Thabrany).
Utsman bin Abul-Ash pernah berkata. “Wahai Rasulullah, sesungguh-nya syetan telah menjadi penghalang antara dirinya dan shalatku serta ba-caanku.”
Beliau bersabda, “ltu adalah ulah syetan yang disebut Khinzab. Jika engkau merasakannya, maka berlindunglah kepada Allah darinya dan me lu-dahlah ke samping kirimu tiga kali.” (Ditakhrij Muslim).
” Meludah sekedarnya saja dennan menvemburkan sedikit ludah. tidak dengan Judah yang banyak.

Di antara shahabat ada yang mengadu kepada beliau, bahwa dia mera-sakan suatu bisikan di dalam j iwanya, sehingga dia merasa lebih baik menjadi abu daripada menceritakan apa yang ada di dalam jiwanya itu. Maka beliau bersabda, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu Jaya syetan hingga menjadi bisikan.” (Ditakhrij Ahmad dan Abu Daud).
Beliau memberi petunjuk kepada orang yang dirasuki bisikan tentang pencipta, yaitu saat dikatakan kepadanya, “Ini adalah Allah yang mencipta¬kan makhluk. Lalu siapakah yang menciptakan Petunjuk beliau, agar orang itu membaca ayat,
s s
J-”L`4- J-1
it
“Dialah YangAwal, Yang Akhir, Yang Zhahir, Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadid: 3).
Abu Zumail Sammak bin Al-Walid Al-Hanafy pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apa sebenarnya yang kurasakan di dalam dadaku ini?” “Memangnya apa?” tanya lbnu Abbas.
“Demi Allah aku tidak akan mengungkapkannya,” kata Abu Zumail “Apakah semacam keragu-raguan?” tanya Ibnu Abbas. “Begitulah,” jawab Abu Zumail.
Ibnu Abbas berkata, “Tak seorang pun yang terbebas dari perasaan itu, sehingga Allah menurunkan ayat, ‘Makajika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitah sebelum kamu’,” (Yunus: 94).
Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Apabila engkau merasakan sesuatu di dalam hatimu, maka bacalah ayat, ‘Dialah YangAwal, Yang Akhir, Yang Zhahir, Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu’.” (Ditakhri j Abu Daud).
Beliau menunjukkan ay at ini untuk menggugurkan segala kaitan bati I, dengan menggugah peranan akal. Beliau juga mengabarkan bahwa kaitan semua makhluk pada permulaannya akan berhenti kepada Dzat Yang Awal, yang tiada sesuatu pun sebelum-Nya, sebagaimana akhir semua makhluk yang berhenti kepada Dzat Yang Akhir, yang tiada sesuatu pun sesudah-Nya, sebagaimana zhahir-Nya yang paling tinggi, dan tiada sesuatu pun yang lebih tinggi dari-Nya, begitu pu la batin-Nya yang meliputi segala sesuatu. dan tidak Lida sesuatu pun yang menyamai-Nya. Segala urusan akan berakhir kepada Khalif./ dan bukan makhluk. y ani2tidak mem butuhkan selain-Nya dan segala sesuatu membutulikan-Nya.

Syetan itu ada dua macam: Syetan yang dapar sye,’,an yang berupa manusia, dan syetan yang tidak dapat dilihat, yaitu syetan yang berupa jin. Allah tnemerintahkan Nabi-Nya agar berlindung dari kejahatan syetan yang berupa manusia, dengan cara berpaling darinya, rnemaafkan dan meno¬lak dengan cara yang paling balk. Be liau juga diperintahkan agar berlindung dad syetan yang berupa jin, dengan cara berlindung kepada Allah darinya.
15. Dzikir Saat Kemarahan Memuncak dan Apa Yang Hams Dilakukan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar mema-damkan bara kemarahan dengan wudhu’, duduk jika sebelumnya herd iri. teientang jika sebelumnya duduk, dan berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk.
Karena amarah dan syahwat merupakan dua jems bara dari neraka yang ada didalam hati anak Adam, maka beliau mernerintalikannya eara pema-damannya dengan wudhu, shalat dan berlindung kepada Allah dad syetan yang terkutuk, seperti airman Allah,
“Mengapa kalian suruh ()rang lain (mengerlakant ke bat. ikan, seciang kalian merupakan dirt sendiri? ” (Al-Bagarah: 44).
Yang dem ikian ini terjadi karena besarnya syahwat. Maka Allah me¬rneri ntahkan untuk memadamkan barany a dengan eara memohon dengan sabar dan mengerjakan shalat. memohon perlindungan dad syetan saat is mem bi sikkan. Karena semua kedurhakaan bermula dari kemarahan dan syahwat, semenlara puncak dad arnarah adalah pembunuhan dan puncak dari syahwat adalah zina. maka Allah menghimpun pembunuhan dan zina dan menjadikan keduanya sebagai pasangan dalam surat Al-An’ am, Al-Isra’, Al¬Furcian dan Al-Mumtahanah. Artinya, Allah menuntun hamba-Nya kepada sesuatu yang dapat rnenoiak keburukan dua kekuatan in i, berupa shalat dan memohon perlindungan kepada-Nya.
16. Dzikir/doa Saat Melihat Sesuatu Yang Disukai dan Dibenci Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat sesuatu yang disukai, maka beliau mengucapkan,
fiLh3S 0
“Segala pup bagi Allah, yang dengan nikmat-11″ya hal-hal yang balk menjadi sempurna.”
Sebaliknya, jika melihat sesuatu yang dibenci, maka beliau meng¬ucapkan,
:;s

“Segala puji bagi Allah atas segala keadaan.” (Ditakhrij Ibnu Ma-jah).’)
17. Mendoakan Orang Yang Berbuat Balk
Apabila ada seseorang menyodorkan sesuatu yang beliau senangi atau yang sesuai dengan keinginan beliau, maka beliau mendoakannya. Ketika Ibnu Abbas meletakkan air wudhu’ bagi beliau, maka beliau bersabda, “Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam agama dan ajarilah diata’wil.”
(Diriwa
~atkan Al-Bukhary dan Muslim).
Ketika Abu Qatadab menopang badan beliau yang miring ketika bera¬da di atas punggung hewannya pada suatu malam saat melakukan perjalanan. maka beliau bersabda, “Semoga Allah menjaga dirimu sebagaimana engkau telah menjaga Nabi-Nya.” (Ditakhrij Muslim).
Beliau juga bersabda,
0. ” ••• • -
131_, 4_114 Ja9 J.?
“Barangsiapa mendapatkan hal yang ma ‘ruf, lalu dia berkata kepada pelakunya, `Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan’, maka dia layak mendapat pujian.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy).
18. Dzikir Saat Melunasi Hutang
Suatu kali Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminjam harta kepada Abdullah bin Abu Rabi’ah. Ketika melunasi pinjamannya itu beliau bersabda,
;15,- L,L,Ctf
“Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Sesungguhnya balasan pinjaman adalah pujian dan pelunasan.” (Diriwayatkan An-Nasa’y dan Ibnu Majah).
Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima suatu hadiah atau pun pemberian, lalu beliau menerimanya. maka beliau membalas pem-berian itu dengan pemberian yang lebih baik atau lebih banyak. Jika menolak-nya, maka beliau memberikan alasan kepada orang yang memberinya, seperti yang beliau katakan kepada Sha’b bin Jatsamah, ketika dia memberikan daging hasii buruan, “Sesungguhnya kami tidak bermaksud menolak
Di dalam isnadnya ada yang dha.if Tapi ada yang diriwayatkannva dari jalan lain. yang di daiamnya juga ada yang dha’ir. sehingga keduanya saline meriguatican.

pemberianmu. Hanya saja kami sedang dalam keadaan ihram.” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
19. Dzikir Saat Mendengar Suara Hewan
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam memerintahkan umatnya un¬tuk berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk, saat mendengar ringkikan keledai. Dan j ika mendengar suara kokok ayam, hendaknya mereka memohon karunia Allah. Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim.
20. Dzikir Saat di Majlis dan Saat Meninggalkannya
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam tidak menyukai orang-orang yang ada dalam suatu majlis, namun mereka tidak berdzikir kepada Allah. l3eliau bersabda.
“Tidaklah segolongan orang bangkit dari suatu majlis tanpa menyebut asma Allah di dalamnya, melainkan mereka seperti bangkit mening¬galkan bangkai keledai.” (Ditakhrij Abu Daud dan Ahmad).

“Barangsiapa duduk di suatu tempat duduk tanpa menyebuat asma Allah, maka dia akan menanggung kesedihan saat menghadap Allah, dan barangsiapa tidur di suatu tempat tidur tanpa menyebut asma
maka dia akan menanggung kesedihan scat menghadap Allah. (Ditakhrij Abu Daud).
:2 LS1 d ;citiA
.1tA43 L„.5: ai a43:1
Barangsiapa duduk di suatu majlis_ ang di dalamnya banyak kega¬duhan, lalu sebelum meninggalkannya dia mengucapkan, Mahasuei Allah ya Allah dan dengan puji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Engkau, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertau¬bat kepada-Mu melainkan dosanya di dalam majlis itu diampuni.
(Ditakhrij At-Tirmidzy, Abu Daud dan Al-Hakim).
Di dalam Sunan Abu Daud dan Mustadrak Al-Hakim disebutkan, bahwa Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam mengucapkan dzikir itu jika hendak bangkit dari suatu majlis. Lalu ada seseorang yang bertanya kepada be liau, “Wahai Rasulullah, engkau mengucapkan suatu perkataan, yang tak

pernah engkau ucapkan sebelumnya.” Beliau menjawab, “Itu adalah penebus doss dalam majlis itu.”
Kebalikan dari dzikir yang diperintahkan dan disenangi untuk diucap¬kan ini, maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membenci beberapa perka¬taan untuk diucapkan, dan bahkan sebagian di antaranya ada yang dilarang, sebagaimana yang sudah disebutkan di bagian terdahulu, seperti penyebutan potion anggur dengan al-karam, atau seperti perkataan seseorang, “Kha-butsat nafsi”, tetapi seharusnya dia mengatakan, “Laqisat nafsi”, meski pun maknanya tidak jauh berbeda, yaitu alangkah buruknya dirinya. Perkataan selain itu yang tidak disukai beliau adalah:
Beliau tidak suka seseorang berkata, “Manusia telah rusak.” Beliau ber¬sabda, “J ika dia berkata seperti itu, berarti dialah orang yang paling rusak di antara mereka.”
- Beliau melarang perkataan, “Menurut kehendak Allah dan kehendak Fulan”. Tetapi boleh dikatakan, “Menurut kehendak Allah, kemudian kehendak Fulan.” Ketika ada seseorang berkata kepada beliau, “Menurut kehendak Allah dan kehendak engkau”, beliau menyahut, “Apakah eng¬kau ingin menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Tapi katakanlah, Menurut kehendak Allah semata*.” (Diriwayatkan Ahmad, Ahmad dan Abu Daud).
- Tidak boleh dikatakan, “Hujan turun kepada kami berkat bintang in i dan itu.” Tapi hams dikatakan, “Hujan turun kepada kami berkat karunia Allah dan rahmat-Nya.” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
- Bersumpah dengan se lain Allah. Disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda, “Siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah syirik.” (Diriwayat¬kan Ahmad, At-Tirmidzy dan Al-Hakim).
- Berkata dalam sumpahnya, “Dia adalah orang Yahudi, atau Nasrani atau kafir sekiranya dia berbuat seperti itu.” (Diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah)
Berkata kepada sesama Muslim, “Hai orang kafir.” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
- Berkata kepada sultan atau pemimpin, “Wahai raja segala raja.” Atau ber¬kata kepada hakim, “Wahai hakim segala hakim.”
- Tuan berkata kepada budaknya, “Hai hambaku.”
- Mencaci angin yang berhembus. Yang benar adalah memohon kebaikan angin itu kepada Allah dan kebaikan yang dihembuskannya, berlindung dari keburukannya dan keburukan yang dihembuskannya. (Ditakhrij At-Tirmidzy, Ahmad dan Abu Daud).
- Mencaci sakit demam, karena sakit demam itu bisa menghapuskan kesa!ahan-kesalahan Bani Adam, sebagaimana tungku api yang nnenghi

langkan karat besi. (Diriwayatkan Muslim).
- Mencaci ayam jantan, karena ayam jantan itu bisa membangunkan manu¬sia untuk shalat. (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud).
Memanggil dengan panggilan ala Jahiliyah, mengucapkan bela sungkawa seperti kebiasaan mereka, mengajak kepada fanatisme kabilah, golongan dan keturunan. Yang semisal dengan hal ini ialah mengajak kepada fa-natisme madzhab dan syaikh, mengunggulkan sebagian di atas sebagian yang lain, memusuhi orang lain yang tidak sepaham.
Menamakan isya’ dengan sebutan atamah, kecuali hanya sesekali waktu saja, selagi tidak menggeser penggunaan istilah isya- itu sendiri. (Ditakhrij Muslim).
- Mengejek dan mencaci orang Muslim. (Ditakhrij Al-Bukhary). Berbisik-bisik berdua saja, padahal ada orang ketiga. (Ditakhrij Al-13u¬khary dan Muslim).
- Wanita tidak boleh menceritakan sisi-sisi keindahan wanita lain kepada suaminya. (Ditakhrij Al-Bukhary).
- Berdoa dengan ucapan, “Ya Allah, apunilah dosaku kalau memang Eng¬kau menghendakinya, rahmatilah aku kalau memang Engkau menghen¬dakinya.” (Ditakhrij Muslim).
- Terlalu sering bersumpah. (Ditakhrij Muslim).
- Menamakan Madinah dengan Yatsrib. (Ditakhrij Al-Bukhary).
- Bertanya kepada seseorang, apa alasannya dia memukul istrinya, kecuali untuk keperluan yang penting.
Perkataan, “Aku puasa Ramadhan seluruhnya dan aku bangun malam seluruhnya.” (Diriwayatkan Abu Daud).
- Membuat julukan yang buruk untuk nama yang sudah jelas.
- Perkataan, “Semoga Allah memanjangkan kekekalanmu, mengabadikan hari-harimu dan engkau bisa hidup seribu tahun lagi.”
- Berkata saat mengeluarkan infak dalam ketaatan kepada Allah, “Aku rugi sekian dan sekian.”
Perkataan mufti, “Allah menghalalkan yang ini dan mengharamkan yang itu”, dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Yang boleh dikatakan seperti itu hanya yang telah ditetapkan nash.
Menamakan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai lafazh zhahir atau kiasan, karena yang demikian ini bisa mengurangi kesuciannya dari hati manusia, apalagi jika disertai dengan istilah-istilah yang dibuat para filosof dan teolog.
- Seseorang menceritakan jima’nya dengan istrinya atau apa yang dia lakukan dengan istrinya.
Sebutan -Khalifatullah- atau “Na’ibullah-b bagi pemimpin.

http://kampungsunnah.wordpress.com

 
Make a Free Website with Yola.