Tuntunan Rasulullah tentang Zakat
Tuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengenai zakat merupakan tuntunan yang paling sempurna, baik dad pertimbangan waktu, ukuran, batasan, siapa yang harus mengeluarkan dan siapa yang berhak menerimanya. Dalam hal ini beliau mempertimbangkan kemaslahatan para pemilik harta dan juga kemaslahatan orang-orang miskin. Allah menjadikan zakat sebagai pembersih harta dan did pemiliknya, yang sekali2us kenikmat¬an bagi orang-orang yang kaya. Nikmat itu tidak akan habis karena mereka mengeluarkan zakat, bahkan zakat itu akan menjaga harta dan mengem-bangkannya, menghilangkan gangguan dan menjadikannya sebagai penjaga atau pelindung harta benda.
Allah menetapkan zakat pada empat jenis harta, yang pasalnya meru-pakan inti perputaran harta di antara manusia dan kebutuhan mereka terhadap jenis-jenis harta ini sangat urgen, yaitu:
1. Hasil tanaman dan buah-buahan.
2. Hewan ternak, seperti onta, sapi dan kambing.
3. Batu mulia yang menjadi incaran manusia, yaitu emas dan perak.
4. Harta perdagangan dengan berbagai macam jenisnya.
Keharusan mengeluarkan zakat ini sekali dalam setahun, sedangkan untuk tanaman dan buah-buahan ketika panen. lni merupakan cara yang pal¬ing adil. Sebab jika keharusan mengeluarkan zakat itu sekali dalam satu bulan atau setiap pada had Jutn’at, tentu akan berbahaya bagi pemilik harta. Tapi jika harus dikeluarkan sekali seumur hidup, tentu akan berbahaya bagi orang¬orang miskin yang seharusn) a menerima zakat itu. Tidak ada yang lebih adil daripada mengeluarkan zakat sekali dalam setahun.
Zakat ini dibeda-bedakan, tergantung dari usaha pemi I ik
harta dan bagaimana cara mendapatkannya, tingkat kemudahan dan
kesulitannya. Allah mewajibkan zakat seperlima bagian dari harta yang
diperoleh secara kehetulan dan dalam jurnlah yang banyak, yaitu harta
terpendam, yang perolehannya dianggaptanpa usaha. Jika suatu harta
diperoleh dengan usaha yang lebih berat lagi, maka zakatnya setengahnya
lagi atau sepersepuluh bagian, seperti zakat hasil cocok tanam dan
buah-buahan, yang tanpa harus mengolah tanah, tidak mengairi dan
mengolahnya, atau yang airnya tidak membeli. Allah mewajibkan
setengahnya lagi atau seperduapuluh jika pemiliknya harus mengolah
tanam, menanam dan mengairi, apalagi airnya harus membeli. Allah
mewajibkan zakat setengahnya lagi atau seperempat puluh, jika
pengolahannya harus dilakukan secara terus-menerus.
Karena tidak mungkin semua harta harus dizakati. maka ada batasan
minimal yang pasti atau nishab. Untuk perak ialah senilai dua ratus
dirham. Emas sebanyak dua puluh mitsgal..) Biji-bijian dan buah-buahan
sebanyak lima wasaq atau sekitar barang yang bisa diangkut lima ekor
onta Arab. Kam-bing sebanyak empat puluh ekor. Sapi sebanyak tiga puluh
ekor. Onta sebanyak lima ekor.
Telah ada ketetapan hikmah Allah untuk menjadikan batasan tertentu
untuk dikeluarkan zakatnya, yang tidak memberatkan dan bisa mencukupi
orang-orang, miskin. Karena itu Allah mewajibkan zakat dalam harta
orang-orang kaya untuk membantu orang-orang miskin. skin. Jika yang
kaya menolak melaksanakan apa yang diwajibkan kepadanya, maka akan
terjadi kezhalim¬an di antara kedua belah pihak, yang kaya menjadi
kikirdan yang miskin bisa mengambil semaunya sendiri di luar haknva,
yang kemudian menimbulkan bahaya yang besar di kedua belah pihak. Allah
sendiri yang menetapkan pembagian shadaqah dan membagikannya kepada
delapan golongan, yang secara umum dapatdikelornpokkan menjadi dua
bagian. Pertama, yang boleh mengambilnya karena kebutuhan, artinya
karena memang keadaannya yang membutuhkan, karena lemah dan tidak
mampu, sedikit maupun banyak, yaitu orang-orang fakir, miskin, orang
yang dalam perjalanan dan untuk menthe¬baskan hudak. Kedua, orang yang
mengambil karena manfaat yang diberi¬kannya. yaitu am ilnya, orang
mu’allaf yang hatinya masih lemah, orang yang di Wit hutang dan
orang-orang yang berjihad di jalan Allah.
Di antaratuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi ika beliau mengetahui
seseorang yang layak menerima zakat, maka beliau langsung memberinya.
Jika ada seseorang yang layak menerima zakat mem inta kepada beliau,
sementara beliau tidak mengetahui keadaannya, maka beliau langsung
Satu nutscial menurut ketetapan vadat ialah seherat 3,436 [Nam.
memberinya setelah orang itu memberitahukan kepada beliau
tentang ke¬adaan dirinya yang tidak mendapat bagian dari orang-orang
yang kaya.
Tuntunan beliau ialah membagi-bagikan zakat dan shadaqah kepada orang
yang berhak menerimanya di tempat zakat itu diambil, dengan
ukuran-ukuran tertentu. Apabila lebih, zakat itu dibawa kepada beliau,
lalu beliau membagi-bagikannya. Beliau mengutus Mu'adz untuk mengambil
zakat dari penduduk Yaman dan menyalurkannya kepada penduduk Yaman yang
miskin.
Beliau mengirirnkan para penarik zakat hanya kepada orang-orang ang
secara nyata mem iliki harta, seperti hasi I cocok tanam atau pun
buah¬buahan. Beliau juga mengutus penaksir kepada para pemilik kebun
korma atau anggur, sebelum dipanen, untuk mel ihat berapa wasaq yang
harus dikeluarkan sebagai zakat. Biasanya penaksir ini menyuruh pemilik
untuk meninggalkan sepertiga atau seperempat bagian. Dengan taksiran
ini dapat dihitung berapa banyak zakat yang harus dikeluarkan sebelum
is masak dan dirnakan atau ditebang. Selain itu pemiliknya bisa berbuat
apa pun yang dike-hendakinya. Karena itu beliau mengurus penaksir ke
perkampungan Khaibar dan para petani di sana, agar mereka meninggalkan
sebagian di antaranya. Dalam hal ini beliau mengutus Abdullah bin
Rawahah. Karena mereka hen¬dak menyogok dan berkolusi dengannya, maka
dia berkata, "Apakah kalian hendak memberiku sesuatu yang Karam? Demi
Allah, aku datang kepada kalian dari sisi orang yang paling kucintai,
dan kalian adalah orang-orang yang lebih kubenci daripada keberadaan
kalian sebagai kera dan anjing. Tapi kebencianku kepada kalian dan
cintaku kepada beliau, tidak mendorongku untuk tidak berbuat adil
kepada kalian."
Mereka pun berkata, "Karena sikap yang demikian inilah langit dan bumi bisa tegak."
Beliau tidak mengambil zakat dari kuda, budak, keledai dan baghal,
tidak pula dari sayur-sayuran, semangka, bawang, buah-buahan yang tidak
bisa ditakar dan disimpan, kecuali anggur yang bisa disimpan menjadi
kismis dan korma segar yang bisa diawetkan menjadi korma kering. Tapi
tidak ada perbedaan antara keadaannya yang masih segar maupun yang
sudah diawetkan. Jika ada seseorang menyerahkan zakatnya, maka beliau
berdoa baginya. Kadang-kadang beliau mengucapkan,
"Ya Allah, berkahilah pada dirinya dan pada ontanya.
Dan, kadang-kadang beliau mengucapkan,
" l'a Allah, bershalawatlah was dirinya."
Beliau tidak mengambil zakat dari yang baik-baik saj a, tapi yang
pertengahannya. Karena itu beliau melarang Mu'adz, saat dia melakukan
hal itu. Beliau melarang orang yang mengeluarkan zakat atau shadaqah,
membeli lagi barang yang diserahkan sebagai zakat. Tapi orang yang kaya
boleh
memakan dari shadaqah, jika orang miskin menghacliahkan
kepadanya. Be¬liau pernah rnemakan dari da2ing yang dishadaqahkan
kepada Barbarah. Kadang-kadang beliau berhutang dengan atas nama
shadaqah, seperti yang beliau lakukan ketika sedang mcmpersiapkan
pasukan perang. Sementara onta saat itu sudah habis.
Sedangkan untuk zakat fitrah, beliau mewajibkannya kepada setiap orang
Muslim, kepada siapa pun yang mempunyai makanan. tua maupun muda,
laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak, yaitu satu sha."
karma, tepung atau kism is. Penyerahannya sebelum pergi untuk shalat
'Id. Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Umar. dia berkata,
"Ra¬sulullah Shallallahu Alaihi 1i a Sallaln memerintahkan zakat fitrah
d ikeluar¬kan sebelum manusia pergi untuk shalat."
Di dalam As-Suncin disebutkan juga clari Ibnu Umar, "Siapa yang
me-ngeluarkannya sebelum shalat, maka itu adalah zakat yang bisa
diterima. dan siapa yang mengeluarkannya setelah shalat. maka itu
adalah termasuk shadaqah."
Berdasarkan dua hadits ini, maka zakat fitrah tidak boleh ditunda
hingga setelah shalat 'Id. Kebalikannya adalah penyembelihan korban
pada 'Idul-Adhha. Siapa yang menyembelihnya sebelum shalat, maka itu
merupa¬kan penyembelihan sebagaimana biasa. Hewan korban disembelih
setelah shalat.
Beliau memberikan zakat fitrah ini secara khusus kepada orang-orang
miskin dan tidak menyalurkannya kepada delapan kelompok secara merata
serta tidak memerintahkannya. Tak seorang pun di antara para shahabat
yang juga melakukannya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn adalah orang yang paling
banyak menshadaqahkan apa yang dim ilikinya. Beliau tidak pernah
meng-anggap banyak apa pun yangdianugerahkan Allah dan juga tidak
mengang-gapnya sedikit. Tak seorang pun yang mem inta sesuatu kepada
beliau, melainkan beliau pasti memberinya, sedikit maupun banyak.
Pemberian beliau adalah pemberian orang yang tidak takut m i skin.
Memberi dan men¬shadaqahkan rnerupakan sesuatu yang paling beliau
sukai. Kegembiraan dan kesenangan beliau pada saat memberi, lebih besar
daripada kegembiraan orang yang menerirnanya. Beliau adalahorang.yang
paling dermawan kepada manusia. Kebaikan beliau seperti angin yang
terus-mcnerus berhembus.
Jika ada seseorang yang membutuhkan sesuatu, maka beliau lebih
mementingkan orang itu daripada diri sendiri. Terkadang berupa makanan
dan terkadang berupa pakaian. Beliau juga meragamkan jenis pemberian,
terkadang berupa hadiah, shadaqah, hibah, dan terkadang membeli
sesuatu, lalu memberikan barang dan harganya kepada penjualnya, seperti
yang beliau lakukan terhadap Jabir saat membeli ontanya. Terkadang
beliau meminjam
esuatu, lalu mengernbalikannya dengan jumlah yang lebih
banyak, lebih Dail( dan lebih besar. Terkadang beliau membeli barang
dan memberi uang iebih banyak daripada harga semestinya. Bel iau
menerima hadiah dan mem
hadiah itu dengan hadiah yang lebih banyak. Shadaqah dan kebaikan . ang
beliau berikan bisa berupa harta yang dimiliki, bisa dengan keadaan
atau perkataan. Apa pun dikeluarkan dari nisi beliau dan beliau
memerintahkan shadaqah, menganjurkan dan mengajak untuk
melaksanakannya, dengan perkataan dan praktik. Jika ada orang bakhil
dan kikir melihat keadaan beliau. tentu keadaan beliau akan
mendorongnya untuk bershadaqah. Siapa pun yang bergaul dan menyertai
beliau, tentu akan membuat hatinya menjadi lapang. Karena itu beliau
adalah orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwa¬nya, paling
mu I ia hatinya. Karena shadaqah mempunyai pengaruh yang amat besar
terhadap kelapangan dada. Padahal Allah sudah melapangkan dada beliau
dengan nubuwah dan risalah.
Tapi sebab yang membuat kelapangan dada adalah tauhicl, kesem¬purnaan
dan kekuatan. Jika hal-hal ini semakin bertambah, maka bertambah pula
kelapangan dadanya. Firman Allah,
"Maka apakah orang-orangyang dibukakan hatinya oleh Allah untuk
(menerima) agama Islam, lalu is mendapat cahaya dart Rabbnya (so¬ma
dengan orang yang membatu hatinya)? " (Az-Zumar: 22). "Barangstapa yang
Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk) Islam. Dan, barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak
lagi sempit, seolah-olah is sedang mendaki ke langit. " (Al-An'am: 125).
Inilah beberapa hal yang menjadi sebab kelapangan dada yang paling besar:
1. Petunjuk dan tauhid. Sementara syirik dan kesesatan merupakan sebab kesempitan dada dan penyimpangannya yang paling, besar.
2. Cahaya yang dimasukkan Allah ke dalam hati hamba, yaitu berupa
cahaya iman. Jika cahaya iman ini lenyap dari hatinya, maka hatinya
menjadi sesak, lebih sempit daripada bilik penjara.
3. Ilmu. Dengan ilmu ini hati menjadi lapang, seakan lebih lapang dari
dunia. Sementara kebodohan men i mbulkan kesempitan dan pengungkungan.
Se lagi ilmu hamba semakin luas, maka dadanya ju ga semakin terasa
lapang. Tapi hal ini tidak berlaku untuk seluruh [mu, namun hanya ilmu
yang diwarisi dari Rasulul fah Shallallahu Alaihi wa Sallan2. yaitu
ilmu yang bermanfaat. Orang yang memiliki ilmu ini merasa hatinya
lapang, paling balk akhlaknya dan paling nyaman hidupnya.
4. Kepasrahan kepada Allah dan mencintainya dengan segenap hati,
meng-hadap kepada-Nya dan menikmati ibadah kepada-Nya. Tidak ada yang
lebih melapangkan hati hamba selain dan hal ini. Maka ada
yang berkata, "Sekiranya aku berada di surga seperti keadaanku in i,
tentulah aku berada dalam kehidupan yang nyaman." Sementara sehab
kesempitan dada ialah berpaling dari Allah, menggantungkan kepada
selain-Nya, ]alai berdzikir kepada-Nya dan mencintai selain-Nya. Siapa
yang mencintai sesuatu selain Allah, maka dia akan disiksa dengan
sesuatu yang dicintainya itu, hatinya dipenjara oleh cintanya itu.
Tidak ada sesuatu pun yang lebih membuatnya menderita selain dari
sesuatu itu.
5. Senantiasa berdzikirkepada Allah dalam keadaan bagairnana pun.
Dzikir mempunyai pengaruh yang amat hesar untuk melapangkan dada dan
mendatangkan kenikmatan di dalam hati. Sementara kelalaian berdzikir
akan menyempitkannya dan hati menjadi terasa tersiksa.
6. Berbuat baik kepada sesama manusia. memberikan manfaat menurut
kesanggupan, baik dari hartanya, kedudukan, badan dan segala bentuk
ke¬bajikan. Seorang dermawan dan orang yang murah hati adalah orang
yang paling lapang dadanya dan paling baik jiwanya. Sementara orang
yang bakhil adalah orang yang paling sesak dadanya, paling resah
hidupnya dan paling sedih. Rasuluilah Shallallahu Alaihi wa Sallam
memberikan per¬umpamaan tentang orang bakhil dan orang yang suka
bershadaqah, seperti dua orang yang mengenakan pakaian dad besi. Setiap
kal i orang yang suka bershadaqah hendak mengeluarkan shadaqah, maka
baju besinya terasa semakin longgar di badannya, sehingga dia bisa
menjulurkan pakaiannya dan baju besi itu tidak meninggalkan bekas di
kulitnya. Tapi selagi orang bakhil hendak mengeluarkan shadaqah, maka
setiap bagian dari baju besi itu terasa rnenyempit di tempatnya dan dia
tidak merasakan kelonggaran sama sekali. Begitulah gambaran kelapangan
dada orang Mukm in yang suka bershadaqah dan kesempitan dada orang bakh
i 1 yang merasa sayang terhadap hartanya.
7. Keberanian, karena seorang pemberani merasa dadanya lapang dan
hati¬nya terhampar luas. Sementara seorang penakut dan keel I hati
senantiasa merasa dadanya sesak, tidak memiliki kegembiraan dan
kesenangan.
8. Mengel uarkan kerak-kerak hati, berupa sifat-sifat yang tercela,
yang ten¬tunya hanya akan mcnyesakkan dada dan menyiksa hati. Jika ada
sebab¬sebab yang sebenarnya membuat hati manusia lapang, tapi dia tidak
mengeluarkan sifat-sifat yang tercela elan hatinya, maka dia tidak akan
mendapatkan kelapangan itu. Sebab di dalam hatinya ada dua unsur yang
saling bermusuhan.
9. Meninggalkan hal-hal yang berlebih, balk perkataan, pandangan,
pende¬nganan, pergaulan, makan, tidur dan lain sebagainya. Sebab
hal-hal yang berlebih ini akan menciptakan berbagai macam penderitaan
dan keresahan hati.
Maksud dari uraian ini, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sal-lam adalah orang yang paling sempurna dalam segala sifat yang
bisa menda¬tangkan kelapangan dada, keluasan hati, kegembiraan dan
kehidupan ruh. Beliau adalah orang yang paling sempurna dalam semua
ini. Sejauh mana seseorang mengikuti beliau, maka sejauh itu pula dia
akan memperoleh kela¬pangan dada, kegembiraan dan kenikmatan hidup.
Tuntunan Rasulullah tentang Puasa
Maksud dari puasa adalah menahan jiwa dari syahwat, menyapihnya dari
hal-hal yang disenangi dan menundukkan kekuatan nafsu, agar is siap
dalam mencari tujuan kebahagiaan dan kenikmatannya, agar bisa menerima
kesucian kehidupannya yang abadi. Orang yang berpuasa harus menanggung
rasa lapar dan dahaga, agar keadaannya itu mengingatkan akan keadaan
or¬ang-orang miskin yang senantiasa kelaparan. Untuk menyempitkan jalan
sye¬tan pada diri hamba ialah dengan menyempitkan jalan makanan dan
minum¬an, menghambat kekuatan tubuh agar tidak bebas menuruti tabiat
yang bisa merusak kehidupan dunia dan akhiratnya. Puasa adalah tali
kendali orang¬orang yang bertakwa, baju besi di badan para mujahidin,
dan latihan bagi orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Puasa
adalah bagi Allah. Orang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu,
meninggalkan syahwat, ma¬kan dan minumnya hanyakarena Dzat yang
disembahnya. Dia meninggalkan hal-hal yang disenangi jiwa dan
kenikmatannya, karena mementingkan cinta Allah dan keridhaan-Nya. Puasa
merupakan hubungan rahasia antara hamba dan Rabb-nya, yang tidak bisa
diketahui orang selainnya. Manusia hanya bisa mengetahui bahwa dia
meninggalkan makan dan minum. Itu saja. Tapi niat¬nya meninggalkan
makan dan minum karena sesembahannya, merupakan perkara yang tidak bisa
diketahui orang lain. Inilah hakikat puasa.
Puasa mempunyai rahasia yang menakjubkan dalam memelihara ang¬gota
tubuh yang tampak dan kekuatan batinnya, menjaganya dari
pencampur¬adukan unsur yang merusak, yang andaikan unsur ini lebih
dominan. maka bisa merusaknya_ dan sekaligus menjaga unsur-unsur kotor
yang bisa meng¬hambat kesehatannya. Jadi puasa bisa menjaga kesehatan
hati dan juga badan. mengembalikan apa yang direbut tangan syahwat
kepadanya. Puasa juga merupakan pendorong ketakwaan yang paling besar,
sebagaimana firman¬Nya,
-Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orangsebelum kalian agar kalian
bertakwa.” (Al-Baciarah: 183).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Puasa itu adalah perisai.”(Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
Beliau mernerintahkan orang yang kcinginarinya sudah
menggebu¬gebu dan sulit menahannya, agar berpuasa. karena puasa itu
bisa menjadi penawar baginya.
Dengan kata lain, mengingat kemaslahatan dan manfaat puasa itu bisa
dirasakan, dilihat dan diterirna akal sehat, maka Allah
mensyariatkannya bagi hamba-hamba-Nva, sebagai suatu kebajikan bagi
mereka, rahmat dan perl in-dungan. Sementara tuntunan Nabi Shallallahu
Alaihi 14′0 Sallain tentang puasa ini merupakan tuntunan yang paling
sempurna dan merupakan sarana yang paling besar untuk mencapai tujuan
serta mudah bagi jiwa.
Mengingat menyapih jiwa dari hal-hal yang disenangi merupakan perkara
yang berat dan sulit. maka kewajiban puasa ini ditunda hingga masa
pertengahan Islam setelah hijrah, ketika tauhid dan shalat sudah mantap
di dalam hati manusia dan perintah-perintah Al-Qur’an juga sudah banyak
yang disampaikan. Kewajiban puasa ini turun pada tahun kedua setelah
hijrah. Beliau meninggal dunia clan sudah ada tujuh Ramadhan yang
dilewati. Awal rnulanya puasa diwajibkan dengan memberikan pi I ihan
antara puasa dan memberi makan satu orang miskin setiap harinya.
Kemudian beralih kepada penetapan puasa. Sementara puasa boleh
ditinggalkan orang yang sudah tua atau wanita yang mcmang tidak sanggup
melaskanakannya. Mereka boleh tidak berpuasa tapi harus memberi makan
satu orang miskin setiap harinya. Ada pula rukhshah bagi orang sakit
dan musafir untuk tidak berpuasa, tapi keduanya harus mengqadha’ pada
bulan lain. Bagi wanita hamil dan menyu¬sui, jika ada kekhawatirkan
atas dirinya dan menimbulkan dampak bagi janin atau anaknya, maka di
sampi rig mengqadha’, mereka bisa memberi makan orang miskin setiap
hari.
Di antara tuntunan RasulullahShallallahuAlaihi wa Seam pada bulan
Ramadhan ialah memperbanyak macam-macam ibadah. Pada bulan ini Jibril
turun mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau. Jika Jibril menemui beliau,
maka beliau lebih murah hati dalam memberikan kebaikan daripada angin
yang berhembus. Beliau adalah orang yang paling dermawan, dan lebih
dermawan lagi jika pada bulan Ramadhan. Beliau memperbanyak shadagah,
membaca Al-Qur’an, rtikaf dan dzikir. Pada bulan ini beliau
mengkhususkan ibadah yang tidak dikhususkan pada bulan-bulan lain,
hingga terkadang Beliau me lakukannya secara terus-menerus agar lebih
banyak mengisi waktu siang dan malarnnya dengan ibadah. Tapi beliau
melarang para shahabat untuk berpuasa secara terus-menerus, tanpa
sahurdan berbuka, dan dilakukan hingga beberapa hari, yaitu yang
disebut puasa wishal. Lalu mereka bertanya, “Tapi engkau sendiri
melakukannya.” Maka beliau menjawab, “Aku tidak seperti keadaan kalian.
Aku senantiasa berada di sisi Rabbku yang memberi¬ku makan dan minum.”
Tapi bagaimanakah jelasnya hukum masalah puasa wishal ini, diper-bolehkan, diharamkan ataukah dimakruhkan?
Ada perbedaan pendapat mengenai hukumnya. Ada yang
memperbo-lehkannya bagi yang kuat dan sanggup. Yang demikian ini
diriwayatkan dari Abdul lah bin Az-Zubair dan lain-lainnya dari
kalangan salaf. Ibnuz-Zubair puasa wishal hingga beberapa hari. Ada
pula yang mengharamkannya. Ini merupakan pendapat Malik, Abu Hanifah,
Asy-Syafi’ y, Ats-Tsaury dan la in-lainnya. Pendapat ketiga dan ini
yang paling adil, bahwa puasa wishal diper¬bolehkan dari waktu sahur
hingga waktu sahur berikutnya. Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan
dari Ahmad dan Ishaq untuk hadits Abu Said Al-Khudry, dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jangan-lah kalian puasa
wishal. Tapi siapa di antara kalian yang ingin melakukannya, maka
hendaklah dia melakukannya hingga waktu sahur.” (Diriwayatkan
A1-Bukhary).
Di antara tuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa puasa
Ramadhan belum dimulai kecuali setelah ada ru’yah hilal yang
meya-kinkan atau atas kesaksian seseorang. Maka beliau memulai
puasaatas kesak-sian Ibnu Umar. Pada lain kali atas kesaksian seorang A
‘raby. Beliau meian-daskan permulaan Ramadhan kepada pengabaran
keduanya. Tapi beliau tidak memaksakan lafazh kesaksian kepada mereka.
Sekalipun itu hanya sekedar pengabaran dari satu orang saja, toh hal
itu sudah cukup untuk memasuki bulan Ramadhan. Jika tidak bisa
melakukan ru’yah dan tidak ada kesaksian, maka beliau menyempurnakan
bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Jadi beliau tidak memulai puasa
jika hari sedang mendung dan tidak bisa melihat hilal. Karena itulah
beliau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Hal ini
tidak bertentangan dengan sabda beliau, -Apabi la mendung menghalangi
pandangan kalian, maka hisablah.” Artinya sempur-nakanlah bulan Sya’ban
menjadi tiga puluh hari.
Banyak riwayat yang mcnyebutkan larangan memulai puasa Rama¬dhan hingga
hilal terlihat nyata atau dengan cara menyempurnakan bilangan bulan
Sya’ban. Begitu pula ketika menghentikan puasa Ramadhan, yang ha¬rus
ditandai dengan melihat hilal secara nyata.
Orang-orang pernah berdebat kusir tentang hilal Ramadhan. Sebagian
berkata, “Hari Sebagian lain mengatakan,”Besok”. Lalu datang seorang
Araby kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya mengabarkan bahwa
dia melihat hilal.
Beliau bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Ilah se lain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?”
Araby menjawab, “Benar.”
Lalu beliau memerintahkan Bilal agar mengurnumkan kepada semua manusia untuk berpuasa.
Jadi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan manusia
berpuasa hanya dengan kesaksian seorang Muslim saja, dan untuk meng-
akhiri Ramadhan dengan kesaksian dua orang Muslim. Jika ada
dua orang yang memberikan kesaksian, sementarasudah lewat waktu untuk
mendirikan shalat ‘Id, maka beliau memerintahkan para shahabat
menghentikan puasa, lalu shalat id pada keesokan harinya.
Beliau menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur serta
menganjurkan yang demikian itu. Beliau menganjurkan berbuka dengan
karma. Jika tidak ada, maka dengan air. Ini merupakan kesempurnaan
syafaat dan nasihat beliau kepada umatnya. Karena memakan sesuatu yang
manis, sernentara perut dalam keadaan kosong, Iebih mudah diterima dan
lebih me¬nambah kekuatan. Terutama kekuatan pandangan. Tentang air,
maka organ dalam menjadi kering karena puasa. Jika dibasahi dengan air,
maka fungsi untuk menerima makanan setelah itu menjadi lebih baik.
Karena itu orang yang dalam keadaan haus dan lapar, lebih baik merninum
sedikit air sebelum memakan makanan.
Beliau biasa berbuk.a sebelum shalat, yaitu dengan memakan beberapa
buah korma segar dan yang sudah matang jika memang, ada. Jika tidak
ada, maka beliau memakan korma yang tidak lagi segar. Jika tidak, maka
beliau berbuka dengan beberapa teguk air.
Diriwayatkan bahwa beliau mengucapkan doa saat berbuka,
“Hilang rasa dahaga, kerongkongan menjadi basah dan pahala fetal)
in.sya Allah.” (Diriwayatkan Abu Daud, Ad-Daruquthny dan Al-Ha¬kim).
Doa selain di atas yang diriwayatkan dari beliau adalah lemah dan yang lain mursal.
Beliau pernah bepergian pada bulan Ramadhan, yang terkadang beliau
puasa dan terkadang tidak. Beliau juga memberikan dua pilihan ini
kepada para shahabat jika sedang dalam perjalanan. Tani jika mereka
sedang berj ihad dan sudah dekat dengan musuh, maka beliau
memerintahkan agar mereka tidak berpuasa, agar badan mereka kuat ketika
berhadapan dengan musuh. Dua peperangan paling besar yang dijalani
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada bulan Ramadhan ialah
perang Badr dan Fathu Makkah. Dalam hal ini Ungar bin Al-Khaththab
berkata, “Kami pernah berperang bersama Rasulullah Shallal lahu A laihi
wa Sallarn pada bulan Ramadhan sebanyak dua kali, yaitu perang Badrdan
Fath.Kami tidak berpuasa pada dua kali peperang¬an itu.”
Bukan termasuk tuntunan beliau yang membatasi jarak perjalanan untuk
tidak berpuasa bagi musafir dan juga tidak ada riwayat yang shahih
tentang pembatasan ini dari beliau. Bahkan Dihyah bin Khalifah Al-Kal by
pernah tidak berpuasa ketika bepergian sejauh tiga mil. Lalu
dia berkata kepada orang-orang yang berpuasa saat itu, “Mereka kurang
suka terhadap tuntunan Muhammad Shallallahu Alaihi wa
Selagi para shahabat sudah memulai perjalanan, mereka tidak lagi
berpuasa tanpa mempertimbangkan bahwa rumah masih terlihat. Mereka
rnengabarkan bahwa yang demikian itu merupakan Sunnah beliau. Ubaid bin
Jabr berkata, “Aku pernah bepergian naik perahu bersama Abu Bashrah
Al-Ghifary, seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
dari Fusthath pada bulan Ramadhan. Belum lama meninggalkan rumah, dia
sudah mem i nta bekal makanan, seraya berkata, “Bawa ke sini makanan
Aku bertanya, “Bukankah engkau masih bisa melihat rumar- Abu Bashrah
balik bertanya, “Apakah engkau tak menyukai Sunnah Rasulullah
Shallallahu _Valhi wu Sallam?” (Diriwayatkan Abu Daud dan Ahmad).
I11 merupakan atsaT yang sangat je las, bahwa siapa yang ingin
beper¬gian pada bulan Ramadhan, maka lebih baik baginya untuk tidak
berpuasa.
Di antara tuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa
beliau pernah memasuki waktu fajar, sementara beliau dalam keadaan jun
ub. Maka beliau mandi setelah waktu fajar dan tetap puasa. Beliau juga
pernah memeluk sebagian istrinya ketika sedang puasa Ramadhan. Pelukan
orang yang puasa ini menyerupai berkumur dengan air.
Tentang riwayat Abu Daud dari Mishda’ bin Yahya, dari Aisyah, bah¬wa
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memeluknya tatkala beliau
sedang berpuasa dan menyedot lidahnya, maka hadits ini dipertentangkan.
Sebagian ada yang mendha’ ifkannya dan sebagian lain menghasankannya..
Di samping Mishda’ yang dianggap dha’if itu juga ada isnad lain yang
dha’ if, vaitu Muhammad bin Dinar.
Tidak ada satu riwayat pun yang shahih, bahwa beliau membedakan antara
yang tua dan muda. Yang paling balk tentang hal ini adalah had its
riwayat Abu Daud dari Nashr bin Ali, dari Abu Ahmad Az-Zubairy, dia
ber-kata, “Kami diberitahu Israel, dari Abul-Anbas, dari Abu Hurairah,
bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam tentang laki-laki yang berkumpul dengan istrinya,
padahal dia sedang berpuasa. Maka beliau memberikan rukhshah kepada
orang itu. Lalu datang orang lain yang menanyakan masalah yang sama.
Maka beliau mclarangnya. Orang yang diberi rukhshah itu adalah orang
tua, dan yang dilarang adalah anak muda. Tapi dalam isnad had its ini
tidak diketahui dan tidak ada yang menjelaskan jati dirinya.
Bel iau menggugurkan qadhaf. terhadap orang yang makan atau minum
karena lupa saat dia berpuasa. Makan atau minum bukan atas kernauannya,
tapi itu karena kehendak Allah. Hal ini sama dengan makan atau minum
dalam keadaan tidur. Sementara tidak ada takl if terhadap orang yang
tidur.
Yang membatalkan puasa adalah makan, minuet, berbekam dan
muntah. Sementara AI-Qur’an menunjukkan larangan bed Tidak ada larangan
mengenakan celak saat puasa. Ada riwayat yang shahili bahwa beliau
bersiwak saat berpuasa. Beliau juga pernah mengguyurkan air ke kepa¬la
saat puasa, berkumur dan menghirup air lewat hidung (istinsyaq). Tapi
beliau melarang berlebih-lebihan dalam istinsyaq ini. Tidak ada riwayat
yang shahih bahwa beliau berbekam saat berpuasa. Begitulah yang
dikatakan Al-Imam Ahmad. Mahna berkata, -Aku pernah bertanya kepada
Al-Imam Ah¬mad, tentang hadits lbnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam berbekam, padahal beliau sedang berpuasa
dan ihram.
Maka dia menjawab, dalam hadits ini tidak disebutkan bahwa beliau
sedang berpuasa, tapi beliau sedang ihram.”
Tuntunan Rasulullah tentang Puasa Sunat
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah puasa hingga d
ikata¬kan, tidak berbuka.” Tapi beliau juga pernah tidak puasa hingga
dikatakan, “Beliau tidak puasa.” Beliau tidak pernah puasa sebulan
penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidak puasa yang lebih banyak
daripada puasanya di bulan Sya’ban. Tidakada satu bulan pun yang
berlalu me lainkan beliau pasti berpuasa pada bulan itu. Beliau tidak
pernah puasa tiga bulan se¬cara terus-menerus seperti yang banyak
dilakukan orang. Beliau tidak hanya puasa pada bulan Raj ab dan tidak
pula mensunatkan puasa bulan Rajab. Ada perbedaan pendapattentang puasa
beliau pada sepuluh Dzul-Hijjah. Artinya, ada riwayat yang menyebutkan
bahwa beliau melaksanakannya dan ada pula riwayat yang menyebutkan
bahwa beliau tidak melaksanakannya pada hari itu. Tentang puasa enam
hari pada bulan Syawal, ada riwayat yang shahih. Dalam hal ini beliau
bersabda,
“Puasa Syawal yang menyertai Ramadhan menyantai puasa setahun penuh.” (Ditakhrij Muslim).
Ahmad menyebutkan dari sebagian istri Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, bahwa beliau pernah puasa tanggal sembi Ian Dzul-Hijjah, bulan
Asyura’, tiga hari dari setiap bulan, atau pada hari Senin dan Kamis.
Tentang puasa hari Asyura’, sebelumnya beliau biasa melakukannya
seperti hari-hari lain. Ketika tiba di Madinah dan mendapatkan
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu dan mengagungkannya, maka
beliau bersabda, “Kam i lebih berhak terhadap diri Musa daripada kal i
an.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkannya. Hal ini terjadi sebelum
ada perintah puasa bulan Ramadhan. Sete lah ada perintah puasa
Ramadhan, maka beliau bersabda, “Siapa yang ingin, dapat berpuasa, dan
siapa yang ingin dapat meninggalkannya.” (Ditakhrij Al-Bukhary).
Sebagian orang ada yang menganggap m usyki I masalah ini dan
berkata. -Rasulu lah Shallallahu Alaihi 1-Va Sallum tiba di
Madinah pada bulan Rabi ‘ul-Awwal. Maka bagaimana rn ungkin I bnu Abbas
berkata, “Lalu beliau mendapatkan orang-orang Yahudi puasa hari
Asyura`?”
Jawabannya, bukan berarti saat tiba di Madinah beliau mendapati
crang-orang Yahudi melakukan puasa Asyura’. Apa yang beliau ketahu i
ten-tang kebiasaan orang-orang Yahudi itu adalah ketika pada tahun
berikutnya setelah kedatangan beliau di Madinah.
Di antara tuntunan Rasta] ul I ah Shallallahu Al aihi wa Sall am ialah
tidak berpuasa pada hari Arafah saat berada di Arafah. Hal ini
disebutkan di dalam Ash-Shahihain. Sementara Muslim rneriwayatkan,
bahwa puasa Arafah hisa menghapus kesalahan setahun yang lampau dan
setahun mendatang.
Tentang dilarangnya puasa Arafah saat berada di Arafah. mengandung beberapa hukum:
- Agar hisa menguatkan badan untuk banyak berdoa.
- Tidak puasa dalam perjalanan lebih baik daripada puasa.
- Hari itu, saat beliau melarangnya, hertepatan dengan hari Jum’at. Semen
tara ada larangan mengkhususkan hari Jum’at dengan puasa.
Diriwayatkan dan Rasulullah Shallallahu Alaihi WC/ Sallam, bahwa beliau
lebih banyak puasa pada hari Sabtu dan Ahad. Hal ini dimaksudkan untuk
membedakan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Puasa setahun pen uh bukan termasuk tuntunan R asulu I lab Shallallahu Alaihi Iva Sallam. Bahkan beliau bersabda,
“Siapa yang puasa se tahun penuh, maka dia tidakpuasa danjugo t idak
pula tidak puasa. (Ditakhrij Ahmad, An-Nasa’y dan Al-Hakim).
Tentu saja tidak termasuk hari-hari yang memang diharamkan ber¬puasa.
Bel iau bersabda seperti itu sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang,
“Apa pendapat engkau tentang puasa setahun penuh?” Maka jawaban beliau
seperti itu bukan berarti mengesahkan puasa pada hari-hari yang di
larang berpuasa. Dengan kata lain, apakah dia puasa atau tidak puasa,
maka sama saja, tidak akan mendatangkan pahala dan juga tidak
mendatangkan siksa. Tuntunan beliau yang sudah pasti, puasa sehari dan
tidak puasa sehari, lebih baik daripada puasa terus-menerus dan lebih
disukai Allah. Berarti puasa setahun penult secara torus-menerus adalah
perbuatan makruh. Sekiranya tidak makruh, maka puasa ini dianggap lebih
balk daripada puasa sehari dan
puasa sehari, karena pengamalannya lebih banyak. Pengertian in i jelas ditolak had its shahih yang menyebutkan,
“Sesungguhnya puasa yang paling disukai Allah ialahpueLsa Daud. {Ditakhrij A I -B ukhary).
Berarti tidak ada puasa (sunat) yang lebih afdhal daripada
puasa Daud ini, sehari puasa dan sehari tidak puasa. Jika dikatakan
bahwa keutamaan keduanya sama, juga ditolak. Atau bisa dianggap mubah
dan sama kedu¬dukannya, tidak dianjurkan dan juga tidak dimakruhkan.
Anggapan seperti ini juga tertolak. Sebab yang demikian ini bukan
termasuk ibadah yang dilandasi dalil.
Jika dikatakan, “Bukankah puasa Ramadhan yang d isusuli dengan pua¬sa
Syawwal enam hari, sama dengan puasa setahun penuh? Bukankah puasa tiga
hari setiap bulannya sama dengan puasa setahun penuh? Bukankah yang
demikian itu menunjukkan bahwa puasa setahun penuh lebih balk daripada
puasa yang diserupakan dengannya? Bukankah pahalanya lebih banyak
daripada dua puasa tersebut?”
Jawabannya, penyerupaan sesuatu yang sudah ditetapkan, bukan berarti
menunjukkan pembolehannya, apalagi jika dianggap sebagai anjuran.
Penyerupaan ini berlaku untuk pahalanya. Dalilnya adalah hadits tentang
penyerupaan itu sendiri, bahwa puasa tiga hari setiap bulan menyerupai
puasa setahun penuh. Sebab satu kebaikan dibalas dengan sepuluh
kebaikan yang serupa. Kalau dihitung secara harian, jumlahnya adalah
tiga puluh enam hari (3 X 12 = 36), berarti sama dengan tiga ratus enam
puluh hari. Dengan begitu dapat diketahui bahwa yang dimaksudkannya
adalah mendapatkah pahala ini. Begitu pula puasa Syawwal enam hari,
yang berarti menjadi tiga puluh enam hari jika digabung dengan puasa
Ramadhan, yang serupa dengan puasa tiga ratus enam puluh hari.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn pernah masuk rumah, lalu
bertanya kepada keluarganya, “Apakah kalian mempunyai sesuatu
(makan-an)?” Jika mereka menjawab, “Tidak ada”, maka beliau bersabda,
-Kalau begitu aku puasa.”
Jadi niat puasa sunat itu terlontar pada slang hari. Terkadang beliau
berniat puasa sunat, tapi kemudian pada slang harinya beliau
membatal¬kannya. Hal ini dikabarkan Aisyah. sebagaimana yang
diriwayatkan Mus¬lim dan An-Nasa’ y. Adapun tentang had its dari Aisyah
yang disebutkan di dalam As-Sunan, dia berkata, “Aku dan Hafshah sedang
puasa sunat. Lalu ada makanan yang disodorkan kepada kami. Maka kami
memakannya, karena makanan itu adalah kesukaan kami. Lalu Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallain tiba mendatangi kami. Hafshah mendahului
aku menemui beliau, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, tadinya kami
berdua puasa, lalu kami disodori makanan yang membangkitkan se lera
kami. Maka kami pun memakannya.- Maka beliau bersabda, -Qadha’lah satu
hari sebagai ganti¬nya.” Ini adalah hadits yang cacat.
Jika beliau sedang bertamu dalam keadaan berpuasa, maka beliau
menyempumakan puasanya dan tidak makan suguhannya, sebagaimana yang
beliau lakukan ketika menemui Ummu Sulaim. Lalu dia
menyuguhkan korma dan keju. Maka beliau bersabda, “Kembalikan keju dan
korma ini di tempatnya, karena aku sedang puasa.” (ditakhrij A
l-Bukhary dan Ahmad).
Adapun tentang had its riwayat Ibnu Majah, At-Tirmidzy dan Al¬Baihaqy,
dari Aisyah dan dia memarfu’kannya, bahwa siapa yang bertamu kepada
seseorang, maka hendaklah dia tidak puasa sunat kecuali setelah
mendapat perkenan dari tuan rumah.” Hadits ini hadits mungkar, tak
seorang pun yang tsiqat.
Rasulullah Shallallahu Alaihi tivaSallam memakruhkan pengkhususan puasa
hanya pada hari Jum’at, dan beliau juga tidak melakukannya. Hal ini
disebutkan dalam hadits shahih dari Jabir bin Abdul lah, Abu Hurairah.
binti Al-liarits dan lain-lainnya. Bahkan beliau pernah minum pada hari
Jum.at ketika sedang berada di atas untuk memperlihatkan kepada mereka
bahwa beliau sedang tidak puasa.
Tuntunan Rasulullah tentang I’tikaf
Kebaikan hati dan istiqamahnya tergantung pada kebersamaannya dengan
Allah, perjalanannya kepada Allah dan celaan terhadap kekusutannya saat
menghadap Allah. Kekusutan ini tidak bisa dicela kecuali dengan
menghadapkannya kepada Allah. Sementara bergaul secara
berlebih-lebihan. makan secara berlebih-lebihan, tidur secara hanya
menam¬bah i kekusutan itu, lalu menyebar kemana-mana,
memotongperjalanannya kepada Allah dan melemahkannya.
Karena itu sudah ditetapkan rahrnat Allah terhadap hamba-Nya, dengan
mensyariatkan puasa bagi mereka, yang bisa menghambat kelebihan makan
dan minum, mengosongkan hati dari syahwat. Pensyariatan ini untuk
kemaslahatan, yang memberikan manfaat bagi hamba di dunia dan di
akhirat, tidak berbahaya haginya dan tidak menghambat kepentingannya
dalam kehidupan saat ini atau kelak.
Kemudian Allah mensyariatkani’tikaf, yang maksudnya dan intinya adalah
menempatkan hati di hadapan Allah, nicnyendiri hersama-Nva, memutuskan
dari segala kesibukan dengan makhluk dan hanya menyibuk¬kannya dengan
Allah, sehingga hanya Allah yang diingat dan dicintainya. semua hasrat
tertuju kepada-Nya, semua pemikiran hanya untuk mendapat¬kan
keridhaan-Nya, mempersiapkan hati untuk bcrsanding bersama Allah pada
saat dia menyendiri di dalam kubur. lnilah maksud yang terbesar dari
i’tikaf.
Karena maksud dari i’tikaf adalah sebagai penyempurna dari puasa, maka
i’tikaf ini disyariatkan pada hari-hari paling utama dari hari-hari
puasa, yaitu sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Tidak pernah d
inuki I dari
Nabi Shallallahu Alaihi iaSallain. bahwa beliau i’tikaf pada
hari ketika tidak puasa. Bahkan Aisyah berkata, “Tidak ada i’tikaf
tanpa puasa.- (Ditakhrij Abu Daud dan Ad-Daruquthny, dan rijalnya
tsiqat).
Allah tidak menyebutkan rtikafkecuali bersama puasa, dan Rasulullah
Shallallahu /Valhi wa Sallam juga tidak mengerjakannya kecuali bersama
puasa Ramadhan. Dal il paling kuat yang digunakan Jumhur salaf, bahwa
puasa merupakan syarat dalam ialah seperti yang ditegaskan
Syaikhul¬Islam Ibnu Taimiyah.
Telah ada ketetapan syariat bagi umat untuk menahan lidah dari segala
perkataan yang tidak bermanfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan
tentang tidur, maka telah ada ketetapan syariat agar mereka bangun
ma’am, sehingga tidak terlalu banyak tidur, tapi juga tidak boleh
terlalu banyak berjaga. Jadi pertengahan di antara keduanya, yang
ben-nanfaat bagi hati dan badan, tidak menghambat kemaslahatan hamba.
Yang paling balk ialah rnengikuti jalan Nabawy, tidak menyimpang ke
salah satu sisi. Kita sudah menjelaskan tun¬tunan Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang puasa, bangun malam dan perkataan.
Maka berikut ini akan kami jelaskan tuntunan beliau tentang i’tikaf.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan i’tikaf
pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hingga saat meninggal
du¬nia. Sekali beliau pernah meninggalkannya, tapi kemudian
mengqadha’nya pada bulan Syawwal. Sekali beliau pernah i’tikaf pada
sepuluh hari yang pertama, lalu pertengahan, lalu yang terakhir untuk
mencari lailatul-qadar. Lalu rnenjadi ketetapan bagi beliau pada
sepuluh hari yang terakhir. Beliau senantiasa melakukannya hingga akhir
hayat.
Beliau memerintahkan untuk mendirikan tenda di masjid lalu beliau
berada di dalamnya, menyendiri bersama Allah. Jika hendak i’tikaf, beliau
shalat fajarterlebih dahulu. Bel iau juga memerintahkan pendirian tenda-ten
da untuk istri-istri beliau. Setelah shalat subuh, beliau melihat ke arah tenda
tenda itu lalu memerintahkan untuk merobohkannya. Beliau i’tikaf sepuluh
hari setiap tahunnya. Tapi pada tahun terakhir, beliau i’tikaf dua puluh hari.
Saat i’tikafbeliau memasuki kemahnya sendirian, tidak masuk rumah
kecuali untuk keperluan-keperluan yang bersifat manusiawi. Beliau pernah
melongokkan kepala ke bilik Aisyah. Lalu Aisyah menghampiri beliau dan
membasuh kepala beliau di dalam masjid, sementara saat itu Aisyah sedang
haid. Sebagian istri yang lain datang berkunjung saat beliau i’tikaf. Jika istri
yang berkunjung ini bangkit untuk pulang, maka beliau ikut bangkit dan
mengantarkannya hingga tiba di rumahnya. Saat itu waktunya malam hari.
Selagi melakukan i’tikaf, beliau tidak mencampuri istri-istrinya, sekalipun
hanya memeluknya. Jika sedang i’tikaf, kasur beliau dipindah ke tempat
i’tikafnya. Ketika sedang i’tikafdan beliau keluar untuk keperluannya, beliau
melewati orang yang sedang sakit. Tapi beliau tidak
menghampirinya dan juga tidak menanyakan keadaannya. Beliau juga pernah
menggelar tikar sebagai alas ketika sedang i’tikaf. Semua ini dilakukan
untuk mendapatkan tujuan i’tikaf, tidak seperti keadaan orang-orang
bodoh yang mempersulit diri ketika i’tikaf dan sengaja membuka diri
untuk dikunjungi manusia. Cara ini jelas berbeda dengan cara yang
dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Tuntunan Rasulullah tentang Haji dan Umrah
Setelah hijrah beliau melakukan empat kali umrah dan sem uanya pada bulan Dzu I -Qa. idah, yaitu:
Umrah saat peristiwa Hudaibiyah pada tahun keenam setelah hijrah. Saat
itu orang-orang musyrik menghalangi beliau untuk datang ke Ka’ bah.
Karena itu beliau hanya menyembelih korban dan mencukur rambut serta
melakukan tahallul bersama para shahabat.
Umrah qadha’ pada tahun berikutnya. Beliau hisa masuk Makkah dan
menetap di sana selama tiga hari, kemudian keluar setelah
menyempurna¬kan umrah.
Beberapa kali umrah bersama haji. Hal ini dikuatkan dengan beralasan dalil.
- Umrah beliau dari Ji’ranah, ketika keluar ke Hunain kemudian kembali
ke Makkah. Jadi beliau umrah dari arah Ji’ranah lalu memasuki Makkah.
Tidak ada satu umrah pun yang beliau lakukan saat keluar dari Makkah
seperti yang di lakukan hanyak orang pada zaman sekarang. Semua umrah
beliau dilakukan saat masuk ke Makkah. Selama tiga belas tahun menetap
di Makkah setelah menerima wahyu, tidak pernah diriwayatkan bahwa
beliau umrah saat keluar dari Makkah. Umrah yang di lakukan Rasulullah
Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam dan disyariatkannya adalah umrah saat
masuk ke Makkah dan bukan saat keluar dari Makkah. Tak seorang pun yang
melaku¬kan terakhir ini kecuali Aisyah, karena dia sudah mengucapkan
ta]biyah lalu haid. Maka dia memasukkan haji ke umrah. Beliau
mengabarkan bahwa tha
afnya di Ka’ bah dan sas inya antara Shafa dan Marwah berlaku untuk
haji dan umrahnya. Lalu dia berpikir agar teman-temannya sesama wan ita
kern-ball untuk haji dan umrah secara terpisah, karena mereka tidak
melakukan haji tamattu dan bukan haji qiran. Maka dia pun kembali
dengan umrahnya. Lalu dia menvuruh saudaranya untuk menggantikan
umrahnya dari Tan’ im, sekedar untuk rnenyenangkan hati. Padahal tidak
ada umrah dari Tan’im pada saat itu.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memasuki Makkah setelah hijrah
sebanyak lima kali. Yang pertama kali beliau hanya sampai di
Hudaibiyah, karena dihalangi orang-orang musyrik. Semua umrah beliau
dilakukan pada
bulan-bulan haji, untuk membedakan dengan kebiasaan
orang-orang musy¬rik, karena mereka tidak melakukan umrah pada
bulan-bulan haji, yang menurut mereka merupakan kekejian yang nN ata.
Hal ini menunjukkan bahwa umrah pada bulan-bulan haji lebih baik
daripada bulan Rajab. Lalu mana yang lebih baik antara umrah pada
bulan-bulan haji dan pada bulan Ramadhan? Ada riwayat shahih bahwa
beliau memerintahkan Ummu
yang tidak bisa ikut menunaikan haji bersama beliau, untuk umrah pada
bulan Ramadhan, sambi I men gabarkan bahwa umrah pada bulan Ramadhan
menyerupai haji. Tapi Allah tidak memi I ihkan bagi Nabi-Nya untuk
umrah kecuali waktu yang paling tepat dan paling layak untuk umrah itu.
Umrah pada bulan-bulan haji menyerupai haji pada waktunya. Bulan-bulan
ini telah dikhususkan Allah untuk ibadah ini. Umrah adalah haji kecil.
Maka waktu yang paling tepat ialah pada bulan-bulan haji. Sernentara
pada bulan Rama¬dhan beliau lebih banyak menyibukkan dengan berbagai
macam ibadah yang lebih penting daripada umrah. Tapi tidak memungkinkan
bagi beliau untuk menyatukan ibadah-ibadah itu dengan umrah. Maka
beliau menunda umrah hingga tiba bulan-bulan haji. Sekiranya beliau
umrah pada bulan Ramadhan, maka manusia akan berbondong-bondong
melakukan umrah pada bulan Ramadhan, sehingga akan menjadi sulit dan
berat bagi mereka untuk mema-dukan umrah dengan puasa. Sebenarnya
banyak amal yang hendak dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, tapi beliau mengurung-kannya, karena khawatir akan memberatkan
umat.
Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau umrah dua kali dalam
satu tahun. Banyak orang yang beranggapan bahwa beliau umrah dua kali
dalam setahun. Mereka berhujjah dengan hadits riwayat Abu Daud di dalam
Sunan-nya, dari Aisyah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
pernah umrah dua kal i, yaitu pada bulan Dzul-Qa’idah dan pada bulan
Syawwal. Hadits ini sama sekali tidak kuat. Yang pasti, beliau umrah
hanya empat kali. Dari yang empat kali itu sama sekali tidak ada
riwayat yang menyebutkan umrah beliau pada bulan Syawwal. Memang beliau
pernah berperang pada bulan Syawwal dan pada bulan itu pula beliau
keluar dari Makkah. Setelah peperangan usai, beliau melaksanakan umrah
pada bulan Dzul-Qa’ idah, sehingga beliau tidak melakukan umrah dua
kali pada tahun itu, sebelum maupun sesudahnya. Siapa yang meneliti
sejarah dan kehidupan beliau secara teliti, tentu akan meragukan
masalah ini.
Jika ada yang bertanya, “Lalu apa alasan anjuran melaksanakan umrah
hingga beberapa kali dalam satu tahun, jika tidak ada riwayat yang dem
ikian itu dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?”
Ada perbedaan pendapat tentang masalah ini. Menurut Malik, umrah lebih
dari satu kali dalam setahun hukumnya makruh. Lain lagi dengan pendapat
Mutharrif. Menurutnya, boleh melakukan umrah beberapa kali
dalam satu tahun. Begitu pula menurut Al-Mawwaz. Dia
berkata, “Aisyah pernah umrah dua kali dalam satu bulan. Saya tidak
sependapat jika seseorang dihalangi untuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan melakukan amal¬amal ketaatan dan mencari banyak kebaikan di satu
tempat. Di samping itu juga tidak ada satu nash pun yang melarangnya.”
Yang terakhir ini juga merupakan pendapat Jumhur. Hanya saja Abu
Hanifah mengecualikan lima hari yang tidak boleh digunakan umrah, yaitu
hari Arafah, hari menyembel ih korban dan hari-hari tasyriq.
Ada seseorang yang bertanya kepada Al-Qasim, “Apakah tidak ada seorang
pun yang, mengingkari perbuatan Aisyah itu?” Maka dia balik bertanya,
“Apakah yang demikian itu layak dilakukan terhadap Ummul¬Mukminin?-
Di riwayatkan dari Ali bin Abu Thalib, bahwa dia pernah umrah bebe-rapa kali dalam satu tahun. Beliau juga bersabda,
“Umrah ke umrah berikutnya merupakan penebus dosa di antara keduanya.” (Ditakhrih Al-Bukhary dan Muslim).
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa beliau hanya melakukan haji satu
kali setelah hijrah ke Madinah, yaitu haji Wada., dan tidak ada
perbedaan pendapat, bahwa hal itu dilakukan pada tahun kesepuluh.
Tapi ada perbedaan pendapat, apakah beliau pernah haji sebelum hijrah?
Dalam riwayat At-Tirrnidzy disebutkan bahwa beliau pernah haji tiga
kali. Dua kali sebelum hijrah dan satu kali setelah hijrah. Tapi hadits
ini sania sekali tidak kuat dan tidak terjaga.
Ketika turun perintah haji, maka beliau langsung menunaikan tanpa
menundanya. Kewajiban ini diturunkan pada masa-masa akhir, yaitu pada
tahun kesembilan atau sepuluh. Tentang firman Allah,
“Dan„velnpurnakan¬/oh ibadah haji dan umrah karena Allah”,
(Al-Baciarah: 196), sekalipun turun pada tahun keenam atau pada tahun
peristiwa Hudaibiyah, toh ayat ini turun tidak mcnunjukkan kewajiban
haji. Itu hanya sekedar perintah penyempur¬naan haji dan umrah, setelah
ada pensyariatan keduanya. Tapi bukan berarti itu menunjukkan
dimulainya ibadah haji dan umrah. Jika ada yang bertanya, “Dari mana
kalian tahu kewaj iban haj i itu turun pada tahun kesembilan atau
kesepuluh?”
Ada yang berpendapat, karena kandungan surat All Imran turun pada tahun
datangnya para utusan. Pada waktu itu ada utusan Najran yang mene¬mui
Nabi Shallallahu Alaihi dan menjalin perdamaian, dan mereka menyatakan
kesanggupan mernbayar jizyah kepada beliau. Sementara ayat tentang
jizyah ini turun pada saat perang Tabuk atau pada tahun kesembilan.
Bel. Peiyithvia71 Xn/1,0M7I
Pada saat itulah turun kandungan surat Ali linran, beliau
berdebat dengan Ahli Kitab dan mengajak mereka kepada tauhid dan juga
menantang mereka untuk bermubahalah. Hal ini juga dikuatkan, bahwa
penduduk Makkah dari kalangan orang-orang musyrik masih merasakan
penyesalan atas barang dagangan mereka yang hilang. Kemudian turun ayat,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrikUu
najis, makajanganlah mereka mendekati Masjidil-Haram sesudah tahun
ini.” (At-Taubah: 28).
Lalu Allah menggantikannya dengan jizyah, yang semua itu terjadi pada tahun kesembilan.
Ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallarn berhasrat hendak haji, maka
beliau mengumumkannya kepada orang-orang. Lalu mereka pun bersiap-siap
untuk haji bersama beliau. Para penduduk di sekitar Madinah juga
mendengar hal ini, hingga mereka pun datang ingin bergabung bersama
beliau. Bahkan j um lah mereka yang bergabung di tengah perjalanan
semakin bertambah banyak, hingga tak terhitung lagi jumlahnya. Mereka
berjalan di depan, di belakang, di samping kanan dan kiri beliau.
Mereka semua tampak bergerak sejauh mata memandang. Keberangkatan
dimulai pada slang hari setelah shalat zhuhur, enam hari sebelum habis
bulan Dzul-Qa’idah. Setelah shalat beliau berpidato, mengajarkan cara
ihram, hal-hal yang wajib dan sunat. Beliau menggeraikan rambut dan
meminyakinya. Kemudian singgah di Dzul-Hulai fah dan shalat ashar dua
rakaat. Beliau menginap di Dzul-Hulaifah ini, sehingga shalat maghrib,
isya”, subuh dan zhuhur di tempat ini. Semua istri beliau ikut. Pada
malam itu beliau menggilir mereka semua. Ketika hen¬dak ihram, beliau
mandi untuk yang kedua kalinya karena hendak ihram, dan bukan mandi
yang pertama karena jima’.
Aisyah meminyaki beliau dengan minyak wangi, pada bagian badan dan
kepada, sehingga bekas minyak itu tampak pada anak rambut dan jenggot
beliau. Kemudian beliau membiarkan minyak wangi itu dan tidak
mencuci¬nya. Kemudian beliau mengenakan kain dan mantelnya, shalat
zhuhur dua rakaat, lalu mengucapkan talbiyah untuk haji dan umrah di
tempat shalatnya itu. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau
shalat dua rakaat untuk ihram.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn meminyaki rambutnya dengan
minyak tumbuh-tumbuhan agar menggumpal dan tidak berserakan. Beliau
mengucapkan talbiyah di tempat shalatnya itu lalu naik onta dan terus
mengucapkan talbiyah hingga tiba di Baida’. Terkadang beliau
bertalbiyah untuk haji dan umrah, terkadang untuk haji, sebab umrah
merupakan bagian dari haji, yang berarti merupakan haji (Oran. Tapi ada
yang mengatakan, itu adalah haji tarnattu’, dan ada yang mengatakan,
itu adalah haji ifrad.. Ibriu Hazm berkata, itu beliau lakukan tak lama
sebeluin shalat zhuhur.” Tapi
ini hanya sekedar dugaan. Yang pasti, beliau bertalbiyah
setelah shalat zhu¬hut-. dan tak seorang pun mengatakan bahwa ihramnya
sebelum zhuhur. lbou r=mar herkata. “Rasulullah Shallallahu A laihi iva
Salim)] tidak mengucapkan nlbiyah kecuali sejak dari dekat pohon,
ketika ontanya bangun.” Anas berka¬ta. “Bel iau shalat zhuhur kemudian
naik onta.- Kedua hadits ini disebutkan ui dafamAsh-Shahih. Jika
keduanya dikompromikan, maka dapat disimpul¬kan bahwa beliau
mengucapkan talbiyah setelah shalat zhuhur. Bel iau mengucapkan
talbiyah,
“Kits-ambit! panggilan-Muya Allah kusambittpanggilan-Mu. Kusam¬but
panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu.
Se.s.ungguhnya puji, nikmat dan kerajaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu
hagi-Mu.”
Beliau rnengeraskan talbiyah ini sehingga para shahabat di sekitar
dapat mendengarnya. Lalu beliau rnemerintahkan agar mereka juga
mengeraskannya atas perintah Allah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Iva Saila/77 memberikan pilihan kepada
mereka ketika ihram antara tiga nusuk (ifrad, giran dan tamattu’).
Ketika sidah mendekati Makkah untuk menghapus haji dan (Oran kepada
umrah bagi orang yang tidak mempunyai hewan korban. Kemudian beliau
menetapkan hal itu ketika berada di Marwah.
Pada waktu itu Asma’ binti Umais melahirkan Muhammad bin Abu Bakar.
Beliau menyuruh Asma’ untuk mandi dan lalu menyumpal selaniz-kangannya
dengan kain untuk menahan keluarnva darah, sehingga Asma¬:etap dalam
keadaan ihram dan juga bertalbiyah. Di sini beliau memperboleh¬kan
(prang yang ihram untuk membasuh badan, sedangkan wanita haid harus
mandi. Jadi ihram tetap sah bagi wanita haid. Beliau terus berjalan
sambil mengucapkan talbiyah, sementara orang-orang ada yang melakukan
lebih banyak dan ada pula yang melakukan lebih sedikit dari apa yang
beliau lakukan.
Setiba di Ar-Rauha’, beliau melihat keledai liar, tak jauh dari tempat
beliau. Maka beliau bersabda, “Biarkan saja ia. Sebentar lagi
pemburunya akan datang.” Ketika pemburu keledai itu tiha, maka dia
menyerahkannya kepada beliau. Lalu beliau mernerintahkan Abu Bakar
untuk membagi-hagi dagingnya. Di sini terkandung pembolehan memakan
daging huruan yang halal sewaktu ihram. se lagi bukan orane yang
melakukan ihram itu yang memburunya.
Ketika tiba di Atsayah. antara Rusyah dan Arj, ada seekor rubah yang
terikat pada tali jerat di tanah. di bawah sebatang pohon. Beliau
memerintah-kan seseorang agar menungguinya, agar tidak dijamah
seseorang. Per¬bedaannya dengan keledai di atas, bahwa keledai itu
diketahui secara jelas kehalalannya.
Ketika tiba di Wady Usfan, beliau bertanya kepada Abu Bakar, “Hai Abu Bakar, wadi apa
Abu Bakar menjawab, “Wady Usfan.-
Beliau bersabda, “Di tempat ini Nabi Daud dan Shalih pernah me lewati
dua orang gadis, yang tali kekangnya dari sabut, kainnya dibuat mantel
dan selendangnya dari wol. Mereka bertalbiyah untuk haji ke
AI-Baitul-Atiq.”
Setiba di Sarif, Aisyah datang bulan. Beliau berkata kepada para
shaha¬bat selagi tiba di Sarif itu, “Siapa yang tidak mempunyai hewan
korban, dan hendak menjadikan niatnya umrah, maka hendaklah
melakukannya. Bagi yang sudah mempunyai, tidak perlu melakukannya.”
In i semua me rupakan rentetan lain dari beberapa rentetan pilihan saat
di miciat. Tapi ketika di Makkah, beliau menetapkan perintah yang
pasti. Siapa yang tidak mempunyai hewan korban, maka hendaknya berniat
umrah lalu bertahallul dari ihramnya. Sedangkan siapa yang mempunyai
hewan korban, maka dia tetap dalam ihramnya dan tidak bisa dihapus oleh
apa pun.
Setiba di Dzi Thuwa atau yang juga disebut Abar Az-Zahir, beliau
menginap di sana pada malam Ahmad, empat hari terakhir dari bulan
Dzul¬Qaf idah. Beliau juga shalat subuh di sana, mandi pada hari itu,
lalu melan¬jutkan perjalanan ke Makkah, hingga memasuki Makkah pada
slang hari, dari arah Tsaniyah, datarannya yang tinggi, dan ketika
umrah beliau masuk Makkah dari datarannya yang rendah, lalu terus
berjalan hingga masuk masj id. Ath-Thabrany menyebutkan bahwa beliau
masuk dari pintu Bani Abdi Manaf yang juga disebut pintu Bani Syaibah.
Tapi Ahmad menyebut¬kan dari suatu tempat dari Daru Ya’ la yang
langsung menghadap ke Ka’ bah. Ath-Thabrany juga menyebutkan, bahwa
ketika melihat Ka’bah, beliau men gucapkan,
“Ya Allah, jadikanlah Rumah ini semakin dimuliakan, diagungkan, dihormati dan disegani. “
Diriwayatkan pula bahwa beliau mengangkat kedua tangan saat melihatnya, bertakbir dan bersabda,
“Ya Allah, Engkaulah yang mendatangkan kesejahteraan, dari-Mu datangnya
kesejahteraan, hidupkanlah kami wahai Rabb kami dengan kesejahteraan.
Ya Allah, jadikanlah Rumah ini semakin dimuliakan, diagungkan,
dihormati dan balk. “*)
Ketika sudah masuk masj id, beliau langsung menuju Ka’bah dan tidak
melakukan shalat tah iyatu l-masj id. Sebab tahiyatnya adalah thawaf.
Ketika tiba di dekat Hajar Aswad, beliau menciumnya dan tidak ada orang
lain yang ikut bergabungatau berebut. Beliau tidakmendatangi Rukun
Yamani terlebih
*) Hadits ini mursal, yang berarti tidak kuat.
dahulu sebelurn mencium Hajar Aswad ini dan tidak pula
mengangkat tangan ke arahnya, j uga tidak mengucapkan. “Aku berniat
dengan thawafku ini tujuh kali”, tidak pula memulainya dengan takbir,
tidak mencium atau memeluk Hajar Aswad dengan seluruh badannya. Beliau
juga tidak berdoa saat di pintu Ka’bah, tidak pula di samping Ka’bah
maupun di salah s atu rukunnya. Tidak ada dzikir yang beliau ucapkan
saat thawaf. Tapi ada dzikir yang diriwayat¬kan dari beliau saat berada
di antara dua rukun, yaitu,
Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari siksa neraka.”
Be I iau mempercepat jalan saat thawaf pada putaran tiga yang terakhir.
api dengan iangkah-langkah kaki yang lebih pendek. Beliau
menyelernpang¬kan kain di atas salah satu pundak (kiri) dan
memperlihatkan pundaknya yang ;ain (kanan) dan bahunya. Setiap kali
lewat di depan Hajar Aswad, beliau memberi isyarat kepadanya dengan
tongkatnya lalu beliau memeluk tongkat itu.
Diriwayatkan bahwa beliau mencium Rukum Yamany, tapi tidak memeluknya
dan tidak pula memeluk dengan tangan tatkala menciumnya. Ada riwayat
bahwa beliau memeluk Hajar Aswad, ada pula bahwa beliau mencium beserta
tangannya, dengan meletakkan tangan padanya, kemudian memeluknya.
Adakalanya beliau mencium dengan tongkatnya. Jadi ada tiga cara dalam
hal ini. Ath-Thabrany menyebutkan dengan isnad yang jayyid, bahwa
tatkala mencium itu beliau mengucapkan,
ft,-;cf:Lbc)
“Dengan asma Allah, Allah Muhabesar.
Kemudian tatkala melewati Hajar Aswad pada thawaf berikutnya, beliau hanya mengucapkan Allahu Akbar dan tidak menciumnya.
Setelah selesai thawaf, beliau menuju belakang Maqam, seraya membaca ayat,
“Dan, jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. ” (Al – Baqarah: 125).
Kemudian beliau shalat dua rakaat. Posisi rnaqam antara beliau dan
Ka’bah. Sesudah A1-Fatihah beliau membaca surat Al-Kafirun dan
Itchlash. Seusai shalat beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menciumnya.
Kemudian beliau inenuju Shafa dari pintu yang berbeda. Ketika mendekati
Shafa, beliau membaca,
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah.” (Al-Bagarah: 158).
Beliau naik ke bukit Shafa sehingga dapat melihat Ka’bah. Dengan
menghadap ke arah Ka” bah, beliau mengesakan Allah dan mengagungkan¬nya, dengan mengucapkan,
“Tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu baginya, bagi-Nya
kerajaan dan bagi-Nya pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala
sesuatu. Tiada Rah selctin Allah semata, yang memenuhi janji-Nya, yang
menolong hamba-Nya dan yang mengalahkan pasukan musuh semata,”
Di antara Shafa dan Marwah beliau juga mengucapkan hal yang sama tiga
kali. Kemudian turun ke Marwah dengan berjalan kaki. Ketika menuruni
Wady, beliau berjalan cepat, dan ketika melewati Wady dan jalannya
menan¬jak, beliau berjalan biasa.
Setiba di Marwah beliau naik ke atas bukit lalu menghadap ke arah
Ka’bah, sambil mengagungkan Allah dan mengesakan-Nya. Beliau me
laku¬kan hat yang sama seperti ketika di Shafa. Ketika sa’inya selesai
di Marwah, beliau memerintahkan orang yang tidak mempunyai hewan korban
untuk bertahallul, dan tetap menetap di sana hingga hari Tarwiyah
(sehari sebelum wuquf di Arafah).
Beliau menetap bersama orang-orang Muslim di dekat Makkah selama empat
hari, dan selama itu beliau mengqashar shalatnya. Pada hari Kamis pagi,
beliau dan semua orang-orang Muslim berangkat menuju Mina. Setiba di
Mina, beliau turun dari hewan tunggangannya dan shalat zhuhur serta
Ashar serta bermalam di sana. Keesokan paginya setelah matahari terbit
beliau pergi ke Arafah. Bel iau mengambil jalan di samping kanan dari
jalan yang biasa dilalui orang-orang pada zaman sekarang. Di antara
para shahabat ada yang bertalbiyah, ada pula yang bertakbir. Beliau
hanya diam saja dan tidak mengingkari perbuatan mereka. Bel iau
mendapatkan kemah sudah didirikan di Namirah, sebuah dusun di sebelah
timur Arafah. Bet iau singgah di tempat itu. Ketika matahari sudah
tergelincir, beliau mem inta ontanya Al¬Qashwa’, lalu pergi lagi,
hingga tiba di sebuah wadi di bilangan Uranah.
Di sana beliau menyampaikan khutbah yang amat agung dari atas punggung
ontanya, yang di dalamnya beliau menyampaikan kaidah-kaidah
menghancurkan sendi-sendi kemusyrikan dan Jahiliyah. Dalam khutbahnya
itu beliau menyampaikan hal-hal yang diharamkan, seperti yang juga
diharamkan agama-agama samawi lainnya, baik yang berkaitan dengan
darah, harta maupun kehormatan diri, meletakkan berbagai urusan
Jahiliyah d i bawah telapak kakinya, mem batilkan sesembahan Jahiliyah,
mewasiatkan perlakuan yang balk terhadap wanita, menyebutkan hak-hak
wanita yang harus dipenuhi dan juga kewajiban-kewajibannya, para wanita
itu berhak mendapatkan rezki dan pakaian secara layak, dan beliau tidak
membuat pa¬tokan tertentu dalam hal ini. Beliau membolehkan swami
memukul istri jika dia memasukkan orang lain yang tidak disukainya ke
dalam rumahnya,
mewasiatkan kepada umat agar berpegang teguh kepada Kitab
Allah, seraya mengabarkan bahwa mereka tidak akan sesat selagi mereka
tetap berpegang kepadanya. Beliau mengabarkan bahwa mereka bertanggung
jawab terhadap Kitab Allah itu, lalu meminta mereka untuk mengatakan
apa yang hendak Jikatakan dan dipersaksikan. Maka para shahabat
berkata, “Kami bersaksi bahwa eng-kau telah menyampaikan, melaksanakan
dan menyampaikan nasihat.- Lalu beliau menunjuk jarinya ke langit dan
meminta agar mereka bersaksi kepada Allah tiga kali, dan memerintahkan
agar mereka yang hadir saat itu menyampaikan isi khutbah ini kepada
mereka yang tidak hadir. Beliau hanya menyampaikan satu kali khutbah.
Setelah selesai. beliau memerintahkan Bilal untuk adzan lalu iqamat.
Beliau shalat zhuhur dua rakaat dengan rnerahasiakan bacaan, padahal
saat :to hari uni’at. Hal ini menunjukkan bahwa rnusafir boleti tidak
shalat Jum’at. Kemudian beliau memerintahkan Bilal untuk iqamat sekali
lagi, lain
mendirikan shalat ashar dua rakaat. Sementara di tempat itu ada
pendu-Juk Makkah yang juga ikut shalat bersama beliau, dengan cara
mengqashar Jan menjama’. Di sini terkandung dalil bahwa perjalanan
jarak yang pendek tidak perlu dibatasi dengan jarak tertentu.
Seusai shalat beliau naik hewan tunggangan dan melanjutkan perjalan
hingga tiba di tempat wuquf. Beliau wuquf di lereng bukit. Dengan
meng-hadap ke arah Ka’bah, beliau berdoa, bertahlil dan merundukkan
diri kepada Allah hingga matahari tenggelam. Beliau memerintahkan agar
orang-orang naik lagi ke Uranah, dan mengabarkan bahwa seluruh tempat
di Arafah adalah tempat wuquf. Beliau memerintahkan agar orang-orang
tetap berada di tempat mereka masing-masing dan wuqufdi sana. Dalam
berdoa di Arafah ini beliau mengangkat tangan ke arah dadanya, seperti
orang miskin yang meminta uluran makanan. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya sebaik-baik doa adalah hari Arafah.”
Di dalam wuqufnya ini beliau mengucapkan doa,
“Ya Allah, bagi-Mu segala puji seperti yang kami ucapkan, dan ke-baikan
dari apa yang kami ucapkan. Ya Allah, bagi-Mu shalatku, Thu¬dahku,
hidupku dan matiku, kepada-Mu tempat kembaliku, bagi-Mu va Rabbi
warisanku. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-
.
Mu dari adzab kubur, bisikan di dada dan urusan yang eel-al berai. Ya
Allah, aku berlinclung kepada-Mu dari kejahatan yang di bawa angi n. ”
(Diriwayatkan At-Tirmidzy).
Doa beliau yang lain,
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mendengar perkataanku, melihat tempatku,
mengetahui rahasia clan penampakanku, tidak ada sesuatu pun yang terse
mbunyi dari-Mu dari urusanku, aku adalah yang sengsara danfakir, yang
meminta pertolongan danperlindungan, yang
takut dan peril’ dikasihani, yang mengakui do.sa-dosanya.
Aku memo¬hon kepada-Mu dengan permohonan orang yang oilskin dan yang
berdoa kepada-Mu dengan doa orang yang berdosa dan hina. Aku berdoa
kepada-Mu dengan doa orang yang takut lagi tak tahu apa¬apa, sambil
menekurkan luttttnya kepada-Mu, yang kedua matanya meneteskan air mata,
dengan merendahkan jasadnya dan memburuk¬kan hidungnya. Ya Allah,
janganlah Engkau menjadikan aku dengan doa kepada-Mu ini orang yang
celaka. Jadilah Engkau menyayangi aku dan mengasihi wahai sebaik-haik
Dzat yang diminta, wahai se¬balk-balk Dzat yang memberi.”
Ahmad menyehutkan dari hadits Amr bin Sydaib. dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwa dzikir Nabi Shallallahu Alaihi wa S’allam yang paling
banyak dibaca saat di Arafah adalah,
“Tiada flab selain Allah somata, yang dada .sekutu bagi-Nya. Bagi-Nva
kerajaan clan bagi-Nya segala putt. Di Tangan-Nva kebaikan dan Dia Maha
Berkuasa atas segala sesucttu.”
Saat di Arafah itu pula turun ayat,
“Pada hart ini telah Kusem
purnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian
nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.
(Al-Maidah: 3).
Di sana pula ada seseorang yang jatuh dari hewan tunggangannya dan
meninggal dun ia. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
memerin-tahkan agar orang itu dikafani dengan kainnya, tidak boleh
diberi vvewangian, dimandikan dengan air dan dicampuri dengan pohon
bidara, kepala dan wajahnya tidak ditutupi train, dan beliau
mengabarkan bahwa Allah akan mernbanizkitkan orang ini pada hail kiamat
sambil bertalbiyah.
Dalarn kejadian ini terkandung dua betas hukum:
1. Kewajiban memandikan mayit.
2. Mayit bukan sesuatu yang naj is. Sebab andaikan najis, maka najisnya jus¬tru bisa bertambah saat is dimandikan.
3. Mayit itu dimandikan dengan air yang dicampur pohon bidara
4. Perubahan air dengan hal-hal yang suci tidak menghilangkan kesucian¬nya.
5. Orang yang claim keadaan ihram boleti dimandikan.
6. Orang yang sedang ihram boleh dimandikan dengan air yang dicampur pohon bidara.
7. Urusan kafan hams lebih dahulu diurus daripada urusan warisan. Sebab
beliau memerintahkan untuk mengafani orang itu dengan dua lembar
kainnya tanpa menanyakan warisan atau hutangnya.
S. Boieh membatasi jumlah kafi i dengan dua lembar kain.
Orang yang sedang ihram tick ‘c boleh mengenakan wewangian. Orang yang sedang ihram tide boleh menutup kepalanya.
II Orang yang sedang ihram tidak menutup wajahnya. Tapi sebagian
shahabat ada yang memperbolehkann,
r Tetap menjaL+a keadaan –! sudah meningaal.
Setelah m2+-1 ienggelam secara sempurna dan tidak ada lagi warna
Cil ufuk. heliau meni iggalkan Arafah dengan pelan. tapi tidak
Amah bin Zaid membonceng di belakang seraya bersabda. “Wahai manusia, henclaklah kalian dalam keadaan
karena kebajikan itu tidak dengan cara terburu-buru.”
Bei iau meninggalkan Arafah dari jalan yang berbeda dengan saat
memasukinya. Begitulah kebiasaan yang dilakukan heliau saat berjalan
me-.3.ksanakan hari besar. Beliau terus-menerus bertalbiyah dalam
perjalanannya
i tanpatersela. Di tengah perjalanan beliau turun untuk buang air
kecil, lalu wudhu’ sepintas lalu raja. Ketika Usamah berkata, “Waktunya
shalat wahai Rasulullah”, maka beliau menjawab, “Tempat shalat di
depanmu.”
Setiba di Muzdalifah beliau wudhu’ secara sempurna untuk shalat,
memerintahkan mu’adzin untuk adzan dan disusul iqamat, lalu shalat magh
sebelum onta-onta diderumkan dan hewan-hewan lain ditambatkan. Seusai
shalat rnaghrib beliau memerintahkan untuk menambatkan hewan dan
menderumkan onta, lalu memerintahkan iqamat dan disusul shalat isya’,
:anpa adzan lagi. Di antara maghribdan isya’ ini beliau tidak melakukan
apa nun. Setelah itu beliau tidur dan bangun keesokan paginya.
Beliau tidak menghidupkan malam itu dengan shalat, dan tidak ada
7iwayat shah ih yang menyebutkan penghidupan ma’am dua ‘Id. Pada malam
beliau memerintahkan para keluarganya yang kurang kuat untuk pergi
ebih dahulu ke Mina sebelum fajar, dan malam itu rembulan tidak tampak
memerintahkan agar mereka tidak melempar jumrah kecuali setelah
matahari terbit. Adapun tentang had its yang menyebutkan bahwa Ummu
Salamah inelempar jumrah sebelum fajar, maka itu adalah hadits mungkar,
ang diingkari Ahmad dan lain-lainnya. Tapi setelah itu Ahmad juga menye
butkan had its Saudah dan juga hadits-hadits lain yang sama (ada yang
melempar jumrah sebelum matahari terbit). Karena itu dia berkata, “Sebe
narnya tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits ini. Beliau memerin
tahkan anak-anak agar tidak melemparjumrah kecuali setelah matahari terbit.
Tapi tidak salah bagi mereka untukmendahulukan melempar jumrah (sebe
lum matahari terbit). Begitu pula para wanita yang melakukannya sebelum
matahari terbit, karena alasan tertentu, seperti takut berdesak-desakan. lnilah
yang ditunjukkan As-Sunnah tentang diperbolehkannya melempar jumrah
sebelum matahari terbit, karena alasan tertentu, seperti orangnya sudah tua
atau sakit. Tapi bagi orang yang sehat dan kuat, maka hal
itu tidak di per-bolehkan. Yang ditunjukkan oleh had its itu ialah
mendahulukan pada saat rembulan tidak tampak, bukan pada slang hari.-
Ketika fajar sudah menyingsing, beliau segera shalat subuh, lalu pergi
dengan naik hewan tunggangan hingga tiba di Masy’aril-Haram. Di sana
beliau menghadap ke arah kiblat, berdoa, memohon, bertakbir, bertahlil
dan berdzikir secara sungguh-sungguh. Beliau tetap berada di tempatnya
itu, dan memberitahukan kepada orang-orang bahwa semua wilayah
Muzdalifah adalah tempat wuquf. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan
dengan membonceng Al-Fadhl. Dalam perjalanan ini beliau terus-menerus
bertal¬biyah. Usamah berjalan di barisan terdepan dari orang-orang
Quraisy.
Di tengah perjalanannya itu beliau memerintahkan Ibnu Abbas agar
memungutkan batu-batu untuk melempar jumrah sebenyak tujuh biji, dan
tidak membawanya dari bukit pada malamnya seperti yang dilakukan
orang¬orang yang tidak mengetahui dan tidak pula memungutnya di tengah
jalan pada ma lam hari. Beliau menggenggamnya di telapak, yang besarnya
memang pantas untuk dilemparkan, seraya bersabda, “Batu semacam inilah
yang kalian gunakan untuk melempar, dan jauhilah oleh kalian
berlebih¬lebihan dalam agama. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian
dibinasa¬kan karena berlebih-lebihan dalam agama.- Setiba di Muhassir,
beliau mem¬percepat jalan ontanya. Begitulah kebiasaan beliau di
wilayah ini, yang di sana musuh-musuh Allah mendapat kebinasaan. Di
tempat itulah pasukan penunggang gajah dibinasakan seperti yang
dikisahkan Allah dalam Kitab¬Nya. Karena itu wilayah itu disebut Wady
Muhassir, karena pasukan gajah dibinasakan di tempat itu, sehingga
tidak bisa masuk ke Makkah.
Muhassir adalah padang antara Mina dan Muzdalifah. Sedangkan Al-Masy
“aril-Haram tidak termasuk keduanya. Mina termasuk tanah haram (suci)
yang juga disebut masy’ar. Sebenarnya Muhassir juga termasuk tanah
haram, tapi bukan masy’ar. Muzdalifah termasuk tanah haram dan masy’ar.
Tapi Arafah tidak termasuk masy’ar.
Bel iau me lalui jalan tengah, tidak terlalu menyamping, merupakan
jalan untuk Jumrah Kubra, hingga tiba di Mina. Beliau tiba di tempat
Jumrah Aqabah dan berhenti di bagian bawah lembah. Posisi Ka’bah ada di
sebelah kiri beliau dan Mina ada di sebelah kanan beliau. Beliau
menghadap ke arah Jumrah dengan tetap di atas hewan tunggangan. Bel iau
melemparnya tanpa turun dari punggung hewan setelah matahari terbit,
satu demi satu sambil bertakbir setiap kali lemparan batu dan
menghentikan talbiyah. Salah satu dari Bilal atau Usamah yang selalu
bersama beliau, memegang tali kekang onta beliau, dan yang lain
memayungi beliau dari terik matahari dengan kainnya. Di sini terkandung
pembolehan menggunakan payung bagi orang yang ihram.
Kemudian kembali ke Mina. Sesarnpai di sana beliau
menyampaikan pidato yang agung, di dalam pidato itu beliau menyampaikan
kesucian hari korban dan keutamaannya, kesucian Makkah di antara semua
tempat. Beliau memerintahkan ketaatan dan kepatuhan kepada siapa pun
yang memimpin mereka berdasarkan Kitab Allah dan hendaklah setiap orang
mempelajari manasik haji dari beliau, lalu bersabda, “Boleh jadi tahun
depan aku tidak lagi menunaikan haji.” Maka beliau mengajarkan manasik
haji kepada mereka, menempatkan orang-orang Muhajirin dan Anshar di
tempat masing,- masing, memerintahkan manusia agar tidak kembali kepada
kekafiran setelah beliau, melarang sebagian membunuh sebagian yang lain
di antara mereka, memerintahkan agar mereka menyampaikan apa yang telah
beliau sam pai¬Lan. dan mengabarkan bahwa berapa banyak orang yang
menyampaikan ustru lebih radar claripada sekedar mendengarkan. Bel iau
juga menyampai-’Kan, “Seseorang tidak berbuat jahat, melainkan dia
berhuat jahat terhadap jirinva sendiri.” Beliau menempatkan orang-orang
Multajirin di samping kanan kiblat, dan orang-orang Anshar di sebclah
kiri kiblat, scdangkan yang lain berada di sekitar beliau. Saat itu
Allah membukakan pcndengaran semua manusia, sehingga penduduk Mina yang
ada di rumah mereka masing¬rnasing hisa mendengar pidato beliau. Dalam
pidatonya itu beliau bersabda. Semhahlan Rabb kalian, kerjakanlah
shalat lima waktu kalian, puasalah bulan Ramadhan kalian dan taatlah
kepada pemimpin kalian, niscaya kalian masuk surga Rabb kalian.” Saat
itu beliau seperti menyampaikan kata perpi¬sahan, sehingga mereka
menyebutnya Haji Wada’.
Kemudian beliau kembali ke tempat menyembelih korban di Mina. Tak
kurang dari enam puluh tiga hewan korban yang beliau sembelih sendiri,
kemudian menyuruh Ali untuk menyembelih sisanya hingga seratusan ekor,
kemudian memerintahkan agar dagingnya dishadaqahkan kepada orang-orang
m skin, begitu pula kulitnya, dan kalau pun menggunakan jagal, maka
anal itu tidak boleh diberi dari hewan korban itu. Beliau bersabda,
“Karni akan memberi upah tersendiri dari kami.”
Tidak ada riwayat bahwa beliau maupun shahabat yang mengom
prom ikan antara korban yang disembelih sewaktu haji dan hewan korban
Hasa. Yang pertama disembelih di Mina dan yang kcdua disembelih di tern
pat lain. Tentang perkataan A isyah, “Beliau menyemhc I h korhan atas nama
istri-istrinya dengan seekor sapi”, maka yang dimaksudkan adalah korban
sewaktu haji. karena mereka semua melakukan haji tamattu’, yang berarti
harus rnenycmbelih hewan korban, yang berarti beliau menyembelih atas
nama mereka. Tapi di sini ada yang musykil, karena jumlah mereka sembilan,
yang berarti lebih dari tujuh orang, padahal seekor sapi untuk tujuh orang.
Nieman ada perbedaan pendapat tentang jumlah orang yang bisa
berhimpun pada seekor sapi. Ada yang berpendapat, untuk tujuh orang, dan
ada yang berpendapat, untuk sepuluh orang. Dari beberapa
hadits tentang masalah ini. ternyata hadits-hadits yang untuk tujuh
orang lebih shahih dan lebih banyak. Jika dikatakan, onta sebanding
dengan sepuluh ekor kambing, seperti yang pembagian untuk harta
rampasan, agar pembagian itu adil. Tentang peruntukannya bagi tujuh
orang, maka itu merupakan ketetapan syariat.
Beliau menyembelih hewan korban di tempatnya, yaitu di Mina, dan
memberitahukan bahwa seluruh tempat di Mina merupakan tempat
menyem-belih korban, dan jalan ke Makkah bisa dilalui dan jugs bisa
digunakan untuk menyembelih korban. lni menunjukkan bahwa penyembelihan
korban tidak hanya khusus di Mina saja, tapi siapa pun yang menyembelih
dalam perjalanannya ke Makkah, diperbolehkan. Beliau ditanya, bagaimana
jika dibuatkan lindungan untuk melindungi beliau dari terik matahari?
Maka beliau menjawab, Tidak. Mina adalahtempat bagi siapa yang lebih
dahulu tiba.” Ini menunjukkan bahwa setiap orang Muslim bersekutu
terhadap Mina. Siapa yang telah lebih dahulu tiba hingga di suatu
tempat di sana, maka dialah yang lebih berhak atas tempat itu hingga
dia pergi dari sana, dan setelah itu dia tidak lagi berhak atas tempat
tersebut.
Setelah menyempurnakan penyembelihan korban, beliau memanggil pencukur,
yang kemudian is (Ma’mar) mencukur rambut beliau. Saat itu beliau
bersabda, “Hai Ma’ mar, Rasul Allah memberikan kekuasaan kepada-mu dari
semenjak cuping telinganya. Sementara di tanganmu ada pisau.”
Ma’mar berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, yang demikian ini
benar-benar merupakan nikmat dan karunia Allah yang dilimpahkan atas
diriku.”
Beliau bersabda,”Bagus. Kalau begitu aku mengiyakannya.” Di dalam
riwayat lain beliau bersabda,”Peganglah.- Beliau memberi isyarat ke
sebelah kanan. Ketika sudah selesai, beliau membagi rambutnya untuk
dicukur or¬ang lain. Kemudian beliau memberi isyarat ke sebelah kiri
samba bersabda, “Ke sini wahai Abu Thalhah.”
Beliau mendoakan tiga kali orang yang bercukur dan satu kali kepada
orang yang memendekkan rambutnya. Hal ini menunjukkan bahwa mencukur
merupakan ibadah yang sifatnya tidak mutlak dengan batasan tertentu.
Sebelum zhuhur beliau berangkat menuju Makkah sambil naik hewan
tunggangan, lalu melakukan thawaf ifadhah, dan sama sekali tidak
mela¬kukan thawaf yang lain. Beliau tidak mempercepat jalan saat thawaf
wada’, tapi melakukannya pada thawaf qudum.
Kemudian beliau pergi ke Zamzam, yang saat itu orang-orang sedang
mengambil dan meminumnya. Beliau bersabda, “Kalau bukan karena orang
orang mengalahkan kalian, tentu aku pun ikut mengambilnya
bersama kalian.” Kemudian mereka memberinya empat cibukan yang berisi
air Zainzam dan beliau meminumnya sambil berdiri. Lalu bagaimana dengan
larangan minum sambil berdiri dari beliau? Ada yang menjawab, bahwa
larangan minum sambil berdiri karena berdasarkan pilihan. Tapi alasan
karena menurut kebutuhan adalah yang lebih pas. Setelah itu beliau
kembali ke Mina.
Ada perbedaan pendapat, apakah beliau shalat zhuhur di Mina ataukah di
Makkah? Pada hari itu Aisyah melakukan sekali thawaf dan sekali sa.y,
ang dipisah antara untuk haji dan umrah. Pada hart yang sama Shafiyah
juga melakukan thawaf, lalu datang haid. Maka dia memasukkanny a
sebagai zhawafwadd. Telah ditetapkan dalam As-Sunnah, bahwa jika w an
ha datang ;laid sebelum thav,, af, maka dia cukup dengan sekali thawaf
dan sa’y. Jika datang bald setelah thaw of ifadhah, maka dia bisa
menganggapnya sebagai thawaf wada’.
Pada had itu pula bcliau kembali ke Mina dan bermalarn di sana. Pada
i.,:eesokanny a beliau menunggu hinggamatahari tergelincir. Setelah itu
bcliau berjaian ke tempat Jumrah tanpa naik hewan tunggangan. Beliau
memulai dengan Jumrah Ula yang tempatnya sctelah melewati masj id
Khaif. Beliau meletnparnya dengan tujuh batu,dalam setiap lemparan
beliau mengueapkan Allahu Akhar. lalu beralih ke Jumrah berikutnya.
Beliau menghadap ke arah kiblat, menengadahkan tangan dan rnengucapkan
doa yang panjang, kira-kira sama dengan selama membaca surat
Al-Baqarah. Kemudian mendatangi Jumrah Wustha dan melemparnya.
Kemudian beranjak ke sebelah kiri wady. Di sana beliau menghadap ke
arah kiblat, menengadahkan tangan dan berdoa seperti yang dilakukan
sebelumnya. Kemudian mendatangi Jumrah Aqabah, memposisikan Ka’ bah di
sebelah kiri, lalu metemparnya tujuh kali. Setelah itu kembali dan
tidak berada di Jumrah Aqabah ini (tidak berdoa seperti Jumrah
sebelumnya). Ada ang mengatakan, karena keterbatasan waktu. Tapi
pendapat yang benar, karena doa beliau biasa dibaca pada saat ibadah,
sebelum menyelesaikannya. Maka dengan selesainya melempar Jumrah
Aqabah, selesai pula melempar Jumrah itu. Sementara doa di tengah
ibadah adalah yang afdhal. Tapi saya masih tetap bertanya-tanya, apakah
beliau melempar Jumrah itu sebelum ataukah sesudah shalat? Tapi menurut
perkiraan saya yang lebih kuat, beliau melakukannya sebelum shalat.
Sebab Jabir dan lain-lainnya berkata. “Beliau melempar Jumrah selagi
matahari tergelincir.”
Dari semua rentetan haji yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi
ita Sallam , terdapat enam tempat untuk memanjatkan doa, yaitu: Di atas
Shafa, di atas Marwah, di Arafah, di Muzdalifah, saat melempar Jumrah
Ula dan saat melempar Jumrah Wustha atau kedua.
Beliau menyampaikan khutbah dua kali di Mina, yaitu saat
menyembe¬lih korban, dan kedua di pertengahan hari-hari tasyriq.
Al-Abbas meminta izin kepada beliau untuk bermalam di Makkah heberapa
malam sebagai ganti dari bermalam di Mina, karena hendak mengurus
masalah air. Maka beliau mengizinkannya. Dia juga meminta izin
untukmengurus onta saat bermalam itu di luar Mina, yaitu di tempat
penggembalaan onta. Beliau memberikan rukhshah kepada orang-orang untuk
melempar Jumrah pada hari penyembe¬lihan korban, lalu mereka bisa
menghimpun melempar Jumrah dua hari setelah itu, dengan melempar pada
salah satu dari dua hari tersebut.
Siapa yang mempunyai harta dan dikhawatirkan akan hilang, atau orang
sakit yang dikhawatirkan akan ketinggalan, atau orang sakit yang tidak
memungkinkan bermalam, maka me lemparnya menjadi gugur. Dia tidak
mungkin maju dari dua hari itu, tapi harus menundanya hingga
menyempur-nakan melempar Jumrah pada hari ketiga.
Pada hari ketiga setelah zhuhur beliau pergi ke Mihshab atau Abthah.
Beliau mendapatkan Abu Rail sudah mendirikan tenda beliau di sana.
Se¬kalipun tenda itu sangat berat, tapi dia mampu membawanya berkat
taufik dari Allah dan tanpa disuruh oleh beliau. Beliau shalat zhuhur
dan ashar di sana, begitu pula maghrib dan isya’, lalu tidur.
Keesokannya pergi ke Makkah untuk melakukan thawaf wada’, yang
dilakukan pada malam hari, tepatnya pada waktu sahur sebel um fajar.
Banyak orang berpendapat bahwa masuk Ka’bah termasuk sunat haji karena
mengikuti Nabi Shallallahu A laihi waSallam. Padahal yang ditunjuk-kan
As-Sunnah, beliau tidak pernah masuk Ka’bah saat menunaikan haji maupun
umrah. Beliau memasuki Ka’bah saat Fathu Makkah. Begitu pula wuquf di
Multazam. Yang diriwayatkan dari beliau, bahwa hal itu dilakukan saat
Fathu Makkah. Tentang riwayat Abu Daud dari hadits Amr bin Syu’ aib,
dar ayahnya, dari kakeknya, bahwa beliau meletakkan dada. wajah,
lengan, telapak tangan sambil mengembangkannya, lalu dia berkata,
“Begitulah kulihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
rnelakukannya”, maka bola jadi hal ini terjadi sewaktu thawaf wada’
atau pada kesempatan lain. Tapi Mujahid dan lainnya berkata,
“Dianjurkan berada di Multazam setelah thawaf wada’.”
Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan bahwa ketika Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak keluar dari Makkah, sementara Ummu
Salamah belum thawaf karena dia sakit dan dia juga ingin keluar
bersama, maka beliau bersabda kepadanya, -Jika didengungkan iqamat
untuk shalat subuh, maka thawaflah dengan naik ontamu, di saat
orang-orang shalat subuh.” Maka Ummu Salamah mengerjakannya dan tidak
ikut shalat hingga dia keluar dari sana. Tentu solo ini mustahil
terjadi pada hari penyembelihan korban. Berarti yang dilakukan Ummu
Salamah itu adalah thawaf wada’.
Dari sini juga dapat disimpulkan bahwa beliau shalat subuh
di Makkah pada hari itu, dan Ummu Salamah mendengar beliau membaca
surat Ath-Thur. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.
Setiba di Ar-Rauha’, beliau bertemu dengan sekumpulan orang. Beliau
mengucapkan salam kepada mereka, seraya bertanya, “Siapakah kalian?”
“Katni orang-orang Muslim,” jawab mereka.
“Lalu siapakah kalian?” mereka ganti bertanya.
“Aku adalah Rasul Allah,” jawab beliau.
Ada seorang wanita yang mengangkat bayinya, dan bertanya. “Apakah ini juga mendapat pahala haji?”
Beliau menjawab, “Ya, dan engkau pun mendapatkannya.-
Setiba di Dzul-Hulaifah, beliau bermalam di sana, dan ketika Madinah
sudah terlihat, beliau bertakbir tiga kali, sambil rnengucapkan doa
tiba dari 7,edalanan. Beliau masuk Madinah pada siang hari dari jalan
Al-IVIa’arras, Jan ketika berangkatnya melewati jalan Asy-Syajarah.
Tuntunan Rasulullah tentang Hewan Sembelihan, Korban dan Aqiciah
Hcwan yang dapat dijadikan korban adalah delapan pasang yang disebutkan
di dalam Al-An’am: 143. Tidak pernah disebutkan dari Rasulullah
Shallallahu Ala/hi wa Sallam atau seorang pun dari para shahabat,
adanya hewan korban selain dari delapan pasang itu. Inilah yang bisa
disimpulkan dari Al-Qur’an, yang terhimpun dalam empat ayat,
“Dihalalkan hagi kalian binatang ternak.” (Al-Maidah: 1).
“Dan, supaya mereka menyebut a.s.ma Allah pada hari yang telah
ditentukan atas rezki yang Allah telah herikan kepada mereka, herupa
binatang ternak. ” (Al-Hajj: 28).
“Dan, di antara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk
peng¬angkutan dun ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rezki yang
telah diherikan Allah kepada kalian, danjanganlah kalian mengikuti
langkah-langkah .svelan. Sesungguhnya svetan itu musith yang nyata bagi
kalian, (vaitu) delapan hinatang yang berpasangan„svpa.sang dari domba
dan sepasang dari kambing. Katakarilah, Apakah duct yang jantan yang
clihurcunkan ataukah dua yang bet ill(’ ataukah yang ada a dalam
kandungan duct betinanya?’” (Al-An’am: 142-143).
“Yung dibawa sampai ke Ka ‘bah.” (AI-Maidah: 95).
In i menunjukkan bahwa binatang ternak yang dibawa ke Ka’ bah ada¬lab
delapan pasang tersebut di atas. Begitulah yang disimpulkan Ali bin Abu
Thal ib. Adapun jenis sembe I ihan yang merupakan ibadah dan qurban
kepada Allah ada tiga macam: Binatang ternak yang disembelih ketika
haji, hewan
korban dan aqiqah. Beliau pernah menyembelih binatang di
waktu haji. beru¬pa kambing dan onta, menyembelihnya bagi istri-istri
beliau, menyembelih ketika umrah, ketika bermukim dan ketika haji. Di
antara sunnahnya ialah mengikat binatang korban itu dan tidak
memberinya tanda dengan menoreh kulitnya. Jika beliau mengirimkan hewan
korbannya. maka beliau tidak mengharamkan sedikit pun dari dagingnya
dan menghalalkannya. Jika beliau menyembelih onta sebagai korban
sewaktu haji, maka beliau mengikatnya dan juga memberinya tanda, dengan
cara sedikit menoreh kul it di bagian punuk kanannya, hingga darahnya
keluar dari torehan itu. Torehan pada punuk ini tidak membuatnya merasa
sakit sedikit pun.
Beberapa shahabat bergabung dalam menyembelih korban, seekor onta
untuktujuh orang, begitu Pula sapi. Orang yang membawa hewan korban itu
boleh menaikinya secara baik, kalau memang hal itu diperlukan, sampai
akhimya dia mendapatkan hewan lain yang bisa dinaiki. Air susunya juga
boleh diminum. Begitu kata Ali bin Abu Thalib.
Di antara tuntunan beliau saat menyembelih onta ialah menyembelih¬nya
saat onta pada posisi berdiri, diikat pada kaki kirinya. Saat
menyembelih beliau membaca tasmiyah dan bertakbir. Hewan korban untuk
haji disembe¬lih oleh beliau send iri, dan pada kesempatan lain beliau
mewakilkannya kepada orang lain, sebagaimana beliau rnenyuruh Ali untuk
menyembelih sisanya hingga seratus ekor. Saat menyembelih kambing,
beliau menginjak¬kan kaki pada bagian leher atas, membaca tasmiyah,
bertakbir lalu menyem¬belihnya. Beliau memperbolehkan umatnya untuk
mernakan dari sebagian hewan korban atau yang korban saat haji. dan bah
kan boleh berbekal dengannya. Tapi beliau pernah melarang untuk
menyimpannya hingga tiga hari, karena pada tahun itu terjadi paceklik
yang menimpa manusia.
Di antaratuntunan beliau ialah menyernbelih hewan korban di Marwah saat
umrah. korban haji qiran di Mina, dan begitulah yang dilakukan Ibnu
Umar. Beliau tidak menyembelihnya kecuali setelah tahallul dan tidak
pula menyembelihnya sebelum hari penyembelihan korban dan tak seorang
pun di antara shahabat yang melakukannya. Beliau menyembelih hewan
korban setelah matahari terbit dan setelah melempar Jumrah. Ada empat
rentetan yang dilakukan pada hari penyembelihan korban: Melempar
Jumrah, me¬nyembel ih, mencukur dan thawaf. Tidak ada rukhshah
penyembelihan sebe¬lum matahari terbit. B i la dilakukan, berarti
bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau. Jika disembelih
sebelum matahari terbit. maka hukum¬nya sama dengan penyembelihan biasa.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Salim?? tidak pemah ketinggalan menyem¬belih
korban (tidak pada saat haji atau umrah). Beliau biasa menyembelih dua
gibas, yang disembelih setelah shalat ‘Id, dan beliau mengabarkan bahwa
siapa yang menyembelih sebelum shalat maka itu sama sekali bukan
korban, tapi merupakan penyembelihan biasa, sebagaimana
layaknya me-nyembelih hewan untuk keluarganya. lnilah Sunnah dan
tuntunan beliau. Yang menjadi pertimbangan bukan karena waktu shalat
atau khutbahnya, tapi memang begitulah yang beliau lakukan, dan
begitulah seharusnyakita melak¬sanakan agama Allah. Bel iau juga
memerintahkan mereka untuk menyern¬belih anak domba (yang sudah berumur
enam atau tujuh bulan), atau yang sudah lepas giginya.
Diriwayatkan dari beliau, “Setiap hari tasyriq bisa dilakukan
penyem-belihan korban”. Tapi sanadnya terputus, yang berarti tidak kuat.
Tentang larangan menyimpan daging korban lebih dari tiga hail, hukan
berarti mentinjukkan diperbolehkannya menyernbelih hewan korban hingga
tiga hari. Sebab hadits in i merupakan dalil larangan bagi orang yang
bekorban untuk menyimpannya dagingnya lebih dari tiga. Andaikan dia
boleh menunda penyembelihan hingga hari ketiga, tentunya dia boleh
menyimpannya tiga hari laei setelah itu. Mereka yang ingin membatasinya
tiaa hari penyembeti¬han, memahami larangan menyimpan daging korban
lebih dari tiga hari, yang dihitung sejak hari pertama korban. Mereka
berkata, “Tentu saja penyem-belihan tidak bisa disyariatkan pada hari
ada larangan memakannya. Maka kemudian pengharaman makan itu
dihapuskan, sehingga yang menyisa adalah waktu penyembelihan.”
Dapat di katakan kepada mereka, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu .41aihi
tiva Sallam tidak melarang kecuali menyimpan daging korban dari tiga
hari, dan tidak menyinggung larangan penyembelihan korban setelah tiga
hari itu. Tentu saja keduanya jauh berbeda, dan tidak ada kaitan antara
apa yang di larang dengan pengkhususan penyembelihan pada tiga hari.”
Di antara tuntunan beliau, bahwa siapa yang hendak bekorban dan sudah
memasuki hari kesepuluh, hendaknya dia tidak mengambil cfari bulu hewan
korban atau kulitnya sedikit pun. Hal ini disebutkan di dalam Shahih
Muslim. Tuntunan beliau ialah mem iliki hewan yang bagus, sehat dan
tidak carat. Bel iau melarang hewan yang putus telinga atau tanduknya
atau patali separo lebih. Mata dan telinga hewan korban juga harus
dicek kenormalan¬nya. Beliau juga melarang hewan yang buruk, yang
telinga bagian depan atau bclakangnya putus, yang te I inganya terbelah
atau pecalt.Juga diriwayatkan dari he I iau, ada empat macam hewan yang
tidak diperbolehkan sebagai korban: Cacat dan nyata cacatnya. sakit dan
nyata sakitnya, yang pincang dan nyata pi ncangnya, serta yang kurus
sekali.
Tuntunan beliau ialah menyernbelih hewan korban di tempat shalat,
seperti yang diriwayatkan Abu Daud dari Jabir, bahwa dia pernah meithat
hewan-hewan korban di tempat shalat. Seusai khutbah, beliau turun dari
mi mbar dan mem inta dihadirkan seekor gibas, lalu beliau send iri yang
me¬nyembel ihnya, dengan mengucapkan,
“Dengan asma Allah, Allah Mahabesar, ini dariku dan dart orang yang tidak bisa bekorban dart umatku.”
Begitu pula yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa beliau menyembelih hewan korban di tempat shalat.
Abu Daud meriwayatkan bahwa menyembelih dua ekor gibas pada hart
korban, yang warnanya putih berearnpur hitam dan Ketika sudah
menghadapinya, beliau bersabda,
“Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang menc iptakan langit dan bumf
dengan lurus, dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku untuk Allah Rabbul-alamin, yang
tidak ada sekutu bagi-Nya, dan kepada yang demikian itu aku
diperintahkan, dan aku termasukyangpertama-tama berserah dirt. Ya
Allah, dart-Mu dan bagi-Mu, dart Muhammad dan umatnya, dengan asma
Allah, Allahu Akbar.”
Setelah itu beliau menyembelihnya. Beliau juga memerintahkan
orang-orang untuk melakukan penyembelihan dengan cara yang baik.
Artinya dengan cara mempercepatnya, dan jika mereka membunuh binatang,
hendaklah melakukannya dengan cara yang balk pula. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebajikan atas segala se
suatu. ” (Ditakhrij Muslim).
Daging korban bisa dibagi untuk orang yang bekorban dan sanak keluarganya, sekalipun jumlah mereka banyak.
Tuntunan Rasulullah tentang Aqiqab
Di dalam Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam clitanyatentang aqiqah. Maka beliau menjawab, “Aku tidak
menyukai pegadaian.” Seakan-akan beliau tidak menyukai istilah aqiqah
atau uquq. Dalam riwayat disebutkan, mereka berkata, -Wahai Rasulullah,
apakah salah seorang di antara kita harus menyembelih hewan karena
anaknya?” Beliau menjawab, “Siapa di antara kalian suka menyembelih
hewan karena anaknya, maka dia botch melakukannya, yaitu dua ekor
kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan.”
Ada riwayat shahih dart Aisyah, beliau bersabda,
“Untuk unak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor
kambing.” (Ditakhrij At-Tirmdizy, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Beliau juga pernah bersabda,
“Setiap anak tergadaikan dengan aqigahnya. Pada hari ketujuh
(dari kelahirannya) disembelihkan (kambing) dan dicukur rambutnva serta
diberi nama.” (Ditakhrij Ahmad, Abu Daud, At-Tirrnidzy dan An¬Nasa’ y).
Ar-Rahn menurut bahasa berarti tertahan. Artinya, seorang anak tidak
mendatangkan syafaat bagi kedua orang tuanya. Menurut zhahir hadits,
anak tergadaikan bagi dirinya, terhalang dan tertahan dari kebaikan
yang dikehen¬daki darinya, tapi dia tidak layak mendapat siksa atas hal
ini di akhirat. Jika dia tertahan dari kebaikan itu karena kedua orang
tuanya tidak me laksanakan 1.”; qah maka anak tidak mendapatkan
kebaikan karena kelalaian kedua orang tuanya, sekalipun memang itu
bukan karena perbuatannya sendiri, seba2ai¬rnana yang terjadi saat
jima’. Jika kedua orang tuanya menyebut asma Allah
an berdoa. maka syctan tidak bisa mendatangkan mudharat kepada anaknya.
Jika tidak melakukannya, maka anak yang dihasi lkan dari jima’ itu
tidak terlindung dari syetan.
Hat ini mernbuktikan bahwa agigah ini mendekati keharusan, yang
keharusannya digambarkan dengan tergadaikan. Berangkat dari sinilah ada
orang yang mewaj ibkan aqiclah, seperti Al-Laits bin Sa’d, Al-Hasan
Al-Bash¬ry dan Ahli zhahir.
Abu Daudineriwayatkan di dalamAl-Marasil, dari Ja’ far bin Muham¬mad,
dari ayahnya, bahwa ketika Fathimah mengaq iqahi Al-Hasan dan
Al-Husain, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Kirimlah utusan
ke rumah di depan untuk menyerahkan daging bagian kaki, lalu makanlah
kalian dan berikanlah kepada orang-orang serta janganlah kalian
memotong tulang-tulangnya.” (Ditakhrij Al-Baihaqy).*)
Ibnu A iman menyebutkan dari hadits Anas RadhiyallahuAnhu, bahwa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam mengagiqahi diri sendiri setelah menerima
nubuwah. Tapi hadits ini dha’ f.
Abu Daud menyebutkan dari Abu Rafi’, dia berkata, “Aku melihat Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumandangkan adzan di telinga Al¬Hasan
bin Ali saat is dilahirkan ibunya, Fathimah.” (Ditakhrij Abu Daud,
At¬Tirmidzy dan Al-Baihaciy).”)
Tuntunan Rasulullah tentang Nama Anak dan Khitannya serta Julukan
Pemberian nama dan khitan dilakukan pada hari ketujuh setelah
kela¬hiran anak. Tapi Ibnu Abbas mengatakan, “Oran-orang tidak
mengkhitan
” Di dalam sanadnya ada vane terputus, berarti hadits ini tidak kuat.
• Di dalam sanadnva ada Ashim bin Abdu[lah, dia adalah dha' if. Tapi
ada hadits ihnu Abbas yang diriwayatkan Al-Baihagy. yang meneuatkan
hadits ini.
kan anaknya hingga anak itu mengetahuinya.- A l-Hasan tidak
suka anak dikhitan pada hari ketujuh. Abu Abdullah berkata. "Kalaupun
anak dikhitan pada had ketujuh, tidak apa-apa. Dan kalaupun Al-Hasan
tidak suka khitan pada hari ketujuh, itu karena dia tidak suka
menyerupai orang-orang Yahudi. Tapi ini pun juga tidak menjadi masalah."
Makhul berkata, "Ibrahim mengkhitani anaknya pada hari ketujuh, sedangkan Isma'iI dikhitan pada umur tiga belas tahun."
Syaikhul-I slam lbnu Taimiyah berkata, "Pengkhitanan lshaq menun-jukkan
bahwa khitan ini merupakan sunnah pada anak-anaknya, begitu pula pada
anak keturunan Ism&
Telah diriwayatkan dad Nabi Shallallahu Alaihi Sallam, bahwa
beliau bersabda,
"Sesungguhnya nama yang paling Nina di sisi Allah ialah seseorang yang
me naincti dirinya raja diraja, padahal tidak ada raja melainkan
Allah." (Ditakhrij AI-Bukhary).
Beliau juga bersabda,
"Naina-nama yang paling di.sukai Allah adalah Abdullah dan
Abdur¬rahman. Yang paling benar adalah Harits dan Hammam. Yang paling
buruk adalah Harb dan Murrah." (Ditakhrij Muslim).
"Janganlah engkau menamai anakmu Yasar, Rabah, Najih atau
Karena engkau akan berkata, 'Apakah memang dia begitu? Tidak
akan terjadi. Lalu dia menjawab, `Tidak (Ditakhrij Muslim).
Beliau pernah mengganti nama Ashiyah (wanita durhaka) menjadi Jamilah.
Beliau mengganti Juwairiyah I3arrah (Juwairiyah yang bersih dari
kesalahan) menjadi Juwairiyah saja. Lalu Zainab binti Ummu Salamah
ber-kata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang nama ini
seraya bersabda, 'Janganlah kalian menganggap diri kalian suci. Allah
lebih menge-tahui tentang orang yang suci di antara Beliau mengganti
nama Abul-Hakam menjadi Abu Syuraih, karena Al-Hakam adalah asma Allah.
Beliau juga mengganti nama Ashram (orang miskin lagi banyak anaknya)
menjadi Zar' ah, mengganti nama Hazan (sedih) menjadi Sahl (mudah).
Abu Daud meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
mengganti nama Al-Ashi, Uzair, Atlah, Sy aithan, Al-Hakam, Ghurab,
Hubab, Syihab.Nama Syihab diganti menjadi Hisyarn, Harb menjadi Salam,
Al-Mudhthaj i menjadi Al-Mumba' its. Beliau juga mengganti daerah yang
bernama Afrah (berdebu dan tandus) menjadi Khadh irah (subur),
mengganti nama perkampungan Dhalalah (sesat) menjadi Hidayah
(petunjuk),Ineng¬ganti nama Ban i Mughwiyah menjadi Risydah.
Mengingat nama itu menunjukkan kepada makna yang dikandungnya, maka
sudah ada ketetapan hikmah untuk mengaitkan antara keduanya, maka
janganlah makna yang menyertainya hanya sekedar unsur sampingan yang
tidak terkait dengannya, karena hikmah Allah tidak
menghendaki yang seperti itu. Nama mempunyai pengaruh yang amat besar
terhadap sesuatu yang dinamai dan sesuatu yang dinamai dipengaruhi oleh
namanya. balk buruknya, berat ringannya, tebal tipisnya.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyukai nama yang bagus dan beliau
memerintahkan agar utusan yang menghadap kepada beliau memiliki nama
yang indah dan wajah yang bagus. Beliau juga biasa mengartikan dari
nama sesuatu, baik tatkalatidur maupun terjaga. Sewaktu beliau dan
beberapa orang shahabat herada di perkampungan Uqbah bin Rafi', maka
mereka disuguhi huah korma yang, masih segar dari I bnu Thaba. Maka
beliau Lang-sung memberikan penakwi Ian, hahwa orang-orang di
perkampungan itu akan memiliki ketenaran dan kesudahan yang baik di
akhirat, dan agama yang telah dipilih Allah bagi mereka akan menjadi
segar dan baik. Bel iau juga menak
kemudahan utusan saat perjanjian Hudaibiyah, ketika melihat keda¬tangan
Suhail bin Amr. Suhail artinya orang yang memiliki kemudahan sekalipun
hanya sedikit.
Beliau pernah meminta beberapa orang untuk memerah susu domba. Maka ada
seseorang yang berdiri hendak memerahnya. Beliau bertanya, "Siapa
namamu?"
Orang itu menjawab, "Murrah." Yang artinya pahit.
Beliau bersabda, "Duduklah."
Lalu ada orang kedua yang bangkit. Beliau menanyakan namanya. Orang itu menjawab, "Harb." Yang artinya perang.
• Beliau menyuruhnya duduk. Lalu ada orang ketiga yang berdiri. Beliau
menanyakan namanya, dan orang itu menjawab, "Ya' isy." Yang artinya
hidup. Maka beliau memperbolehkan orang itu memerah susu domba itu.
Beliau juga tidak menyukai nama-nama tempat yang maknanya diingkari dan
beliau tidak mau melewati tempat itu. Suatu kali dalam suatu
peperangan, beliau hendak melewati jalan yang diapit dua bukit. Ketika
beliau menanyakan nama jalan itu, mereka menjawab, "Namanya Fadhih dan
Mukhzi." Yang pertarna artinya ternoda dan yang kedua artinya
memalukan. Maka beliau tidak mau melewatinya dan memilih jalan lain.
Mengingat antara nama dan sesuatu yang dinamai mempunyai keter-Laitan
dan kedekatan, seperti halnya pembungkus dan isinya, atau seperti jiwa
dan raga, maka yang terlintas dalarn akal ialah kait-mcngait di antara
kedua¬nya. Maka ketika lyas bin Mu'awiyah dan rekan-rekannya met i hat
keadaan seseorang, maka dia langsung membuat perkiraan hahwa nama orang
itu begini dan begitu. Ternyata memang nama orang yam?, bersangkutan
tidak jauh menyimpang dari perkiraan itu, yaitu adanya keterkaitan
antara keadaan¬nya dan namanya.
Suatu ketika Umar bin A 1-Khaththab bertanya kepada seseorang, "Siapa namamu?"
"Jarnrah," jawab orang itu, yang artinya bara api.
"Siapa nama ayahmu?" tanya Umar.
"Syihab," jawabnya, yang artinya jilatan lidah api.
"Dari mana asalmu?" tanya Umar.
"Dari Huraqah," jawabnya, yang berarti terbakar.
"Di bilangan mana tempat tinggalrne- tanya Umar.
"Di Harratin-Nar," jawabnya, yang berarti panasnya api. "Di mana kampungmu?" tanya Umar.
"Di Dzati Ladza," jawabnya, yang berarti membara.
Umar berkata. "Pergilah, karena rumahmu terbakar."
Ketika orang yang dimaksudkan itu pulang, ternyata apa yang dikata¬kan
Umar itu menjadi kenyataan. Umar biasa menghubungkan Iafazh kepada
ruhnya, sebagaimana Rasulul lah ShallallahuAlaihi wa Salim yang
mengar-tikan nama Suhail kepada kemudahan urusan saat menetapkan
perjanjian Hudaibiyah. Padahal sebelum kedatangan Suhail, pembicaraan
mengenai butir-butir perjanjian berjalan amat alot dan bahkan buntu.
Beliau memerin¬tahkan umatnya untuk membaguskan nama dan mengabarkan
bahwa mereka akan dipanggil dengan nama mereka pada hari kiamat. Di
sini juga terkan¬dung peringatan agar membaguskan perbuatan, yang
disesuaikan dengan pembagusan nama, agar panggilan itu pun menjadi
bagus.
Perhatikan sifat Rasulullah ShallallahuAlaihiSallam yang diam¬bilkan
dari dua nama yang hampir serupa maknanya, yaitu Ahmad dan Muhammad.
Karena banyaknya sifat-sifat yang terpuj i, maka beliau disebut
Muhammad, dan karena kemuliaan dan kelebihannya di atas sifat-sifat
yang lain, maka beliau disebut Ahmad. Nama berkait dengan sesuatu yang
dina¬mai, seperti kaitan ruh dan jasad. Begitulah sebutan Abu Lahab
yang diberi¬kan Allah kepada Abdul-Uzza, karena dia akan menuju neraka
yang apinya nnenjilat-jilat. Julukan ini sangat tepat dan pas untuk
keadaan dirinya.
Ketika Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam tiba di Madinah, yang nama
sebenarnya adalah Yatsrib, sementara yang dikenal juga hanya nama itu,
maka beliau menjulukinya Thaibah (yang bagus, lezat, subur). Yatsrib
artinya tidak ada cercaan. Nama yang kedua ditambahkan ke nama pertama,
sehingga semakin bagus.
Karena nama yang bagus itu bisa mengimbas kepada apa yang dina¬mai,
maka beliau pernah bersabda kepada sebagian kabi lah Arab yang beliau
seru kepada Allah dan tauhid. "Wahai Bani Abdullah, sesungguhnya Allah
telah membaguskan nama kalian dan nama bapak kalian." Begitulah cara
beliau dalam rnengajak kepada ibadah dengan memanfaatkan kebagusan nama
ayah mereka.
Perhatikan nama enam orang yang beradu tanding saat perang
Badr, Yang kesudahannya sesuai dengan nama dan keadaan mereka saat itu.
Dari 1;.alangan orang-orang kafir muncul Syaibah, Utbah dan Al-Walid,
nama-na¬ma yang mengandung pengertian lemah. Al-Walid adalah permulaan
kondisi lemah. Syaibah berarti kesudahan kondisi lemah. Utbah berasal
dari kata al-atab, yang berarti celaan. Nama-nama mereka itu
menunjukkan celaan yang menimpa mereka dan kelemahan yang menghinggapi
mereka. Sementara lawan tandingnya dari pasukan Muslimin adalah Ali,
Ubaidah dan Al-Harits,
nama yang pas dengan sifat-sifat mereka, yaitu ketinggian untuk nama
Ali. ubudiyah untuk nama Ubaidah dan usaha cocok tanam untuk Al-Harits.
\lereka dapat mengalahkan lawan tandingnya dari pasukan kafir dengan
ketinggian, ubudiyah dan usaha mereka untuk tanaman akhirat.
Nama yang paling disukai Allah ialah yang mencerminkan sifat-sifat yang
paling disukai-Nya, seperti Abdullah dan Abdurrahman. Penambahan
ubudiyah kepada nama Allah dan kepada nama Ar-Rahman, lebih Dia sukai
daripada penambahan kepada nama-nama Allah yang lain, seperti A l-Qadir
dan Al-Qahir. Maka nama Abdurrahman lebih disukai Allah daripada nama
Abdul-Qadir, nama Abdullah lebih disukai Allah daripada nama Abdi
Rabbah. Sebab keterkaitan antara hamba dan Allah terletak pada ubudiyah
semata, sedangkan keterkaitan antara Allah dengan hamba adalah rahmat
semata. Dengan rahmat-Nya hamba menjadi ada dan keberadaannya menjadi
sempurna. Tujuan Allah menciptakan hamba adalah agar dia menjadikan
Allah sebagai sesembahannya semata. mencintai dan takut kepada-Nya.
sehingga dia menjadi hamba bagi Allah. Ilarnba menyembah Allah, karena
di dalam nama Allah terkandung makna uluhiyah, yang tidak layak
dibcrikan kepada selain-Nya. Karcna rahmat Allah mengalahkan murka-Nya,
maka rahmat lebih disukai Allah daripada murka. Karena itu nama
Abdurrahman lebih disukai Allah daripada nama Abdul-Qahir.
Karena setiap hamba itu bergerak dengan kehendak, sementara hasrat
merupakan permulaan kehendak, dari kehendaknya ini muncul tindakan dan
gerakan, maka nama yang paling benar dan jujur adalah Harnmam dan
Harits. Sebab apa yang dinamai dengan dua nama ini tidak terpisah dari
hakikat maknanya. Karena kerajaan yang sebenarnya adalah milik Allah
semata, dan tidak ada raja da lam pengertian yang hakiki kecuali Dia,
maka nama yang paling buruk dan paling hina di sisi Allah serta yang
paling dimurkai-Nya adalah nama Syahansyah, yang artinya raja segala
raja, sultan segala sultan. Yang dernikian ini tidak layak dimiliki
seorang pun selain Allah. Maka penamaan itu merupakan kebatilan yang
paling bath, dan Allah tidak menyu¬kai kebatilan.
Ketika sebagian u lama ada yang diberi gelar Qadhil-qudhat yang berarti
hakim segala hakim, maka dia berkata, "Tidak ada hakim segala
hakim kecuali yang menghakirni secara hay dan Dialah
sebaik-baik yang membuat keputusan, yang j ika menetapkan sesuatu. maka
Dia berkata, fah', maka jadilah ia."
Nama-nama berikut juga termasuk nama yang dimakruhkan, buruk dan
mengandung kedustaan, seperti Sayyidun-nas (pemimpin semua manusia),
Sayyidul-Kulli (pemimpin segala-galanya). Yang dcinikian ini hanya
layak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu Aloihi Iva Sallam secara
khusus, sebagaimana.yang- beliau sabdakan, "Aku adalah pemimpin anak
Adam pada hari kiamat dan tidak ada kebanggaan." (Diriwayatkan
Al-Bukhary dan Muslim).
Karena para nabi adalah pemimpin-pemimpin bani Adam, akhlak me-reka
adalah akhlak yang paling mulia, amal mereka adalah amal yang paling
shalih, maka nama mereka adalah nama-nama yang paling mulia. Karena itu
Nabi ShallallahuAlaihi waSallam menganjurkan umatnya untuk memberi¬kan
nama seperti nama-nama mereka, sebagairnana yang disebutkan di dalam
Sunan Abu Daud dan An-Nasa'y, beliau bersabda,
"Berilah nama dengan nama-nama para nabi.
Karena yang demikian itu akan mcmberikan imbas pengaruh terhadap
sesuatu atau orang yang dinamai, di samping untuk mengabadikan
nama¬nama para nabi, agar tidak terlupakan.
Tentang larangan menamakan anak dengan nama Yassar (orang yang
mendapatkan banyak kemudahan), Allah (orang yang paling beruntung),
Najih (orang yang selalu selarnat), Rabbah (orang yang banyak laba),
maka hal in i karena adanya makna lain seperti yang diisyaratkan dalam
hadits beliau, "Engkau akan bertanya, `Apakah mernang dia begitu?' Maka
akan dikatakan, `Tidak'."
Telah ada ketetapan hikmah pembawa syariat yang sangat mengasihi dan
menyayangi umatnya, dengan mencegah mereka dari sebab-sebab yang
membuat mereka mendengarkan hal-hal yang tidak disukai atau sesuatu
yang akan terjadi, yang berbeda dengan nama yang diberikan. Scbagai
misal, sese-orang dinamai Yassar, sementara dia justru orang yang
paling banyak menda-patkan kesulitan. atau dia diberi nama Najih tapi
kenyataannya justru apes terus, atau diberi nama Rabbah tapi
kenyataannya selalu merugi. yang akhir¬nya bisa inembuatnya membuat
kedustaan terhadap Allah. Di samping itu, dia akan selalu dituntut
untuk merealisir sesuatu sesuai dengan namanya, padahal dia tidak
mcmpunyai kesanggupan untuk itu, lalu hal ini menim¬bulkan cemoohan
bagi dirinya. Dikatakan dalam sebuah syair.
Mereka menamaimu Si Benar karena kebodohan
padahal kehenaran itu tidak ado pada dirimu
engkau dikenal penuh dengan kerusakan
karena kerusakan itu merupakan duniamu.
Begitu pula dengan pujian, yang justru menjadi celaan yang
menjatuh¬kan martabat orang yang dipuj i di tengah manusia, karena dia
dipuji dengan sesuatu yang sama sekali tidak ada pada dirinya. Maka
semua manusia me-nuntut realisasi pujian itu, yang ternyata tidak ada
pada dirinya, sehingga puji¬an itu pun berbalik menjadi cemoohan.
Sekiranya dia dibiarkan begitu saja tanpa ada pujian, tentu
diatidakakan mendapat cemoohan.Keadaannyasama dengan pejabat yang buruk
reputasinya, lalu dia dicopot dari jabatanny a, yang membuat
martabatnya lebih rendah daripada keadaannya sebelum menjadi pejabat
dan manusia tidak lagi menghormati dirinya.
Di samping itu, pada diri orang yang diberi nama bisa muncul anggap¬an
dan keyakinan bahwadirinya seperti nama yang diberikan kepadanya, lalu
menganggap dirinya hebat dan suci, lebih hebat dari orang lain. lni lah
makna yang terkandung dalam larangan Nabi Shallallahu Alarhr we Sallam
untuk memberi nama Barrah kcpada anak, yang berarti bersih dari
kesalahan. Dalam hal ini beliau bersabda, "Janganlah kalian menganggap
dirimu suci. Allah lebih mengetahui tentang orang yang suci di antara
kalian."
Atas dasar ini pula dimakruhkan nama At-Taqy atau Al-Muttaqy (orang
yang bertakwa), Al-Muthi', (orang yang taat), Ar-Radhy (orang yang
ridha), Al-Muhsin (orang yang baik), Al-Mukhlish (orang yang ikhlas), A
l¬Munib (orang yang kembali kepada Allah), Ar-Rasyid (orang yang
mendapat petunjuk), As-Sadid (orang yang benar). Sedangkan penamaan
orang-orang kafir dengan nama-nama itu, sama sekali bukan merupakan doa
bagi mereka dan pengabaran tentang, keadaan mereka. Justru Allah amat
murka kepada mereka karena nama-nama itu.
Sedangkan tentang julukan, sebagian ada yang merupakan penghor-matan
bagi orangnya. Nabi Shallallahu Alaihi vva Sallam menjuluki Shihaib
dengan Abu Yahya, menjuluki All bin Abu Thalib dengan Abu Turab, lalu
menjulukinya dengan Abul-Hasan, suatu julukan yang paling beliau sukai.
Beliau juga menjuluki saudara Anas bin Malik dengan Abu Urnar, selagi
dia masih kecil. 13 el iau juga biasa menjuluki orang yang mempunyai
anak maupun yang tidak mempunyai anak. Tidak pernah ada riwayat bahwa
beliau melarang julukan, kecuali julukan Abu I-Qasim. Dalam hal ini
beliau bersab¬da, -Berilah nama dengan namaku. dan janganlah menjuluki
dengan julukanku." (Diriwayatkan Al-Bukhary).
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang dibedakan menjadi empat macam:
Secara mutlak tidak bolch membuat julukan dengan julukan beliau. balk
julukan itu sendiri atan digabung dengan nama beliau, balk ketika
beliau masih hidup maupun setelah wafat, karena hadits larangan ini
bersifat MUM.
Larangan itu berlaku jika nama dan julukan beliau digabung menjadi satu.
Jika salah satu dipisah dan tidak digabung, maka hal itu diperbolehkan.
- Boleti menghirnpun nama dan julukan beliau. Hal ini didasarkan kepada
hadits riwayat At-Tirmidzy dengan isnad shahih, dari Ali bin Abu Thalib.
- Jululan Abul-Qasirn dilarang pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sal-lam dan diperbolehkan setelah beliau wafat. Sebab larangan itu
dikhusus¬kan pada semasa hidup beliau.
Di antara orang salafmemakruhkan julukan Abu Isa, namun sebagi an lain
memperbolehkannya. Abu Daud meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, bahwa
Umar bin A I-Khaththab pernah memukul seorang anaknya yang dijuluki Abu
isa. A I-Mugh irah bin Syu' bah juga dijuluki begitu. Maka Umar
bertanya kepada Al-Mughirah, "Apakah belurn cukup jika engkau dijuluki
Abu Abdullah?"
Al-Mughirah menjawab, "Toh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam juga pernah memberiku suatu julukan."
"Rasulullah adalah orang yang dosanya yang lampau maupun yang akan
datang sudah diampuni. Sementara kita semua berada dalam
ketidak¬pastian," kata Umar. Maka Al-Mughirah dijuluki Abu Abdullah
hingga me¬ninggal dunia.
Aisyah juga pernah dijuluki Ummu Abdullah. Istri beliau yang lain ada yang dijuluki Ummu Habibah dan Ummu Salamah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang sebutan al-karma
(kemuliaan) untuk buah anggur, seraya bersabda, "Kemuliaan adalah hati
orang Mukmin." Sebab sebutan al-karmu untuk sesuatu berarti banyak
ke¬baikan dan manfaatnya. Sementara hanya hati orang Mukm in lah yang
layak menerima sebutan itu dan bukan pohon anggur. Tapi apakah yang
dimaksud¬kan larangan itu khusus hanya kepada pohon anggur dengan nama
ini, lalu hati orang Mukmin lebih layak mendapat julukan itu? Berarti
tidak ada larangan menyebut pohon anggur dengan julukan itu, seperti
orang miskin yang juga bisa disebut orang tidak punya. Ataukah larangan
itu karena buah anggur bisa dijadikan khamr yang diharamkan? Ada
kemungkinan seperti ini. Tapi hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih
tahu hal ini.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salim?? juga pernah bersabda,
"Janganlah sekali kali orang-orang A 'raby mengalahkan kalian ata.s.
nama shalat kalian. Ketahuilah, bah wa shalat itu adalah i.sya', sedang
kan mereka menamakannya al-atamah. " (Diriwayatkan Al-Bukhary
dan Muslim)
Namun beliau juga bersabda,
"Sekiranya mereka mengetahui apa yang tick pada al-atamah (shalat isya
) dan subuh, tentulah mereka akan mendatanginya sekalipun dengan cara
merangkak. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
Ada yang berpendapat, hadits kedua menghapus hadits pertama.
Ada yang berpendapat justru kebalikannya. Tapi dua pendapat ini tidak
benar semua. Sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits
ini. Beliau tidak melarang secara mutlak sebutan al-atamah untuk shalat
isya'. Itu merupakan larangan agar sebutan isya' tidak dihindari, sebab
begitulah yang disebutkan Allah di dalam Kitab-Nya sehingga mengalahkan
sebutan al¬atamah. Selagi tetap digunakan sebutan isya' dan sesekali
digunakan sebutan al-atamah, maka diperbolehkan. Larangan itu merupakan
penjagaan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam atas nama yang
diberikan Allah, sehingga tidak boleh dihindari atau yang selainnya
lebih dipentingkan seperti yang di lakukan orang-orang muta'akhirin
terhadap lafazh-lafazh nash yang sudah baku, lalu diganti dengan
istilah-istilah baru.
Tuntunan Rasulullah tentang Menjaga Lidah dan Memilih Kata-kata
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa mem ilih lafazh- lafazh
yang paling bagus bagi umatnya, paling indah dan paling lennbut, jauh
dari kata-kata yang biasa digunakan orang-orang yang berperangai kasar,
keras dan keji, karena memang beliau bukanlah orang yang keji dan suka
berkata keji, bukan orang keras kepada dan kasar.
Beliau tidak menyukai kata-kata mulia yang diperuntukkan bagi orang
yang tidak layak menerimanya, begitu pula kata-kata yang hina dan
dibenci yang diperuntukkan bagi orang yang tidak layak menerimanya.
Gambaran yang pertama seperti kata panggi Ian "Ya Sayyid" bagi seorang
munafik. Da-lam hal ini beliau bersabda, "Sekiranya dia benar-benar
menjadi pemimpin, berarti kalian telah membuat Allah murka."
(Diriwayatkan Abu Daud, dengan isnad yang shah ih).
Beliau juga melarang penyebutan pohon anggur dengan al-karmu, melarang
menyebut Abu Jab! dengan Abuf-Hakarn, merubah nama Ahul-Hakam dari
kalangan shahabat dengan sebutan Abu Syuraih, seraya bersabda.
"Sesungguhnya A llahlah yang menjadi pengadil dan kepada-Nya hukum
kembali.-
Beliau juga melarang budak memanggil nyonya atau tuannya dengan
panggilan, "Rabbi Rabbati", tapi dengan panggi !an, "Sayyidi
sayyidati". Tuan juga tidak bola memanggil budaknya, "Abdi", tapi
dengan panggilan, "Fataya Fatah".
Beliau bersabda kepada orang yang biasa dipanggil tabib, "Engkau adalah
orang yang ramah dan tabib yang menciptakan ilmu ketabi ban.- Sementara
orang-orang bodoh menyebut orang kafir yang mempunyai sedikit ilmu
tentang gejala alam dengan sebutan orang bijak." Tentu saja ini
merupa¬kan kebodohan yang nyata.
Beliau pernah bersabda kepada Al-Khathib, yang arti namanya
ahli pidato atau orator, "Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
maka dia telah mengikuti petunjuk, dan siapa yang mendurhakai keduanya,
maka dia telah sesat. Seburuk-buruk ahli pidato adalah engkau."
(Diriwayatkan Mus¬lim).
Beliau juga bersabda,
"langanlah kalian mengatakan, `Menurut kehendak Allah dan
kehendak Tapi katakanlah, Alenurut kehendak Allah, kemud
Ian menurut kehendak Fulan'."(Diriwayatkan Abu Daud).
Ada seseorang pernah berkata kepada beliau, "Menurut kehendak Allah dan
kehendak engkau." Maka beliau menghardiknya, "Apakah engkau akan
menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah? Tapi katakanlah,
`Me
nurut kehendak Allah somata'." (Diriwavatkan Ahmad).
Perkataan lain yang sejenis dengan makna persckutuan yang di larang ini
ialah seperti, "Aku bersama Allah dan bersamamu, aku menurut Allah dan
menurutmu, aku tidak mempunyai apa pun selain Allah dan dirimu, aku
bertawakal kepada Allah dan kepadamu, ini dari Allah dan darimu, Allah
menjadi milikku di langit dan engkau menjadi milikku di bumi, demi
Allah dan demi hidupmu." Perkataan semacam ini, yang menjadikan makhluk
sebagai tandingan bagi Khalig, termasuk perkataan yang dilarang keras
dan perkataan yang amat buruk, seperti halnya perkataan. -Menurut
kehendak Allah dan kehendakmu." Tapi jika dikatakan, "Aku bersama Allah
dan bersamamu, menurut kehendak Allah kemudian menurut kehendakmu",
diperbolehkan.
Di antara jenis perkataan yang juga dilarang ialah memperuntukkan
celaan kepada orang yang tidak layak menerimanya, seperti larangan
beliau untuk mencaci zaman atau waktu, seraya bersabda,
"Sesungguhnya Allah itu adalah zaman."
Dalam hadits lain beliau bersabda,
c.5
"Allah Azza tiro Jolla hefirman, 'Anak Adam menyakitl Aku, karena
is mencaci ZU1174117. Aku adalah zaman, di Tangan-Ku segala urusan,
Aku memhalik malam dan (Diriwavatkan A l-flukhary dan
Muslim).
Dalam ucapan yang dilarang terkandung tiga mica keburukan: Cacian
terhadap sesuatu yang tidak layak menerimanya. Sehah zaman adalah
ciptaan Allah yang ditundukkan dan patuh kepada-Nya. Orang
yang mencaci zaman lebih layak untuk dicaci daripada cacian terhadap zaman itu.
Caciannya itu mengandung syirik, karena dia mencai zaman dengan
anggapan bahwa zaman itu bisa memberi manfaat dan mudharat. Cacian itu
dikembalikan kepada pelakunya, yang andaikan kebenaran mengikuti
nafsunya, maka rusaklah langit dan bumi. Jika apa yang terjadi sesuai
dengan nafsunya, maka dia memuji zaman. Penguasa zaman adalah yang
berhak memberi dan menahan, merendahkan dan meninggikan. Zaman tidak
mempunyai kuasa apa pun. Maka caciannya terhadap zaman sama dengan
mencaci Allah, dan yang demikian ini menyakiti Allah, sebagaimana yang
disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah, beliau
bersabda, "Allah befirman, 'Anak Adam menyakitiku, karena dia mencaci
zaman, padahal Aku adalah zaman."
Rastifullah Shallallahu Alaihi wa Sallamjuga pemah bersabda tentang
perkataan yang dilarang,
"Janganlah salah seorang di antara kalian mengatakan, `Celakalah
syetan'. Karena dengan begitu is bisa membesar hingga menjadi sebe¬sar
rumah, lalu is (syetan) berkata, Dengan kekuatanku aku bisa
mengalahkannya'. Tetapi hendaklah dia mengucapkan, Dengan naina Karena
dengan hegitu la mengecil hingga menjadi se-peril seekor lalat."
(Diriwayatkan Abu Daud dan Ahmad).
Dalam hadits lain disebutkan,
"Sesungguhnyajikahamba melaknat syetan, maka is (syetan) berkata,
'Sesungguhnya engkau benar-benar melaknat orang yang memang layak
dilaknat "
Yang serupa dengan perkataan yang dilarang ini ialah, "Sernoga Allah
menghinakan syetan", atau, "Semoga Allah memburukkan syetan", karena
semua itu membaut syetan merasa senang dan besar kepala, seraya
berkata, -Anak Adam tahu bahwa aku dapat mengalahkannya dengan
kekuatanku", sehingga hal ini membuatnya semakin semena-mena dan sama
sekali tidak memberikan manfaat kepada orang yang mengatakannya. Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan tuntunan, bahwa jika dia
mendapat bisikan syetan. hendaklah mengingat Allah, menyebut nama-Nya
dan berlindung kepada-Nya dari godaan syetan. Yang demikian ini lebih
bermanfaat baginya dan lebih dibenci syetan.
Rasulu I ah Shallallahu Alaihi waSallam juga melarang seseorang
mengatakan, "Khabutsat no fsi", tapi hendaknya dia mengatakan, "Laqisat
nafsi", sekalipun sebenarnya maknanya sama dan tak jauh berbeda, yaitu:
Alangkah buruknya diriku dan jelek akhlaknya. Tapi kata-kata khubuts
me-ngandung makna buruk dan sekaligus kotor. Maka beliau memberi
tuntunan untuk menggunakan kata-kata yang lebih balk dan pantas.
/NW Pey?zierziaN ke,4Ahirof 117
Bel iau juga melarang seseorang yang kehilangan sesuatu atau
tidak berhasil mendapatkan sesuatu, dengan mengatakan. Andaikan aku
tadi ber¬buat begini dan begitu". Dalam hal ini beliau bersabda,
"Sesunggultnya kata¬kata 'andaikan' itu membuka perbuatan syetan."
Beliau memberi tuntunan kata-kata yang lebih balk dan lebih bermanfaat,
yaitu,
"Allah telah menetapkan dan apa pun yang dikehendaki-Nya, tentu akan dilakukan-Nya," (Diriwayatkan Muslim).
Sebah perkataan, "Andaikan aku tadi berbuat begini dan begitu, tentu
aku tidak akan kehilangan atau aku tidak begini jadinya", merupakan
per¬kataan yang sama sekali tidak mendatangkan faidah kepadanya, dia
tidak membalik apa yang sudah terjadi dan tidak bisa membebaskan
ketergel in¬cirannya hanya dengan perkataan andaikan. Dalam kata-kata
ini juga terkandung pembualan, sekiranya saja urusan itu seperti yang
ditetapkan oleh di rinya, yang berarti tidak seperti yang ditetapkan
dan ditakdirkan Allah. Berarti apa yang terjadi itu berbeda dengan apa
yang diharapkannya, padahal itu terjadi atas qadha' dan qadar Allah
serta kehendak-Nya. Jika dia berkata, "Andaikan aku berbuat begini,
maka akan menjadi lain kejadiannya", tentu saja sesuatu yang mustahil.
Sebab menyalahi apa yang sudah ditakdirkan adalah sesuatu yang
mustahil. Berarti perkataannya itu merupakan dusta, kebodohan dan
sesuatu yang mustahil. Sekiranya dia selamat dari pendustaan terhadap
qadar, belum tentu dia selamat dari kontradiksi kata-kata andaikan itu.
Jika ada yang mengatakan, "Dalam perkataan ini tidak terkandung
penolakan dan penentangan terhadap qadar. Karena sebab-sebab yang
diharapkan juga berasal dari qadar. Qadar bisa ditolak dengan qadar
lain, sebagaimana qadar sakit yang dapat ditolak dengan qadar obat,
qadar dosa ditolak dengan qadar taubat, qadar musuh ditolak dengan
qadar jihad. Ma-sing-masing dari dua pasangan ini berasal dari qadar."
Dapat dijawab sebagai berikut: Memang begitulah yang benar. Tetapi yang
demikian itu bermanfaat sebelum terjadinya qadar yang tidak disukai.
Jika sudah terjadi, maka tidak ada jalan untuk menolaknya. Sekiranya
ada jalan untuk menolaknya atau meringankannya dengan qadar lain, maka
tugasnya dalam keadaan seperti itu ialah menerima perbuatannya yang
bisa digunakan untuk menolak atau meringankan dampak dari apa yang
sudah ter¬jadi, tidak perlu berandai-andai dan mengharapkan apa yang
tidak mungkin terjadi. Karena yang demikian justru menunjukkan
kelemahannya. Padahal Allah mencela kelemahan dan menyukai kecerdikan
dan memcrintahkannya. kecerdikan ialah mencari sebab yang dikaitkan
Allah dengan akibatnya yang bermanfaat bagi ham ha di dalam kehidupan
dunia dan akhirat. Deegan eara in ilah dibukakan amal kebaikan.
Sedangkan kelemahan hanya akan membu¬kakan amal syetan. Jika seseorang
menjadi lemah dan tidak sanggup mencari
apa yang bermanfaat baginya, kemudian dia hanya beralih
kepada angan¬angan batil, dengan berkata, "Andaikan aku begini dan
begitu, andaikan aku berbuat begini dan begitu", maka dia hanya membuka
perbuatan syetan atas dirinya, karena memang pintu syetan adalah
kelemahan dan kemalasan. Karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi
waSallam berlindung kepada Allah dari dua perkara ini, yang juga
merupakan pintu segala kejahatan, yang kemudian membuahkan
kekhawatiran, ketakutan, kelemahan hati, kikir, hutang dan akhirnya dia
dikuasai orang lain. Sumber dari semua ini adalah kelemahan dan
kemalasan, adapun mereknya adalah andaikan. Benar apa
ang disabdakan beliau, "Andaikan itu membuka perbuatan syetan." Orang
:.ang berangan-angan adalah orang yang paling lemah dan bangkrut.
Angan-angan adalah modal orang yang bangkrut dan kelemahan merupakan
kunci segala kejahatan.
Sumber segala kedurhakaan juga kelemahan. Jika hamba lemah dan tidak
sanggup mencari sebab-sebab amal ketaatan, mencari sebab-sebab yang
menjauhkannya dari kedurhakaan, maka dia akan terseret kepada
kedurhaka¬an. Hadits beliau ini menghimpun pangkal kejahatan dan
cabang-cabangnya, permulaan dan kesudahannya, yang mel iputi delapan
perkara. Setiap dua perkara merupakan satu pasangan. Bel iau bersabda,
"Aku berlindung kepada Allah dari kekhawatiran dan ketakutan". Dua
perkara ini merupakan pasang¬an. Sesuatu yang membuat hati tidak suka,
sebabnya ada dua macam, entah karena sesuatu yang sudah lampau, yang
menimbulkan kesedihan, ataukah sesuatu yang akan terjadi di masa
mendatang, yang menimbulkan kekha¬watiran. Keduanya termasuk kelemahan.
Sesuatu yang sudah berlalu tidak bisa ditolak dan dienyahkan dengan
kesedihan, tetapi dengan ridha, mennuji, sabar, iman kepada qadar dan
berkata, "Allahlah yang menakdirkan dan apa ang dikehendaki, maka Dia
mengerjakannya."
Apa yang akan datang juga tidak bisa dienyahkan dengan kekha¬watiran,
tapi dengan kiat tertentu untuk mengenyahkannya, yang berarti dia tidak
menjadi lemah, atau tanpa mendapatkan kiat untuk mengenyahkannya, yang
berarti dia tidak boleh terguncang karenanya. Dalam hal ini dia bisa
membekali dan mempersiapkan diri dengan tawakal, tauhid dan kepasrahan
kepada Allah, ridha kepada-Nya sebagai penguasa dalam segala sesuatu.
Dia tidak bisa dikatakan ridha kepada Allah sebagai penguasa jika dia
mencintai sesuatu yang di benci-Nya. Berarti dia tidak ridha kepada
Allah sebagai penguasa secara mutlak, dan akibatnya Allah juga tidak
ridha kepadanya sebagai hamba secara mutlak. Kekhawatiran dan ketakutan
sama sekali tidak memberikan manfaat kepada hamba. Mudharatnya lebih
banyak daripada manfaatnya, karena keduanya bisa melemahkan hasrat,
mencemaskan hati, menjadi penghambat bagi hamba untuk mengusahakan
sesuatu yang bermanfaat, memotong perjalanan, atau bahkan menariknya ke
belakang,
mengharnbat atau pun menghentikan dan menjadi pcnghalang
untuk meliha, tanda perjalanan. Keduanya merupakan beban yang amat
herat di pundak orang yang sedang mengadakan perjalanan. Tapi j ika
kekhawatiran dan kesedihan menghalangi dirinya untuk menuruti syahwat
dan keinginan yang merribahayakan hidupnya di dunia dan di akhirat,
rnaka justru amat berman¬faat baginya. Ini termasuk hikmah Allah Yang
Maha Bijaksana, yang menja¬dikan dua pasukan ini sebagai penguasa bagi
hati manusia yang berpaling dari-Nya. yang tidak meneintai-Nya, tidak
takut dan berharap kepada-Nya, tidak pasrah dan tawakal, tidak lari dan
kembali kepada-Nya, yang kemudian menimbulkan kegelisahan, keresahan
dan penderitaan batin yang jault
banyak daripada kedurhakaan yang di lakukannya. Had semacam ini berada
di dalam penjara yang kelam di dunia ini, dan di kemudian hari berada
di claim penjara neraka. Dia senantiasa berada di dalam penjara ini
hingga membebaskan diri dan beralih ke tauhid, menghadap kepada Allah,
menja-dikan cinta kepada-Nya sebagai pengganti dari segala sesuatu yang
melintas di dalam hatinya.
Secara unnum dapat dikatakan, bahwa tidak ada yang layak bagi seorang
hamba kecuali apa yang ditegakkan pada dirinya. Hikmah dan pujian hanya
bagi Allah, yang telah menegakkan dirinya pada suatu kedudukan yang
memang hanya layak bagi dirinya, bukan bagi orang lain. Karena itu dia
tidak perlu menelusurinya. Allah lebih mengetahui, di mana Dia
meletakkan pemberian dan karunia-Nya. Allah lebih mengetahui, di mana
Dia meletak¬kan risalah-Nya.
"Dan, demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang yang
kaya) dengan sebagian yang lain (orang-orang yang miskin), supaya
(orang-orang yang kaya) berkata, 'Orang-orang .semacam inikah di antara
kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka? (Allah befirman),
`Tidakkah Allah lebih mengetahui tenting orang¬orang yang bersvukur
(kepada-Nya)? " (A I -A n' am: 53)
Allah lebih mengetahui di mana meletakkan karunia, dimana tempat pengkh
ususan dan tempat yang dihalangi. Dengan pujian dan h kmat-Nya Dia
memberi, dengan pujian dan hikmah-Nya dia menahan. Siapa yang tidak
mendapatkan, lalu dia mcmasrahkan diri dan sekal igus berharap
kepada-Nya, maka keadaannya beralih menjadi orang yang diberi. Siapa
yang hanya sibuk dengan pemberian-Nya tapi mernutuskan diri dengan-Nya.
maka keadaannya akan berubah menjadi orang yang tidakdiberi. Segala
sesuatu yang membuat hamba lalai dari Allah akan menjadi kesialan
haginva, dan apa pun yang mengalihkannya kepada Allah akan menjadi
rahmat baginya, Allah ingin agar hamba-Nya berbuat. Tapi perhuatan itu
tidak akan terjadi hingga Allah herkehendak untuk menolongnya. Allah
menghendaki agar kita senantiasa istiqamah dan mencari jalan menuju
kepada-Nya. Dia mengabarkan kepada
kita bahwa kehendak itu tidak akan terwujud kecuali jika Dia
berkehendak untuk menolong kita dan berkehendak terhadap kita. Jadi di
sini ada dua macam kehendak: Kehendak dari hamba untuk berbuat, dan
kehendak dari Allah untuk menolong hamba. Tidak ada jalan kepada
perbuatan kecuali dengan adanya kehendak ini. Allah befirrnan,
"Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. " (At-Takwir: 29).
Kebutuhan hamba terhadap ruh lain yang dinisbatkan kepada ruhnya,
seperti penisbatan ruhnya kepada badannya, yang membutuhkan kehendak
Allah, agar dia bisa berbuat. Jika tidak, maka dia tidak mempunyai tem
pat dan wadah untuk menerima. Siapa yang datang tanpa membawa wadah,
tentu dia akan kembali dengan hampa tangan.
Maksudnya, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berlindung dari
kekhawatiran dan ketakutan, yang keduanya merupakan pasangan,
berlin-dung dari kelemahan dan kemalasan, yang keduanya merupakan
pasangan. Seorang hamba tidak bisa memperoleh kesempurnaan dan
kebaikannya, entah karena tidak mempunyai kesanggupan, yang berarti
lemah, atau entah karena sebenarnya sanggup namun tidak berkehendak,
yang berarti malas. Karena dua sifat ini segala kebaikan menjadi sirna
dan muncul berbagai keburukan. Di antaranya adalah tidak ingin
mendatangkan manfaat dengan badan, yang disebut kecil hati, dan tidak
ingin mendatangkan manfaat dengan hartanya yang disebut bakhil. Dari
sini muncul dua macam kekuasaan, yaitu kekuasaan secara benar, yaitu
kekuasaan hutang, dan kekuasaan secara bati I, yaitu kekuasaan orang
lain. Semua ini bermula dari kelemahan dan kemalasan. Karena itulah
Rasulullah bersabda kepada seseorang,
"Cukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik-baikpenolong
Sesungguhnya Allah mencela kelemahan, tetapi hendaklah engkau
memiliki kecerdikan. Jika ada suatu urusan yang menguasaimu, makes
ucapkanlah, `Cukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik
balk penolong'. " (Diriwayatkan Abu Daud).
Yang dem ikian ini diucapkan ketika tidak memiliki kecerdikan.
Seki¬ranya hamba memiliki kecerdikan ini, tentu dia diberi kemenangan
terhadap musuhnya. Jika dia sudah mengantisipasi sebab secara mestinya
yam!, membuatnya cerdas dan cerdik, tapi tetap saja kalah, lalu dia
mengucapkan, Tukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia
sebaik-baikpenolong', berarti kalimat ini sudah ditempatkan pada
posisinya, seperti yang dilakukan Ibrahim Al-Khalil, ketika dia
diperintahkan untuk mencari sebab yang dian¬jurkan, lalu tetap saja be
I iau kalah dalam menghadapi musuh, sehingga beliau dilemparkan ke
kobaran api. Dalam keadaan seperti itu beliau tetap meng¬ucapkan,
-Cukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik-baik peno¬long".
Kali mat ini diucapkan tepat pada tempatnya, sehingga memberikan
pengaruh yang amat besar.
Begitu pula yang di lakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi Sallan1 dan
para shahabat sewaktu perang UhUd,tepatnya setelah mereka mengalami
kekalahan (meskipun tidak mutlak), saat mereka dal= pedalanan pulang
dad Uhud, lalu ada seseorang yang mengabarkan kepada beliau.
"Sesungguh¬nya musuh telah menghimpun pasukan yang besar. Karena itu
takutlah kepada mereka." Seketika itu pula mereka hers iap-siap lagi
dan berbalik untuk menghadapi musuh. Mereka bangkit kembali dan mem
iliki kekuatan dari dalam jiwa, kemudian mereka berkata, -Cukuplah
Allah sebagai pelin¬dungku, dan Dia scbaik-haik penolong." Ucapan ini
mempunvai pengaruh yang sangat hebat. Karena itu Allah befirman,
"Barangsiapa hertakwa kepada Allah, niscava Dia okan neengaelakan
baginya jalan keluar, dan meenberinya rezki dari cerah tang hada
disangka-sangkanya. Dan, harangsiapa hertawakal kepada Allah, niscava
Allah akan mencukupkan (keperhean)nva. (Ath-Thalaq: 2¬3).
Allah menjadikan tawakal setelah takwa, yang menjadi penopang segala
sebab yang diperintahkan. Pada saat itulah tawakal kepada Allah sudah
cukup baginya. Firman-Nya yang lain,
"Bertawakallah kalian kepada Allah, dan kepada Allah hendaknya orang-orang Muknein bertawakal. " (A l-Maidah: 11).
Tawakal dan mencukupkan keperluan kepada Allah tanpa memper-hatikan
sebab yang diperintahkan adalah kelemahan. Maka tidak selavaknya hamba
menjadikan tawakalnya sebagai.kelemahan dan tidak menjadikan
kelemahannya sebagai tawakal, tapi menjadikan tawakalnya termasuk
sejumlah sebab yang diperintahkan, yang suatu tujuan tidak akan
tercapai kecuaii dengan hal itu.
Berangkat dari sini ada dua golongan yang menyimpang. Golongan pertarna
beranggapan bahwa tawakal semata merupakan sebab yang berdiri sendiri,
sudah cukup untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki, lalu dia
mengabaikan sebab-sebab yang sudah ditctapkan hikmat Allah, yang dapat
menghantarkannya kepada akibat atau tujuan, sehingga mereka terpuruk
dalam kelemahan dan pengabaian, tergantung dad seberapa jauh mereka
meninggalkan sebab. Tawakal mereka menjadi lemah, karena mereka
menganggap kekuatan tawakal ini hams di lak ukan dcngan cant
mengabaikan sebab. Mereka menghimpun seluruh hasrat, hingga menjadi
satu hasrat. Sekalipun di sini ada kekuatan, tapi di sisi lain
sebenarnya merupakan kelemahan. Selagi sisi tawakal menjadi kuat, tapi
tawakal ini dibuat lemah oleh pengabaian sebab, yang sebenarnya
merupakan landasan tawakal. Landasan dan tempat tawakal adalah sebab.
Kesempurnaannya dengan tawakal kepada Allah. Hal ini seperti tawakalnya
para petani dan pecocok
tanam yang mengolah tanah, menaburkan benih, mengurusi
tanaman, lalu dia bertawakal kepada Allah untuk pertumbuhan tanamannya.
Beginilah cara memberikan hak yang benarterhadap tawakal. Begitu pula
tawakalnya musa¬tir yang memperpendek jarak tempuhnya. dengan cara
memotong perjalanan dengan mempercepat jalannya.
Golongan kedua yang menyimpang ialah yang terlalu mengandalkan peranan
sebab dan yang berpaling dari tawakal. Jika sudah mendapatkan suatu
sebab, maka mereka tidak merasakan adanya tawakal dan terlepas dari
pertolongan Allah terhadap mereka. Padahal mereka adalah orang-orang
ang lemah karena tidak memil iki tawakal. Kekuatan dari segala kekuatan
ada dalam tawakal kepada Allah. sebagaimana yang dikatakan sebagian
salaf, "Di antara salah satu rahasia, bahwa untuk menjadi manusia yang
paling kuat ialah dengan bertawakal kepada Allah. Kekuatan tersimpan
bagi orang yang tawakal, merasa cukup dengan pertolongan Allah dan
dukungan-Nya. Kekuatan ini berkurang tergantung clari kekurangan takwa
dan tawakalnya. Sebagai bukti, hanya dengan takwa dan tawakal ini Allah
menjadikan jalan keluar dari segala kesulitan yang menimpa manusia dan
hanya Allah yang menjadi penolongnya."
Dengan kata lain, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membimbing hamba
kepada sesuatu yang menjadi tujuan kesempurnaannya dan apa yang
dicarinya, mendapatkan apa yang bermanfaat bagi dirinya dan juga
berusaha. Pada saat itulah dia akan terbantu jika mengucapkan, "Cukup I
ah Allah sebagai pelindungku, dan Dia sebaik-baik penolong.- Berbeda
dengan orang
ang suka mengabaikan sehingga tidak mendapatkan kemaslahatan, sctclah
itu dia mengucapkan, "Cukuplah Allah sebagai pelindungku, dan Dia
sebaik¬baik penolong." Tentu saja Allah mencelanya.
Tuntunan Rasulullah tentang Dzikir dan Doa
Rasulullah Shallallahu Alaihi tivaSallamadalah makhluk yang paling
sempurna dalam berdzikir kepada Allah. Bahkan semua perkataan beliau
atau tatkala beliau tidak sedang berkata merupakan dzikir. Perintah,
larangan dan pensyariatan beliau terhadap umat, merupakan dzikir kepada
Allah, begitu pula pengabaran beliau tentang asma' dan sifat Allah,
hukum, perbuatan, jan¬ji, peringatan, saat mem uj i-Nya, berdoa,
tasbih, mengagungkan, saat diam, berdiri, duduk, telentang, berjalan,
naik kendaraan dan semua gerak-gerik beliau merupakan dzikir kepada
Allah.
Saat bangun tidur, beliau mengucapkan,
"Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya tempat kembali.
Beliau mengabarkan bahwa siapa yang bangun pada malam hari, lalu mengucapkan,
'`Tiada flab selain Allah semata, yang tiada sekuni
bagi-Aya, bagi-Nya kerafaun dan segala puji, dan Dia Berkuasa alas
segala sesuatu, segala puji bagi Allah. Huhu, slier Allah, clan t Lucia
Ilah.s.elain Allah, Allah Mahabesar. liada duya clan kekuatan selain
dart Allah Yang Afahutinggi lagi Mahaugung'', kemudian dia mengucupkan,
-Fa Allah ampunilah bagiku utau dia bercloa dengun Jou yang lain, maka
akan dikabulkan baginya..fika dia wudhu ' dan shalat, maka shalutnya
diterima. (Diriwayatkan A]-Bukhary).
Ibnu Abbas berkata saat dia bermalam di rumah Nabi Shallullahu Alaihi
wa Sallam, bahwa ketika bangun tidur, beliau menengadahkan kepala ke
langit, kemudian membaca sepuluh ayat terakhir dart surat Ali Imran.
Kemudian beliau mengucapkan,
“Ya Allah, hagi-Mu segala puji, engkau cahaya langit dan baud serta
siapa pun yang ada di dalamava. Bagi-Mu segala puji, Engkau yang
menegakkan langit dan bumi dan siapa pun yang ada di dalamnya. Bagi-Mu
segala puji don Engkau Yang Mahabenar, janji-Mu henar, firman-Mu henar,
perjumpaan dengan-Mu benar, surga itu, neraka itu henry’, para nabi itu
benar, Muhammad itu benar, hart kiamat itu be¬nar. Ya Allah, kepada-Mu
aku memasrahkan dirt, kepada-Mu aku
beri man, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali,
kare¬na-Mu aku berperang, kepada-Mu aku mengadukan perkara. Maka
ampunilah bagiku apa yang kudahulukan dan yang kuakhirkan, apa yang
kusembunyikan clan apa yang kutampakkan. Engkau Ilahi, yang tiada Ilah
selain Engkau, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Yang
Mahatinggi lagi Mahaagung. (Ditakhrij A l -B ukhary dan Mus¬lim).
Aisyah Radhiyallahu A nha berkata, jika bangun dari sebagian waktu malam, beliau mengucapkan,
“Ya Allah, Rabbnya fibril, Mika ‘il dan Israfil, Pencipta langit dan
bu¬rnt’, Yang inengetahui yang gaib dan yang tampak, Engkau memutizskan
di antara hamba-hamba-Mu tentang apa-apa yang mereka perm lisih¬kan.
Berikanlah petunjuk kepadaku tentang kebenaran yang di dalamnya ada
yang diperselisihkan dengan se izin-Mu, sesungguhnya Engkau memberi
petunjuk orang yang Engkau kehendaki kepadajalan yang lurus. (D
itakhrij Muslim).
Boleh jadi Aisyah juga pernah berkata, “Beliau biasa membuka shalat¬nya
dengan bacaan ini. Kemudian j ika sudah selesai mengerjakan shalat
witir, beliau mengucapkan,
“Mahasuci Allah, Raja dan Yang Mahasuci. “
Beliau mengucapkannya tiga kali dan memanjangkan suara untuk bacaan yang ketiga kalinya.
Saat keluar dari rurnah, beliau mengucapkan,
“Dengan asma Allah, aku bertawakal kepadaAllah. Ya Allah, sesung¬guhnya
aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan atau disesatkan, dari
ketergelinciran atau digelincirkan, dari kezhaliman atau dizha¬limi,
dari kebodohan atau dibodohi.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Ibnu Majah,
An-Nasa’y dan Ahmad).
RasuluIlah Shallallahu A laihi Sallant juga pernah bersabda,
“Barangsiapa mengucapkan saat keluar dari rumahnya, ‘Dengan asma Allah,
aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari maka
dikatakan kepadanya, ‘Engkau telah diberi
petunjuk, dicukupkan. dilindungi dan syetan pun menjazth darinya. (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Abu Daud).
Ibnu Abbas berkata saat dia berrnalam di rumah beliau. bahwa beliau keluar untuk mclaksanakan shalat subuh, seraya mengucapkan.
“Ira Allah, jaclikanlah di dalam hatiku cahaya, jadikunlah di Bala an
lisanku eahava,jadikanlah di dalam pendengaranku cabana, jadikan¬lah di
dalam penglihatanku cahaya, jadikanlah dart he lakangku cohava clan
dart depanku cahava,judikanlah dan atasku cahaya dun jc-tclikanlah dari
hau’ahkl.r cahaya. in Allah, berikanlah kepadaku calutia (Diriwayatkan
Al-Bukhary dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu A laihi wa Sallam bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kalian masuk mars jid, henduklah dia
mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu Alaihi Sultam dan juga
mengucapkan,’YaA11ah, bukakanlah hagikupintu-pintu rahmat¬Mu ‘, clan
jika keluar, hendaklah mengucapkan, Ta Allah„sesungguh¬nva aku me mohon
kepada-Mu dart karunia-Mu ‘.” (Diriwayatkan Muslim. Abu Daud dan Ibnu
Majah).
Seusai shalat subuh, Rasulullah Shallallahu Alaihi Sallam biasa duduk
di tempat shalatnva Flinn matahari terbit untuk berdzikir kepada Allah.
Kemudian jika pagi menjelan2, beliau mengucapkan,
“Yu Allah, dengan-Mu aku memasuki waktu pagi dan dengan-Mu aku memasuki
waktu sore, karena-Mu aku hidup, karena-Mu aku mail clan kepada-Mu
tempat kemhali. (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Beliau juga mengucapkan doa pada pagi hari,
Kami memasuki waktu pagi dan kerajaan menjadi milik Allah. Segala puji
bagi Allah, yang tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu
bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nyasegalapitji, dan Dia Maha
Berkuasa alas segala sesuatu. Ya Rabbi, aku memohon kebaikan apa yang
ada pada hari ini dan kebaikan sesudah itu. Aku berlindung kepada-Mu
dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudah
Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan keburukan takabur.
Vu Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari siksa di dalam neraka dan siksa
di datum kubur. ” Dan jika memasuki waktu sore
beliau mengucapkan, Kami memasuki waktu sore dan kerajaan
menjadi milik Allah…. dan seterusnya. (Diriwayatkan Muslim).
Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu berkata kepada Nabi
Shal-lallahu A laihi wa Sallam, “Perintahkanlah kepadaku beberapa
kalimat saat aku memasuki waktu pagi dan sore hari.”
Maka beliau bersabda, “Ucapkanlah,
“ya Allah, Pencipta langit dan bumf, yang mengetahui yang gaib dun yang
tampak, Rabb segala sesuatu, Pemilikdan Rajanya, aku bersaksi bahwa
dada Ilah selain Engkau. Akuberlindungkepada-Mu dari keja¬hatan diriku,
dari kejahatan syetan dan syiriknya, dan aku berlindung kepada-Mu dari
keburukan yang kuperbuat terhadap diriku atau yang kutimpakan kepada
seorang Muslim. “
Beliau bersabda. “Ucapkanlah doa ini jika engkau mernasuki waktu
pagi dan sore harm serta ketika engkau beranjak ke tempt- tidurmu.” tDiriwa
atkan At-Tirmidzy). Beliau juga bersabda,
“Tidaklah seorang hamha mengucapkan di Ivaktitpagi sedap hail dan waktu
sore menjelang malam„ `Dengan a.sma Allah, yang scarf pun di bumf dan
di langit yang membahayakan dengan menyebut asma-Nya,
dan Dia Maha Mendengar lagi Maha tiga kali, melain
kan memang tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya (Diri
wayatkan At-Tirmidzy, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah). Beliau juga bersabda,
“S’iapa yang mengucapkan ketika pagi dan sore hari, ridha kepada Allah
sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sehagai
nabi’, maka ada hak atas Allah untuk meridhai
nya. (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Al-Hakim).
Beliau juga bersabda,
“Siapa yang mengucapkan ketika pagi dan sore hari, Ta Allah,
se-sungguhnya aku memberikan kesaksian kepada-Mu dan memberikan
kesaksian kepada para malaikat yang membawa Ar.sy-Mu dan para
malaikat-Mu yang lain serta semua makhluk-Mu, bahwa Engkau
adalah Allah yang tiada Ilah selain Engkau, dan bahwa
Muhammad adalah hamba dan Rasul-Mu’, maka Allah membebaskan seperempat
siksa-Nya dari neraka. Jika dia mengucapkannya dua kali, maka Allah
membebaskan separoh siksanya dari neraka. Jika dia mengucapkan¬nya tiga
kali, maka Allah membebaskan tiga perempat siksa-Nya dari neraka. Jika
dia mengucapkannya empat kali, maka Allah membe¬baskannya dari siksa
neraka. “(Ditakhrij Abu Daud, A1-Bukhary dan At-Timirdzy).
Doa yang juga pernah beliau baca pada pagi dan sore adalah,
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon afiat kepada-Mu di dunia dan di
akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan dan afiat kepada-Mu
di dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah
aibku dan amankanlah rasa takutku. Ya Allah, jagalah aku dari depan,
dari belakangku, dari samping kananku, dari samping kiriku dan dari
atasku. Aku berlindung kepada keagungan-Mu dari apa-apa yang hisa me
mperdayaiku dari bawah. ” (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah dan
Al-Hakim).
Bel iau juga bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian me masuki waktu pagi, maka hen¬daklah dia me ngucapkan. ‘Kami memasuk waktu pagi dan kerajaan menjadi milik Allah Rabb semesta alam. Ya Allah. sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan hari ini, pembukaunnya, pertolongan
nya, cahayanya, barakahnya dan petunjuknya. Aku berlindung
kepa¬da-Mu dari kejahatan yang ada di dalamnya dan kejahatan
sesudah¬nya’. Kemudianjika memasuki waktu sore, hendaklah dia
mengucap¬kan doa yang sama. (Diriwayatkan Abu Daud).
Beliau pernah bersabda kepada seseorang dari kalangan Anshar,
“Ba-gaimana jika aku mengajarkan kepadamu beberapa perkataan, yang jika
eng¬kau mengucapkannya, maka Allah akan menghilangkan kekhawatiranmu
dan melunasi hutangmu?”
Orang Anshar itu menjawab, -Balk wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda “Ucapkanlah,
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dart kekha
watiran dan kesedihan, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan
dan kemalasan, aku berlindung kepada-Mudari kecil hati dan bakhil,
aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan paksaan orang.
Orang Anshar itu berkata, “Setelah aku mengucapkannya, maka Allah
benar-benar menghilangkan kekhawatiranku dan hutangku pun menjadi
lunas.”
Beliau pernah bersabda kepada putrinya, Fathimah, “Apo yang
meng-halangimu untuk mendengar apa yang kuwasiatkan kepadamu, yaitu
hendak¬lah engkau mengucapkan saat pagi dan sore hart,
“Wahai Yang Mahahidup, wahai Yang Berdiri sendiri, dengan rah-mat-Mu
aku memohon pertolongan, maka perbaikilah keadaanku, dan j an ganlah
Engkau biarkan diriku walau sekejap mata pun. ” (Ditakhrij Al-Hakim).
Doa beliau yang lain pada waktu pagi,
‘`Pagi ini kanzi ada pada fitrah Islam dan kalimat ikhlas, agama nab i
kita Muhammad dan millah bapak kita, Ibrahim yang hanif dan berserah
dirt, dan dia tidak termasuk orang-orang yang musyrik. (Ditakhrij
Ahmad).
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang ben
manfaat, rezki yang balk dan amal yang diterima. ” (Diriwayatkan Ibnu Majah).
Beliau juga bersabda,
,
“Pemimpin istighfar jika seorang hamba mengucapkan, Ta Allah, Engkau
Rabbku, yang tiada Ilah selain Engkau. Engkau me nciptakan aku dan aku
adalah hamba-Mu. Aku berada pada sumpah dan janji¬Mu menurut
kesanggupanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang kulakukan.
Aku mengaku kepada-Mu atas nikmat-Mu kepadaku, dan aku mengakui dosaku,
maka ampunilah bagiku, karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa
selain Engkau’. Siapa yang mengucapkannya ketika memasuki waktu pagi
dengan penuh keyakinanpadanya, lalu dia mati pada hari itu, maka dia
masuk surga. Dan, .siapa yang mengucapkannya pada sore hari dengan
penuh keyakinan padanya, lalu dia mati pada malam hari itu, maka dia
masuk surga.” (Diriwayatkan Al-Bukhary).
“Siapa yang mengucapkan ketika memasuki waktu pagi dan sore hari,
‘Mahasuci Allah dan dengan puji-Nya’, seratus kali, maka tak seorang
pun datang pada hari kiamat dengan membawa yang lebih balk daripada apa
yang dibawanya dengan bacaan itu, kecuali orang yang mengucapkan hal
yang sama dengan apa yang dia ucapkan itu, atau lebih banyak darinya.”
(Diriwayatkan AI-Bukhary dan Muslim).
“Siapa yang mengucapkan ketika me ntasuki waktu pagi sebanyak
BeZr/ Pri,W6wevy IrriXdrit 131
“Siapa yang mengucapkan ketika memasuki waktu pagi, Tiada
Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan
dan bagi-Nya segala pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu
maka dia mendapat pahala memerdekakan budak dari anak Amu dihapuskan
darinya sepuluh keburukan dan ditinggikan baginya sepuluh derajat dan
dia dalam lindungan dari syetan hingga sore hari. Dan, jika pada sore
hari, juga seperti itu hingga pagi hari.” (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu
Majah dan Ahmad).
“Barangsiapa yang mengucapkan ketika pagi hari, `Tiada Ilah
selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan dan
bagi-Nycl pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu’, seratus
kali dalam satu hari, maka dia mendapat pahala lama de ngan
memerdekakan sepuluh budak wanita, ditetapkan seratus kebaikan baginya,
dihapuskan seratus kesalahan darinya, dan dia mendapat perlindungan
dari syetan pada hari itu hingga sore hari, dan tiada seorang yang
datang dengan me mbawa yang lebih baik dari apa yang dibawanya kecuali
seseorang yang beramal lebih banyak darinyu.” (Diriwayatkan Al-Bukhary
dan Muslim).
Semua isnad hadits yang disebutkan di sini adalah shahih, dan sebagian
kecil ada yang hasan. Dan, di camping doa dan dzikir yang disebutkan di
sini, masih ada dzikir dan doa lainnya.
Doa-doa Rasulullah di Beberapa Kesempatan dan Tempat 1. Dzikir clan Doa Saat Mengenakan Pakaian atau Lainnya
Jika Rasulul lab Shallallahu Alaihi wa Sailam mengenakan jenis pakai¬an
Baru dari kain, entah berupa sorban, baju atau mantel, maka beliau
meng-ucapkan,
“Ya Allah, bagi-Mu segala puji, Engkau yang memberikupakaian
ini, aku memohon kepada-Mu kebaikannya clan kebaikan yang diciptakan
baginya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan yang
diciptakan baginya. (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Abu Daud, Ahmad dan
An-Nasa’y).
Beliau juga pernah bersabda,
“Siapa yang mengenakan pakaian lalu berkata, `Segala puji bagi Allah
yang telah memberiku pakaian ini dan mengaruniakannya kepadaku, tanpa
ada Jaya dan kekuatan dariku maka Allah mengam¬puni dari dosanya yang
telah lampau.
Di dalam Sunan I bnu Majah disebutkan. bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam melihat Umat yang sedang mengenakan baju. Lalu beliau
bertanya, “Pakaianmu ini baru ataukah sudah pernah dicuci?”
Umar menjawab, sudah pernah dicuci.”
Lalu beliau bersabda.
I
“Kenakanlahpakaian baru, hiduplahsebagal arcing yang terpuji dan matilah sebagai orang yang !nut’ syahid.
2 Tuntunan Rasulullah Saat Masuk Rumah
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah pu tang secara
tiba-tiba untuk mengecoh mereka, tetapi beliau senantiasa menemui
keluarga dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada mereka sebelum
masuk rumah. Beliau juga mengucapkan salam, dan jika sudah masuk,
beliau me¬mulai dengan menanyakan keadaan merekaatauterkadang beliau
bertanya, “Apakah kalian punya makanan?” Atau terkadang beliau tidak
menanyakan¬nya hingga beliau disuguhi makanan seadanya.
Diriwayatkan bahwa beliau pernah mengucapkan saat kembali ke rumah,
“Segala puji bagi Allah yang telah mencukupiku dan
melindungiku, segala puji bagi Allah yang telah memberiku makan dan
minum, segala puji bagi Allah yang telah memberikan karunia kepadaku
dan meng¬utamakannya, aku memohon kepada-Mu agar Engkau melindungiku
dari neraka.” (Ditakhrij Muslim).
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi xa Sallam, bahwa beliau bersabda kepada Anas.
Apabila engkau menemui keluargamu, maka ucapkanlah salam,
niscaya akan menjadi barakah bagimu dan bagi keluargamu. ” wayatkan
At-Tirmidzy).
Di dalam As-Sunan disebutkan dari Rasulullah, beliau bersabda,
“Apabila seseorang masuk rumahnya, hendaklah dia
mengucapkan, `Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan
tempat masuk don kebaikan tempo’ keluar. Dengan astna Allah kami masuk
dan kepada Allah Rabb kami, kami bertawakal kemudian hendaklah dia
mengucapkan salam kepada keluarganya.” (Diriwayatkan Abu Daud).
Ada hadits shahih dari beliau,
“Apabila seseorang memasuki rumahnya .seraya menyebut nama Al¬lah saat
masuk dan juga saat makan, maka syetan berkata (kepada syetan-syetan
lainnya), `Tidak ada tempat tinggal dan makan bagi kalian’. Apabila dia
masuk rumah tanpa menyebut nama Allah saat masuknya itu, maka syetan
berkata, ‘Kahan mendapatkan tempat tinggal dan apabila dia tidak menye
but nama Allah saat makannya, maka syetan berkata, ‘Kahan mendapatkan
tempo! tinggal dan makan’. ” (Diriwayatkan Muslim).
3. Saat Masuk Kumar Keel!
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa saat masuk kamar kecil beliau mengucapkan,
Ya Allah, sesungguhnya aku herlindung kepadamu dari kotoran clan hal-hal yang kotor.”
Beliau juga bersabda,
“Tab ir antara jin dan aurat Bani Adam saat salah seorang di
antara kalian masuk kamar kecil ialah jika dia mengucapkan,
‘Bismillah’,” (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah).
Diriwayatkan bahwa ada seseorang mengucapkan salam kepada Ra-sulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, pada saat beliau buang air kecil. Maka
beliau tidak menjawab salamnya itu. (Ditakhrij Muslim).
Seperti yang sudah disebutkan di atas, beliau tidak pernah buang air
atau kotoran sambil menghadap ke arah kiblat atau pun membelakanginya.
Bahkan beliau melarang hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
Abu Ayyub, Salman Al-Farisy, Abu Hurairah dan beberapa shahabat
lainnya. Kebanyakan hadits tentantt hal ini shahih, sekalipun ada yang
hasan dan juga dha’if.
Jika keluar dari kamar kecil, beliau mengucapkan,
“A mpunan-Mu yang kuharapkan. “
Diriwayatkan pula bahwa beliau pernah mengucapkan,
‘`Segala puji bagi Allah yang telah menyingkirkan penyakit dariku dan memberikan afiat kepadaku. ” (Diriwayatkan Ibnu Majah).
4. Dzikir Wudhu ‘
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu bahwa beliau meletakkan kedua
tangannya di atas bejana yang di dalamnya ada air, kemu¬dian bersabda
kepada para shahabat, -Vv’udhu’ lah kamu seka I ian dengan
menyebut asma (Diriwayatkan A l-Bailtagy dan Ad-Daruquthny).
Ahmad meriwayatkan dari had its Abu Hurairah. Said bin Zaid dan Abu Sa’ if Al-Khudry, beliau bersabda,
“Tidak sah suatu wudhu’ bagi orang yang tidak menyebut asma Allah.”
Beliau pernah bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan wudhu kemudian berkata, ‘Aku bersaksi
bahwa tiada Ilahselain Allah semota, -rang tiada sekutu bagi¬Nya, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul¬Nya’, maka dihukakan
baginya pintu-pintu surga yang delapan, dia bisa masuk dart pintu mana
pun yang dike hendakinya. ” (Diriwayat¬kan Muslim).
At-Tirmidzy menambahi dengan isnad yang shahih setelah tasyahhud
ini,
“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat don jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mensucikan dirt.
5. Doa dan Dzikir Saat Adzan
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi waSc-rllam, bahwa
be-liau mensunnahkan adzan dengan pengulangan maupun tanpa pengulangan,
mensyariatkan iqamah dua-dua atau satu kali. Tetapi yang pasti ada
kalimat iqamah, yaitu Qad gamatish-shalah. Tidak ada riwayat yang
shahih bahwa bacaannya sekali saja. Takbir di awal adzan empat kali,
dan tidak ada riwayat yang shahih bahwa takbir itu hanya dua kali.
Sedangkan hadits yang menye-butkan, bahwa Bilal diperintahkan untuk
menjadikan adzan berpasangan dan menunggalkan iqamah, tidak menafikan
pembacaannya empat kali. Sebab bacaan cmpat kali ini disebutkan secara
jelas di dalam hadits shahih, yaitu dalam hadits Abdullah bin Zaid,
Umar bin Al-Khatlithab dan Abu Mah¬dzurah.
Tentang bacaan iqamah yang hanya sekali, disebutkan secara shahih dari
Ibnu Umar tentang bacaan iqamah dua kali. Dia berkata, “Adzan pada
zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dua kali dua kali, iqamah
satu kali satu kali. Hanya saja beliau bersabda, “Qadqamatish-shalah,
gad qamatish-shalah”. Disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhary, dari Anas,
bahwa Bilal diperintahkan untuk menjadikan adzan berpasangan dan
menunggalkan iqamah, kecuali iqamah (qad qamatish-shalai).
Tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang dzikir sewaktu adzan sesudahnya, maka beliau mensyariatkan lima hal:
Pendengar mengucapkan seperti yang diucapkan mu’adzin, kecuali dalam
lafazh hayya ‘alash-shalah dan hayya ‘alal-falah, yang diganti dengan
ucapan la haula wa la quwwata illa billah.
Pendengar mengucapkan sebagai berikut,
“Aku hersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah, dan bahwa Muham
mad adalah Rasul Allah. Aku ridha kepada Allah sebagai Rabb,
kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sehagairasul.” Beliau
mengabarkan bahwa siapa yang mengucapkannya, maka dosanya diampuni.
Bershalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah men irukan lafazh mu’adzin.
Mengucapkan doa seusai adzan,
A
“Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini dan shalat yang ditegakkan
ini, berikanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, bangkit¬kanlah
is di tempat yang terpuji seperti yang Engkau janjikan.” (Diriwayatkan
AI-Bukhary).
Berdoa untuk diri send iri setelah itu dan memohon karunia kepada
Allah, niscaya Dia akan mengabulkannya. Disebutkan di dalam hadits
shahih, beliau bersabda,
“Doa tielak akan tertolak antara adzan dan iqamah”. Mereka her-tanya.
“Apa yang horns Irwin ucapkan wahai Rasulullah? Beliau menjawab,
“Mohonlah alien kepada Allah di dunia dan di akhirat. (Diriwayatkan
At-Tirmidzy dan Ahmad).
6. Dzikir Saat Melihat Hilal
Saat inelihat hilal, beliau mengucapkan,
“Ya Allah, datangkanlah rembulan ini dengan membawa keamanan
dan keimanan kepada kami, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu
adalah Allah.” (Diriwayatkark At-Tirmidzy).
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Allah Mahabesar. Ya Allah, datangkanlah rembulan ini dengan mem¬bawa
keamanan dan keimanan kepada kami, keselamatan dan Islam serta taufik
seperti yang disukai dan diridhai Rabb kami. Rabb kami
dan Rabbmu adalah Allah. (Diriwayatkan Ad-Darimiy).
7. Dzikir Sebelum dan Sesudah iviakan
Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memegang makanan, maka
mengucapkan bismillah dan beliau menyuruh orang yang hendak makan untuk
mengucapkannya. Beliau bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian makan, maka hendaklah menve¬but
asma Allah. Jika dia lupa menyebut a.sma Allah pada permulaan¬nya, maka
hendaklah dia mengucapkan, `Dengan asma Allah pada permulaan dan
akhirnycl ” (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Abu Daud dan Al-Hakim).
Tapi yang waj ib dilakukan ialah membaca basmalah itu ketika hendak
makan. Sebab hadits-hadits yang rnemerintahkan hal ini sudah jelas dan
kuat, tidak ada yang sal ing bertentangan, tidak ada Pula ijma’ yang
menentangnya atau mengeluarkannya dari zhahir hadits. Siapa yang tidak
membacanya, maka dia merupakan sekutu syetan.
Dal am hal ini ada masalah yang perlu dipecahkan. Jika yang sedang
makan jumlahnya banyak, apakah keterlibatan syetan dalarn makanan itu
sudah bisa tersingkirkan jika yang membaca basmalah hanya satu orang di
antara mereka, ataukah syetan itu belum tersingkirkan kecuali jika
mereka semua membacanya?
Asy-Syafi’y menetapkan bahwa bacaan satu orang itu sudah mewakili yang
lainnya. Rekan-rekan Asy-SyalCy menganggap hal ini serupa dengan mem
balas salarn dan menjawab orang yang bersin. Tapi bisa saja dikatakan,
“Keterlibatan syetan tidak bisa disingkirkan kecuali setiap orang
mengucap¬kan basmalah dan tidak cukup hanya dengan bacaan orang lain
atas dirinya. Karena itu disebutkan di dalam hadits Hudzaifah, bahwa
dia bersama bebe¬rapa orang shahabat menghadiri jamuan makan. Tiba-tiba
datang seorang wanita yang sepertinya didorong-dorong. Maka dia
beranjak menghampiri makanan clan menyodorkan tangan untuk
mengambilnya. Maka beliau
menepis tangannya. Kemudian muncul seorang Araby yang hendak
melakukan hal yang sama, lalu beliau menepis tangannya. Bel iau
bersabda, ‘Sesungguhnya syetan hendak menghalalkan makanan yang tidak
disebutkan asma Allah. la datang bersama \-vanita ini untuk
menghalalkannya. Maka aku menepis tangannya. Lalu ia datang
bersamaA-Raby ini untuk menghalalkan¬nya, maka aku menepis tangannya.
Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, sesungguhnya Tangan-Nya ada di
tanganku, di samping tangan kedua orang ini.’ Setelah itu beliau
mengucapkan basmalah lalu makan. Sekiranya satu orang yang membaca
basmalah sudah cukup bagi yang lain, tentunya syetan tidak akan
meletakkan tangannya di makanan itu.
Tapi hal ini dapat disanggah, bahwa Nabi ShallallahuAlaihi waSallam
belum meletakkan tangan dan membaca basmalah kecuali belakangan.
Wani¬ta yang lebih dahulu mengulurkan tangan ke makanan tanpa membaca
basmalah. Begitu pun yang dilakukan A’raby, sehingga syetan bergabung
dengan keduanya. Maka bagaimana mungkin engkau katakan bahwa syetan
bergabung dengan orang yang belum membaca basmalah, sementara basma¬lah
itu belum diucapkan siapa pun?
Maka inilah yang bisa dikatakan tentang masalah ini, bahwa At-Tirmi¬dzy
meriwayatkan dan dia menshahihkannya, dari hadits Aisyah, dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyantap makanan bersama enam
orang shahabat. Lalu ada seorang A’raby dan langsung makan dua kali
suapan. Maka beliau bersabda, -Sekiranya dia membaca basmalah, maka hal
itu sudah cukup bagi kalian.”
Tapi yang pasti, beliau dan enam shahabat itu j uga membaca basmalah.
Lalu ketika A’raby itu datang, dia langsung ikut makan tanpa membaca
bas-malah, sehingga syetan bergabung bersama rnakanannya hingga dia
makan dua kali suapan. Sekiranya dia membaca basmalah, tentu hal itu
cukup bagi semuanya.
Tapi masalah ini berbeda dengan membalas salam dan menjawab orang yang
bersin. Syetan berwasilah lewat makanan untuk bergabung dengan orang
yang makan, selagi tidak membaca basmalah, sehingga ia bisa ikut makan
bersamanya. Sekali pun orang lain sudah membaca basmalah, toh tidak
mampu menghalau syetan untuk bergabung dengan orang yang tidak membaca
basmalah.
iika makanan sudah diangkat dari hadapan beliau, maka beliau mengucapkan,
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang hanyak, balk dan
penuh barakah di dalamnya, tanpa merasa cukup, tidak ditinggalkan dan
selalu dibutuhkan, wahai Rabb kami.”(Diriwayatkan AI-Bukhary dan
At-Tirmidzy).
Doa selain itu,
“Segal(’ puji bagi Allah yang telah memberi kami makan dan minuet serta
menjadikan kami orang-orang Muslim.” (Diriwayatkan At¬Tirmidzy, Abu
Daud dan Ibnu Majah).
“Segala puji bagi Allah yang telah mencukupi kami dan memberi
tempal tinggal kepada kami.” (Diriwayatkan Al-Bukhary).
Ketika beliau menemui keluarganya, terkadang beliau bertanya kepada
mereka, -Apakah kalian mempunyai makanan?” Sekali pun beliau tidak
pemah mencela makanan. Jika makanan itu mengundang sclera. maka beliau
mernakannya, dan jika beliau tidak menyukainya, maka beliau men
ing,gal- kannya dan diam.
Terkadang beliau memuji makanan, seperti saat beliau mem inta lauk
kepada keluarganya. Namun mereka hanya mempunyai cuka. Maka beliau mem
intanya dan makan dengan cuka itu seraya bersabda, -Lauk yang pa¬ling
nikmat adalah cuka.”
Dalam hal makanan ini tidak ada sanjungan yang melebihkan susu, daging,
madu, sayur maupun kuah. Hanya dalam kesempatan itulah beliau memuji
lauk. Padahal jika beliau disodori susu atau daging, lebih layak bagi
beliau untuk rnemujinya daripada memuji cuka. Hal ini dimaksudkan untuk
menyenangkan hati orang yang menyuguhkannya, bukan berarti menyanjung
cuka ini daripada lauk atau makanan Iainnya.
Jika ada makanan yang disodorkan. sementara beliau sedang berpuasa, maka beliau mengatakan, “Aku sedang berpuasa.-
Beliau memerintahkan orang yang disodori makanan padahal dia sedang
berpuasa, untuk mengucapkan shalawat atau mendoakan orang yang
menyodorinya makanan itu. Jika tidak sedang puasa, hendaknya dia
mema-kannya atau sebagian di antaranya.
Jika beliau diundang ke jamuan makan dan ada orang lain yang ikut
bersamanya, maka beliau memberitahukannya kepada tuan rumah atau or¬ang
yang mengundang, seraya bersabda, “Orang ini ikut kami. Jika engkau
menghendaki. maka engkau bisa memperkenankannya, dan jika engkau menghendaki, dia bisa kembali.”
Beliau memerintahkan orang untuk mengambil makanan yang paling dekat
dengannya, dan beliau mempersilahkan tamu berulang kali untuk makan,
seperti yang biasa dilakukan orang yang murah hati dan dermawan. Jika
beliau makan di tempat orang lain, maka beliau tidak meninggalkannya
sehingga berdoa baginya. Beliau berdoa di rumah Abdullah bin Busr,
“Ya Allah, berkahilahbagi mereka dalam apa yang Engkau
anugerah¬kan kepada mereka, ampunilah bagi mereka dan rahmatilah
mereka. (Diriwayatkan Muslim).
Beliau juga berdoa di rumah Sa’d bin Ubadah, seraya bersabda,
“Orang-orang yang puasa diberi makan di tempat kalian, orang-orang
bajik yang makan makanan kalian dan para malaikat pun bershalawat
kepada kalian.” (Diriwayatkan Abu Daud).
Abu Daud meriwayatkan tentang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
yang makan di rumah Abul-Haitsam bin At-Taihan bersama para shahabat.
Seusai makan, beliau bersabda kepada para shahabat, “Berikan imbalan
kepada saudara kalian ini.”
Mereka bertanya, “Apa imbalannya wahai Rasulullah.”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya jika rumah seseorang dimasuki, lalu
makanannya dinikmati, minumannya diminum, lalu mereka berdoa baginya,
maka itulah imbalannya.” (Dalam sanadnya ada yang majhul).
Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa suatu malam beliau memasuki
rumah dan mencari makanan, tapi tidak mendapatkannya. Maka beliau
bersabda, “Ya Allah, berikanlah makanan kepada orang yang telah
memberiku makanan, dan berilah minuman orang yang teiah memberiku
minuman.” (Diriwayatkan Muslim).
Beliau biasa mendoakan seseorang yang menjamu orang-orang miskin dan
mem uj inya. Suatu kali beliau bersabda, “Ketahuilah. orang yang
menja¬mu ini adalah orang yang dirahmati Allah.”
Beliau bersabda kepada seorang Anshar dan istrinya yang rnemberikan
makanan bagi anak-anaknya kepada tamunya dan lebih mcmentingkan tamunya
itu daripada anak-anaknya, “Allah benar-benar ta’ ajub terhadap sikap
kalian berdua semalam terhadap tamu.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan
Muslim).
Beliau memerintahkan menggunakan tangan kanan untuk makan dan me arang makan dengan tangan kiri, seraya bersabda.
“Sesungguhnya syetan itu makan dengan tangan kn. inya dan minuet dengan tangan kirinya pula. ” (Diriwayatkan Muslim).
Kesinnpulan dari hadits ini adalah pengharaman dengan tangan
dan inilah pendapat yang benar. Sebab yang makan dengan tangan kiri,
entah syetan, entah orang yang serupa dengan syetan. Bel iau pemah
bersabda kepa-da orang yang makan di dekat beliau dengan tangan
kirinya, “Makanlah dengan tangan kananmu.”
Orang itu berkata, ”Aku tidak bisa.”
Beliau bersabda, ”Tidak, engkau bisa melakukannya.-
Ada beberapa yang, mengadu kepada beliau, balk\ a mereka beim) merasa
kenyang,. Maka beliau memerintahkan agar mereka rnerwumpulkan semua
makanan yang ada dan tidak botch makan sendiri-sendiri. Lalu meme
rintahkan agar mereka menyebut asma Allah, agar makanan itu diberkahi.
8. Salon], Merninta kin clan Menjawab Orang Bersin Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari Abu Hurairah.
“Sesungguhnya Islam yang paling utama dan paling balk ialah
mem¬ber! makan don mengucapkan salam kepada yang orang yang engkau
kenal don kepada arcing yang behon engkau kenal.” (Di riwayatkan A
l¬Bukhary dan Muslim).
Di dalam Ash-Shahihainjuga disebutkan, bahwa setelah Adam dicipta-kan
Allah, maka dia diperintahkan, “Temuilah sekumpulan para malaikat itu,
ucapkan salam kepada mereka, dan dengarkan apa ucapan selamat yang
mereka sampaikan kepadamu, karena itulah ucapan selamatmu dan anak
keturunanmu.”
Maka Adam mengucapkan, “As-Salamu ralaikum. “
Mereka menjawab. “A s-Salamu ralaikum wa ralnatullah.” Mereka menambahinya dengan Ira rahmatullah (Diriwayatkan A l-B ukhary).
Di dalam Ash-Shahihain juga disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam memerintalikan untuk menyebarkan,salarn dan menga¬barkan bahwa
jika mereka menyebarkan salam di antara mereka, tentu mere¬ka akan
saling mencintai, dan mereka tidak akan masuk surga kecuali jika mereka
beriman, dan mereka tidak disebut beriman kecuali jika saling
men¬cintai.
A l-Bukhary menyebutkan di dalam Shahih-nya, Ammar berkata, “Siapa yang menghimpun tiga perkara, maka dia telah menghimpun iman,
adil terhadap diri sendiri, mengucapkan salam kepada seluruh alam dan berinfak pada saat kikir.”
Di dalam ungkapan ini terkandung pangkal-pangkal kebaikan dan
cabang-cabangnya. Keadilan mengharuskan adanya pemenuhan hak-hak Allah
dan juga hak-hak manusia secara sempurna, tidak menuntut yang tidak
layak kepada manusia, tidak membebani yang tidak layak kepada mereka,
rnempergauli mereka dengan cara yang dia pun suka jika dipergauli
dengan¬nya, memaalkan mereka yang dia pun suka jika dimaafkan, termasuk
pula keadaan terhadap diri sendiri, seperti tidak membual dengan
sesuatu yang sama sekali tidak ada pada dirinya, tidak mengotori, tidak
menghinakan, tidak rnelecehkan diri sendiri dengan mendurhakai Allah,
mengangkat dan me-ninggikan diri sendiri dengan menaati Allah,
mencintai, takut dan berharap kepada-Nya. Jadi maksud adil terhadap
diri sendiri ini mengharuskan adanya pengetahuan tentang Allah dan
hak-hak-Nya, mengetahui dirinya dan apa
ang diciptakan bagi dirinya, tidak ikut campur dalam penciptaan ini,
dengan mengaku memiliki hak kekuasaan dan kepemilikan, lebih
mendahulukan kepentingan diri sendiri daripada kepentingan Khaliq,
membagi kehendak Khaliq dengan kehendaknya menurut kemauannya sendiri,
seperti pemba¬gian yang dilakukan sebagian orang yang difirmankan Allah,
“Lulu mereka berkata dengan persangkaan mereka, ‘Ini untuk Allah dan
ini untuk berhala-berhala hunt Maka saji-saj tan yang diper¬untukkan
bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah, dan saji-sajian
yang diperuntukkan bagi Allah, maka sujian itusampai kepada
berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu. ”
(Al-An’am: 136).
Maka hendaklah seorang hamba melihat, agar dirinya tidak menjadi
seperti orang yang, membuat pembagian semacam itu, yaitu pembagian
untuk Allah dan sekutu-sekutu-Nya, yang dilakukan hanya karena
kebodohan dan kezhalimannya, atau dia terpedaya dan tidak menyadarinya.
Memang begitulah manusia yang diciptakan dalarn keadaan zhalim dan
bodoh. Maka bagaimana mungkin orang, yang disifati zhalim dan bodoh
dituntut untuk adil? Bagaimana mungkin orang yang tidak adil terhadap
makhluk mau berbuat adil terhadap Khaliq? Disebutkan di dalam atsar
“Wahai anak Adam, kamu tidak berbuat adtl kepada-Ku. Kehaikan-Ku turun
kepadcunte„sedanglam keburukaninte naik kepada-Ku. Berapa banvak Aker
membuat mu senang dengan berhagai nikmat. dan Aku tidak
111e171butuhkat7171U, dan herapa banyak kamu membuat-Ku murka dengan
herbagal kedurhakaan dan kamu memhutuhkan Aku. Malaikat yang mulia
.5enantiCISCI naik kepada-Ku dart sistmu sambil membawa amal yang buruk
“
Mengucapkan salam kepada seluruh aim mencerminkan tawadhu’
dan tidak takabur terhadap siapa pun. Dia mengucapkan salam
kepada yang muda maupun yang tua, kepada orang tehormat maupun kepada
orang yang hina, kepada orang yang dikenal maupun kepada orang yang
tidak dikenal. Sementara orang yang takabur tidak akan mau melakukan
hal ini, bahkan dia tidak mau menjawab salam dari setiap orang yang
mengucapkan salam kepa-danya, karena rasa takabur. Maka bagaimana
mungkin dia mau mengucapkan salam kepada setiap orang?
Berinfak pada saat kikir tidak akan terlaksana kecuali karena
keyakin¬an yang kuat terhadap Allah, karena dia merasa bahwa Allah akan
mengganti apa yang telah di infakkannya.
Muslim meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallollahu Alaihi wa Sal-lam
pernah melewati sekumpulan anak-anak kecil, lalu beliau mengucapkan
salam kepada mereka. Suatu hari beliau juga pernah melewati sekumpulan
wanita. Maka beliau melambaikan tangan sebagai gambaran salam kepada
mereka. Sementara Abu Daud meriwayatkan dari Asma’ binti Yazid. dia
ber¬kata, “Nabi Shaliallahu wa Sallam pernah melewati kami dalam satu
rombongan orang-orang wanita, lalu beliau menyampaikan salam kepada
Tapi yang pasti beliau memberi isyarat dengan tangannya kepada mereka sebagai gambaran penyampai an salam.
Dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan bahwa sekumpulan shahabat melewati
seorang wanita tua dalam perjalanan mereka sepu Lang dari shalat
Jurn’at, lalu mereka mengucapkan salam kepadanya. Lalu wanita tua itu
memberi mereka gandurn.
Jadi yang benar dalam masalah salam kepada para wanita ialah
meng-ucapkan salam hanya kepada wan ita tua dan mah ram, tidak kepada
yang selainnya.
Disebutkan di dalam Shahih A l-Bukhary tentang siapa yang lebih layak mengucapkan salam terlebih dahulu,
“Yang muda mengucapkan salam kepada yang tua, yang berjalan
kepada yang duduk, yang berkendaraan kepada yang berialan. dan yang
sedikil kepada yang banyak
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan.
“Orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang ber
Di dalam Musnad Al-Bazzar disebutkan dengan isnad shahih, Orang yang berkendaraan mengucapkan salam kepada yang berja-
144 Zactui-Ma’ad
lan, yang berjalan kepada yang duduk, dan dua orang yang berjalan, mana yang memulai adalah yang lebih utama.”
Diriwayatkan dari beliau dengan isnad yang shahih,
“Sesungguhnya orang yang lebih utama di sisi Allah ialah siapa yang
lebih dahulu mengucapkan salam.”(Ditakhrij Ahmad dan Abu Daud).
Tuntunan Rasulullah ShallallahuAlaihi tina Sallam ialah mengucapkan
salam setiap kali menemui sekumpulan orang dan ketika meninggalkan
mere-ka. Diriwayatkan dari beliau.
“Jika salah seorang di antara kalianduduk (dalam .suatu pertemuan),
maka hendaklah mengucapkan salam, dan Jika bangkit, hendaklah
mengucapkan salam puler. dan yang pertama tidak lebih berhak dari¬pada
yang akhir.” (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzy).
“Jika salah seorang di antara kalian bertemu temannya, maka hendak
lah dia mengucapkan salam kepadanya. Jika di antara keduanya ter
halang pohon atau dinding, kernudian berternu lagi, maka hendaklah
dia mengucapkan salam juga,” (Diriwayatkan Abu Daud).
Di antara tuntunan beliau, bahwa orang yang masuk masjid memulai dengan
shalat dua rakaat tahiyat masjid, kemudian menghampiri orang-orang yang
ada di dalamnya dan mengucapkan salam kepada Inereka. Jadi tahiyat masj
id dilakukan sebelum mengucapkan salam kepada orang-orang yang ada di
dalamnya. Sebab tahiyat masjid itu merupakan hak Allah dan saiam
merupakan hak makhluk. Hak Allah harus didahulukan daripada hak makh I
uk. Berbeda dengan hak yang berkaitan dengan harta. Perbedaan di antara
keduanya terletak pada kebutuhan anak Adam dan tidak mampunya harta
untuk mernenuhi dua hak secara sekaligus. Regitulah kebiasaan
orang¬orang bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallarn. Jika di antara
mereka ada yang masuk masjid, maka dia shalat dua rakaat terlebih
dahulu, lalu datang menghampiri beliau dan mengucapkan saiam. Karena
itu disebutkan di dalam hadits Rifa’ah bin Rafi’, bahwa suatu hari
beliau duduk di masjid bersama
beberapa shahabat.lu datang seseorang yang menyerupai orang
badui, lalu dia shalat dua rakaat dengan cepat-cepat. Ketika orang itu
menghampiri beliau dan mengucapkan salam, beliau menyuruhnya untuk
shalat lagi dua rakaat, karena shalatnya itu tidak sungguh-sungguh. Di
sini beliau menging¬kari cara shalat orang itu dan tidak mengingkari
penundaan salamnya kepada beliau.
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa orang yang masuk masjid disunat-kan
menyampaikan tiga salam secara berurutan, yaitu salam saat masuk masj
id dengan ucapan, “Bismillah wash-shalatu ala Rasulillah”, kern udian
shalat dua rakaat sebagai tahiyat atau ucapan salam ke masjid, kemudian
mengucapkan salam kepada orang yang ada di dalamnya.
Muslim meriwayatkan, jika beliau pu tang, kepada keluarganya pada malam
hari, maka beliau mengucapkan salam dengan suara pelan, yang tidak
membangunkan orang yang sedang tidur, namun bisa didengar orang yang
masih terjaga.
Disebutkan dalam beberapa riwayat, namun tidak kuat, bahwa salam
diucapkan sebelum berbicara yang lain atau menanyakan sesuatu. Siapa
yang lebih dahulu bertanva sebelum salam, maka pertanyaannya tidak
perlu dija¬wab. Begitu pu la orang yang meminta izin terlebih dahulu
sebelum salam, maka dia tidak perlu diberi izin.
Rasulu I lah Shallallahu A laihi wa Sallam senantiasa mengucapkan salam
kepada orang yang berhadapan dengan beliau, menyampaikan salam kepada
orang lain yang tidak had ir dan juga membalas penyampaian salam kepada
orang yang menyampaikan salam kepada beliau, seperti yang beliau
lakukan dengan menyampaikan salam dari Allah Azzawa Jalla kepada
Kha-dijah binti Khuwail id, istri beliau, sebagaimana yang dikatakan
Jibril kepada beliau, dia Khad ijah yang datang kepadamu sambil membawa
makanan. Maka sampaikan salam kepadanya dari Rahh-nya dan juga dariku,
serta sam¬paikan kabar gem bira kepadanya tentang, sebuah rumah di
surga.” (Diriwa¬yatkan Al-Bukhary).
Beliau jun menyampaikan salam Jibril kepada A isyah, Jibril
menyampaikan salam kepadamu.”
Maka A isy ah berkata, “Salam kepadanya, rahmat Allah dan barakah-Nya. Dia melihat apa yang tidak dapat kulihat.”
Salam beliau selalu diakhiri dengan waharakatuh. An-Nasa’y
meriwa-yatkan, bahwa Lida sescorang menemui beliau serava mengucapkan,
“As-Salamu ‘alaikum”.
Maka beliau menjawab salamnya itu seraya bersabda, “Sepuluh,” Lalu
beliau duduk, dantak lama kemudian datang orang lain dan meng-ucapkan
salam, “A s-Salamu ‘alaikum wa rahmatzillah.
Maka beliau menjawab salamnya itu seraya bersabda, “Dua puluh.”
Beliau duduk dan tak lama kemudian datang orang lain yang meng-ucapkan salam, -As-Salamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.”
Beliau menjawab salam itu seraya bersabda, “Tiga puluh.”
Di antara tuntunan beliau ialah mengucapkan salam hingga tiga kali,
sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhary, dari Anas bin
Malik Radhiyallahu Anhu. dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu
Alaihi
Sallam menyampaikan perkataan, maka beliau biasa mengulangnya tiga kali
hingga perkataan bet iau bisa dipahami. Jika beliau menemui sekumpulan
orang lalu mengucapkan salam kepada mereka, maka beliau mengucapkan¬nya
tiga (Diriwayatkan Al-Bukhary, At-Tirmidzv dan Al-Hakim).
Boleh jadi tuntunan beliau tentang salam ini ditujukan kepada orang
banyak, yang tidak bisa didengar oleh mereka semua jika salam itu di
ucapkar hanya sekali, atau itu merupakan perkiraan dari iau, bahwa
salam yang pertama belum cukup didengar oleh mereka semua, seperti yang
beliau lakukan ketika berkunjung ke rumah Sa’d bin Ubadah, dengan
mengucapkan salam tiga kali. Ketika tak seorang pun menjawab salamnya
setelah meng¬ucapkannya tiga kali, maka beliau kembati. Kalau memang
petunjuk beliau tentang salam ini selalu beliau ucapkan hinggatiga
kali, tentunyapara shaha¬bat juga mengucapkannya tiga kali, atau beliau
mengucapkannya tiga kali kepada siapa pun yang berpapasan dengan
beliau, atau beliau mengucapkan¬nya tiga kali ketika hendak masuk
rumah. Maka siapa yang memperhatikan tuntunan beliau tentang masalah
ini, tentu akan mengetahui bahwa permasa¬lahannya tidaklah seperti itu.
Pengulangan salam yang bet iau lakukan hingga tiga kali itu hanya
sesekali waktu saja.
Beliau selalu mengucapkan salam lebih dahulu kepada orang yang
berpapasan dengan beliau. Jika ada orang mengucapkan salam lebih dahulu
kepada beliau, maka beliau membalasnya seperti salam yang diucapkan
or¬ang itu atau lebih baik dan lebih lengkap, dilakukan seketika tanpa
menun¬danya, kecuali karena ada alasan tertentu, seperti scat shalat
dan buang hajat.
Beliau memperdengarkan balasan salam kepada orang yang mengu-capkan
salam, tidak membalas hanya dengan isyarat Langan, kepada atau jari,
kecuali ketika shalat. Isyarat dalam shalat ini disebutkan di beberapa
hadits dan tidak ada riwayat yang bertentangan dengannya kecuali
riwayat batil dan tidak shahih, seperti hadits yang diriwayatkan Abu
Ghathafan, seseorang yang tidak jelas identitasnya, dari Abu 1
lurairah, dari beliau, “Siapa yang memberi isyarat dalam shalat dengan
suatu isyarat yang bisa dipahami, maka hendaklah dia mengulang lagi
shalatnya.” Yang benar dan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, bahwa beliau memberi isyarat dalam shalat.
Tuntunan beliau bagi orang yang mengucapkan salam terlebih
dahulu ialah dengan ucapan, “As-Salamu ‘alaikum wa rahmatullah.”
Dimakruhkan mengucapkan salam dengan ucapan sebatas Alaikas-salam bagi
orang yang lebih dahulu mengucapkan salam.
Abu Daud meriwayatkan dengan isnad yang shahih, bahwa Abu Jary
Al-Hujaimy berkata, “Aku menemui Nabi Shallallahu Alaihi Iva SalIamlalu
kuucapkan, “Alaikas-salam wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Janganlah engkau ucapkan begitu, karena yang demikian itu ucapan selamat kepada orang yang sudah
Namun beliau membalas salam dengan ucapan, “Wa ‘alaikas-salam”. Dengan tambahan huruf wawu di awalnya.
Lalu bagaimana tuntunan beliau tentang masalah salam terhadap Ahli
Kitab? Ada riwayat shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. bahwa
beliau bersabda,
“Janganlah kalian lebih dahulu mengucapkan salam kepada mereka. Jika
kalian bertemu mereka di jalan, maka paksalah mereka ke jalan yang
paling sempit.”
Tapi ada yang berpendapat, sabda beliau ini berkaitan dengan kejadian
khusus, yaitu tatkala mereka mendatang i Bani Quraizhah. Apakah ini
merupakan hukum secara umum yang berlaku bagi setiap Ahli Kitab,
ataukah itu khusus bagi mereka yang keadaannya seperti Bani Quraizhah?
Memang masalah ini harus ditegaskan. Maka dalam riwayat Muslim
disebutkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Iva Sallam
bersabda,
“Janganlah kalian lebih dahulu mengucapkan salam kepada orang
orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalianbertemu salah seorang di anta
ra mereka di jalan, maka paksalah mereka ke jalan yang paling sem
pit. “
Menurut zhahirnya. hukum ini berlaku secara umum. Namun begitu masih
ada perbedaan di kalangan salaf dan khalaf tentang masalah ini.
Mayoritas di antara mereka berpendapat, memang mereka tidak layak
diberi ucapan salam terlebih dahulu. Sebagian ada yang berpendapat,
boleh lebih dahulu mengucapkan salam kepada mereka. Hal ini
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Umamah dan lbnu Muhairiz, dan ini
juga merupakan salah satu dari pendapat Asy-Syatly. Tapi mereka
menetapkan hanya sebatas ucapan as-salamu `alaika. tanpa kelanjutannya
dan dengan lafazh tunggal, bukan ‘alaikun7yang merupakan lafazh jama-.
Golongan lain ada yang berpendapat, boleh lebih dahulu mengucapkan
salam kepada mereka atas pertimbangan kemaslahatan yang jelas, seperti
karena keperluan kepada mereka, takut dari ancaman mereka, adanya
hubungan kekerabatan atau sebab lain yang memang diperlukan. Pendapat
ini diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’y dan A Iciamah. Sementara
Al-Auza-y berkata, “Jika engkau mengucapkan
salam kepada mereka, maka orang-orang shalih pun
melakukannya, dan j ika engkau tidak mengucapkan salam kepada mereka,
orang-orang shalih pun melakukannya.”
Mereka jugs sating berbeda pendapat tentang membalas salam Ahli Kitab.
Jumhur ulama mewajibkannya, dan ini pendapat yang benar. Ada golongan
yang berpendapat, tidak wajib, sebagaimana tidak wajibnya membalas
salam ahli bid’ah.
Al-Bukhary meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
pernah melewati suatu majlis yang di sana ada orang-orang Muslim,
orang-orang musyrik yang menyembah berhala dan ada juga orang-orang
Yahudi, lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka. Dalam surat yang
kirimkan kepada Heraklius, beliau juga menulis, “Salam kepada orang
yang mengikuti petunjuk.”
Di antara tuntunan beliau ialah membalas salam yang disampaikan kepada
beliau dari orang lain, baik kepada pemberi salam atau yang
menyam¬paikan salam itu, sebagaimana yang disebutkan di dalam As-Sunan,
bahwa ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Ayahku menyampaikan
salam kepada engkau.” Maka beliau menjawab, “Salam atas dirimu dan juga
kepada ayahmu.” (Diriwayatkan Abu Daud. Tapi dalam isnadnya ada yang
majhul).
Lalu bagaimana tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang meminta izin? Diriwayatkan dari beliau, bahwa beliau bersabda,
“Meminta izin itu liga kali, jika engkau di izinkan, danjika tidak tidak,
maka kembalilah. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
“Me minta izin itu ditetapkan karena pandangan. (Ditakhrij Al
Bukhary dan Muslim).
Diriwayatkan bahwa beliau pernah hendak mencongkel mata orang yang
melihat beliau dari celah di bilik beliau. Diriwayatkan bahwa beliau
juga pernah bersabda,
- -
“Sekiranyaada seseorang mengintipmu tanpa meminta izin, lalu eng¬kau
menimpuknya dengan bale hingga mencongkel matanya, maka engkau tidak
berdosa. (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim). Salam diucapkan sebelum
meminta izin. Ada seseorang meminta izin
kepada beliau, seraya bertanya, “Bolehkah aku masuk?”
Bel iau menjawab, “Ucapkan teriebih dahulu, ‘As-Salamu alaikum, bolehkah aku masuk?’”
Orang itu mendengamya, maka dia mengucapkan salam, lalu meminta
izin untuk masuk. Maka orang itu pun masuk setelah beliau mengizinkannya. (Ditakhrij Abu Daud).
Jika orang yang meminta ditanya, “Siapa?” Maka dia harus menjawab
secara jelas, “Fulan bin Fulan”, atau menyebutkan julukannya, dan tidak
bo¬leti menjawab, “Aku.” Jawaban semacam ini juga dilakukan Jibril saat
mi’raj, ketika beliau meminta agar pintu langit dibukakan, dan ditanya,
“Siapa.” Maka Jibril menjawab. “Jibril.” Begitu seterusnya setiap kali
beliau meminta dibukakan di setiap lapisan langit. Begitu pula Jawaban
Abu Bakar, Umar dan Utsman, ketika mereka ditanya, “Siapa?”
Tentang meminta izin yang diperintahkan Allah kepada para budak dan
anak-anak yang belum baligh pada tiga waktu, yaitu pada waktu sebelum
fajar, waktu zhuhur dan saat tidur, maka Ibnu Abbas memerintahkan yang
demikian itu_ seraya berkata, “Pada saat-saat itu manusia sedangtidak
beker¬ja.” Menurut yang lain, bahwa ayat ini terhapus. Tapi dia tidak
mengajukan hujjah yang lain. Ada pula yang berpendapat, itu merupakan
perintah yang bersi fat anjuran dan tuntunan, bukan wajib dan baku.
Tapi dia tidak menga¬jukan dalil yang bisa mengalihkan dari zhahir ayat
ini. Ada pula yang ber¬pendapat, yang diperintahkan seperti itu hanya
berlaku untuk wan ita saja. Bagi orang laki-laki bisa meminta izin
kapan pun yang diperlukan, tanpa kecuali. Pendapat ini jelas batil.
Sebab kata alladzina tidak menunjukkan pengecualian bagi kaum wanita.
Ada pula yang berpendapat kebalikannya, bahwa yang diperintahkan itu
adalah khusus kaum laki-laki, dengan melihat kata alladzina yang
digunakan dalam ayat ini. Tapi makna ayat ini secara keseluruhan tidak
bisa rnenerimanya. Ada pula yang berpendapat, bahwa mem inta izin pada
waktu-waktu itu karena ada keperl uan, lalu dianggap tidak ada.
Sementara hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu alasan, menjadi gugur
jika alasan itu tidak ada.
Abu Daud meriwayatkan di dalam Sunan-nya, bahwa ada beberapa or-ang
dari penduduk Irak yang bertanya kepada Ibnu Abbas. “Wahai Ibnu Abbas,
apa pendapat engkau tentang ayat yang memerintahkan untuk memin¬ta izin
pada tiga waktu itu?”
Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha
Penyayang terhadap orang-orang Mukmin. Dia menyukai tutupan. Sementara
banyak orang yang rurnahnya tidak mempunyai tabir atau pun
penyekat-penyekat. Boleh jadi pembantu masuk, anak atau anak yatim yang
dipelihara. Maka Allah memerintahkan agar mereka meminta izin pada
wak-tu-waktu itu. Maka Allah memberikan tabir dan kebaikan kepada
mereka. Tapi sayang, saya tidak melihat ada orang yang melaksanakannya.”
Yang benar tentang masalah ini, jika di sana ada kondisi yang
membe-rikan indikasi seperti meminta izin. seperti membuka pintu yang
merupakan tanda ada yang masuk atau tanda-tanda lain, maka hal itu
sudah bisa rnewakili
permintaan izin. Jika tidak ada tanda-tanda itu, maka harus tetap meminta izin.
9. Tuntunan Rasulullah tentang Dzikir Saat Bersin Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Jika .salah
seorang di antara kalian bersin dan membaca hamdalah, maka ada hak alas
setiap prang Muslim yang mendengarnya untuk meng¬ucapkan, ‘Semoga Allah
merahmatimu Adapun menguap adalah sebagian dari .syetan. Jika salah
seorang di antara kalian menguap, hendaklah menahannya menurut
kesanggupannya. Sesungguhnyajika salah seorang di antara kalian
menguap, maka syetan tertawa karena¬nya. ” (Diriwayatkan AI-Bukhary).
Bel iau juga bersabda,
“Jika salah seorang di antara kalian bersin lalu
mengucapkan, ‘A 1- hamdulillah maka hendaklah saudaranya atau rekannya
menyahut,•’Yarhamukallah’. Jika dia berkata, ‘Yarhamukallah’, hendaklah
yang bersin menyahut, ‘Yandikurntillah wa yushlihu baluktim
“(Diriwayat¬kan Al-Bukhary).
“Apabila salah seorang di antara kalian bersin lcrlu mengucapkan
hamdalah, maka hendaklah kalian mengucapkan, Tarhamukallah’. Apabila
dia tidak mengucapkannya, maka kalian juga tidak perlu mengucapkannya.”
(Diriwayatkan Muslim).
“Hakorang Muslim atas orang Muslim lainnya ada enam: Jika engkau
hertemu dengannya, maka ucapkanlah salam. Jika dia mengundang
mu, maka penuhilah. Jika dia meminta nasihat kepadamu, maka beri
lah dia nasihat. Jika dia bersin dan memuji Allah, maka ucapkanlah
`Yarhamtikallah’. Jika dia sakit, maka jenguklah. Jika dia meninggal
dunia, maka iringilah,” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
Karena orang yang bersin telah mendapatkan nikmat dan manfaat dari
bersinnya itu, yang ditandai dengan keluarnya uap yang mengendap di
dalam selapot otaknya, yang andaikan uap itu tetap berada di sana bisa
mendatang-kan penyakit yang berat, maka dia diperintahkan untuk memuji
Allah atas nikmat ini, sehingga badannya dalam keadaan yang stabil,
setelah is tergun¬cang seperti bumi yang sedang mengalami gempa, karena
memang bersin menciptakan gerakan dan guncangan di badan. Ada yang
mengatakan, bersin ini merupakan tindakan untuk membuat syetan merasa
kecewa. karena orang yang bersin membuat syetan marah setelah dia
mengucapkan hamdalah, sebagai ungkapan atas nikmat Allah dan kecintaan
Allah kepadanya. Sebab Allah juga menc intainya. Jika hamba menyebut
asma Allah dan memuj i-Nya, maka yang dem ikian itu mengecewakan
syetan. Bersin itu merupakan sesuatu yang disukai Allah, yang disertai
dengan ucapan hamdalah, doa bagi orang Muslim agar dikaruniai rahmat,
mendapat petunjukdan keadaannya dibagus¬kan. Semua ini membuat syetan
marah dan sedih.
Di antara tuntunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saat
ber-sin, sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzy, dari
Abu Hurairah,-dia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersin, maka beliau meletakkan tangan atau kainnya di mu lut,
menekur atau mena-han
Diriwayatkan dari beliau, bahwa bersin dengan suara yang keras atau
menguap lebar-lebar termasuk perbuatan syetan. Allah tidak menyukai
suara yang keras saat menguap dan bersin.
Ada riwayat yang shahih dari beliau, bahwa ada seseorang yang bersin di
dekat beliau. Maka beliau mengucapkan, “Yarhamukallah.- Kemudian orang
itu bersin lagi. Maka beliau bersabda, “Orang ini terserang selesma.”
Da lam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari Salamah bin A l-Akwa’, dia
berkata, -Ada seseorang yang bersin di dekat Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam, dan aku menyaksikannya. Maka beliau mengucapkan,
Yarhamukallah’. Kemudian orang itu bersin lagi kedua lalu ketiga. Maka
beliau bersabda, “Orang ini terkena selesma.”
Diriwayatkan dengan isnad hasan, dari Abu Hurairah, dan dia
memar-fu’kannya, bahwa jika salah seorang bersin, maka hendaklah teman
di dekatnya mengucapkan.”Yarhannukallah”. Jika lebih dari tiga kali,
maka itu
pertanda selesma. Maka setelah yang ketiga kali itu tidak perlu mengucapkan ‘Yarhamukallah’.
Boleh jadi ada yang berkata, “Kalau memang itu merupakan tanda selesma,
tentunya dia lebih layak untuk didoakan daripada orang yang tidak akan
terkena selesma.” Hal ini dapat dijawab sebagai berikut: Dia didoakan
layaknya doa untuk orang yang sakit, bukan sebagai orang yang sedang
bersin.
Bersin merupakan nikmat Allah dan Allah menyukainya, karena bersin
membuat badan terasa ringan dan uap yang mengendap bisa keluar. Sabda
beliau, “Orang ini terkena selesma”, merupakan peringatan bahwa dia
layak didoakan dan dimintakan afiat, karena selesma termasuk penyakit.
Ada perbedaan pendapat dalam dua masalah sehubungan dengan ber¬sin ini.
Pertama, jika orang yang bersin mengucapkan hamdalah, lalu sebagi¬an
ada yang mendengar bacaannya dan sebagian lain tidak bisa
mendengar¬nya. Apakah bagi orang yang tidak mendengar ucapan
hamdalahnya juga disunatkan untuk mengucapkanyarhamukallah? Ada dua
pendapat tentang masalah ini. Tapi yang pasti dia harus mengucapkan
yarhamukallahjika dia merasa yakin bahwa yang bersin itu mengucapkan
hamdalah, sekalipun dia tidak mendengarnya secara langsung, sebagaimana
orang tuli yang juga harus berbuat hal yang sama selagi dia melihat
gerak bibir orang yang bersin, bahwa dia mengucapkan hamdalah.
Kedua, jika orang yang bersin tidak mengucapkan hamdalah, apakah orang
yang ada di dekatny a harus mengingatkannya ataukah tidak? Ibnul-Araby
berpendapat, orang yang di sampingnya tidak perlu mengingatkannya.
Sementara Ibrahim An-Nakha’y berpendapat sebaliknya, yaitu perlu
meng-ingatkannya untuk mengucapkan hamdalah. Sebab hal ini termasuk
amar ma ‘ref dan nasi hat-menasi hati. Zhahir As-Sunnah lebih
menguatkan penda¬pat I bnul-A ra by. Sebab Nabi Shallallahu A laihi wa
Sallam tidak mem ba las orang yang tidak mengucapkan hamdalah saat
bersin dan tidak pula meng¬ingatkannya, sebagai peringatan baginya
bahwa dia tidak mendapatkan ba¬rakah hamdalah. Karena dia lalai
terhadap Allah, maka Allah pun menahan Iidah dan hati orang-orang
Mukmin untuk tidak mendoakannya. Sekiranya mengingatkan hal itu
merupakan Sunnah, tentunya beliau akan melakukan¬nya.
Ada riwayat yang shahih dari beliau, bahwa orang-orang Yahudi per¬nah
hers in sama-sama di dekat beliau, dengan harapan beliau akan
meng¬ucapkan yarhamukumullah. Tapi ternyata beliau mengucapkan, ”
Yandiku¬mullah wa yushlihu balakum”.
10. Dzikir dan Adah Perjalanan
Ada riwayat shahih dari Rasta lul lah Shallallahu Alaihi wa Seam, bah-wa beliau bersabda,
salah seorang di antara kalian menginginkan suatu urusan,
maka hendakluh dia shalat dun rakaat selain yangfardhu, kemudian
mengucapkan, Ta Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang baik
dengan ilmu-Mu, aku memohon ketetapan kepada-Mu dengan takdir-Mu, aku
memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung, karena sesungguhnya
Engkau kuasa dan aku tidak kuasa, engkau mengetahui dan aku tidak
mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui yang gaib. Ya Allah, sekiranya
Engkau inengetahui bahwa urusan ini (menyebutkan apa yang diinginkan)
baik bagiku dalam agamaku dan kehidupanku, duniaku dan akhiratku, maka
tetapkanlah is bagiku, mudahkanlah is bagiku dan berkahilah in bagiku
di dalamnya. Dan, sekiranya Engkau mengetahui is buruk bagiku dalam
agamaku dan kehidupanku, duniaku dan akhiratku, maka jauhkanlah is
dariku. Tetapkanlah kebaikan bagiku apa pun jadinya, kemudian buatlah
aku ridha kepadanya’.” (Diriwayatkan Al-13ukhary).
Rasulullah Shallallahu Alaihi waSallam mengganti kebiasaan Jahili¬y an
yang, melepaskan burung atau membuat undian dengan anak panah atau
undian macam apa pun, dengan doa yang mulia in i. Orang-orang Jahiliyah
yang musyrik biasa membuat undian itu, yang maksudnya untuk mengetahui
dan menetapkan apa yang beim diketahui, yang disc but istig,sam
(penetapan keputusan dengan undian). Sementara doa ini mencerminkan
tauhid, kebutuhan. ubud iyah, tawakal dan permohonan kepada Dzat yang
di Tangan-Nya terdapat sennua kebaikan, yang apa pun bentuk kebaikan
pasti datang dari-Nya dan apa pun keburukan yang disingkirkan, atas
perbuatan-Nya. Sehiruzga jika Dia membukakan rahmat bagi seorang hamba,
tiada seorang
pun yang bisa menahannya, dan jika Dia menahan rahmat dari
seorang ham-ha, tiada seorang pun yang bisa memberikannya, entah dengan
kekuatan man¬tera maupun ilmu nujum. Doa ini mengandung pengakuan
terhadap eksistensi Allah, pengakuan terhadap kesempurnaan sifat, ilmu,
kehendak dan kekuasa¬an-Nya, pengakuan terhadap Rububiyah-Nya,
penyerahan urusan kepada¬Nya, permohonan pertolongan dan tawakal
kepada-Nya, pengakuan hamba terhadap kelernahan dirinya,
ketidaktahuannyatentang kemaslahatan dirinya, kekuasaan dan
kehendaknya, yang semua itu ada di Tangan Allah yang menciptakan dan
melindunginya.
Maka ketika seseorang hendak mengadakan perjalanan, dia akan me-m inta
petunjuk kepada Allah dengan doa istikharah ini, tidak melakukan
seperti yang dilakukan orang-orangJahiliyah, dengan membuat undian atau
ramalan dari tengara-tengara alam di sekitarnya.
Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menunggang hewan
tunggangannya, maka beliau bertakbir tiga kali, kemudian mengucapkan,
“Mahasuci Dzat yang telah me nundukkan semua ini bagi kami, pada¬hal
kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan
kembali kepada Rabb kami,
Kemudian beliau mengucapkan,
a ; ftio
L-; LLA C “-13L-”
-4 V
_lc
7
7 11′ A
u JP:LI g
. ,4T5′ Ls:9_
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohan kepada-Mu claimm perjalan¬an kami
ini kebajikan dan takwa serta amal yang Engkau ridhai. Ya Allah,
mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah kepada kami yang jauh. Ya
Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan peng¬ganti di tengah
keluarga. Ya Allah, tenianilah /canal dalam perjalan¬an kami dan
jadikanlah pengganti bagi kami di tengah keluarga ka
mi. 31
Jika sudah kembali,beliau mengucapkan doa ini pula lalu menambahi
nya,
“Komi dalam keadaan kembali, bertaubat dan beribadah kepada Rabb kami serta memuji.” (Ditakhrij Muslim).
Di dalam Shahih Muslim disebutkan, bahwa jika beliau hendak beper-gian, maka beliau mengucapkan,
- 1-;:c.-
„,SI -t;
-
/ 0 / 0 0
Szti j .1,1,-; .1 11 • „4_,
• ,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan dalam perjalan¬an,
kesedihan saat kembali, dart kebingungan setelah berkumpul, dari doa
orangyangdizhalimi, dari keburukan pemandangan. baik dalam keluarga
maupun harta. “
Apabi la beliau hendak berpisah dengan para shahabat, maka beliau bersabda kepada salah seorang di antara mereka,
“Aku titipkan agamamu, amanatmu dan kesudahan amalmu kepada Allah. (Diriwayatkan At-Tirmidzy).
Ada seseorang menemui beliau seraya bersabda, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku hendak mengadakan perjalanan. Maka berilah aku bekal.”
Beliau bersabda, “Allah memberimu bekal takwa.”
“Tambahi lagi!” kata orang itu.
mengampuni dosamu,” sabda beliau.
“Tambahi lagi!” kata orang itu.
Beliau bersabda, “Allah memudahkan kebaikan bagimu di mana pun engkau berada.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Al-Hakim).
ika Rasulullah Shallallahu A laihi wa Sallam dan para shahabat mela-!ui
jaian yang menanjak, maka mereka bertakbir. dan jika mereka melalui
jalan yang menurun, maka mereka bertasbih.
Beliau memakruhkan seorang musafir berjalan sendirian pada waktu rnalam. seraya bersabda,
“Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada di batik kesendirian
nva, tentulah seseorang tidak akan melakukan perjalanan sendirian
pada malam hari. “(D itakhrij A l-B ukhary, At-Tirmidzy dan Ad-Dari my).
Bahkan beliau memakruhkan perjalanan sendirian tanpa seorang teman pun yang menyertainya. Beliau bersabda,
-Sesungguhnya satu orang itu ada sate syetan, dua ()rang ada dua syetan
dun tiga orang merupakan rombongan. (Diriwayatkan At¬Tirnn idzy dan Abu
Daud).
Beliau bersabda tentang adab saat singgah,
4 0 4 j,2_,i3 j_; r_)1
o soo ,
4′49 (47-
“Jika salah seorang di antara kalian singgah di suatu tempat
persing¬gahan, hendaklah dia mengucapkan, Aku berlindungdengan
kalimat¬kalimat Allah yang sempurna, dari keburukan yang
diciptakan-Nya’, maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya,
hingga dia me¬ninggalkan tempat persinggahan itu.”(Diriwayatkan Muslim
dan Abu Daud).
Tuntunan beliau yang lain dalam perjalanan,
„
a 1 a
0 0
1_,12cu r;1
ft– ;fit
.S51.! r1_41; cs,t;
Vika kalian melakukan perjalanan di daerah yang subur, maka be-rikanl
ah bagian onta dari daerah itu, dan jika kalian melakukan perjalanan di
daerah yang tandus, maka percepatlah jalannya, dan jika kalian singgah
untuk istiruhat sebentar pada malam hari, jauhilah jalan, karena itu
juga jalannya hewan dan tempat kembalinya ular pada malam hari.
(Ditakhrij Muslim).
Rasulullah Shallallahu A laihi wa Sallam melarang perjalanan ke negeri
musuh sambil membawa Al-Qur’an, karena dikhawatirkan akan jatuh ke
tangan musuh. Beliau juga mclarang kaum wanita bcpergian tanpa disertai
mahrarn, walaupun sebagai duta. Beliau juga melarang seseorang
mcndatangi keluarganya pada ma’am hari jika kepergiannya cukup lama.
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa beliau tidak pernah menemui
keluarganya pada malam hari lalu masuk ke rumah mereka, baik
kepergiannya pada pagi atau petang hari. Setiap kali beliau tiba dari
bepergian, maka yang pertama kali menyambut kedatangan beliau adalah
anak-anak. Beliau juga biasa rnemeluk clan merangkul seseorang dari
keluarga atau kerabat yang baru tiba dari perjalanan.
11. Dzikir pada Saat Pernikahan
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam pernah mengajarkan khutbah dalam perhelatan kepada para shahabat,
“Sesungguhnya pa jinn itu bagi Allah. Kami memuji-Nya. memohon
pertolongan dan maghfirah kepada-Nya. Kami berlindung kepada
Allah dari kejahatan diri kami dan dari keburukan amal kami.
Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada seorang pun yang
dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah, tiada seorang
pun yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah
se-lain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang tiada sekutu
bagi¬Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul¬Nya. “
Kemudian beliau membaca tiga ayat berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali ka¬lian
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. ” (Ali lmran: 102). “Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan
kalian dari diri yang satu, dan daripadanya Allah men¬ciptakan
istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
wanita yang banyak. Dan, bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawa.si kalian.” (An-Nisa.: 1).
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagi kalian
arnal-amal kalian dan mengampuni bagi dosa-dosa kalian. Dan,
barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesung¬guhnya is telah
mendapat kemenangan yang besar. (Al-Ahzab: 70¬71).
Syu’bah berkata, “Aku bertanya kepada Abu !shag, ‘Apakah hal ini
berlaku untuk khutbah nikah atau juga untuk lainnya?- Dia menjawab.
“Untuk semua keperluan.”
Bel iau pernah mengucapkan kepada orang yang menikah,
1 „1-4.1
J
Sernoga Allah memberkahi bagimu, memberkahi atas kami dan me-ngumpulkan
kalian berdua dalam kebaikan.” (Ditakhrij Abu Daud. Ibnu Majah, Ahmad
dan At-Tirmidzy).
Tuntunan beliau bagi suami istri yang hendak berjima’.
, ‘-• ,
,
‘,DO,: %Si L;;- Jt_i
„.,
“Jika salahseorang di antara kalian hendak berkumpul dengan
istri¬nya, seraya berkata, `Dengan asma Allah, ya Allah, jauhkanlah
kami dari syetan dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau anugerahkan
kepada kami’, makajika ditakdirkan anak di antara keduanya dalam Jima’
itu, maka sekali-kali syetan tak bisa mendatangkan mudharat kepadanya.”
(Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
12. Dzikir Saat Melihat Orang Yang Mendapat Bala’
Disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
0 4.,
LD-4-A L5`”
4 4)
us
“Tidaklah seseorangmelihat orang yang mendapat bala lalu meng-ucapkan,
‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan afiat kepada¬ku clan apa
yang Engkau timpakan kepadanya dan yang telah melebih¬kan aku atas
sekian banyak orang yang diciptakan-Nya dengan suatu kelebihan’,
melainkan dia tidak akan tertimpa bala ‘ itu, apa pun wu¬judnya. ”
(Ditakhrij At-Tirmidzy dan Ibnu Majah).
13. Dzikir Ketika Bermimpi Buruk
Disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
- „
J..”,,JL,,2.1l vjjil
•* 4. 0
U 31)’51 Lys-
-1
o s A* * A -5′ a. 6
-• a * fi 1!,
Ct LC1 L; 4– 4) ox;2;
) • • -
“Mimpi yang baik itu dari Allah dan mimpi-mimpi ,selainnya dari syetan.
Barangsiapa bermimpi sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah dia
meludah ke arah kirinya tiga kali, dan hendaklah berlindung kepada
Allah dari syetan, karena yang demikian itu tidak akan me
mbahayakannya, dan hendaknya dia tidak mengabarkan mimpinya itu kepada
seorang pun. Jika dia bermimpi yang balk, maka hendaklah dia bergembira
dan tidak mengabarkannya kecuali kepada orang yang clistikainya. ”
(Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
B-Xul Pe/yWobww 159
Beliau juga memerintahkan orang yang berm impi buruk untuk
meru¬bah posisi tidurnya dan memerintahkannya untuk shalat. Jadi
kaitannya dengan mimpi buruk ini beliau memerintahkan lima perkara:
- Meludah ke samping kirr)
- Berl indung kepada Allah dari syetan atau membaca ta’awudz
- Tidak mengabarkannya kepada siapa pun
- Merubah posisi tidur
- Bangkit dan mendirikan shalat.
Jika Umar bin Al-Khathathab hendak diberitahu suatu mimpi, maka dia
berkata, “Ya Allah, jika itu mimpi balk, maka is adalah bagi kami, dan
jika mimpi buruk, maka itu bagi musuh kami.”
14. Dzikir Saat Dirasuki Bisikan Syetan
Diriwayatkan dari lbnu Mas’ud, dia memarfu’kannya,
411j . (2.-43 jt)”_ .’1•6 ca A1 ….(%SC 341 -1:1/.11aB J4
.0 a a
L
— ” — .=3tJ .-La3
,..7.1 30, 11..„1 4 (6_.-A ; 4′ 4
4
./ • Le J
1) a
c a a
j.:1: Ci4 4-11 c):-;a
o•.• o „ 3
o
• „j Lle
“Sesungguhnya malaikat yang diwakilkan mempunyai bisikan di hati
oranganakAdam, dan syetan juga mempunyai bisikan. Bisikan malai¬kat
ialahmeinhawanya kepada kebaikan, pembenaran kebenaran dan harapan
untuk kebaikan pahalanya. Sedangkan bisikan syetan ialah inembawanya
kepada keburukan, pendustaan kebenaran dan mence¬gah dari kebaikan.
Jika kalian mendapatkan bisikan malaikat, maka pujilah Allah dan
mohonlah kepada-Nya dari karunia-Nya, dan jika kalian mendapatkan
bisikan syetan, maka berlindunglah kepada Allah dan mohonlah ampunan
kepada-Nya. ” (Diriwayatkan Ath¬Thabrany).
Utsman bin Abul-Ash pernah berkata. “Wahai Rasulullah, sesungguh-nya
syetan telah menjadi penghalang antara dirinya dan shalatku serta
ba-caanku.”
Beliau bersabda, “ltu adalah ulah syetan yang disebut Khinzab. Jika
engkau merasakannya, maka berlindunglah kepada Allah darinya dan me
lu-dahlah ke samping kirimu tiga kali.” (Ditakhrij Muslim).
” Meludah sekedarnya saja dennan menvemburkan sedikit ludah. tidak dengan Judah yang banyak.
Di antara shahabat ada yang mengadu kepada beliau, bahwa dia
mera-sakan suatu bisikan di dalam j iwanya, sehingga dia merasa lebih
baik menjadi abu daripada menceritakan apa yang ada di dalam jiwanya
itu. Maka beliau bersabda, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, segala puji
bagi Allah yang telah menolak tipu Jaya syetan hingga menjadi bisikan.”
(Ditakhrij Ahmad dan Abu Daud).
Beliau memberi petunjuk kepada orang yang dirasuki bisikan tentang
pencipta, yaitu saat dikatakan kepadanya, “Ini adalah Allah yang
mencipta¬kan makhluk. Lalu siapakah yang menciptakan Petunjuk beliau,
agar orang itu membaca ayat,
s s
J-”L`4- J-1
it
“Dialah YangAwal, Yang Akhir, Yang Zhahir, Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadid: 3).
Abu Zumail Sammak bin Al-Walid Al-Hanafy pernah bertanya kepada Ibnu
Abbas, “Apa sebenarnya yang kurasakan di dalam dadaku ini?” “Memangnya
apa?” tanya lbnu Abbas.
“Demi Allah aku tidak akan mengungkapkannya,” kata Abu Zumail “Apakah
semacam keragu-raguan?” tanya Ibnu Abbas. “Begitulah,” jawab Abu Zumail.
Ibnu Abbas berkata, “Tak seorang pun yang terbebas dari perasaan itu,
sehingga Allah menurunkan ayat, ‘Makajika kamu (Muhammad) berada dalam
keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah
kepada orang-orang yang membaca kitah sebelum kamu’,” (Yunus: 94).
Kemudian Ibnu Abbas berkata, “Apabila engkau merasakan sesuatu di dalam
hatimu, maka bacalah ayat, ‘Dialah YangAwal, Yang Akhir, Yang Zhahir,
Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu’.” (Ditakhri j Abu
Daud).
Beliau menunjukkan ay at ini untuk menggugurkan segala kaitan bati I,
dengan menggugah peranan akal. Beliau juga mengabarkan bahwa kaitan
semua makhluk pada permulaannya akan berhenti kepada Dzat Yang Awal,
yang tiada sesuatu pun sebelum-Nya, sebagaimana akhir semua makhluk
yang berhenti kepada Dzat Yang Akhir, yang tiada sesuatu pun
sesudah-Nya, sebagaimana zhahir-Nya yang paling tinggi, dan tiada
sesuatu pun yang lebih tinggi dari-Nya, begitu pu la batin-Nya yang
meliputi segala sesuatu. dan tidak Lida sesuatu pun yang menyamai-Nya.
Segala urusan akan berakhir kepada Khalif./ dan bukan makhluk. y
ani2tidak mem butuhkan selain-Nya dan segala sesuatu membutulikan-Nya.
Syetan itu ada dua macam: Syetan yang dapar sye,’,an yang
berupa manusia, dan syetan yang tidak dapat dilihat, yaitu syetan yang
berupa jin. Allah tnemerintahkan Nabi-Nya agar berlindung dari
kejahatan syetan yang berupa manusia, dengan cara berpaling darinya,
rnemaafkan dan meno¬lak dengan cara yang paling balk. Be liau juga
diperintahkan agar berlindung dad syetan yang berupa jin, dengan cara
berlindung kepada Allah darinya.
15. Dzikir Saat Kemarahan Memuncak dan Apa Yang Hams Dilakukan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar mema-damkan
bara kemarahan dengan wudhu’, duduk jika sebelumnya herd iri. teientang
jika sebelumnya duduk, dan berlindung kepada Allah dari syetan yang
terkutuk.
Karena amarah dan syahwat merupakan dua jems bara dari neraka yang ada
didalam hati anak Adam, maka beliau mernerintalikannya eara
pema-damannya dengan wudhu, shalat dan berlindung kepada Allah dad
syetan yang terkutuk, seperti airman Allah,
“Mengapa kalian suruh ()rang lain (mengerlakant ke bat. ikan, seciang kalian merupakan dirt sendiri? ” (Al-Bagarah: 44).
Yang dem ikian ini terjadi karena besarnya syahwat. Maka Allah me¬rneri
ntahkan untuk memadamkan barany a dengan eara memohon dengan sabar dan
mengerjakan shalat. memohon perlindungan dad syetan saat is mem bi
sikkan. Karena semua kedurhakaan bermula dari kemarahan dan syahwat,
semenlara puncak dad arnarah adalah pembunuhan dan puncak dari syahwat
adalah zina. maka Allah menghimpun pembunuhan dan zina dan menjadikan
keduanya sebagai pasangan dalam surat Al-An’ am, Al-Isra’, Al¬Furcian
dan Al-Mumtahanah. Artinya, Allah menuntun hamba-Nya kepada sesuatu
yang dapat rnenoiak keburukan dua kekuatan in i, berupa shalat dan
memohon perlindungan kepada-Nya.
16. Dzikir/doa Saat Melihat Sesuatu Yang Disukai dan Dibenci Jika
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat sesuatu yang disukai,
maka beliau mengucapkan,
fiLh3S 0
“Segala pup bagi Allah, yang dengan nikmat-11″ya hal-hal yang balk menjadi sempurna.”
Sebaliknya, jika melihat sesuatu yang dibenci, maka beliau meng¬ucapkan,
:;s
“Segala puji bagi Allah atas segala keadaan.” (Ditakhrij Ibnu Ma-jah).’)
17. Mendoakan Orang Yang Berbuat Balk
Apabila ada seseorang menyodorkan sesuatu yang beliau senangi atau yang
sesuai dengan keinginan beliau, maka beliau mendoakannya. Ketika Ibnu
Abbas meletakkan air wudhu’ bagi beliau, maka beliau bersabda, “Ya
Allah, berilah dia pemahaman dalam agama dan ajarilah diata’wil.”
(Diriwa
~atkan Al-Bukhary dan Muslim).
Ketika Abu Qatadab menopang badan beliau yang miring ketika bera¬da di
atas punggung hewannya pada suatu malam saat melakukan perjalanan. maka
beliau bersabda, “Semoga Allah menjaga dirimu sebagaimana engkau telah
menjaga Nabi-Nya.” (Ditakhrij Muslim).
Beliau juga bersabda,
0. ” ••• • -
131_, 4_114 Ja9 J.?
“Barangsiapa mendapatkan hal yang ma ‘ruf, lalu dia berkata kepada
pelakunya, `Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan’, maka dia layak
mendapat pujian.” (Diriwayatkan At-Tirmidzy).
18. Dzikir Saat Melunasi Hutang
Suatu kali Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meminjam harta
kepada Abdullah bin Abu Rabi’ah. Ketika melunasi pinjamannya itu beliau
bersabda,
;15,- L,L,Ctf
“Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu.
Sesungguhnya balasan pinjaman adalah pujian dan pelunasan.”
(Diriwayatkan An-Nasa’y dan Ibnu Majah).
Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima suatu hadiah atau
pun pemberian, lalu beliau menerimanya. maka beliau membalas pem-berian
itu dengan pemberian yang lebih baik atau lebih banyak. Jika
menolak-nya, maka beliau memberikan alasan kepada orang yang
memberinya, seperti yang beliau katakan kepada Sha’b bin Jatsamah,
ketika dia memberikan daging hasii buruan, “Sesungguhnya kami tidak
bermaksud menolak
Di dalam isnadnya ada yang dha.if Tapi ada yang diriwayatkannva dari
jalan lain. yang di daiamnya juga ada yang dha’ir. sehingga keduanya
saline meriguatican.
pemberianmu. Hanya saja kami sedang dalam keadaan ihram.” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
19. Dzikir Saat Mendengar Suara Hewan
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam memerintahkan umatnya un¬tuk
berlindung kepada Allah dari syetan yang terkutuk, saat mendengar
ringkikan keledai. Dan j ika mendengar suara kokok ayam, hendaknya
mereka memohon karunia Allah. Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhary dan
Muslim.
20. Dzikir Saat di Majlis dan Saat Meninggalkannya
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam tidak menyukai orang-orang yang
ada dalam suatu majlis, namun mereka tidak berdzikir kepada Allah.
l3eliau bersabda.
“Tidaklah segolongan orang bangkit dari suatu majlis tanpa menyebut
asma Allah di dalamnya, melainkan mereka seperti bangkit mening¬galkan
bangkai keledai.” (Ditakhrij Abu Daud dan Ahmad).
“Barangsiapa duduk di suatu tempat duduk tanpa menyebuat
asma Allah, maka dia akan menanggung kesedihan saat menghadap Allah,
dan barangsiapa tidur di suatu tempat tidur tanpa menyebut asma
maka dia akan menanggung kesedihan scat menghadap Allah. (Ditakhrij Abu Daud).
:2 LS1 d ;citiA
.1tA43 L„.5: ai a43:1
Barangsiapa duduk di suatu majlis_ ang di dalamnya banyak kega¬duhan,
lalu sebelum meninggalkannya dia mengucapkan, Mahasuei Allah ya Allah
dan dengan puji-Mu aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Engkau, aku
memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertau¬bat kepada-Mu melainkan
dosanya di dalam majlis itu diampuni.
(Ditakhrij At-Tirmidzy, Abu Daud dan Al-Hakim).
Di dalam Sunan Abu Daud dan Mustadrak Al-Hakim disebutkan, bahwa
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam mengucapkan dzikir itu jika
hendak bangkit dari suatu majlis. Lalu ada seseorang yang bertanya
kepada be liau, “Wahai Rasulullah, engkau mengucapkan suatu perkataan,
yang tak
pernah engkau ucapkan sebelumnya.” Beliau menjawab, “Itu adalah penebus doss dalam majlis itu.”
Kebalikan dari dzikir yang diperintahkan dan disenangi untuk diucap¬kan
ini, maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membenci beberapa
perka¬taan untuk diucapkan, dan bahkan sebagian di antaranya ada yang
dilarang, sebagaimana yang sudah disebutkan di bagian terdahulu,
seperti penyebutan potion anggur dengan al-karam, atau seperti
perkataan seseorang, “Kha-butsat nafsi”, tetapi seharusnya dia
mengatakan, “Laqisat nafsi”, meski pun maknanya tidak jauh berbeda,
yaitu alangkah buruknya dirinya. Perkataan selain itu yang tidak
disukai beliau adalah:
Beliau tidak suka seseorang berkata, “Manusia telah rusak.” Beliau
ber¬sabda, “J ika dia berkata seperti itu, berarti dialah orang yang
paling rusak di antara mereka.”
- Beliau melarang perkataan, “Menurut kehendak Allah dan kehendak
Fulan”. Tetapi boleh dikatakan, “Menurut kehendak Allah, kemudian
kehendak Fulan.” Ketika ada seseorang berkata kepada beliau, “Menurut
kehendak Allah dan kehendak engkau”, beliau menyahut, “Apakah eng¬kau
ingin menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Tapi katakanlah,
Menurut kehendak Allah semata*.” (Diriwayatkan Ahmad, Ahmad dan Abu
Daud).
- Tidak boleh dikatakan, “Hujan turun kepada kami berkat bintang in i
dan itu.” Tapi hams dikatakan, “Hujan turun kepada kami berkat karunia
Allah dan rahmat-Nya.” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
- Bersumpah dengan se lain Allah. Disebutkan dalam riwayat yang shahih
dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda, “Siapa
yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah syirik.”
(Diriwayat¬kan Ahmad, At-Tirmidzy dan Al-Hakim).
- Berkata dalam sumpahnya, “Dia adalah orang Yahudi, atau Nasrani atau
kafir sekiranya dia berbuat seperti itu.” (Diriwayatkan Abu Daud dan
Ibnu Majah)
Berkata kepada sesama Muslim, “Hai orang kafir.” (Ditakhrij Al-Bukhary dan Muslim).
- Berkata kepada sultan atau pemimpin, “Wahai raja segala raja.” Atau ber¬kata kepada hakim, “Wahai hakim segala hakim.”
- Tuan berkata kepada budaknya, “Hai hambaku.”
- Mencaci angin yang berhembus. Yang benar adalah memohon kebaikan
angin itu kepada Allah dan kebaikan yang dihembuskannya, berlindung
dari keburukannya dan keburukan yang dihembuskannya. (Ditakhrij
At-Tirmidzy, Ahmad dan Abu Daud).
- Mencaci sakit demam, karena sakit demam itu bisa menghapuskan
kesa!ahan-kesalahan Bani Adam, sebagaimana tungku api yang nnenghi
langkan karat besi. (Diriwayatkan Muslim).
- Mencaci ayam jantan, karena ayam jantan itu bisa membangunkan manu¬sia untuk shalat. (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud).
Memanggil dengan panggilan ala Jahiliyah, mengucapkan bela sungkawa
seperti kebiasaan mereka, mengajak kepada fanatisme kabilah, golongan
dan keturunan. Yang semisal dengan hal ini ialah mengajak kepada
fa-natisme madzhab dan syaikh, mengunggulkan sebagian di atas sebagian
yang lain, memusuhi orang lain yang tidak sepaham.
Menamakan isya’ dengan sebutan atamah, kecuali hanya sesekali waktu
saja, selagi tidak menggeser penggunaan istilah isya- itu sendiri.
(Ditakhrij Muslim).
- Mengejek dan mencaci orang Muslim. (Ditakhrij Al-Bukhary).
Berbisik-bisik berdua saja, padahal ada orang ketiga. (Ditakhrij
Al-13u¬khary dan Muslim).
- Wanita tidak boleh menceritakan sisi-sisi keindahan wanita lain kepada suaminya. (Ditakhrij Al-Bukhary).
- Berdoa dengan ucapan, “Ya Allah, apunilah dosaku kalau memang Eng¬kau
menghendakinya, rahmatilah aku kalau memang Engkau menghen¬dakinya.”
(Ditakhrij Muslim).
- Terlalu sering bersumpah. (Ditakhrij Muslim).
- Menamakan Madinah dengan Yatsrib. (Ditakhrij Al-Bukhary).
- Bertanya kepada seseorang, apa alasannya dia memukul istrinya, kecuali untuk keperluan yang penting.
Perkataan, “Aku puasa Ramadhan seluruhnya dan aku bangun malam seluruhnya.” (Diriwayatkan Abu Daud).
- Membuat julukan yang buruk untuk nama yang sudah jelas.
- Perkataan, “Semoga Allah memanjangkan kekekalanmu, mengabadikan hari-harimu dan engkau bisa hidup seribu tahun lagi.”
- Berkata saat mengeluarkan infak dalam ketaatan kepada Allah, “Aku rugi sekian dan sekian.”
Perkataan mufti, “Allah menghalalkan yang ini dan mengharamkan yang
itu”, dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Yang boleh dikatakan seperti
itu hanya yang telah ditetapkan nash.
Menamakan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai lafazh zhahir
atau kiasan, karena yang demikian ini bisa mengurangi kesuciannya dari
hati manusia, apalagi jika disertai dengan istilah-istilah yang dibuat
para filosof dan teolog.
- Seseorang menceritakan jima’nya dengan istrinya atau apa yang dia lakukan dengan istrinya.
Sebutan -Khalifatullah- atau “Na’ibullah-b bagi pemimpin.
http://kampungsunnah.wordpress.com