BUKU
KETIGA
JIHAD DAN PEPERANGAN
Mengingat jihad merupakan puncak tataran Islam dan para pelakunya akan
menempati tingkatan yang paling tinggi di surga, sebagaimana mereka
juga mendapatkan derajat yang mulia di dunia, maka tidak mengherankan
jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling
tinggi kedudukannya dalam masalah jihad ini dan sekaligus menguasai
segala seluk beluknya. Beliau berjihad karena Allah dengan sepenuh
hati, jiwa dan raga, dengan pedang dan tombak, dengan dakwah dan
keterangan. Seluruh waktu-nya tercurah untuk jihad. Karena itu beliau
mendapatkan kedudukan yang paling tinggi di sisi Allah dan paling
banyak diingat manusia dalam masalah ini. Allah memerintahkan agar
beliau berjihad semenjak diutus sebagai rasul,
“Makajanganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang benar.” (Al
Furgan: 53).
Ini adalah surat Makkiyah, agar beliau berjihad dengan keterangan,
sebagaimana beliau juga diperintahkan untuk berjihad menghadapi
orang¬orang munafik dengan hujjah, yang justru lebih sulit daripada
menghadapi orang-orang kafir, karena hal ini jihad yang ditujukan
kepada sekelompok orang tertentu, yang juga harus dilakukan para
penerus rasul dan para pendu-kungnya. Sekalipun yang berjihad ini hanya
sedikit, tapi kedudukan mereka tinggi di sisi Allah.
Karena jihad yang paling mulia adalah perkataan yang benar, apalagi
jika disertai dengan munculnya penentangan yang keras, seperti berkata
di hadapan orang yang ditakutkan kekejamannya. maka para rasul
mendapatkan kedudukan yang paling mulia dalam hal ini, dan yang paling
mulia serta paling sempurna dari semuanya adalah Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Berjihad menghadapi musuh-musuh Allah di luar diri
pelakunya merupakan cabang dari jihad melawan nafsu yang ada di dalam
diri. Sabda beliau,
“Mujahid ialah siapa yang berjihad melawan nafsunya karena Dzat Allah.” (Diriwayatkan Ahmad).
Jihad melawan nafsu yang ada pada diri sendiri harus lebih didahulu¬kan
daripada berjihad melawan musuh di luar. Inilah dua jenis musuh yang
harus dilawan hamba. Di antara kedua musuh ini ada musuh ketiga, yang
jihad melawan dua musuh pertama tidak mungkin bisa dilakukan kecuali
dengan memerangi musuh yang ketiga ini, yang menghambatnya untuk
memerangi kedua musuh yang pertama. Dia adalah syetan. Firman Allah,
“Sesungguhnya syetan ini adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah
is musuh (kalian).” (Fathir: 6).
Peri ntah menjadikan syetan sebagai musuh merupakan peringatan ten-tang
keleluasaan permusuhannya, yang seakan tidak pernah berhenti selagi
napas masih berhembus. Jadi inilah tiga musuh yang harus dimusuhi
hamba, dan musuh itu pun diberi kekuasaan, yang sekaligus sebagai ujian
dari Allah. Tapi Allah juga memberikan kekuatan dan bekal persiapan,
senjata dan bala bantuan serta pertolongan dalam jihad ini kepada
hamba, sebagaimana yang juga diberikan kepada musuh, yang satu
menyerang pihak yang lain, yang satu menguji pihak yang lain,
sebagaimana firman-Nya,
“Dernikianlah, jika Allah menghendaki. niscaya Allah akan membina¬sakan
mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang
lain.” (Muhammad: 4).
“Dan, Kamijadikan sebagian kalian cohaan bagi sebagian yang lain. Maukah kalian bersahar? ” (Al-Furcian: 20).
Allah mengabarkan bahwa jika mereka mengikuti perintah-Nya, maka mereka
akan mendapatkan pertolongan dalam memerangi musuh. Allah juga
mengabarkan bahwa kalaupun musuh yang menguasai mereka, maka hal itu
karena mereka men inggalkan sebagian yang diperintahkan kepada mereka
dan kedurhakaan mereka kepada-Nya. Tapi Allah tidak membuat mereka
putus asa dan memerintahkan agar mereka tetap tegar dalam
menghadapinya, mengobati luka-luka lalu bangkit lagi. Allah juga
mengabarkan bahwa Dia akan beserta orang-orang yang bertakwa. berbuat
bajik, sabar dan orang-orang Mukmin. Allah membela orang-orang Mukmin
dengan cara yang me-reka pun tidak mampu untuk membela dirinya sendiri,
sehingga dengan pembelaan-Nya ini mereka dapat mengalahkan musuh.
Sekiranya tidak ada pembelaan Allah. tentulah mereka dilibas musuh.
Pembelaan ini tergantung dari iman mereka. Jika kuat imannya, maka kuat
pula pembelaan Allah. Maka siapa yang mendapatkan kebaikan setelah itu,
hendaklah dia memuji Allah, dan jika tidak, maka hendaklah dia tidak
mencela diri sendiri.
Allah memerintahkan agar mereka bed ihad dengan sebenar-benarnya jihad.
sebagaimana perintah agar mereka bertakwa kepada-Nya dengan
sebe-nar-benarnya takwa. Gambaran takwa sang sebenar-benarnya ialah taat
kepada Allah dan tidak mendurhakai-Nya, mengingat Allah dan
tidak me-lalaikan-Nya, bersyukur kepada Allah dantidak mengkufuri-Nya.
Sedangkan gambaran jihad yang sebenar-benarnya ialah berjihad melawan
nafsunya, agar hati, lidah dan anggota tubuhnya selamat, sehingga
semuanya menjadi milik Allah dan berasal dari Allah, bukan bagi
dirinya. Di samping itu dia juga harus memerangi syetan, dengan cara
mendustakan janjinya, menyalahi perintahnya dan melaksanakan
larangannya. Sebab syetan itu menjanjikan angan-angan, melancarkan tipu
daya, menakut-nakuti dengan kemiskinan, menyuruh kepada kekejian,
melarang dad takwa dan petunjuk, sabar dan iman. Dengan dua jihad ini
akan muncul suatu kekuatan dan kekuasaan serta bekal untuk melawan
musuh dengan Kati, lisan dan anggota tubuhnya, agar kalimat Allah yang
paling tinggi.
Orang-orang salaf saling berbeda pendapat dalam mengungkapkan hakikat
jihad ini. lbnu Abbas berkata, “Artinya memusatkan kekuatan karena
Allah dan tidak takut terhadap celaan orang yang biasa mencela karena
urusan
Muqatil berkata, “Artinya, beramallah kalian karena Allah dengan
sebenar-benarnya amal dan beribadahlah kepada-Nya dengan
sebenar¬benarnya ibadah.”
Ibnul-Mubarak berkata, -Artinya berjihad melawan hawa nafsu.”
Tidak benar pendapat seseorang yang mengatakan bahwa dua hal ini (berj
ihad dan bertakwa dengan sebenar-benarnya) terhapus, hanya karena dia
beranggapan bahwa di dalamnya terkandung perintah yang tidak mungkin
bisa dilakukan. Karena yang demikian ini berbeda-beda, tergantung dari
kondisi dan kemampuan setiap orang, ilmu, kelemahan dan kebodohannya.
Bertakwa dan berjihad dengan sebenar-benarnya bagi orang yang memang
mampu dan berilmu, berbeda dengan orang yang lemah dan bodoh.
Perhati¬kan bagaimana kelanjutan ayat ini,
“Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78).
Sebaliknya, Allah menjadikan agama ini luas dan lapang bagi setiap
orang, sebagairnana rezki-Nya meliputi setiap makhlukhidup di muka bum
i. Allah membebankan kepada hamba menurut kesanggupannya,
menganu-gerahkan rezki menurut kesanggupannya dan sama sekali tidak
menjadikan kesempitan dalam agama. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda,
“A ku diutus dengan membawa agama yang lurus dan penuh tale-ransi. (Ditakhrij Al-Khathib Al-Baghdady).’)
Artinya lurus dalam tauhid dan toleransi dalam amal.
•’ Sanadrtya dha’ if.
Allah telah melapangkan kepada hamba dalam agama-Nya, rezki,
ampunan, taubat dan maghfirah-Nya. Selagi ruh masih di badan, Dia tetap
membukakan pintu taubat itu dan tidak menutupnya hingga matahari terbit
dari arah barat. Allah menjadikan setiap keburukan ada tebusannya,
seperti taubat, shadaqah, kebaikan yang memang bisa menghapus keburukan
itu, termasuk pula musibah yang menimpa. Bahkan Allah mengganti setiap
hal yang diharamkan dengan sesuatu yang jauh lebih bermanfaat, lebih
bagus dan lebih nikmat, mengganti setiap kesulitan yang menjadi cobaan
dengan kemudahan setelah itu. Maka bagaimana mungkin Allah membebani
mereka sesuatu di luar kesanggupan dan kekuatan mereka?
Jika seinua ini sudah bisa dipahami, maka dapat disimpulkan bahwa jihad itu ada empat tingkatan:
1. Jihad melawan nafsu, yang terdiri dari empat tingkatan:
- Memerangi nafsu dengan cara mempelajari petunjuk dan agama yang
benar, yang tidak ada keberuntungan dan kebahagiaan di dunia maupun di
akhirat kecuali dengan ilmu ini.
- Berjihad melawan nafsu dengan amal setelah ilmu. Sebab jika jihad ini
hanya dengan ilmu tanpa amal, tidak membahayakan diri sendiri, maka
setidak-tidaknya is tidak memberi manfaat.
- Berjihad melawan nafsu dengan mengajak kepada pendalaman ilmu dan
mengajarkannya kepada orang lain yang belum mengetahui. Jika tidak,
maka dia termasuk orang-orang yang menyembunyikan apa yang diturun¬kan
Allah, sehingga ilmunya itu tidak bermanfaat baginya dan tidak bisa
menyelamatkannya dari siksa Allah.
Berjihad memerangi nafsu dengan cara bersabar menghadapi kesulitan dakwah kepada Allah dan gangguan manusia.
Jika empat tingkatan ini menjadi sempurna pada diri seseorang, maka dia
termasuk Rabbaniyin. Orang-orang salafsepakat bahwa orang yang ber¬ilmu
tidak berhak disebut Rabbany sehingga dia mengetahui kebenaran dan
mengamalkannya.
2. Jihad melawan syetan, yang terdiri dari dua tingkatan:
- Berjihad melawan syetan dengan cara menolak apa-apa yang hendak
disu-supkan kepada hamba, seperti syubhat dan keragu-raguan yang bisa
me-nodai iman.
- Berjihad melawan syetan dengan menolak keinginan-keinginan yang merusak dan svahwat.
Jihad yang pertama menghasilkan keyakinan, sedangkan jihad yang kedua menghasilkan kesabaran. Allah befirman,
“Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pentimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kann ketika mereka sabar. Dan, mereka meyakini
ayat-ayat Kami.”(As-Sajdah: 24).
Allah mengabarkan bahwa kepemimpinan agama hany a bisa
dipero¬leh dengan kesabaran dan keyakinan. Sabar menolak syahwat dan
kehendak yang rusak, sedangkan keyakinan menolak keraguan dan syubhat.
3. Jihad melawan orang-orang kafir.
4. Jihad melawan orang-orang munafik.
Kedua jihad ini terdiri dari empat tingkatan, yaitu memerangi mereka
dengan hati, I isan, harta dan jiwa. Jihad memerangi orang-orang kafir
lebih khusus menggunakan tangan, sedangkan menghadapi orang-orang
munafik lebih khusus menggunakan lisan.
Sedangkan jihad melawan orang-orang zhalim, ahli bid’ah dan para pelaku
kemungkaran terdiri dad tiga tingkatan: Menggunakan tangan jika
memungkinkan dan mampu. Jika tidak, maka menggunakan lisan. Jika tidak
mampu, maka dengan hati. Jadi inilah tiga belas tingkatan jihad, yang
siapa mati dan tidak pernah berperang serta tidak membisiki hatinya
untuk berpe¬rang, maka dia mati pada sebagian cabang kemunafikan.
Jihad belum dianggap sempurna kecuali dengan hijrah. Sementara tidak
ada jihad dan hijrah kecuali ada iman. Orang-orang yang mengharapkan
rahmat Allah adalah mereka yang melaksanakan tiga perkara ini. Firman
Allah,
“Sesungg-uhnya orang-orang yang beriman, orang-o rang yang berhi¬jrah
dan berjihad dijalan Allah, mereka itu mengharap rahmat Allah, dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 218).
Hamba yang paling sempurna di sisi Allah ialah yang menyempurna¬kan
semua tingkatan jihad ini. Tentu saja manusia berbeda-beda
kedudukan¬nya di sisi Allah, tergantung dari perbedaan tingkatan
jihadnya. Karena itu orang yang paling sempurna dan paling mu lia di
sisi Allah adalah para nabi dan rasul, dan yang paling sempurna di
antara mereka adalah Rasulullah Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam. Beliau
sanggup menyempurnakan semua tingkatan jihad ini dan beliau
diperintahkan untuk berji had semenjak diutus sebagai rasul hingga saat
meninggal dunia, tepatnya semenjak turun ayat kepada be¬liau,
“Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan, dan
Rabbmu ag-ungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Muddatsir: 1-4).
Beliau menyingsingkan lengan baju untuk berdakwah, melaksana¬kannya
dengan sungguh-sungguh, menyeru kepada Allah slang dan malam, secara
sembunyi-sembunyi, kemudian secara terang-terangan, ketika turun ayat,
“Maka sampaikan olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu).” (Al-Hijr: 94).
Semenjak saat itu beliau menyatakan secara terang-terangan
apa yang diperintahkan Allah dan tidak peduli terhadap celaan
orang-orang yang suka mencela dalam urusan itu. Beliau menyampaikan
seruan kepada siapa pun, yang muda. yang tua, besar, kecil, orang
merdeka, budak, laki-laki, wan ita, bahkan j in dan manusia. Pada saat
itulah, ketika beliau menyampaikan dak¬wah secaraterang-terangan,
mencela sesembahan dan agama kaumnya, maka mereka inelancarkan siksaan
yang bertubi-tubi terhadap diri beliau dan rekan-rekan beliau yang
telah masuk Islam. Yang dernikian ini merupakan sun-natullah yang
berlaku pada makhluk-Nya.
Dan, clemikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
syetan-syetan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin.” (Al-An’ am:
112).
“De mikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada
orang-orang)iang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ada-lah
seorang tukang sihir atau arcing gila’. Apakah mereka sating ber¬pesan
tentcing apa yang dikatcikan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang
melampaui batas. (Adz-Dzariyat: 52-53).
Allah menentramkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan
firman-Nya ini. bahwa para rasul dan nabi sebelumnya pun juga mengalami
hal yang sama. Allah juga menghibur para pengikut beliau dengan
firman¬Nya,
“Apakah kalian mengira bahwa kalia nakan masuk surga, padahal belum
dating kepada kalian (cobaan) sebugaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kalian? Mereka ditimpa mulapetaka dan kesengsaraan serta
diguncang (dengan bermacam-rnacam cobaan) se¬hingga herkatalah Rasul
dan orang-orang yang beriman bersamanya, Bilakah datangnya pertolongan
Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
(Al-Bagarah: 214).
Ayat serupa disebutkan dalam surat Al-Ankabut: 1-11). Maka hendak¬lah
seorang hamba memperhatikan kandungan ayat ini, yang di dalamnya
terdapat pelajaran clan hikmah yang mendalam. Ketika ada rasul yang
diutus kepada manusia, maka akan muncul dua sisi. Ada yang mengatakan,
“Kami beriman”, dan ada yang tidak mau mengatakannya dan terus dalam
keburuk¬an serta kekufurannya. Siapa yang berkata, -Kam i beriman”,
maka Allah akan menguji dan mencobanya, agar dapat terlihat mana yang
jujur dan besar, mana yang dusta. Siapa yang tidak berkata, “Kami
beriman-, maka dia tidak pernah beranggapan bahwa Allah akan melemahkan
dan mengalahkannya. Dia terus menempuh perjalanannya.
Siapa yang beriman kepada rasul dan menaatinya, maka musuh akan
mengganggu dan menyakitinya. Tapi siapa yang tidak beriman kepadanya,
maka dia akan disiksa di dunia dan di akhirat, sehingga tetap saja dia
akan
mendapatkan siksaan, dan siksaan ini kekal selama-lamanya
dan lebih perih daripada siksaan yang diterima para pengikut rasul.
Jadi siapa pun akan men-dapat siksaan, yang beriman maupun yang tidak
beriman. Tetapi orang Muk-min hanya mendapat siksaan pada permulaannya
saja, dan setelah itu dia mendapatkan kesudahan yang balk di dunia dan
di akhirat. Sedangkan orang yang berpal ing dari iman akan mendapatkan
kesenangan pada permulaannya, dan setelah itu dia mendapatkan
penderitaan selarna-lamanya. Asy-Syafi’y pernah ditanya, “Mana yang
lebih baik bagi seseorang, apakah dia mendapat kemenangan ataukah
ujian?” Maka dia menjawab, “Seseorang tidak mendapat kemenangan kecuali
setelah diuji. Allah menguji Ulul-Azmi, dan ketika mereka sabar, maka
kemenangan itu pun datang dengan sendirinya. Maka tidak selayaknya
seseorang merasa aman dari penderitaan sama sekali. Hanya saja ada
perbedaan di antara manusia dalam memahami siksaan dan penderitaan.
Yang paling pintar di antara mereka ialah yang menjual penderi-taan
yang kekal dan besar, dengan penderitaan yang ringan dan sementara
Sedangkan yang paling menderita di antara mereka ialah yang menjual
pen-deritaan yang ringan dan sementara, dengan penderitaan yang besar
dan kekal.”
Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin orang yang berakal da¬pat
menentukan pilihannya?” Dapat dijawab, “Yang membangkitkan protes
semacam ini ialah karena jiwa manusia lebih cenderung kepada keduniaan.
Maka Allah befirman,
“Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kalian (hai manusia)
mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.”
(Al-Qiyamah: 20-21).
Yang demikian ini berlaku untuk semua orang, apalagi mereka
ditak-dirkan untuk hidup bermasyarakat. Manusia mempunyai banyak
keinginan dan persepsi yang harus terpenuhi. Jika tidak, maka mereka
merasa tersiksa. Padahal kalau keinginan itu pun terpenuhi, mereka
masih tetap mengalami siksaan dan penderitaan. balk dari dirinya
sendiri maupun dari orang lain. Yang demikian ini tak berbeda jauh
dengan orang yang berpegang teguh kepada agama dan bertakwa, sementara
di sekitarnya banyak terdapat orang¬orang zhalim dan jahat, yang mampu
dia hadapi. Jika dia mengakui kebe-radaan mereka dan tidak mengharu
biru diri mereka, maka dia selamat dari gangguan mereka pada
permulaannya. Tetapi lama-keiamaan mereka akan menguasai dirinya,
bahkan menggangu dan melecehkannya, jauh lebih sadis dari apa yang dia
gambarkan sebelumnya. Sekiranya dia menentang dan mengingkari
keberadaan mereka, lalu taruklah dia bisa lobos dari gangguan mereka,
toh belum tentu dia bisa selamat dari gangguan selain mereka. Maka yang
paling prinsip dalam hal ini ialah seperti yang dikatakan Aisyah.
Um-mul-Mukminin kepada Mu’awiyah, -Siapa yang membuat Allah ridha
dengan kemarahan manusia, maka Allah mencukupkan dirinya
dari perto¬longan manusia. Namun siapa yang membuat manusia ridha
dengan kemur¬kaan Allah, maka sedikit pun Allah tidak peduli terhadap
mereka.”
Siapa yang memperhatikan berbagai peristiwa yang terjadi di alam ini,
tentu akan mengetahui bahwa yang demikian ini banyak terjadi pada diri
orang-orang yang biasa membantu pemimpin untuk mencapai
tujuan-tujuan¬nya yang rusak, atau pada diri orang-orang yang membantu
ahli bid’ah, kare¬na mereka ing in selamat dari siksaannya. Namun siapa
yang diberi petunjuk oleh Allah dan difindungi dari keburukan dirinya,
tentu akan menolak untuk menyetujui perbuatan yang diharamkan, dan
lebih suka mem ilih sabar dalam mengingkari pemimpin itu, yang kemudian
dia mendapatkan kesudahan yang baik di dunia dan di akhirat, seperti
yang terjadi pada diri orang-orang Muha¬jirin dan Anshar, para ahli
ibadah, ulama dan orang-orang yang shali h.
Karena penderitaan itu tidak bisa di hindari sama sekali, maka Allah
menghibur orang yang memiliki penderitaan yang lebih ringan dan pasti
ber-akhir, dari pada penderitaan yang besar dan berkelanjutan, dalam
firman-Nya,
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesung
guhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan, Dialah
Yang Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Ankabut: 5).
Allah menetapkan jangka waktu tertentu dari penderitaan ini, yang pasti
akan datang, yaitu saat perjumpaan dengan-Nya. Pada saat itulah
manu¬sia akan mendapatkan kenikmatan yang tergambarkan, karena dia
sabar selama ditimpa penderitaan itu, selagi dia ridha kepada-Nya.
Kesenangan ini tergantung dari kadar kesabarannya, yang semua itu
karena Allah, dan dia dapat menghibur diri dengan mengharap perjumpaan
dengan-Nya, atau bahkan setiap kali melihat penderitaan dan
merasakannya, maka kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya semakin
menggebu. Karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa
memohon kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya. dan kerinduan beliau ini
merupakan kenikmatan yang paling besar. Tapi ken ikmatan ini memiliki
kensekuensi perkataan dan perbuatan. Karena Allah men dengar perkataan
dan mengetahui perbuatan, maka Dialah yang lebih berhak menempatkan
kenikmatan ini pada diri orang yang me¬mang layak menerimanya. Firman
Allah,
“Dan, demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang yang
kayo) dengan sebagian yang lain (orang-orang yang miskin), supaya
(orang-orang yang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di
antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?’ (Allah
befirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang¬orang yang
bersyukur kepada-Nya? ‘ (A l-An’am: 53).
Apabi la seseorang tidak mendapatkan suatu kenikmatan, maka hen-daklah
dia membaca firman Allah, “Tidakkah Allah lebih mengetahui ten
tang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya?”
Kemudian Allah menghibur mereka dengan hal lain, bahwa jihad di ialan
Allah pada hakikatnya adalah untuk kepentingan mereka sendiri dan
hasilnya kembali kepada mereka. Allah sama sekali tidak membutuhkan apa
ang ada di dalam ini. Kemaslahan jihad ini kembali kepada mereka dan
bukan kepada Allah. Karena itu Allah mengabarkan bahwa dengan jihad dan
iman Dia akan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang
shalih. Kemudian Allah mengabarkan keadaan orang yang beriman tanpa
disertai bashirah. Sehingga ketika dia mendapat cobaan dari manusia
karena agama Allah, dia menganggapnya sebagai siksaan Allah terhadap
dirinya. Padahal itu hanya sekedar siksaan dari manusia, yang memang
biasa diterima para rasul dan pengikut-pengikutnya yang berseberangan
dengan mereka. Dia lari dari siksaan mereka, karena menganggapnya
seperti siksaan Allah yang harus dihindari orang-orang Mukmin. Padahal
dengan kesempurnaan bashirah-nya, orang-orang Mukmin lari dari siksaan
Allah kepada iman clan tetap sabar dalam menghadapi siksaan yang
bersifat sementara dan pasti akan berlalu. Hal ini terjadi karena
kelemahan bashirah-nya, sehingga dia lari dari siksaan musuh-musuh
rasul, lalu dia berjalan seiring dengan mereka (musuh¬musuh itu). Dia
lari dari siksaan mereka ke siksaan Allah. Sungguh suatu tin¬dakan yang
amat bodoh jika dia lari siksaan yang bersifat sementara ke siksa¬an
yang kekal. Padahal jika Allah sudah menolong pasukan dan
wali-wali¬Nya, maka Dia befirtnan, “Sesungguhnya Aku beserta kalian.”
Allah menge¬tahui kemunafikan yang menyusup ke dalam hatinya.
Dengan kata lain, sudah ada ketetapan hikmah Allah untuk menguji jiwa
manusia, dengan begitu dapat diketahui mana yang balk dan mana yang
buruk, siapa yang layak menerima kemuliaan dan siapa yang tidak layak
menerimanya, agar Allah dapat menyaring jiwa dan membersihkannya dengan
tungku uj ian, seperti halnya emas yang tidak terlihat keasliannya
se¬lagi masih bercampur dengan tanah atau kotoran kecuali setelah diuj
icoba¬kan. Sebab pada dasamya jiwa itu bodoh dan zhalim. Kotorannya
yang beru¬pa kebodohan dan kezhaliman itu harus disingkirkan dengan
cara member¬sihkannya. Namun jika ia belum dibersihkan selagi keluar
dari dunia ini, ma¬ka ia akan menuju kerak neraka. Jika sudah
dibersihkan, maka ia layak masuk ke surga.
Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyeru kepada Allah,
maka hamba-hamba Allah dari berbagai kabilah menyambut seruan beliau
ini. Deretan pertama yang menyambutnya dan bersedia masuk Islam adalah
Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dia slap melindungi beliau dalam menegak¬kan
agama Allah, menyeru kepada Allah bersama beliau, sehingga ada
bebe¬rapa orang yang masuk Islam lewat dirinya, seperti Utsman bin
Affan, Thal-halt bin Ubaidi I lah dan Sa.t. bin Abi Waqqash. Sementara
dari kalangan
wanita adalah Khadijah binti Khuwailid, yang mendukung
aktivitas beliau dengan segala se suatu yang dim il ikinya. Suatu kali
beliau bersabda kepada Khadijah, istri beliau, “Aku khawatir terhadap
keselamatan Maka Khadijah berkata dengan mantap, “Demi Allah, terimalah
kabar kabar, sekali-kali Dia tidak akan menelantarkan engkau.” Khadijah
menguatkan perkataannya, bahwa siapa yang memiliki sifat dan akhlak
seperti yang dim i¬liki beliau, tidak akan ditelantarkan Allah
selamanya. Dengan kesempurnaan fithrah dan akalnya dia menyatakan bahwa
amal yang shalih, akhlak yang utama dan sifat yang mulia berasa I dari
karamah Allah, anugerah dan perto¬longan-Nya, sehingga orang yang mem
ilikinya tidak layak untuk ditelan¬tarkan. Maka dengan ketajaman
pikiran dan kelurusannya ini, Khadijah layak mendapatkan salam dari
Allah, sebagaimana yang disampaikan utusan-Nya, Jibri I kepada Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Setelah itu disusul beberapa orang yang masuk Islam, seperti Ali bin
Abu Thalib, yang saat itu masih berumur delapan tahun. Namun ada yang
mengatakan lebih dari itu. Saat itu Ali ada dalam asuhan beliau, untuk
meri-ngankan beban Abu Thalib dalam menghadapi tahun-tahun paceklik.
Kemu-dian Zaid bin Haritsah juga masuk Islam, orang yang amat dikasihi
beliau. Tadinya dia pelayan Khadijah, yang kemudian di berikan kepada
beliau. Tak lama kemudian bapak dan paman Zaid datang untuk menebus
dirinya dan hendak mem intanya. Maka keduanya mencari Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, yang saat itu beliau ada di masj id. Keduanya masuk
masjid serta ber-kata, “Wahai cucu Abdul-Muththalib, wahai keturunan
Ibnu Harim, wahai putra pem imp in kaumnya! Kalian adalah penduduk
tanah suci dan penjaga¬nya. Kalian adalah orang-orang yang suka melerai
perselisihan dan membe¬baskan tawanan, Kam i datang menemuimu berkaitan
dengan anak kami yang ada di tanganmu. Serahkanlah is kepada kami dan
berbuatbaiklah kepada kami dalam urusan tebusannya.”
“Siapa yang kalian maksudkan?” tanya beliau.
“Zaid bin Haritsah,” jawab keduanya.
“Apakah tidak ada jalan keluar yang lain?” tanya beliau.
“Apa itu?- mereka balik bertanya.
-Panggil dia dan aku akan memberikan pilihan kepadanya. Jika dia
me-milih kalian, maka dia murni menjadi mail( kalian. Tapi jika dia
memilihku, maka demi Allah, aku akan memberikan pilihan kepada orang
yang menja-tuhkan pilihan kepadaku,” jawab beliau.
“Engkau telah memberikan pilihan yang terbaik dan engkau telah berbuat yang terbaik,” kata mereka berdua.
Setelah Zaid di panggil, beliau bertanya kepadanya, -Apakah engkau mengenal orang-orang ini?”
Zaid menjawab, “Ya.”
“Siapa mereka?” tanya beliau.
Zaid menjawab, ayahku dan itu pamanku.”
Beliau menyatakan kepada Zaid, “Engkau sudah tahu dan melihat siapa
aku, engkau juga sudah tahu bagaimana perlakuanku terhadap dirimu. Maka
pilihlah antara diriku atau mereka berdua!”
Zaid berkata, “Engkaulah satu-satunya orang yang kupilih dan engkau sudah menggantikan kedudukan ayah dan pamanku.”
“S i al kau wahai Zaid,” kata ayah dan pamannya, “apakah engkau lebih
suka memilih menjadi budak daripada orang merdeka, mengalahkan pilihan
terhadap ayah dan pamanmu serta keluargamu?”
“Begitulah,” jawab Zaid, “aku telah melihat sesuatu dari beliau ini, yang membuatku tak akan memilih orang selain beliau.”
Setelah melihat keteguhan hati Zaid, maka beliau membawanya ke dalam
bilik beliau seraya bersabda, “Aku memberikan kesaksian kepada kalian
bahwa Zaid adalah anakku, dia mewarisi dariku dan aku mewariskan
kepadanya.”
Karena ucapan beliau ini, ayah dan pamannya menjadi tenang, lalu
keduanya pulang. Pada saat itulah Zaid dipanggil dengan sebutan Zaid
bin Muhammad. Tapi setelah turun ayat yang mengatur tentang
waris-mewarisi, maka dia dipanggil Zaid bin Haritsah.
Manusia masuk Islam seorang demi seorang, dan orang-orang Quraisy belum
bereaksi apa-apa. Ketika beliau mulai mencela agama mereka dan
melecehkan sesembahan mereka, bahwa sesembahan itu tidak bisa memberi
manfaat dan mudharat, maka mereka mulai melancarkan permusuhan terhadap
beliau dan para shahabat. Namun Allah melindungi Rasul-Nya dengan
keberadaan paman beliau, Abu Thalib, karena dia adalah orang yang
sangat terpandang, disegani dan dimuliakan di kalangan Quraisy, ditaati
di Iingkup keluarga dan tak seorang pun dari penduduk Makkah yang
berani lancang terhadap dirinya. Adapun di antara hikmah Allah, Abu
Thalib tetap berada dalam agama kaumnya, yang tentunya keadaan ini
mendatangkan kemaslahatan tersendiri.
Sem entara di antara para shahabat yang mempunyai kerabat yang bisa
melindungi dirinya, selamat dari siksaan mereka. Tetapi mayoritas di
antara mereka mendapatkan siksaan dari orang-orang Quraisy, seperti
Ammar bin Yasir, ibunya. Sumayyah dan seluruh keluarganya. Mereka
sekeluarga disik¬sa karena agama Allah. Jika Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam melihat mereka sedang disiksa. beliau hanya bisa
bersabda, “Sabarlali wahai keluarga Yasir, karena tempat yang telah
dijanjikan kepada kalian adalah surga.” Be¬liau tidak mampu berbuat
apa-apa untuk melindungi mereka dari penyiksaan Quraisy.
Suatu saat musuh Allah, Abu iahl mendekati Sumayyah, ibu
Yasir yang disiksa beserta suami dan anaknya juga, lalu dia
nnenancapkan tom bak di vaginanya hingga meninggal dun ia, sehingga dia
menjadi syahid yang pertama dalam Islam. Begitu pula siksaan yang
dialami Bi lal bin Rabah, yang hanya mampu berkata, “Ahad, Ahad”,
karena pedihnya siksaan yang dialaminya. Jika Abu Bakar melewati
seorang budak yang disiksa karena masuk Islam, maka dia langsung
membelinya lalu memerdekakannya. Di antara mereka itu adalah Bilal,
Amir bin Fuhairah, Ummu Ubais, Zinnirah, Nandiyah dan putrinya, seorang
budak wanita milik Bani Ady, yang disiksa Umar bin AI-Khaththab sebelum
masuk Islam. Sampai-sampai ayah Abu Bakar berkata kepadanya, “Wahai
anakku, kulihat engkau membebaskan beberapa budak perempuan yang Iemah.
Karena engkau terus melakukan seperti yang engkau lakukan selama ini,
dengan membebaskan sekian banyak orang, tentu mereka akan menghalangi
perbuatanmu.”
Abu Bakar menjawab, “Aku akan mengerjakan apa pun yang kuin-ginkan.”
Ketika siksaan yang ditimpakan kepada orang-orang Muslim semakin bertam
bah keras, maka beliau mengizinkan mereka hijrah ke Habasyah. Yang
lebih dahulu hijrah adalah Utsman bin Affan beserta istrinya, Ruqayyah
binti Rasulullah. Jumlah rombongan yang hijrah pertama kali ini
sebanyak dua betas orang laki-laki dan empat orang wanita. Mereka
meninggalkan Makkah secara sembunyi-sembunyi. Berkat taufik Allah
mereka tiba di pantai bertepatan dengan keberangkatan perahu pedagang.
Mereka pun ikut naik perahu itu dan berlayar ke negeri Habasyah,
tepatnya pada bulan Rajab tahun kelima setelah nubuwah. Ketika
orang-orang Quraisy mendengar kepergian rombongan ini, mereka menyusul
hingga tiba di pantai, tapi tak seorang pun yang dapat mereka susui.
Tak seberapa lama tinggal di Haba¬syah, orang-orang yang berhijrah itu
mendengar kabar bahwa orang-orang Quraisy tidak lagi mengganggu dan
menyakiti Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka mereka pun kembali ke
Makkah. Tetapi sebelum memasuki Makkah, mereka mendengar kabar bahwa
orang-orang justru lebih keras dalam memusuhi beliau dan orang-orang
Muslim. Maka siapa yang ingin masuk Makkah harus memintajaminan
perlindungan seseorang, dan jaminan ini ada yang berlaku hingga mereka
hijrah ke Madinah.
Pada saat itu Ibnu Mas’ ud yang juga ikut hijrah ke Habasyah menemui
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengucapkan salam kepada beliau.
yang tidak dijawab karena beliau sedang shalat. Tapi Ibnu Sa’d dan
lain-lain¬nya berpendapat, bahwa Ibnu Mas’ud tidak termasuk orang-orang
yang kembali ke Makkah, tapi dia kembali lagi ke Habasyah hingga pergi
ke Madinah. Pendapat ini dibantah, bahwa Ibnu Mas’ ud ikut perang Badr.
°rang¬orang yang hijrah dan kembali ke Madinah adalah orang-orang yang
bersama
Ja’ far bin Abu Thalib, empat atau lima tahun setelah perang
Badr. Lalu bagaimana dengan hadits Zaid bin Arqam yang mengatakan,
“Dulu kami suka berbicara dalam shalat, lalu kami diperintahkan untuk
diam dan dilarang bicara?” Zaid bin Arqam adalah orang Anshar dan ayat
yang melarang mereka berbicara ketika ada yang shalat adalah surat
Madaniyah. Pada saat itu Ibnu Mas’ud mengucapkan salam ketika beliau
sedang shalat dan tidak Jijawab, hingga beliau selesai shalat, seraya
mengabarkan larangan berbi¬cara ketika ada orang yang shalat.
Maka untuk menanggapi hadits Zaid bin Arqam ini ada dua jawaban:
Larangan berbicara itu ditetapkan di Makkah, kemudian diperbolehkan di
Madinah, lalu dilarang lagi.
Zaid termasuk shahabat yang masih kecil. Dia bersama anak-anak yang
lain berbicara dalam shalat seperti kebiasaan anak-anak. Ketika sudah
ba¬ligh, mereka tidak lagi melakukannya.
Kemudian setelah itu permusuhan dan siksaan orang-orang Quraisy semakin
kerns, maka beliau mengizinkan mereka berhijrah lagi ke Habasyah untuk
kedua kalinya. Hij rah yang kedua ini justru lebih sulit daripada yang
pertama, karena orang-orang Quraisy menghalangi mereka. Jumlah
orang-orang Muslim yang hijrah kali ini sebanyak delapan puluh tiga
orang laki¬laki, termasuk Ammar bin Yasir, dan sembilan belas orang
wanita.
Yang termasuk dalam rombongan hijrah ke Habasyah yang kedua ini adalah
Utsman bin Affan dan beberapa shahabat yang ikut perang Badr. Kalau pun
hal ini dianggap janggal, maka boleh jadi mereka kembali lebih dahulu
daripada yang lain. Sehingga ada tiga kemungkinan tentang kepu¬langan
mereka: Pulang sebelum hijrah Rasulullah Shaliallahu Alaihiwa Sal-lam
ke Madinah. pulang sebelum perang Badr, dan pulang ketika perang
Khaibar. Karena itu Ibnu Sa’d dan lain-lainnya berkata, “Ketika mereka
men¬dengar hijrah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallain Ice Madinah,
maka ada tiga puluh tiga orang dan delapan wanita di antara mereka yang
kembali, dua orang meninggal di Makkah, tujuh orang disandera di Makkah
dan ada dua puluh empat orang yang ikut perang Badr.
Pada bulan Rabi’ul-Awwal tahun ketujuh setelah hijrah, Rasulullah
Shallallahu Alaihi tiff a Sallam menulis surat kepada Najasyi, berisi
ajakan ma¬suk Islam. Yang menjadi kurirnya adalah Amr bin Umayyah
Adh-Dhamry. Setelah mem bacanya, Najasyi langsung menyatakan masuk
Islam. Dia berkata, “Jika aku bisa menemui beliau, tentu aku akan
menemuinya.”
Dalam suratn a itu pula beliau meminta kepada Najasyi untuk
menga-winkan beliau dengan Ummu Habibah bin Abu Sufyan, yang juga ikut
hijrah ke negerinya bersama suaminya Ubaidillah bin Jahsy, yang
kemudian berpin¬dah ke agama Nasrani dan mati di sana. Maka Najasyi men
ikahkan Ummu Habibah dengan beliau. dan dia pula yang membayarkan
maskawinnya
sebanyak empat ratus dinar. Sedangkan yang menjadi walinya
adalah Khalid bin Sa. id bin Al-Ash. Kemudian beliau juga mengirim
surat agar Najasyi me-mulangkan para shahabat yang masih ada di sana.
Maka Najasyi melaksana¬kan perintah beliau ini, dengan menaikkan mereka
di atas dua kapal, hingga mereka bertemu beliau di Khaibar. Ketika
mereka tiba di sana, beliau sudah mampu menaklukkan Khaibar.
Dengan begitu ada gambaran yang jelas tentang masalah yang tadinya
dianggap rum it berkaitan dengan hadits Ibnu Mas’ud dan hadits Zaid bin
Arqam. Jadi larangan bicara dalam shalat ditetapkan di Madinah.
Taruklah bahwa Ibnu Ishaq mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud pernah berada di
Makkah. Maka dapat di j awab, bahwa memang dia pernah berada di Makkah,
tapi hanya sebentar, lalu kembal i lagi ke Habasyah. Inilah yang memang
terjadi, karena dia tidak mendapatkan seorang pun di Makkah yang mau
memberi jam inan keamanan bagi dirinya, dan hal ini tidak disebutkan
dalam riwayat Ibnu Ishaq, sehingga bisa menjadi tambahan bagi
riwayatnya itu. Dengan begitu tidak ada lagi kejanggalan dalam kisah
ini.
Yang pasti, ketika orang-orang Muslim menetap di negeri Najasyi, mereka
hidup aman. Tapi kemudian pihak Quraisy mengutus Abdullah bin Abu Rabi
‘ah dan Amr bin Al-Ash untuk menyusul ke Habasyah, sambil membawa
berbagai macam hadiah untuk Najasyi, dengan harapan dia mau
mengembalikan mereka ke pihak Quraisy. Dua utusan Quraisy ini juga me-m
inta dukungan para pemuka agama di sana. Tapi Najasyi menolak hal itu.
Utusan Quraisy ini mencari jalan lain untuk mempengaruhi Najasyi,
dengan mengatakan bahwa orang-orang Muslim itu telah mengeluarkan
pernyataan yang tidak boleti dianggap remeh tentang did Isa, bahwa Isa
adalah hamba Allah. Maka Najasyi memanggil orang-orang Muhajirin itu ke
majlisnya, yang menjadi juru bicara mereka adalah Ja’far bin Abu
Thalib. Ketika sudah berkumpul semua, Najasyi bertanya, “Apa yang
kalian katakan tentang diri Ise”
Maka Ja’far mem baca surat kaf ha’ ya’ain shad. Kemudian Najasyi
memungut sebuah tongkat dad tanah seraya berkata, “Isa tidak lebih dad
orang ini dan tongkat ini.-
Seketika itu Pula para pemimpin agamanya mengeluarkan suara dengusan.
Maka Najasyi berkata, “Sekalipun kalian mendengus.- lalu dia berkata
kepada orang-orang Muhajirin, “Bangkitlah kalian, karena kalian aman di
negeriku. Siapa yang mencela kalian akan didenda.”
Lalu Najasyi kepada dua utusan Quraisy itu, “Sekalipun kalian
mem-beriku hadiah segunung emas, aku tidak akan menyerahkan mereka
kepada kalian.” Had iah yang dibawa dikembalikan kepada mereka berdua,
lalu mere¬ka kembali dengan tangan hampa.
Kemudian Hamzah masuk Islam beserta beberapa orang. Ketika
orang-orang Quraisy melihat urusan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam sema-kin menanj a k dan di atas angin, maka mereka membuat
perjanj ian secara se-pihak untuk tidak berjual beli dengan Bani Hasyim
dan Bani AI-Muththalib, tidak menikah, tidak berbicara dan tidak
berkumpul, sehingga mereka me-nyerahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam kepada mereka. Perjanj
an itu mereka tul is dalam sebuah lembar papan, lalu menggantungkannya
di atap Ka‘bah. Yang menulisnya adalah Baghidh bin Amir bin I lasyim.
Karena itu beliau berdoa bagi kecelakaan Baghidh, dan akhirnya
tangannya menjadi I umpuh. Senrua Bani Hasyim dan Abdul-Muththalib
berhimpun menjadi satu, baik yang kafir maupun yang Mukrnin, kecuali
Abu Lahab, yang berga¬bung dengan Quraisy. Hal ini terjadi pada tahun
ketujuh setelah nubuwah. Mereka dikucilkan dan diboikot selama tiga
tahun, tidak bisa menjalin dengan pihak luar dan tidak bisa bergaul
dengan siapa pun, hingga mereka benar-benar mengalami kesulitan yang
amat berat. Tangis anak-anak terde¬ngar dari seberang perkampungan,
yang mengundang rasa iba bagi siapa pun yang mendengarnya, sehingga
mendorong Abu Thalib untuk met antunkan syairnya yang berisi kecaman.
Sementara suara di pihak Quraisy terpecah menjadi dua kelompok, antara
setuju dan tidak setuju terhadap aksi pemboikotan secara sepihak itu.
Ada beberapa orang yang tidak setuju terhadap pemboikotan itu, berusaha
untuk menghentikannya, seperti yang dilakukan Hisyam bin Amr bin A
l¬Harits. Dia berusaha melobi Al-Muth’irn bin Ady dan beberapa pernuka
Quraisy lainnya, dan ternyata mereka pun sependapat. Selanjutn). a
Allah rnembisikkan kepada Nabi-Nya tentang nasib lembar papan boikot
yang dimakan ravap hingga rusak. Maka beliau mengabarkan kepada
pamannya, lalu is menemui orang-orang Quraisy, bahwa keponakannya
berkata beg ini dan begitu. Jika dia bohong, kami serahkan dia kepada
kalian. Jika benar, maka kalian harus hcntikan pemboikotan dan
kezhaliman ini.
“Engkau telah berbuat yang kata mereka. Makakemudian mere¬ka menurunkan
lcmbar papan itu dan ternyata benar apa yang beliau katakan. Tapi
justru hal ini membuat mereka semakin bertambah kufur. Tapi dengan
begitu beliau dapat keluar dari perkampungan dan tidak lagi diboikot.
Tak seberapa lama setelah itu Abu Thalib meninggal dunia dan disusul pu
la dengan kematian Khadijah. Maka cobaan yang ditimpakan orang-orang
bodoh dari kaumnya semakin menjadi-jadi. Mereka semak in brutal clan
bera¬ni menu iksa beliau. Maka beliau pergi ke Tha. if, dengan harapan
bisa menda-patkan perlindungan clari pcmuka dan penduduknya. Maka
beliau menu ern mereka kepada Allah. Tapi beliau tak mendapatkan
seorang pun yang mau melindungi dan mengufurkan pertolongan, bahkan
mereka men. akiti dan men \ iksa behau jauh lebih sadis. ang justru
tidak pernah beliau alarm dari
kaumnya sendiri. Padahal beliau berada di sana selama
sepuluh hari, dan setiap pemuka kaum pasti beliau temui dan diajaknya
berbicara. Tapi mereka berkata, “Enyahlah dari negeri Bahkan kemudian
mereka memperalat orang-orang yang bodoh dari penduduk Tha’if. Mereka
membentuk dua baris di jalan yang dilalui beliau, lalu melempari beliau
dengan batu, hingga kedua kaki beliau berdarah. Za id bin Haritsah yang
menyertai beliau berusaha untuk melindungi beliau, hingga kepalanya pun
mendapat luka yang menganga. Maka beliau meninggalkan Tha’if, kembali
ke Makkah dengan perasaan yang amat sedih. Dalam perjalanan pulangnya
itu beliau memanjatkan doa yang sangat terkenal,
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan kekuatanku, sedikitku
alasanku dan ketidakmampuanku menghadapi manusia, wuhai Yang Paling
Pengasih di antara orang-orang yang pengasih. Engkau Rabb orang-orang
yang lemah, dan Engkau adalah Rabbku. Kepada siapa Engkau menyerahkan
diriku? Kepada orangjauh yang incnemuiku dengan muka masam ataukah
kepada musuh yang Engkau
‘adikan dia menguasai urusanku? Selagi tidak ada murka-Mu kepa- ,
daku, maka aku tidak peduli. Hanya saja afiat-Mu adalah jauh lebih luas
bagiku. Aku berlindungdengan cahaya Wajah-Mu, yang karena¬nya
kegelapan-kegelapan menjadi terang don urusan dunia serta akhirat
menjadi balk. Aku berlindung kepada-Mu agar murka-Mu tidak menimpaku
dan amarah-Mu tidak turun kepadaku. Bagi-Mu segala kerelaan hingga
Engkau ridha, tiada daya dan kekuatan me¬lainkan yang datang dari-Mu.”
Maka Allah mengutus malaikat penjaga gunung, yang menawarkan kepada
beliau untuk menimpakan dua bukit Ahsyabain kepada penduduk Tha” if.
Tapi beliau bersabda, “Tidak. Tapi aku berharap agar Allah
menge¬luarkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah-Nya dan
tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.”
Ketika singgah di sebuah kebun korma, beliau mendirikan
shalat dari sebagian waktu malam. Saat itu ada beberapa jin yang
mendekati beliau dan mendengarkan bacaan beliau. Sementara beliau tidak
menyadari kehadiran mereka ini, hingga turun ayat,
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu
yang mendengarkan Al-Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri
pembacaan(nya), mereka berkata, Diamlah kalian (untuk mende
ngarkannya)’. Ketika pembicaraan telah selesai, mereka kembali
kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (Al-Ahqaf: 29).
Beliau berada di kebun korma itu hingga beberapa hari lamanya. Lalu
Zaid bertanya, “Bagaimana cara engkau menemui mereka lagi, padahal
mereka telah mengusir engkau?”
Beliau menjawab, “Hai Zaid, sesungguhnya Allah akan menjadikan jalan
keluar dari apa yang engkau lihat, dan sesungguhnya Allah akan
meno¬long agama-Nya serta memenangkan Nabi-Nya.”
Ketika hendak memasuki Makkah, beliau mengutus seseorang dari Bani
Khuza’ah untuk Muth’ im bin Ady, dengan pesan,”Bagaimana j ika aku
masuk dalam jam inanmu?”
“Boleh,” jawabnya. Lalu Muth’ im mengumpulkan kaumnya, seraya berkata,
“Ambil senjata kalian dan bersiap-siaplah di setiap send i rumah
ka-lian, karena aku telah melindungi Muhammad.”
M aka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masuk Makkah disertai
Zaid bin Haritsah, hingga tiba di Masjidil-Haram. Lalu Muth’im bin Ady
ber-diri di atas punggung hewan tunggangannya, dan berseru dengan suara
lantang, semua orang Quraisy, sesungguhnya aku telah melindungi
Mu¬hammad, maka tak seorang pun boleh menyerangnya.”
Lalu beliau menghampiri Hajar Aswad dan memeluknya. Sete lah sha¬hat
dua rakaat, beliau pulang ke rumah. Sementara Muth’im bin Ady beserta
anak-anaknya siap dengan senjatanya mengawasi beliau, hingga beliau
ma¬suk rumah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan isra’ dari
Masjidil-Haram ke Baitul-Maqdis, dengan menunggang Buraq, yang disertai
Jibril. Beliau shalat di sana dan menjadi imam bagi para nabi. Buraq
ditambatkan pada pintu masj id. Ada yang berpendapat, beliau turun di
Baitul Lahm (Betlehem) dan shalat di sana. Tapi pendapat in i tidak
benar. Pada malam itu pula beliau dibawa naik dari Baitul-Maqdis ke
langit dunia. Ketika Jibril rnem inta agar pintu langit dibuka, maka
pintu itu pun dibukakan bagi Jibril dan Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam. Di sini beliau bertemu Adam, bapak manusia. Beliau
mengucapkan salam, dan Adam mem ba lasnya serta menyam but kedatangan
beliau serta menetapkan nubuwah beliau. Allah memperlihatkan ruh
orang-orang yang berbahagia ada di sisi kanan beliau,
dan ruh orang-orang yang menderita ada di sisi kiri beliau.
Selanjutnya beliau dibawa naik lagi ke langit kedua. Di sana beliau
bertemu Yahya bin Zakaria dan Isa bin Maryam. Beliau mengucapkan salam
kepada dua nab i Allah ini, btu keduanya membalas salam beliau dan
menyambut kedatangan beliau serta menetapkan nubuwah beliau. Kemudian
naik lagi ke langit ketiga, dan di sana beliau bertemu Yusuf. Beliau
mengucapkan salam yang kemudian Nabi Yusufmembalasnya dan menyambut
kedatangan beliau serta menetap¬kan nubuwah beliau. Kemudian beliau
naik lagi ke langit keempat dan bertemu dengan Nabi Idris, yang
kemudian melakukan hal yang sama dengan nabi-nabi yang ditemui
sebelumnya. Di langit kelima beliau bertemu Nabi Harun bin Imran. Di
langit keenam beliau bertemu Nabi Musa bin Imran. Pada saat itu Musa
menangis. Ketika ditanya, “Mengapa engkau menangis?” Maka beliau
menjawab, “Aku menangis karena ada seorang pemuda yang diutus menjadi
rasul sesudahku. Umatnya yang masuk surga lebih banyak daripada umatku.”
Di langit ketujuh beliau bertemu Ibrahim dan beliau mengucapkan salam,
yang dibalas Ibrahim dan disambutnya. Kemudian beliau naik lagi ke
Sidratul-Muntaha. Al-Baitul-Ma’ mur dinaikkan pula bagi beliau,
kemudian naik lagi menghadap kepada Allah. Beliau mendekat kepada Allah
hingga jaraknya kira-kira antara dua ujung busur atau bahkan lebih
dekat lagi. Lalu Allah mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang memang Dia
wahyukan dan mewajibkan shalat lima puluh waktu sehari semalam.
Beliau kembali hingga bertemu Musa, yang bertanya kepada beliau. “Apo yang diperintahkan kepadamu?”
Beliau menjawab, “Shalat lima puluh kali.”
“Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup melakukannya. Kemba¬lilah
kepada Rabb-mu dan mintalah keringanan bagi umatmu,” kata Musa.
Bel i au menengok ke arah Jibril dengan maksud untuk mem inta saran-nya
tentang hal ini. Maka Jibril memberi isyarat iya, selagi beliau
menghen-dakinya. Maka Jibril membawa beliau naik lagi ke atas hingga
menghadap kepada Allah yang tetap berada di Tempat-Nya. Maka Allah
memberi keri-nganan sepuluh shalat. Selanjutnya beliau mondar-mandir
antara Allah dan Musa. hingga akhirnya shalat itu tinggal lima kali.
Musa menyarankan untuk kembali lagi kepada Allah dan memohon keringanan
lagi. Namun beliau menjawab, “Aku sudah malu kepada Rabb-ku. Aku sudah
ridha dan meneri-manya.-
Ketika beliau menjauh, tiba-tiba terdengar seruan, “Aku telah mene
tapkan kewajiban-Ku dan Aku telah memberi keringanan bagi hamba-Ku.-
Para shahabat saling berbeda pendapat, apakah malam itu beliau
melihat Rabb ataukah tidak. Diriwayatkan secara shahih dari lbnu Abbas,
bahwa beliau melihat-Nya. Namun ada pula riway at shahih darinya. bahwa
be I iau melihat dengan hatinya. Ada pula riwayat shahih
dari Aisyah dan Ibnu Mas’ud yang mengingkari pendapat ini. Tentang
firman Allah, “Dan, se-sungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu
yang lain di Sidratul¬Muntaha.” (An-Najm: 13), bahwa yang di lihat di
sini adalah Jibril.
Ada pula riwayat shahih dari Abu Dzarr, dia pernah bertanya kepada beliau, “Apakah engkau pernah melihat Rabb engkau?”
Beliau menjawab, “Dia adalah cahaya. Maka mana mungkin aku bisa
melihat-Nya.” Dalam lafazh lain disebutkan, “Aku melihat sebuah cahaya.”
Sementara Utsman bin Sa’ id Ad-Darimy mengisahkan kesepakatan para
shahabat bahwa beliau tidak melihat-Nya. Syaikhul-I s lam Ibnu
Taimi¬yah berkata, “Perkataan Ibnu Abbas, Sesungguhnya beliau
melihat-Nya., tidak bertentangan dengan pendapat yang terakhir ini
maupun perkataan, ‘Beliau melihat dengan hatinya’. Ada riwayat shahih
dari beliau, bahwa be¬liau bersabda, Aku pernah melihat Rabb-ku
Tabaraka wa Ta ‘ala. ‘Tapi hal ini terjadi bukan pada saat isra’,
tetapi pada saat di Madinah, tepatnya saat beliau terlambat datang ke
shalat subuh. Kemudian beliau mengabarkan bahwa semalam beliau melihat
Rabb dalam mimpinya. Atas dasar inilah Al-Imam Ahmad melandaskan
pendapatnya, dan dia berkata, “Beliau benar¬benar melihat-Nya, karena
mimpi para nabi itu benar.” Tapi Al-Imam Ahmad tidak mengatakan bahwa
beliau melihat-Nya dengan mata kepala saat terjaga. Siapa yang
mengisahkan hal ini dari be I iau, maka itu hanya sekedar dugaan.
Tentang “Mendekat” yang disebutkan di dalam surat An-Najm, “Ke-mudian
mendekat dan bertambah dekat lagi “, bukan mendekat yang berkaitan
dengan peristiwa isra’, dan yang mendekat di sini adalah Jibril,
sebagaimana yang dikatakan Aisyah dan Ibnu Mas’ud
Pada keesokan harinya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bera¬da
di tengah kaumnya dan memberitahukan apa yang telah beliau alami dan
tanda-tanda kekuasaan yang diperlihatkan Allah. Tapi mereka justru
semakin mendustakan beliau dan cemoohan mereka semakin menjadi-jadi.
Ketika mereka meminta agar beliau menggambarkan keadaan Baitul-Magdis,
maka Allah menampakkan Baitul-Maqdis itu di depan mata beliau, sehingga
de¬ngan lancar beliau dapat menggambarkannya kepada mereka. Dengan
begitu mereka tidak ada cara untuk menolak penuturan be I iau. Beliau
juga menga¬barkan rombongan kafilah mereka yang sedang dalam perjalanan
pulang dan bahkan beliau mengabarkan hari kedatangan mereka serta
menyebutkan jumlah onta yang mereka bawa. Ketika rombongan itu sudah
tiba di Makkah, apa yang beliau sampaikan itu sama persis dengan
keadaannya. Tapi justru semua ini membuat mereka semakin bertambah
kufur, dan orang-orang yang zhalim tidak menghendaki selain dari
kekufuran.
Ibnu Ishay menukil dari Aisyah dan Mu’awiyah, keduanya berkata, Beliau
melakukan isra’ dengan ruhnya, dan jasadnya tetap ada.” Begitu pula
yang dinukil dari Al-Hasan Al-Bashry. Tetapi harus diketahui
adanya perbe-daan antara isra’ itu seperti mimpi dalam tidur dan isra’
dengan ruh tanpa ja-sad. Sebab ada perbedaan yang jauh antara keduanya.
Aisyah dan Mu’awiyah tidak mengatakan bahwa isra’ dengan ruh itu
merupakan mimpi, tetapi keduanya mengatakan, “Be l iau me lakukan isra’
dengan ruhnya, dan jasadnya tetap ada.” Sebab mimpi itu boleh jadi
merupakan imbas dari sesuatu yang ditangkap indera, sehingga beliau
merasa seakan dibawa naik ke langit, sementara ruhnya tidak beranjak
dari jasad dan tidak kemana-mana. Ada dua go longan berkaitan dengan
mi’raj Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Pertama, beliau baik ke
langit dengan ruh dan jasadnya. Kedua, beliau naik ke langit dengan
ruhnya saja. Golongan yang kedua berpendapat seperti yang dikatakan
Aisyah dan Mu’awiyah, tidak seperti mimpi dalam tidur. isra’ dan mi”raj
ini suatu perkara jauh di luar mimpi yang dialami pada waktu tidur,
tetapi itu termasuk kejadian-kejadian di luar kebiasaan yang berlaku,
seperti perut beliau yang dibedah tanpa ada rasa sakit, padahal beliau
dalam keadaan sadar dan hidup. Jadi beliau dibawa naik ke langit dengan
ruhnya yang suci tanpa mewafatkannya. Sementara ruh selain beliau tidak
ada yang naik ke langit kecuali setelah mati. Sedangkan ruh para nabi
ada di langit setelah men inggal dunia. Ruh Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam naik ke langit selagi beliau masih hidup, lalu kembali
lagi ke jasadnya, dan setelah wafat, ruh beliau ada di sisi Allah Yang
Mahatinggi bersama ruh para nabi. Ruh beliau ini masih terkait dengan
badan dan bergantung kepadanya, sehingga beliau masih bisa membalas
salam yang disampaikan kepada beliau. Dengan begitu beliau bisa melihat
Musa yang shalat di kubumya, sehingga mengenal-nya di langit yang
keenam. Sebagaimana yang diketahui, beliau tidak dimi’rajkan dengban
Musa dari kuburnya, kemudian dikembalikan lagi ke sana. Langit yang
keenam itu merupakan tempat tinggal ruh Musa, dan kubur¬nya merupakan
tempat tinggal jasadnya hingga hari kiamat kelak, yang saat itu semua
ruh kembali ke jasadnya masing-masing. Jadi beliau bisa melihat Musa
yang shalat di atas kuburnya, dan bisa melihatnya di langit yang
keenam. Begitu pul a ruh beliau ada di sisi Allah Yang Mahatinggi,
sementara jasad beliau ada di kuburnya, membalas salam siapa pun yang
menyampaikan salam kepada beliau, tapi juga tidak beranjak dari sisi
Allah.
Siapa yang ingin memahami lebih mendalam tentang hal ini, silahkan
lihat matahari, jauh di atas sana di tempatnya, yang berpengaruh
terhadap kehidupan di bum i. bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Api tetap ada di tempatnya, dan panasnya berpengaruh terhadap badan
yang jauh dari-nya. Begitulah kira-kira gambaran ruh dan jasad.
Sementara hubungan dan kaitan ruh dengan badan jauh lebih kuat dan
lebih sempurna daripada gam-baran api matahari dan panasnya.
Musa bin Uqbah meriwayatkan dari Az-Zuhry. bahwa Rasulullah Shallallahu
A laihi wa Sallam dimi’rajkan dari B a itu 1-M acidi s ke langit sebe
lum hijrah ke Madinah, kira-kira setahun sebelumnya. Menurut
Ibnu Abdil¬Barr dan lain-lainnya, jangka waktu antara keduanya setahun
dua bulan.
Isra.’ dan mi’raj in i terjadi hanya sekali. Tapi ada yang mengatakan,
dua kali, sekali dalam keadaan terjaga dan sekali dalam tidurnya.
Seakan-akan mereka yang berpendapat seperti ini hendak mengompromikan
antara had its Syarik dan sabda beliau, “Ketika aku terjaga….” Ada pula
yang menga-takan tiga kali. Yang benar, isra’ dan mi’raj terjadi hanya
sekali saja, yaitu setelah diutus sebagai rasul saat di Makkah.
Permulaan dan Pembuka Hijrah
Al-Wagidy berkata, “Aku diberitahu Muhammad bin Shalih, dari Ashim bin
Umar bin Qatadah dan Yazid bin Ruman dan lain-lainnya, mereka
mengatakan. bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menctap di
Makkah. dan selama tigatahun semenjak awal nub!_swah, beliau bergerak
se ,:ara sem huny i-sembuny i Kern udian menampakkannya pada tahun
keempat. Bel iau mengajak manusia kepada Islam selama sepuluh tahun,
dengan memanfaatkan momen musim haj i pada setiap tahunnya. I3eliau
mendatangi orang-orang yang berhaji di tempat penginapan mereka, atau
menemui mereka pada hari-hari raya di Ukazh, Majannah maupun
Dzul-Majaz. Pada kesempatan itulah bcliau menyeru agar mereka sudi
membela beliau, sehing¬ga beliau bisa menyampaikan risalah Allah, dan
beliau menjanjikan bahwa mereka akan mendapatkan surga. Tapi tak
seorang pun yang menggubris seruan beliau dan tak seorang pun yang mau
menolong beliau. Sampai¬sampai beliau menyempatkan diri untuk bertanya
kesana kemari diinana ictak persinggahan masing-masing, kabilah. Da lam
setiap kesernpatan beliau berseru, “Wahai manusia, katakanlah. Tiada I
lah setain Allah’, niscaya kalian akan bcruntung, kalian akan menguasai
bangsa Arab dan orang non-Arab akan tunduk kepada kalian. Jika kalian
heriman, maka kalian akan menjadi raja di surga.”
Sementara Abu Lahab ada di belakang beliau sambil berkata, “Jangan¬lah
kalian mcnurutinya, karena dia orang yang keluar dari agamanya dan
seorang pendusta.”
Mereka menolak seruan beliau dengan cara yang amat buruk dan juga
menyakitkan, seraya berkata, “Keluarga dan kerabatmu yang lebih tahu
tentang dirimu pun tidak sudi mengikutimu.”
Namun begitu beliau terus menyeru mereka kepada Allah, seraya bersabda,
“Sekiranya Engkau menghendaki, tentulah mereka tidak seperti ins.”
Al-Waqidy berkata, “Di antara kabilah-kabilah yang didatangi dan diseru
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah Bani Amir bin Sha’-
sha’ah, Muharih bin Hashafah_ Fazarah, Ghassan, Murrah, Hanifah, Sulaim,
Abs, Bani An-Nadhr, Bani Al-Buka’, Kindah, Kalb, A l-Harits
bin Ka’b, Udzrah, Al-Hadharimah, dan tak seorang pun di antara mereka
yang mereaksi seruan beliau.”
Inilah di antara basil yang dilakukan Allah bagi Rasul-Nya, yaitu
berawal dari kabilah Aus dan Khazraj yang mendengar dari sekutu mereka
dari kalangan Yahudi Madinah, “Ada seorang nabi yang diutus pada zaman
ini, lalu kami akan mengikutinya dan kami akan memerangi kalian seperti
penyerangan terhadap kaum Ad dan Iram.- Pada saat itu orang-orang Aus
dan Khazraj juga melaksanakan haji ke Baitul-Hararn seperti yang biasa
dikerjakan semua bangsa Arab. Sementara orang-orang Yahudi tidak
mengerjakannya. Ketika orang-orang Aus dan Khazraj melihat Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menyeru manusia kepada Allah dan
mem¬perhatikan keadaan beliau, maka mereka saling berbisik di antara
sesama mereka, “Demi Allah, kalian tahu orang inilah yang diingatkan
orang-orang Yahudi kepada kalian. Maka janganlah mereka mengalahkan
kalian untuk mengikutinya.”
Suwaid bin Ash-Shamit yang berasal dari Aus dan lebih dahulu tiba di
Makkah, diseru Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Tapi dia tidak
mengiyakan dan juga tidak menolak hingga datang Anas bin Rafi’
Abul¬Haisar beserta serombongan para pemuda dari kaumnya, Bani
Abdul-Asyhal, yang ingin mencari sekutu. Maka beliau menyeru para
pemuda ini. Iyas bin Mu’adz, orang yang muda di antara mereka berkata,
“Wahai kaumku, demi Allah, ini lebih baik daripada apa yang hendak kita
Karena dianggap lancang, dia ditempeleng oleh Abul-Haisar hingga
membuatnya terdiam. Dengan begitu gagallah tujuan mereka semula. lalu
mereka pun kembali ke Madinah.
Saat di Aqabah beliau bertemu dengan enam orang dari Anshar dan
semuanya berasal dari Khazraj. Mereka adalah Abu Umamah bin Zurarah,
Auf bin Al-Harits, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin Am ir, Uqbah bin Amir
dan Jabir bin Abdullah bin Ri ‘ab. Beliau menyeru mereka kepada Islam,
dan mereka pun masuk Islam.
Setelah itu mereka kembali ke Madinah dan menyeru kaumnya kepada Islam,
hingga tak seberapa lama Islam sudah menyebar di sana, dan hampir tidak
ada satu rumah pun melainkan ada salah seorang dari penghuninya yang
sudah masuk Islam. Pada tahun berikutnya, ada dua belas °rang, yang
datang ke Makkah, yaitu enam orang yang pertama kali bertemu beliau di
Aqabah selain Jabir bin Abdullah. ditamhah Mu’adz bin Al-Harits bin
Rifa’ah, saudara Auf. Dzakwan bin Abdul-Qais. dan Dzakwan ini tetap
berada di Makkah dan ikut hijrah ke Madinah. sehingga dia disebut
Muhajir dari Anshar, Ubadah bin Ash-Sharnit. Yazid bin “I’sa’labah,
Abul-liaitsam At¬Taihan dan Uwaimir bin Malik.
Abuz-Zubair meriwayatkan dari Jabir, bahwaNabi Shallallahu
Alaihi wa Sal lam berada di Makkah selama sepuluh tahun untuk
mendatangi tempat-tempat penginapan manusia saat musim haji, saat pasar
raya Ukazh dan Majannah, seraya mengatakan, “Siapa yang mau memberi
tempat perlindungan bagiku? S iapa yang mau menolongku, agar aku dapat
menyampaikan risalah Rabb-ku, dan dia akan mendapat surga?” Tapi tak
seorang pun yang mau mengulurkan pertolongan dan memberi tempat
perlindungan. Bahkan ada seseorang yang menyempatkan diri pergi dari
Mudhar atau Yaman menemui sanak kerabatnya untuk memberitahu mereka
seraya berkata, “Berhati-hatilah kalian terhadap seorang pemuda
Quraisy, jangan sampai kalian terpedaya olehnya.” Semua itu tidak
menyurutkan langkah beliau untuk mendatangi pemuka mereka, menyeru
kepada Allah, sekalipun mereka menudingkan jari telunjuknya kepada
beliau.
Jabir menuturkan, “Sampai akhirnya Allah mengirim seseorang dari
Yatsrib kepada kami, lalu di antara kami menemuinya dan membacakan
Al-.Qur’an kepadanya. Dia pun masuk Islam, lalu kembali kepada
keluarganya,
mengajak mereka dan mereka pun masuk Islam. Hingga tidak ada satu
perkampungan pun dari perkampungan-perkampungan Anshar, melainkan di
dal amnya ada beberapa orang yang menampakkan keislamannya. Kemudian
Allah mengutus kami untuk menemui beliau. Kami berkumpul dan berembug,
lalu kami berkata, Sampai kapankah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallan2 diusir hingga ke gunung-gunung di Makkah dan dalam keadaan
takut?’ Pada musim haji kami pergi dan bertemu beliau. Kami mengukuhkan
Bal at Al-Aqabah. Paman beliau, Al-Abbas berkata, “Wahai anak
saudaraku, aku tidak tahu siapa orang-orang yang menemuimu ini. Padahal
aku cukup tahu siapa Baja penduduk Yatsrib.” Kami berkumpul bersama
beliau bersama satu atau dua orang. Ketika Al-Abbas melihat wajah kami,
maka dia berkata, “Kami tidak tahu siapa mereka ini. Mereka adalah
orang-orang yang masih muda.”
Lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, karena apakah kami berbalat
kepada engkauT’ Beliau menjawab, “Kalian berbai’at untuk patuh dan
taat, dalam keadaan semangat maupun ma las, bersedia menafkahkan harta
dalam keadaan sulit maupun mudah, untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar, untuk mengatakan tentang Allah dan kalian tidak peduli terhadap
celaan orang-orang yang suka mencela, agar kalian menolongku jika aku
datang ke tempat kalian, kalian harus melindungi aku sebagaimana kalian
melindungi diri, istri dan anak-anak kalian, dan kalian akan
mendapatkan surga.”
Maka kami bangkit untuk berbai’at kepada beliau. Pertama-tama beliau
memegang tangan As’ ad bin Zurarah, orang yang paling muda di antara
mereka. Dia berkata, “Sebentar wahai penduduk Yatsrib. Kita tidak
menyerahkan hati kita kepada beliau melainkan karena kita tahu bahwa
bet iau adalah Rasul Allah, dan sesungguhnya kepergian
heliau kali ini sama dengan meninggalkan semua bangsa Arab, orang-orang
pi lihan kalian bisa terbunuh dan mereka akan mengangkat senjata kepada
kalian. Jika kalian sabar menghadapi semua itu, maka lakukanlah, dan
pahala kalian ada pada Allah. Tapi jika kalian takut terhadap
keselamatan diri kalian, maka tinggalkanlah, dan yang demikian ini akan
diampuni di sisi Allah.”
Mereka berkata, “Wahai As’ad, singkirkanlah tanganmu dari kami. Demi
Allah, kami tidak akan meninggalkan bai’at ini dan tidak
membatal¬kannya.”
Maka kami bangkit mendekati beliau. Lalu beliau memegang tangan kami dan membai’ at kami serta menjanjikan surga bagi kami.”
Setelah itu mereka kembali ke Madinah. Tak seberapa lama kemudian
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengutus Amr bin Ummi Maktum
dan Mush’ab bin Umair, agar keduanya mengajarkan Al-Qur’an kepada
orang-orang yang telah masuk Islam dan menyeru kepada Allah. Keduanya
menginap di rumah Abu Umamah As’ad bin Zurarah. Yang menjadi imam dalam
shalat adalah Mush’ab bin Umair. Berkat keduanya banyak sekali yang
masuk Islam. Bahkan setelah Usaid bin Al-Hudhair dan Sa’d bin Mu’adz,
dua orang pemuka Madinah masuk Islam, maka semua penduduk Bani
Abdul-Asyhal masuk Islam, baik laki-laki maupun wanita, kecuali
Ushairim bin Amr bin Tsabit. Tetapi akhirnya dia pun masuk Islam,
tepatnya sewaktu perang Uhud. Seketika itu dia menyatakan masuk Islam
dan langsung ikut berperang dengan gagah berani hingga terbunuh.
Sementara sekali pun dia belum sempat bersujud kepada Allah. Ketika hal
ini disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka
beliau bersabda, “Dia melakukan sedikit amal dan mendapatkan pahala
yang banyak.”
Setelah Islam banyak menyebar di Madinah dan menjadi lebih domi¬nan,
Mush’ab kembali ke Makkah. Pada musim haji tahun itu, penduduk Madinah
berangkat bersama, baik yang Muslim maupun yang musyrik, dan dipimpin
Al-Bara’ bin Ma’rur. Pada malam ketiga di Aqabah, ada tujuh puluh tiga
orang laki-laki dan dua wan ita yang secara sembunyi-sembunyi
menye¬linap dan menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu
mereka berbar at kepada beliau, karena mereka khawatir terhadap
hadangan kaum¬nya dan orang-orang kafir Quraisy. Yang pertama kali
menyatakan bai’at pada malam itu adalah Al-Bara’ bin Ma’rur. Pada saat
itu Al-Abbas, paman beliau juga datang ke tempat tersebut dan
menguatkan kembali bai’atnya yang sudah lalu. Beliau menunjuk dua betas
orang yang menjadi pemimpin mereka. Setelah proses bai’at sudah usai,
mereka meminta izin untuk menghampiri orang-orang yang ada di Aqabah
sambil menghunus pedang. Namun heliau tidak mengizinkannya. Pada saat
itu ada seorang syetan yang berteriak dengan suara nyaring di atas
bukit Aqabah, “Wahai penduduk
Makkah, adakah di tengah kalian orang-orang yang tercela dan keluar dari agamanya, yang berkumpul untuk memerangi kalian?-
Maka beliau bersabda, “Itu adalah penghuni Aciabah yang hina. Demi
Allah wahai musuh Allah, aku benar-benar akan memerangimu.” Setelah itu
beliau memerintahkan mereka kembali ke kemah mereka.
Pada pagi harinya beberapa orang pemuka dan pemimpin Quraisy menemui
orang-orang Anshar, seraya berkata, “Wahai orang-orang Khazraj, kami
mendengar selentingan kabar bahwa semalam kalian telah menemui rekan
kami dan berjanji kepadanya untuk menyatakan bai’ at, dengan tujuan
memerangi kami. Demi Allah, tidak ada satu pun perkampungan Arab yang
lebih kami benci selain daripada pecah peperangan antara kami dan
kalian.”
Lalu orang-orang musyrik dari Khazraj bangkit dan bersumpah kepada
Allah, “Hal ini tidak mungkin terjadi dan kami pun tidak mengetahuinya.”
Abdullah bin Ubay bin Salul juga mengatakan, “Itu adalah hal yang
mustahil dan tidak akan terjadi. Tak seorang pun di antara kaumku yang
berani lancang terhadapku seperti itu. Sekiranya aku berada di Yatsrib,
maka kaumku tidak akan berani berbuat seperti ini kecuali setelah
mereka meminta pendapatku.”
Setelah mendapat keterangan dari mereka, maka orang-orang Quraisy
kembali. Sementara pada waktu yang sama Al-Bara’ bin Ma’ rur beranjak
pergi ke perkampungan Ya’jaj dan bertemu dengan rekan-rekannya dari
orang-orang Muslim di sana, yang rupanya sedang dicari-cari Quraisy.
Tapi mereka justru bertemu Sa’d bin Ubadah. Mereka mengikattangannya
dengan tali kekang hewan tunggangannya dan menelikung ke belakang
lehernya. Mereka menggelendeng Sa’d sambil memukulinya hingga masuk
Makkah. Muth’ im bin Ady dan Al-Harits bin Harb bin Umayyah datang lalu
membe¬baskannya. Ketika orang-orang Anshar tidak melihat keberadaan
Sa-d, maka mereka bermusyawarah untuk mendapatkannya kembali. Tapi tak
se berapa kemudian Sa’d pun muncul, hingga mereka dapat kembali lagi ke
Madinah.
Ketika Rasulullah Shallallahu wa Sallam mengizinkan kaum Muslim in
untuk hijrah ke Madinah, maka mereka pun segera melakukannya. Adapun
yang pertama kali pergi adalah Abu Salamah bin Abdul-Asad dan istrinya,
Ummu Salamah. Tapi kemudian istrinya disandera selama setahun dan juga
harus berpisah dengan anaknya, Salamah. Genap setahun dia bisa pergi ke
Madinah, yang diantar oleh Utsman bin Abu Thalhah.
Ketika orang-orang musyrik melihat rekan-rekan Rasulullah Shal¬lallahu
Sallam eksodus meninggalkan Makkah be serta anak¬anakn) a menuju
Madinah, yang penduduknya dikenal suka memberi perlin¬dungan dan
memiliki kekuatan, maka mereka pun dirasuki perasaan takut sekirany a
beliau juga pergi ke sana. Karena dirasa permasalahanny a cukup gawat.
maka mereka mengadakan perternuan di Darun-Nadwah, yang juga
14107 ..P.,/,Wwza/r Xr..4X./z7′/ril 1 95
dihadiri seorang 1blis dalam rupa seseorang yang sudah tua
renta dari pendu-duk Najd. Setiap orang menyampaikan pendapatnya
masing-masing dan tak satu pun yang disetujui orang tua tersebut. Lalu
Abu Jahl berkata, “Menurut pendapatku, kalian harus merekrut seorang
pemuda yang gagah perkasa dari setiap kabilah, lalu kita berikan satu
pedang yang tajam kepada masing-ma¬sing, kemudian mereka bisa
membunuhnya dengan sekali tebasan Iayaknya yang dilakukan satu orang,
sehingga Bani Abdi Manaftidak bisa berbuat apa¬apa. Sementara kita bisa
menyerahkan tebusan kepada mereka.-
Orang tua itu pun berkata, “Demi Allah, ini bare pendapat yangjitu.”
Maka mereka pun bubar untuk melaksanakan rencana ini. Lalu Jibril
menemui beliau dan mengabarkan rencana mereka ini, dan memerintahkan
agar beliau tidak tidur di tempat tidurnya malam itu. Tengah hari
beliau mene-mui Abu Bakar, yang tak biasa beliau lakukan pada hari-hari
biasa. Beliau bersabda kepadanya, “Suruhlah keluargamu untuk pergi.”
Abu Bakar menyahut, “Mereka adalah keluargamu wahai Rasulullah.” Beliau
menjawab, “Sesungguhnya Allah sudah mengizinkan aku untuk pergi.”
Abu Bakar bertanya, “Apakah aku harus menyertai engkau wahai Rasulullah?”
-Benar,” jawab beliau.
“Demi ayah dan ibuku sebagai tebusan, ambillah salah satu dari dua hewan tungganganku ini.”
Bel iau menyahut, “Dengan harga yang selayaknya.-
Lalu beliau memerintahkan Ali untuk tidur di tempat tidur beliau malam
itu. Sementara orang-orang Quraisy sudah berkumpul mengepung rumah
beliau. Dari lubang pintu mereka mengintip ke dalam rumah untuk
memuluskan rencana pembunuhan terhadap diri bel iau pada tengah malam.
Mereka berembug bagian mana sasaran yang paling tepat.13eliau keluar
dari rumah sambil menggenggam pasir, lalu menaburkan ke kepada mereka
dan mereka pun sama sekali tidak mengetahui beliau. Hal itu beliau
lakukan sambil membaca ayat,
“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka
dinding (pula), dan Kami tutup (mater) mereka sehingga mereka tidak
dapat melihat.” (Yasin: 9).
Kemudian beliau menuju rumah Abu Bakar, dan bersamanya beliau keluar
dari pintu tembus di samping rumah pada malam hari. Ada seseorang
menemui orang-orang Quraisy yang berada di depan pintu rumah beliau.
Dia bertanya, “Apa yang kalian tunggu?”
-Muhammad.” jawab mereka.
Orang itu berkata, “Rupanya kalian telah terkecoh dan sia-sia. Demi
Allah karena Muhammad telah tneninggalkan kalian sambil menaburkan debu di kepala kalian.”
“Demi Allah, kami tidak melihatnya,” kata mereka, lalu mereka bangkit
sambil membersihkan debu dari kepala. Mereka adalah Abu Jahl, Al-Hakam
bin Al-Ash, Zum’ah bin Al-Aswad, Thu’aimah bin Ady, Abu Lahab, Ubay bin
Khalaf, Nabih dan Munabbih bin Al-Hajjaj. Setelah pagi menjelang mereka
mendapati Ali bin Abu Thalib yang telentang di tempat tidur beliau.
Ketika mereka menanyakan keberadaan beliau, dia menjawab, “Aku tidak
tahu.”
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pergi menuju gua Tsaur bersama Abu
Bakar dan memasukinya. Lalu ada laba-laba yang membuat rumah di pintu
gua. Sebelumnya beliau telah mengupah Abdullah bin Uraiqith Al¬Laitsy,
seorang penunjuk jalan yang handal. Sekalipun dia masih memeluk agama
kaumnya, Quraisy, toh beliau percaya kepadanya. K arena itu hewan
tunggangan juga diserahkan kepadanya dan berjanji akan bertemu lagi
setelah tiga hari bersembunyi di gua. Orang-orang mengerahkan seluruh
kemampuan untuk mencari beliau dan Abu Bakar, dan memanfaatkan ahli
pencari jejak. Bahkan mereka pun sudah tiba di mulut gua dan berdiri di
sana, sehingga Abu Bakar bisa mendengar percakapan mereka. Tapi Allah
membuat mereka tidak tahu keduanya. Sementara Amir bin Fuhairah yang
menggembalakan do mba-domba milik Abu Bakar mencari kabar apa yang
terjadi di Makkah, lalu pada ma’am harinya dia menyampaikannya kepada
beliau, lalu menje¬lang dini hari dia sudah berkumpul lagi dengan
mereka. Setelah tiga hari berada di gua dan pencarian Quraisy sudah
mulai mengendor. Abdullah bin Uraiqith menemui beliau dan Abu Bakar
sambil membawa dua ekor hewan tunggangan lalu melanjutkan perjalanan.
Abu Bakar membonceng Amir bin Fuhairah, sementara Abdullah bin Uraiqith
yang menjadi penunjuk jalan berjalan di depan. Sementara mata Allah
senantiasa mengawasi mereka.
Ketika orang-orang Quraisy mulai putus asa untuk memegang beliau dan
Abu Bakar, maka mereka mengumumkan adanya hadiah yang cukup menggiurkan
bagi siapa pun yang bisa memegang beliau. Maka orang-or¬ang bersemangat
kembali mengejar beliau. Ketika beliau melewati perkam¬pungan Bani
Mudlij, naik dari arah Qudaid, ada seseorang dari penduduk kampung itu
yang melihat beliau. Orang itu berkata, “Tadi aku melihat
ba¬yang-bayang beberapa orang di kejauhan, yang kukira dia adalah
Muhammad dan rekan-rekannya.”
Yang bisa menangkap isyarat orang itu adalah Suraqah bin Malik. Dia
ingin mendapatkan hadiah yang dijanjikan Quraisy sendirian, padahal
orang itulah yang mengetahui lebih dahulu. Maka dia segera menyahut,
“Orang yang engkau maksudkan itu adalah Fulan dan Fulan yang sedang
pergi untuk mencari keperluannya.”
Tak seberapa lama kemudian dia bangkit meninggalkan
teman¬temannya btu masuk ke dalam kemahnya. Dia berkata kepada
pembantunya, “Keluarlah kamu dari arah belakang kemah sambil menuntun
kuda dan tung¬gu di batik bukit” Sementara dia mengambi 1 tombak dan
menyembunyikan¬nya, lalu perlahan-lahan dia menghampiri kudanya dan
menungganginya. Ketika jaraknya sudah semakin dekat, dia bisa mendengar
suara bacaan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang sama sekali tidak
menoleh ke arah bela¬kang.
Sementara Abu Bakar senantiasa menoleh ke arah belakang, sehingga dia
melihat kehadiran Suraqah. Maka dia berkata, “Wahai Rasulullah, itu dia
Suraqah yang bisa menyusul kita.”
Beliau berdoa untuk kemalangan Suraqah, hingga kedua kaki kudanya
bagian depan terperosok ke tanah. Akhirnya Suraqah merasa putus asa,
lalu dia berkata, “Aku tabu bahwa apa yang menimpaku ini berkat doa
kalian her¬dua. Maka berdoalah bagi keberuntunganku, dan aku tidak akan
mem bocor¬kan kabar tentang kalian berdua kepada manusia.”
Maka beliau berdoa bagi Suraqah, lalu dia pun pergi. Bahkan dia sem¬pat
meminta suatu tulisan kepada beliau. Maka Abu Bakar menuliskan se¬suatu
baginya di atas kulit yang sudah disamak. Tulisan itu tetap dijaganya,
hingga saat Fathu Makkah dia menunjukkan tulisan itu kepada beliau, dan
beliau mem enuhi apa yang tertulis di dalamnya, seraya bersabda,
“Sekarang adalah saat untuk memenuhi janji dan berbuat baj
Bahkan Suraqah menawarkan bekal dan dua ekor tunggangan kepada beliau
dan Abu Bakar. Tapi beliau menjawab, “Kami tidak membutuhkan¬nya. Tapi
cukuplah jika engkau menahan pencarian terhadap diri kami.”
Suraqah menjawab, terlindungi.”
Ketika kem hali, dia mendapatkan orang-orang sedang mencari. Maka dia
berkata, “Tidak ada gunanya kalian mencari kabar tentang dia. Cukuplah
kalian berhenti sampai di sini saja.” Pada pagi harinya Suraqah gencar
menca¬ri beliau, tapi pada sore harinya dia melindungi beliau.
Dalam perjalanannya beliau melewati kemah Ummu Ma’bad Al-Khu¬za’ iyah,
seorang wanita yang kuat dan tegar, biasa bercengkerama di depan
kemahnya untuk memberi makan dan minum orang-orang yang lewat di tempat
itu.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar bertanya kepadanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu?”
Tapi tidak ada sesuatu yang bisa didapatkan darinya, karena saat itu
sedang paceklik dan domba-domba banyak yang kurus. Beliau melihat ke
seekor domba betina di dalam kemahnya. Maka beliau bertanya, “Adakah
domba itu ada air susunyaT’
Ummu Ma’bad menjawab, “la lebih payah lagi, karena umumya sudah lewat untuk bisa diperah susunya.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdoa lalu mengusapkan ta-ngan
ke kantong susunya sambil membaca basmalah, ialu beliau meminta bejana
besar yang bisa menampung air susu untuk beberapa orang. Beliau memerah
air susunya lalu memberikannya kepada rekan-rekannya, kemudian beliau
meninggalkan bejana itu di kemah Ummu Ma’bad. Setelah itu beliau
melanjutkan perjalanan. Pada waktu itu di Makkah terdengar suara yang
amat nyaring, tanpa diketahui siapa yang mengucapkannya,
Allah Pemilik Arsy melimpahkan kebaikan pahala-Nya
dua orang rekan yang berada di kemah Ummu Ma ‘bad
keduanya singgah di sana kemudian meninggalkannya keberuntungan bagi orang yang menyertai Muhammad
mengapa Allah mengalihkan kekuasaan dari Qushay
mengapa kalian melakukan perbuatan yang tak terpuji
hendaklah Bani Ka ‘b mengusapkan selamat kepada sang putri
yang tempatnya diduduki orang-orang beriman dan disinggahi
tanyakan tentang domba dan bejananya kepada saudari kalian
jika kalian tanyakan itu tentu kalian akan memberi kesaksian
Asma’ binti Abu Bakar menuturkan, “Tadinya kami tidaktahu ke arah mana
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menuju, hingga tiba-tiba ada
suara seseorang yang termasuk jenis jin yang mengumandangkan bait-bait
syair ini dari dataran rendah di Makkah. Semua orang menyimak suara itu
dan mencari-cari sumbernya, tapi mereka tidak melihatnya. Namun ketika
mendengar suara itu, maka kami bisa mengetahui ke mana arah yang dituju
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu ke arah Madinah.”
Ketika orang-orang Anshar mendengar kabar tentang Rasulullah
Shal-lallahuAlaihi wa Sallam yang sudah meninggalkan Makkah, makasetiap
hari mereka keluar menuju ke tanah lapang, menunggu kedatangan beliau.
Jika matahari berada di tengah ufuk dan panasnya menyengat kulit,
mereka pun kembali lagi ke tempat masing-masing. Begitulah yang selalu
mereka laku¬kan setiap harinya. Pada hari Senin tanggal dua belas Rabi’
ul-Awwal, me¬nginjak tahun ketiga betas dari nubuwah, mereka keluar
seperti biasanya, menunggu kedatangan beliau. Pada tengah hari ketika
panas amat menye¬ngat, mereka pun pulang. Kebetulan pada saat yang sama
ada seorang Yahudi yang naik ke atas salah satu benteng di Madinah
untuk suatu keperluannya. Dengan beg itu dia bisa me lihat kedatangan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat dari kej
auhan. remang-remang karena alunan fata¬morgana. Lalu dia berteriak
dengan suara nyaring, Bani Qailah, itu dia sahabat kal ian telah
datang. Itu dia sang kakek yang kalian tunggu-tunggu.”
Maka orang-orang Anshar berhamburan keluar dart tempat
mereka sambil membawa senjata untuk menyambut kedatangan beliau.
Seketika itu pula terdengar suara takbir di Bani Amr bin Auf, dan semua
orang Muslim juga mengumandangkan takbir sebagai luapan perasaan
gembira atas keda¬tangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Mereka menyambut kedatangan beliau sebagaimana layaknya sambutan
nubuwah, berkeliling mengerumuni beliau. Sementara beliau dalam keadaan
tenang berwibawa, lalu turun ayat.
“Sesungguhnya Allah Pelindungnya dun (begitupula) fibril danorang¬orang
Mukmin yang haik, dan selain duet itu malaiktit-inalai kat adalah
penolongnya pula. ” (At-Tahrim: 4).
Beliau teats berjalan hingga tiba di Quba- di Bani Amr bin Auf dan
singgah di rumah Ku ltsum bin Al-ilidm. Ada yang incngatakan di rumah
Sa’d bin Khaitsamah. Tapi pendapat yang pertama yang lebih kuat. Beliau
menetap di sana selarna empat belay hart dan mendirikan masjid Quba’.
masjid pertama yang didirikan setelah nubuwah. Tepat pada hart Jum’ at,
atas perintah Allah beliau melanjutkan perjalanan dan masuk waktu
shalat Jum’ at di Bani Salim bin Auf. Maka beliau mcngerjakan shalat di
masjid yang terletak di tengah lembah.
Selanjutnya beliau naik ke punggung ontanya dan orang-orang
menun-tunnya. Jumlah mereka amat hanyak dan mereka juga membawa
senjata, berkerumun di sekeliling beliau sehingga justru menghalangi
jalannya onta beliau. Maka beliau bersabda, “Berilah is jalan, karena
ia sudah mendapat perintah.”
Setiapkali onta beliau berjalan lewat di depan suatu rumah orang
An¬shar, maka dia mempersilahkan beliau singgah di rumahnya. Maka
beliau bersabda. “Biarkan saja ia, karena ia sudah mendapat perintah.”
Maka onta beliau melanjutkan jalannya. Ketika tiba di tempat d
idiri-kannya masjid yang ada sekarang ini, onta beliau menderum. Beliau
tetap berada di atas punggung onta, dan tak lama kemudian onta itu
bangkit dan berjalan lagi beberapa langkah. Lalu ia menoleh dan
membalikkan langkah, lalu menderum di tempat pertama ia menderum,
tepatnya di Bani An-Najjar, yang terhitung paman-paman beliau dart
garis ibu. Lalu beliau turun dart atas punggung onta. In i terjadi
berkattaufik Allah terhadap onta itu. Allah meng-hendaki beliau singgah
di tempat paman-paman beliau, sebagai penghormat¬an bagi mereka.
Orang-orang pun berkasak-kusuk bahwa beliau akan singgah di tempat
mereka. Karena itu Abu Ayyub A l-Anshary segera membawa pelana bet iau
dan memasukkannya ke dalam rumahnya. Mel ihat hal itu beliau bersabda,
“Seseorang itu beserta pelananya.”
Lalu As’ad bin Zurarah datang seraya memegang tali kekang onta beliau, yang dulunya onta itu adalah mil iknya.
Ibnu Abbas berkata, “Dulunya Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sal-lam berada di Makkah, lalu diperintahkan untuk hijrah. Maka
turun ayat,
“Dan katakanlah, “Ya Rabbi, masukkanlah aku secara masuk yang
benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar dan berikanlah
kepadaku dart sisi Engkau kekuasaan yang menolong’.”(Al-lsra’: 80).
Menurut Qatadah, Allah mengeluarkan beliau dart Makkah ke Madi¬nah
dengan cara yang baik dan beliau menyadari bahwa beliau tidak
mempu¬nyai kesanggupan melaksanakan perintah ini kecuali dengan suatu
kekuasa¬an. Maka dari itu beliau memohon kekuasaan yang menolong.
Selagi beliau masih berada di Makkah, Allah memperlihatkan tempat
tujuan hijrah. Ten-tang hal ini beliau bersabda, “Diperlihatkan
kepadaku tempat hijrah kalian, di daerah yang banyak ditumbuhi pohon
korma, terletak di antara dua bukit bebatuan hitam.”
Al-Bara’ berkata, “Orang yang pertama kali mendatangi kami di antara
para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah Mush’ab bin
Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Keduanya diutus untuk mengajarkan Al-Qur’an
kepada orang-orang. Kemudian Ammar bin Yasir, Bilal dan Sa’d. Se¬telah
itu Umar bin Al-Khaththab bersama dua puluh orang yang menunggang onta.
Setelah itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tidak pernah
kulihat manusia segembira saat mereka melihat kedatangan beliau.
Sampai¬sampai kulihat anak-anak, wanita dan para hamba sahaya
berseru,itu dia Rasulullah telah datang’.”
Beliau berada di rumah Abu Ayyub hingga beliau mem bangun rumah sendiri
dan masj id . Selagi masih berada di rumah Abu Ayyub itu, beliau
mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi’ untuk pergi ke Makkah, sambi I
menyerahkan dua ekor onta dan lima ratus dirham, agar keduanya
menjemput Fathimah dan Ummu Kultsum, dua putri beliau, Saudah binti
Zum’ah, istri beliau, Usamah bin Zaid dan Ummu Aiman. Sedangkan Zainab,
putri beliau tidak diperbolehkan oleh suaminya, Abul-Ash bin Ar-Rabl
untuk pergi bersama mereka. Sementara Abdullah bin Abu Bakar pergi
bersama keluarga Abu Bakar, termasuk pula Aisyah. Mereka singgah di
rumah Haritsah bin An-Nu’man.
Membangun Masjid
Az-Zuhry menuturkan, onta Rasulullah Shallallahu Alaihi waSallam
menderum di tempat dibangunnya masj id beliau. Saat itu beliau shalat
bersa-ma beberapa orang Muslim di tempat tersebut. Sebelurnnya tempat
itu merupakan tempat untuk men gumpulkan buah korma milik dua anak
yatim dari kalangan Anshar yang diasuh di rumah As’ad bin Zurarah. Maka
beliau menavvar harga tempat itu kepada keduanya. Nam un keduanya
berkata, -Tempat ini seperti harta rampasan milik engkau N.N,ahai
Rasulullah.”
Tapi beliau menolak pemberian itu dan tetap memhelinya
dengan harga sepuluh dinar. Bangunannya hanya berupa dinding tanpa atap
dan kiblatnya mengarah ke Baitul-Magclis. Sebelumnya tempat itu pun
sudah digunakan untuk shalat, dan As’ad bin Zurarah sudah
menggunakannya sebagai tempat shalat jama’ah sebelum kedatangan beliau.
Di dalamnya ada pohon ghargad dan korma serta beberapa kuburan
orang-orang musyrik. Beliau memerintahkan agar kuburan-kuburan itu
dipindahkan, pohonnya ditebang dan dipastikan arah kiblatnya. Luas
bidangnya yang mengarah ke kiblat seratus hasta dan ke samping kiri
kanannya juga hampir sama atau kurang sedikit. Kemudian mereka
membangunnya dengan batu bata clan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam juga ikut serta, mengusung batu¬batu dan batu bata, sambil
melantunkan syair,
Tak ada yang lebih baik dari kehidupan akhirat ya Allah
maku ampunilah dosa orang-orang Anshar dan yang berhijrah. Beliau juga mengucapkan,
Bukanlah pekerjaan di ladang Khaibar yang semacam ini
tapi ini merupakan kepatuhan kepada Allah dan lebih suci
Sementara sambil mengangkut batu bata, orang-orang Muslim juga membalas dengan pantun,
Selagi Rasul sibuk bekerja dan kami duduk santai
tentulah ini perbziatan yang menyesatkan bagi kami
Arah kiblatnya ke Baitul-Maqdis. Masjid ini mempunyai tiga buah pin¬tu
di bagian belakang arah kiblat dan satu pintu lagi yang disebut pintu
rahmat dan satu pintu lagi yang biasa dimasuki Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Tiangnya berupa batang pohon dan atapnya dari pelepah
daun korma. Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah engkau tidak
membuat langit¬langit?” Beliau menjawab, “Tidak. ini seperti bangsal
milik Musa.”
Bel iau juga membangun beberapa rumah di samping masjid bagi
istri-istri beliau, yang terbuat dari batu bata dan atapnya dari
pelepah daun korma. Setelah semua pekerjaan ini selesai, beliau
membangun lagi satu rumah bagi Aisyah di sebelah timur masjid dan satu
rumah lagi untuk Saudah.
Selanjutnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mempersaudara-kan
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang semuanya berjumlah
sembilan puluh orang, separoh dari Muhajirin dan separohnya lagi dari
An-shar, sehingga kedua belah pihak saling bahu-membahu,
toiong-menolong dan bahkan menjadi ahli waris jika ada yang meninggai.
Waris-mewarisi ini terus berlanjut hingga perang Badr. Tepatnya setelah
turun ayat,
“Dan, orang-orang yang mempunyai hubungan darah, satu sama lain
lebih berhak (waris-mewarisi).” (Al-Ahzab: 6).
Karena itu hak waris-mewarisi dikembalikan kepada kerabat yang
mempunyai pertalian darah. Ada yang berpendapat. beliau menetapkan
hubungan persaudaraan untuk kedua kalinya, yang pada saat
itulah beliau mempersaudarakan diri beliau dengan Mi. Yang benar adalah
hanya sekali dan yang pertama. Sebab seandainya begitu, maka orang yang
paling layak mendapatkan hubungan persaudaraan dengan beliau adalah Abu
Bakar Ash-Shiddiq, yang dalam hal ini beliau pernah bersabda,
“Sekiranya aku boleh mengambil seorang kekasih dari penduduk bumi,
niscaya aku mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku. Tetapi dia adalah
saudaraku dan rekanku.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam langsung mengontak orang-orang
Yahudi yang ada di Madinah dan mengukuhkan perjanjian dengan mereka.
Sementara ulama mereka yang paling menonjol, Abdullah bin Salam
langsung menyatakan masuk Islam. Tapi mayoritas di antara mereka tetap
kufur. Mereka terdiri dari tiga kabilah: Bani Qainuqa”, Bani Nadhir dan
Bani Quraizhah. Tiga kabilah ini memerangi beliau. Tapi Bani Qainuqa.’
diampuni, sedangkan Bani Nadhir diusir, Bani Quraizhah (yang laki-laki)
dibunuh dan anak-anak serta keluarga mereka ditawan. Surat Al-Hasyr
turun berkenaan dengan Bani Nadhir, dan surat Al-Ahzab berkenaan dengan
Bani Quraizhah.
Pada mulanya beliau shalat dengan arah kiblat menghadap ke
Baitul-Maqdis. Sementara saat itu beliau ingin beralih ke arah Ka’bah.
Karena itu beliau bersabda kepada Jibril, “Aku ingin Allah mengalihkan
wajahku dari kiblatnya orang-orang Yahudi.”
Jibril menyahut, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka berdoalah kepada Rabb-mu dan memohonlah kepada-Nya.”
Maka beliau menengadahkan muka ke arah langit, memohon yang demikian itu, hingga turun ayat,
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil-Haram. “(Al-Baqarah: 144). Hal ini
terjad i setelah selang enam belas bulan beliau menetap di Madi
nah dan dua bulan sebelum perang Badr.
Perubahan arah kiblat dari Baitul-Maqdis ke Ka’bah ini mengandung
beberapa hikmah yang amat besar, sekaligus sebagai ujian bagi
orang-orang Muslim, musyrik, Yahudi dan munafik. Bagi orang-orang
Muslim, maka me-reka berkata, “Kami beriman, mendengar dan patuh.”
Sebab mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjukdari Allah dan
perubahan ini bukanlah beban yang besar bagi mereka.
Sedangkan orang-orang musyrik berkata, “Karena mereka sudah kem-bali ke
arah kiblat kami, maka tak seberapa lama pun mereka akan kembali ke
agama kami pula. Jika begitu, maka agama kamilah yang benar.”
Sedangkan orang-orang Yahudi berkata, telah menyalahi kiblat para nabi
sebelumnya. Sekiranya dia benar-benar seorang nabi, niscaya dia shalat
ke kiblat para nabi.”
Sedangkan orang-orang munafik berkata, “Muhammad tidak tahu
dan kebingungan ke mana dia harus menghadap. Jika pertamalah yang
benar, sesungguhnya dia telah meninggalkannya. Jika kedua yang benar,
sesung-guhnya dia telah melakukan sesuatu yang batil.”
Dan, masih banyak lagi komentar orang-orang bodoh, sebagaimana yang dijelaskan Allah,
“Dan, sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi
orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh (Al-Baqarah: 143).
Hal in i rnerupakan ujian dari Allah bagi hamba-hamba-Nya, agar Dia
bisa mengetahui mana di antara mereka yang mengikuti Rasul dan mana
yang berpal ing darinya. Mengingat masalah pengalihan kiblat ini cukup
penting. maka sebelumnya Allah telah mengindikasikan penghapusannya dan
ke¬kuasaan Allah terhadapnya, lalu Dia mendatangkan yang lebih balk
dari apa yang dihapuskan-Nya itu atau yang serupa dengannya, dan
setelah itu Allah memburukkan orang-orang yang menentang Nabi
Shallallahu A laihi wa Sal-lam dan tidak patuh kepada beliau. Kemudian
Allah menyebutkan perbedaan antara orang-orang Yahudi dan Nasrani,
kesaksian sebagian atas sebagian yang lain, bahwa sebenamya mereka
tidak memiliki kedudukan yang berarti. Lalu Allah memperingatkan
hamba-hamba-Nya yang beriman agar melaku¬kan hal yang sama dengan
orang-orang Yahudi atau Nasrani dan tidak meng¬ikuti hawa nafsu mereka.
Lalu Allah menyebutkan kekufuran dan syirik mereka terhadap Allah,
seperti ucapan mereka, “Sesungguhnya Allah mem¬punyai anak.- Padahal
Allah lebih tinggi dari apa yang mereka katakan itu. Kemudian Allah
mengabarkan bahwa kepunyaan-Nyalah timur dan barat. Kemana pun
hamba-hamba-Nya menghadapkan muka, maka di situlah ada wajah (kiblat)
Allah.
Kemudian Allah mengabarkan bahwa Dia tidak mempertanyakan kepada
Rasul-Nya tentang orang-orang yang masuk neraka Jahannam dan mereka
yang tidak percaya kepada beliau. Allah juga mengabarkan bahwa
orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang dan rela hingga beliau
mau mengikuti agama mereka. Andaikan beliau melakukannya, namun Allah
melindungi beliau dari hal itu, maka Allah tidak lagi menjadi penolong
dan pelindung beliau. Kemudian Allah mengingatkan Ahli Kitabtentang
nikmat-nikmat yang telah di limpahkan kepada mereka dan menakut-nakuti
mereka dengan siksa-Nya pada hari kiamat. Kemudian Allah menyebutkan
kekasih-Nya, Ibrahim Alaihis-Salam, memuj inya dan menjadikannya
sebagai imam bagi seluruh manusia. Kemudian Dia menyebutkan Bait
Al-Haram dan Ibrahim yang membangunnya. Karena yang membangunnya adalah
imam seluruh manusia, maka tidak heran jika apa yang di bangunnya itu
juga men¬jadi imam bagi mereka semua.
Kemudian Allah mengabarkan bahwa tidak ada orang yang
membenci millah imam ini kecuali orang-orang yang bodoh. Maka Allah
memerintah¬kan hamba-hamba-Nya agar mengikuti dan beriman kepada apa
yang ditu¬runkan kepadanya dan kepadapara nabi yang lain. Kemudian
Allah menolak anggapan orang yang menganggap Ibrahim dan keluarganya
adalah pengikut agama Yahudi dan Nasrani. Semua ini merupakan
pendahuluan sebelum ada ketetapan pemindahan kiblat. Allah menegaskan
masalah ini dari satu tahap ke lain tahap, baru kemudian
memerintahkannya kepada Rasul-Nya.*)
Kemudian Allah mengabarkan bahwa yang dapat menunjuki orang¬orang ke
jalan yang I urus adalah yang menunjuki mereka ke kiblat ini. Kiblat
ini menjadi mil ik mereka dan merekalah yang berhak atasnya, sebab
itulah kiblat yang paling mulia, yang berarti merekalah umat yang
paling mulia, sebagaimana Allah telah memilih Rasul dan kitab yang
paling utama bagi mereka, mengeluarkan mereka pada abad yang paling
baik, mengkhususkan mereka dengan syariat yang paling utama,
menganugerahkan akhlak yang paling baik, menempatkan mereka di belahan
bumi yang paling baik, menem-patkan mereka di surga yang paling baik
dan kedudukan mereka di akhirat merupakan kedudukan yang paling baik.
Mereka berada di tingkatan yang paling tinggi, dan umat-umat yang lain
ada di bawah mereka. Mahasuci Allah yang telah mengkhususkan siapa yang
dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan itu merupakan karunia Allah yang
diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dan Allah memiliki
karunia yang agung.
Allah mengabarkan bahwa Dia melakukan yang demikian itu agar manusia
tidak mempunyai hujjah terhadap orang-orang Muslim. Tapi orang¬orang
yang zhalim justru berkilah dengan hujjah-hujjah yang disebutkan itu.
Begitulah yang dilakukan orang-orang yang menentang para rasul.
Allah juga mengabarkan bahwa Dia melakukan yang demikian itu untuk
menyempumakan nikmat-Nya kepada mereka dan untuk menunjuki mereka. Dia
mengingatkan mereka tentang nikmat-Nya yang paling agung, yaitu dengan
mengutus Rasul-Nya kepada mereka, menurunkan Kitab-Nya, mensucikan
mereka, mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepada mereka serta
mengajarkan apa-apa yang belum mereka ketahui. Kemudian Allah
memerintahkan agar mereka mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya.
Dengan dua hal inilah mereka meminta pemenuhan kesempurnaan nikmat dan
tambahannya, yang berarti mereka membuat Allah mengingat mereka dan
mencintai mereka. Kemudian Allah memerintahkan agar mereka memohon
pertolongan kepada-Nya, yaitu dengan sabar dan shalat, dan Allah
mengabarkan bahwa Dia beserta orang-orang yang sabar. Kesempumaan
nikmat yang menyertai kiblat ini ialah pensyariatan adzan
lima kali sehari semalam. Semua ini terjadi setelah beliau berada di
Madinah.
Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam merasa tenang dan
mantap berada di Madinah, dan Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya
dan keberadaan orang-orang Mukmin dari kalangan Anshar, menyatukan hati
mereka yang sebelumnya mereka sal ing bermusuhan, para penolong Allah
dan pendukung Islam bermunculan, yang siap mengorbankan diri mereka,
yang lebih mencintai beliau daripada cinta mereka kepada bapak, anak
dan istri mereka, dan beliau lebih berhak terhadap mereka daripada
mereka terha¬dap diri sendiri, maka mulailah habakan baru, dimana semua
hangsa Arab dan Yahudi mengarahkan satu anak panah kepada mereka, siap
melancar¬kan serangan dan permusuhan, berteriak dengan suara lantang
dari segala penjuru kepada mereka. Tetapi Allah memerintahkan agar
mereka tetap ber¬sabar, memberi maaf clan tenggang rasa, sampai mereka
memiliki jaringan yang kuat dan sayap siap untuk mengepak. Baru
kemudian Allah mengizin¬kan mereka berperang, namun tidak mewaj
ibkannya.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, kare¬na
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan, sesungguhnya Allah benar-benar
Mahakuasa menolong mereka.” (Al-Hajj: 39).
Ada yang berpendapat, ayat ini turun di Makkah, sebab ini termasuk
Makkiyah. Tapi pendapat ini salah, yang bisa dilihat dari beberapa sisi:
1. Allah tidak pernah mengizinkan peperangan selagi beliau masih berada di Makkah.
2. Pengertian yang terkandung dalam kalimat ini menunjukkan bahwa izin
itu keluar setelah mereka diusir dari kampung halaman mereka tanpa
ala¬san yang benar.
3. Firman Allah sebelumnya, “Inilah dua golongan” “, berkaitan dengan dua pasukan yang bertemu di Badr.
4. Allah menyeru mereka dengan kalimat, “Hai orang-orang yang
ber¬iman”. Sebagaimana yang diketahui, seruan semacam ini hanya berlaku
untuk ayat-ayat Madaniyah.
5. Di dalam ayat ini Allah memerintahkan jihad, yang berarti bisa
dengan tangan atau selainnya. Tidak dapat diragukan bahwa perintah
jihad hanya terjadi setelah hijrah.
6. Al-Hakim meriwayatkan di dalam Mustadrak-nya, dari lbnu Abbas
de-ngan isnadnya menurut syarat Al-Bukhary dan Muslim, dia berkata,
“Setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meninggalkan Makkah,
maka Abu Bakar berkata, Mereka telah mengusir nabi mereka.
Sesung¬guhnya kami ini milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.
Mereka pasti akan hancur’. Maka kemudian Allah menurunkan ayat ini.
Inilah ayat pertama yang turun tentang peperangan.”
Setelah itu Allah mewajibkan peperangan kepada orang-orang
Muk¬min, yaitu memerangi orang-orang yang memerangi mereka, dan tidak
ber¬laku bagi orang-orang yang tidak memerangi mereka.
“Dan, perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian,
(tetapi)angarzlah !canon melampaui batas.” (Al-Baciarah: 190).
Kemudian Allah mewajibkan mereka memerangi orang-orang musy¬rik secara
keseluruhan. Hal ini terjadi pada bulan suci. Perintah perang ini
ditujukan kepada orang-orang yang lebih dahulu memerangi mereka.
Perin¬tah ini merupakan wajib ain menurut salah satu pendapat, dan
pendapat lain merupakan wajib kifayah, dan inilah pendapat yang lebih
terkenal. Yang pasti, di antara jen is jihad ada yang merupakan wajib
ain, entah dengan hati, lisan atau pun tangan. Sedangkan dengan harta,
maka setiap orang Muslim harus berj i had dengan j en i s ini. Jihad
dengan j iwa merupakan waj ib kifayah. Ada yang mengatakan bahwa jihad
dengan harta adalah wajib. Sebab jihad dengan harta dan jiwa sama-sama
disebutkan di dalam Al-Qur’an,
“Berangkatlah kalian dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa
berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah.
Yang demikian itu adalah lebih balk bagi kalian jika kalian menge
tahui. ” (At-Taubah: 41).
Bahkan Allah mengaitkan keselamatan dari neraka, ampunan dosa dan masuk surga dengan jihad ini, sebagaimana firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kalian aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkan /catkin dari adzab yang pedih?
(Yaitu) kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad di
jalan Allah dengan harta danjiwa kalian. Itulah yang lebih balk bagi
kalian jika kalian mengetahuinya, niscaya Allah akan mengczmpuni
dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai sungai, dan (memasukkan kalian) ke tempat tinggal yang
baik di dalam surga Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (Ash-Shaff:
10-12).
Allah mengabarkan, jika mereka suka melakukan hal ini, maka Allah akan
memberikan apa yang mereka sukai, yaitu berupa pertolongan dan
kemenangan yang dekat waktunya. Allah juga mengabarkan, bahwa Dia
membeli diri dan harta mereka serta akan memberikan ganti kepada
mereka, berupa surga.
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. ” (At¬Taubah: 111).
Janji ini telah tertuang di dalam kitab-kitab-Nya yang paling mulia,
yang diturunkan dari langit, yaitu di dalam Taurat, Injil dan
Al-Qur’an. Allah menguatkan janji ini, bahwa tidak ada yang bisa
memenuhi janji tersebut
selain dari Allah sendiri. Allah juga menguatkannya, dengan
memerintahkan mereka untuk menerima kabar gembira ini, seraya
memberitahukan bahwa itulah keberuntungan yang besar. Maka hendaklah
orang yang herakal men-cemiati perjanjian jual belt yang agung dari
Allah Mi. Allahlah yang membeli, lalu memberikan harga berupa surga.
Yang menawarkan perjanjian jual beli ini adalah utusan-Nya yang paling
mulia dari jenis malaikat dan manusia
dan Rasulullah). Satu barang dari jual bet i ini telah dipersiapkan
untuk suatu urusan yang amat besar. Dikatakan dalam sebuah syair.
Mereka siapkan satu urusanjika kau mau memikirkan
cermatilah dirimu agar kelak kau tidak ditelantarkan
Maskawin surga dan cinta adalah pengorbanan jiwa dan harta bagi yang
memiliki keduanya. Inilah yang akan dibel i dari orang-orang Mukmin.
Lalu mengapa orang-orang yang bodoh dan bangkrut masih hendak menawar
barang dagangan ini kepada Allah? Pasar telah di buka bagi siapa pun
yang menghendaki. Allah tidak rneridhai suatu harga tanpa ada
pengorbanan jiwa. Orang-orang yang malas menunda-nunda, sedangkan
orang-orang yang mencintai selalu menunggu-nunggu, siapakah di antara
mereka yang dirinya layak mendapat harga itu. Barang dagangan berputar
di antara mereka, lalu jatuh ke tangan orang-orang yang bersikap lemah
lembut terhadap orang¬orang Mukmin dan yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir.
Ketika orang-orang yang menyatakan cinta semakin banyak, maka mereka
dituntun untuk membuktikannya. Sekiranya setiap orang diberi kesempatan
untuk berbicara, tentulah mereka mampu membangkitkan rasa iba, sehingga
kesaksian pun bisa bermacam-macam. Maka dikatakan, “Kami tidak mengakui
pengakuan semacam ini kecuali dengan bukti nyata.-
“Katctkanlah, ‘,Aka kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikuti
lah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa ka
lian’.” (Ali lmran: 31).
Dengan begitu banyak orang yang tertunda di belakang, sedangkan
orang-orang yang mengikuti Rasul terlihat nyata dalam perbuatan dan
perka-taannya, petunjuk dan akhlaknya. Kemudian mereka masih dituntut
untuk menunjukkan obyektivitas bukti. Maka dikatakan, “Obyektivitas ini
tidak bisa diterima kecuali dengan pensucian.”
“Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan or¬ang yang suka mencela.”(Al-Maidah: 54).
Maka banyak orang-orang yang mengaku mencintai tertinggal di bela-kang.
Sementara orang-orang yang berjihad langsung bangkit. Lalu dikatakan
kepada mereka, “Sesungguhnya jiwa dan harta orang-orang yang mencintai
bukanlah mil ik mereka Maka mereka pun menyerahkan apa yang telah
ditetapkan dalam perjanjian jual beli. I3egitulah Allah membeli dari
orang-orang Mukmin, jiwa dan harta mereka, dan mereka akan mendapatkan
surga. Perjanj ian jual beliau mengharuskan adanya serah
terima antara kedua belch pihak. Selagi para pedagang melihat keagungan
pembeli, harga yang tinggi, kehebatan orang yang menawarkan jual bell
itu dan kitab yang mene-tapkan perjanjian itu, tentu mereka bisa
mengetahui barang dagangan itu mempunyai kedudukan sangat istimewa,
yang tidak dim il iki barang dagang¬an selainnya. Dalarn pandangan
mereka merupakan perbuatan tolol dan rugi jika mereka menjual barang
itu dengan harga yang murah, berupa beberapa dirham saja, yang
kenikmatannya terlalu cepat berlalu dan setelah itu disusul dengan
kerugian yang besar. Karena itu mereka lebih suka duduk di hadap¬an
pembeli Bai’at Ridhwan dengan suka rela dan tanpa memilih-rnilih dan
memikirkannya lebih jauh. Mereka berkata, “Demi Allah, kami tidak akan
membatalkannya dan tidak akan meminta pembatalan kepada engkau.” Ketika
kontrak jual beli sudah selesai dan mereka menyerahkan barang dagangan.
maka dikatakan kepada mereka. “Kini jiwa dan harta kalian menjadi mil
ik kami. Lalu kami akan menyerahkan kepada kalian pengganti yang lebih
banyak dan sekian kali lipat dari harta kalian.”
‘Dan, janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb mereka de¬ngan
mendapat rezki. ” lmran: 169).
Dikatakan pula kepada mereka, “Kami tidak membeli jiwa dan harta kalian
karena hendak mendapatkan, tapi agar tampak pengaruh kemurahan hati dan
kcmuliaan dalam pencrimaan jual beli dengan harga yang tinggi, kemudian
kami himpun untuk kalian harga dan apa yang mcsti dihargai.”
Perhatikanlah kisah Jabir bin Abdullah. Suatu hari Rasulullah
Shal-lallahu Alaihi wa Sallam membeli ontanya. Karena itu beliau
menyerahkan harga yang sudah disepakati dan bahkan menambahinya. Tak
seberapa lama kemudian beliau menyerahkan kembali onta tersebut
kepadanya. Pasalnya, ayah Jabir terbunuh sewaktu bergabung bersama
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di perang Uhud. Lalu beliau
mengabarkan keadaannya di sisi Allah, bahwa Allah telah menghidupkannya
kembali dan befirman kepa¬danya, ‘Hai hamba-Ku, mohonlah kepada-Ku,
niscaya Aku akan mengabul¬kannya bagimu’ .” Mahasuci Allah yang begitu
agung kemurahan-Nya, yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang telah
memberikan barang dagangan dan jugs harganya, yang menyempurnakan
perjanjian, yang menerima cacat penjualnya, lalu memberikan kepadanya
harga yang jauh lebih besar.
Karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi waSallam bersabda,
:21 A A :9÷C.a; L5J 11 A
“Allah menjamin bagi orangyang keluar dijalan Allah, yang
keluar¬nya itu hanya didorong keimanan kepadaku dan pembenaran terhadap
utusan-utusanku, bahwa aku akan mengembalikan kepadanya pahala atau
rampasan yang diperbolehkan, atau agar aku memasukkannya ke dalam
surga. Sekiranya tidak merepotkan umatku, niscaya aku tidak akan
ketinggalan menyertai pengiriman pasukan perang. Aku ingin sekiranva
aku terhunuh di jalan Allah, kemudian aku dihidupkan, kemudian
terhunuh, kemudian dihidupkan, lalu terhunuh lagi.
Inilah sabda beliau yang lain tentang jihad,
“Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah seperti orang yang
berpuasa pada slang harinya dan shalat pada ma’am harinya serta
menyimak ayat-ayat Allah, yang puasa dan shalatnya itu dilakukan
.secara terus-menerus tanpa ada selanya, hingga mujahid di jalan Allah
itu kembali. Allah tunduk kepada orang yang berjihad di jalan¬Arya,
yang jika Dia mematikannya, maka Dia memasukkannya ke dalam surga, atau
dia kembali dalam keadaan selamat samba rnembawa pahala dan harta
rampasan.
“Pergi berperang di jalan Allah pada pagi ataupetang hari lebih baik daripada dunia dan seisinya.”
“Siapu pun seseorang dari hamba-hamba-Ku yang keluar untuk ber¬jihad di
jalan-Ku untuk mencari keridhaan-Ku, maka Aku menjamin haginya bahwa
Aku akan memulangkannyajika Aku memulangkannya
sambil mendapatkan pahala atau harta rampasan, dan jika Aku
mematikannya, maka Aku mengampuni dosa-dosanya, merahmatinya dan
memasukkannya ke surga. ” (Diriwayatkan An-Nasa’y).
“Berjihadlah kalian dijalan Allah, karenajihad di jalan Allah itu
me¬rupakan salah Rau pintu dari berbagai pintu surga, yang dengannya
Allah akan menyelamatkan dari kekhawatiran dan kegundahan.
(Diriwayatkan Ahmad dan Ai-Hakim).
“Aku adalah penjamin bagi orang yang beriman kepadaku,
memas-rahkan diri dan berhijrah, di tingkatan surga paling bawah dan
suatu rumah di bagian tengahnya. Aku adalah penjamin bagi orang yang
beriman kepadaku dun memasrahkan diri serta berjihad di jalan Allah, di
suatu rumah di tingkatan surga paling bawah dan di suatu rumah di
bagian tengahnya serta di suatu rumah di bilik-bilik surga paling atas.
Siapa yang herb uat demikian, tidak meninggalkan kebaik¬an untuk dicari
dan tidak me mbiarkan keburukan untuk dihindari, maka dia akan matt
menurut apa pun yang dikehendakinya.
(Diriwayatkan An-Nasa’y dan Al-Hakim).
JA;
“Siapa pun dari orang Muslim yang berperangdijalan Allah meskipun hanya
selama memerah air susu hewan, niscaya dia akan masuk sur¬ga. ”
(Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan An-Na¬sa’y).
*
"Sesungguhnya di dalam surga itu ada seratus derajat yang
dipersiap¬kan Allah bagi pares mujahidin dijalan Allah, yangjarak di
antara duo derajat seperi jarak antara langit dan bumf. Jika kalian
memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus kepada-Nya, karena
Fir¬daus adalah pertengahan surge: dan surga yang paling atas, yang di
atasnya ada Arsy Yang Maha Pengasih, yang darinya sungai-sungai surga
memancar. " (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Ahmad).
Beliau pernah bersabda kepada Abu Sa` id, "Barangsiapa ridha kepada
Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad
sebagai rasul, diwajibkan atas dirinya rnasuk surga."
Seketika itu pula Abu Sa' id merasa taajub terhadap sabda beliau ini.
Maka dia berkata, "Tolong ulangi lagi wahai Maka beliau me la-kukannya.
.4 01 u L5.:!
"Barangsiapa membantu seorang mujahid di jalan Allah atau orang yang
mempunyai hutang dalam pembayaran hutangnya atau budak yang ingin
membayar demi kemerdekaan dirinya, maka Allah akan melindunginya di
dalam lindungan-Nya, pada hari yang tiada lindung¬an selain
lindungan-Nya. " (Diriwayatkan Ahmad dan Al-Hakim).
"Barangsiapa kedua kedua telapak kakinya berdebu dijalan
Allah, maka Allah mengharamkan neraka atasnya. " (Diriwayatkan
Al-Bukhary dan At-Tirmidzy).
ate
Kikir dan iman tidak akan berhimpun di dalam hati seseorang, debu di
jalan Allah dan asap Jahannam tidak akan berhimpun di wajah se¬orang
hamba." (Diriwayatkan An-Nasa'y, Ahmad dan Al-Hakim).
"Menjaga pasukan sehari semalam lehih haik daripadapuasa
sehulan dengan shalat malamnya. Jika dia matt, maka amal yang telah
dilaku¬kannya akan ditimbang, dan rezkinya akan dilimpahkan kepadanya
dan dia aman dari godaan syetan. " (Diriwayatkan Muslim)
"Barangsiapa tidak pernah berperang dan tidak pula memperlengkapi orang
lain yang berperang atau menggantikan orangyang berperang di tengah
keluarganya dengan suatu kebaikan, maka Allah menim¬pakan bencana
kepadanya sebelum hari kiamat. " (Diriwayatkan Abu Daud dan 1bnu Majah).
"Sesungguhnya pintu-pintu surga itu ada di bawah lindungan pe-dang. " (Diriwayatkan Muslim).
"Sesungguhnya api neraka itu dinyalakan pertama kali dengan
orang berilmu, orang yang berinfaq dan orang yang terbunuh datum jihad,
jika mere ka melakukan yang demikian itu agar disebta-sebut. "
(Diri¬wayatkan Muslim dan At-Tirmidzy).
Rasulul fah ShallallahuAlaihi wa Sallam suka berperang pada pagi ha¬ri,
sebagaimana beliau suka memulai bepergian pada pagi hari pula.
Jikatidak bisa memulai peperangan pada pagi hari, maka beliau
menundanya hingga matahari tergelincir pada tengah hari, sehingga angin
bisa berhembus ken¬cang dan kemenangan pun bisa diraih.
Haritsah binti An-Nu'man pernah bertanya kepada Rasulullah Shal-lallahu
Alaihi wa Sallam, setelah anaknya terbunuh sewaktu perang Badr, "Di
manakah dia sekarang?" Maka beliau menjawab, "Dia di surga Firdaus yang
paling tinggi."
Beliau bersabda tentang orang yang mati syahid,
"Tidaklah ada seorang hamba yang meninggal dunia, sedang dia
mendapat kehaikan di sisi Allah yang tidak membuatnya senang untuk
kembali lagi ke dunia dan dia mendapatkan dunia serta seisinya, selain
dari orang yang mati syahid, karena dia dapat melihat sebagian dari
kelebihan mati syahid. Yang membuatnya senang adalah kembali ke dunia
lalu terhunuh sekali lagi (sebagai syahld)," (Diriwayatkan Bukhary).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa membaiat para shahabat
dalam peperangan agar mereka tidak melarikan diri. dan adakalanya
beliau membaiat mereka untuk siap mati, atau membaiat mereka untuk
jihad, seba-gaimana beliau membaiat mereka kala masuk Islam atau hijrah
sebelum Fathu Makkah_ atau membaiat mereka pada tauhid, komitmen untuk
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Beliau juga pernah membaiat beberapa
orang di antara shahabat untuk tidak meminta sesuatu pun kepada orang
lain. Se-h ingga ketika cemeti salah seorang di antara mereka terjatuh,
maka dia turun dari punggung ontanya lalu mengambilnya, dan tidak mau
meminta tolong kepada orang lain untuk mengambilkannya.
Beliau juga bisa meminta pendapat para shahabat dalam urusan jihad,
tentang menghadapi musuh dan memilih tempat untuk bermarkas. Karena itu
Abu Hurairah berkata, "Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih
banyak bermusyawarah dengan rekan-rekannya selain dari Rasulullah
Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam."
Beliau pernah ketinggalan di barisan belakang ketika mengadakan
perjalanan, karena ternyata beliau membantu orang yang lemah dan
mem-bonceng orang yang tercecer di belakang. Beliau adalah orang yang
paling lemah lembut terhadap mereka dalam perjalanan. Jika beliau ingin
berangkat ke suatu peperangan, maka biasanya beliau mengalihkan
perhatian kepada hal lain, seperti pertanyaan beliau saat hendak ke
Hunain, "Bagaimana jalan menuju Najd, keadaan airnya dan orang-orang
yang ada di sana?- Maka be¬liau bersabda,
o h
"Peperangan adalah tipu muslihat. " (Diriwayatkan Al-Bukhary).
Beliau tak lupa mengirim beberapa mata-mata, lalu mereka kembali sambil
membaw a informasi tentang keadaan musuh. Jika sudah berhadapan dengan
pasukan musuh, beliau diam untuk berdoa dan rnemohon pertolongan kepada
Allah. lalu memperbanyak dzikir kepada Allah bersama shahabat,
sekalipun suara mereka tidak terdengar.
Beliau mengatur pasukan, menempatkan Para pelindung di
setiap sisi medan dan menyampaikan perintah secara jelas. Beliau juga
membawa ber-bagai peralatan perang dan terkadang juga mengenakan baju
besi. Beliau memiliki beberapa macam bendera dan panji. Jika hendak
melancarkan serangan, beliau menunggu beberapa saat. Jika terdengar
suara adzan, maka beliau tidak jadi melancarkan serangan. Jika tidak,
maka serangan itu pun dilancarkan. Terkadang beliau memberi kesempatan
kepada musuh, dan terkadang melakukan serangan secara tiba-tiha pada
siang hari. Beliau suka memulai perjalanan pada hari Kamis pada pagi
harinya. Jika pasukan sinv.- gah di suatu tempat, biasanya mereka
mengumpul menjadi satu. Sehingga jika digelarsuatu alas, maka mereka
semua bisa tertampung. Beliau mengatu. setiap barisan dan mengatur
irama peperangan, seperti sabda beliau, "Main hai Fulan, mundur hai
Fulan.-
Jika berhadapan dengan pasukan musuh, beliau berdoa,
A r; €1`s!
"Ya Allah, yang menurunkan Al-Kitab, yang menjalankan awan
dan yang mengalahkan pasukan musuh, kalahkanlah mereka dan tolong¬lah
kami atas mereka." (Diriwayatkan Al-Bukhary).
Terkadang beliau membaca ayat,
"Golongan itu putt akan di kalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.
Sebenarnya hari kiamat itulah hart yang dijanjikan kepada mereka dan
kiamat itu lebih dahsyat dan lebihpahit."(Al-Qamar: 45¬46).
Terkadang beliau membaca doa berikut,
"Ya Allah, turunkanlah pertolongan-Mu."
Ya Allah, Engkaulah kekuatanku, Engkaulah penolongku dan kare¬na-Mu aku
berperang. " (Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ahrnad).
Jika keadaan menjadi genting, peperangan berkecamuk dan musuh
menghampiri dirinya, maka beliau memperkenalkan diri, "Aku adalah nabi
dan aku tidak berdusta. Akulah keturunan Abdul-Muththalib."
Jika peperangan semakin panas dan berkecamuk banyak orang yang
berlindung kepada beliau, dan beliaulah orang yang paling dekat dengan
musuh. Biasanya beliau membuat semboyan-semboyan tertentu, seperti,
"Mati lah, matilah." Atau, orang yang mendapat pertolongan." Atau,
"Mereka tidak akan mendapat pertolongan."
Beliau biasa mengenakan baju dan topi besi dalam peperangan, meng¬hunus
pedang, membawa busur dan anak panah model Arab serta perisai. Beliau
suka memamerkan diri dalam peperangan, dan tentang hal in i beliau
bersabda, "Di antara sikap ini ada yang disukai Allah dan di antaranya
ada yang dibenci Allah. Memamerkan diri yang disukai Allah adalah
seseorang yang pamer saat pertempuran dan saat bershadaqah. Sedangkan
yang dibenci Allah adalah pamer dalam kesewenang-wenangan dan untuk
membanggakan
diri 5,
Beliau pernah menggunakan manjaniq (alat pelontar) ke penduduk Tha' if.
Beliau melarang membunuh para wanita dan anak-anak. Beliau melihat
siapa yang terjun di medan perang dan kalangan musuh. Jika bulu,
jenggot atau kumisnya sudah tumbuh, maka beliau membunuhnya. Jika
belum, maka beliau tidak akan membunuhnya dan men inggalkannya.
Jika mengi rim pasukan perang, beliau mewasiatkan takwa kepada Allah,
dengan bersabda, "Berangkatlah kalian dengan asma Allah di jalan Allah,
perangilah orang yang kufur kepada Allah, janganlah kalian mendendam,
jangan berkhianat dan janganlah membunuh anak-anak."
Beliau melarang pasukan membawa Al-Qur'an jika menuju suatu daerah
musuh, memerintahkan komandan pasukan agar mengajak pihak musuh kepada
Islam dan hijrah sebelum memerangi mereka, atau mengajak mereka kepada
Islam tanpa harus hijrah, sehingga kedudukan mereka seperti orang-orang
Muslim yang berada di daerah pedalaman, tanpa mendapatkan hagian dari
harta rampasan dan juga tidak perlu membayar jizyah. Jika me¬reka
menerimanya, maka pasukan Muslim akan menerima, dan jika tidak, maka
mereka layak untuk diperangi.
Jika musuh dapat dikalahkan, beliau menyuruh seseorang untuk ber¬seru,
agar semua harta rampasan dikumpulkan. Beliau mulai dengan
barang¬barang yang dirampas dan yang harus dikembalikan kepada
pemiliknya. Kemudian beliau mengeluarkan seperlima sisanya lalu
menyalurkannya se¬perti petunjuk yang diberikan Allah dan untuk
kemaslahatan Islam, kemudian memberikan sebagian kecildari sisanya
kepada orang-orang yang sebenamya tidak mendapat bagian dari harta
rampasan itu, seperti kepada para wanita dan anak-anak serta budak,
kemudian membagi sisanya secara merata kepada seluruh pasukan. Untuk
prajurit penunggang kuda mendapat tiga bagian, satu bagian untuk
dirinya dan dua bagian untuk kudanya. Adapun prajurit pejalan kaki
mendapat satu hagian. Inilah riwayat yang shahih dari beliau. Terkadang
beliau mengambil bagian tertentu dari harta rampasan itu menurut
kemas¬lahatan yang ada, yaitu sebanyak seperlima dari seperlima yang
diambi 1 pertama kali. Dalam suatu peperangan Salamah bin A I-Akwa'
pernah
berperan sebagai prajurit penunggang kuda dan juga pejalan
kaki. Maka beliau memberinya empat bagian, karena peranannya yang amat
besar dalam peperangan itu. Beliau menyamaratakan pembagian antara
orang yang kuat dan lemah, selain pemberian secara khusus seperti yang
disebutkan di atas. Selagi masih berada di medan peperangan dan setelah
dapat menundukkan musuh, beliau mengeluarkan seperlima dari harta
rampasan yang didapatkan, mengambil seperempat dari sisinya sebagai
pemberian ekstra, 'all, membagi sisanya kepada seluruh prajurit secara
merata. Jika sudah kembali, beliau juga melakukan yang demikian itu.
Tapi pada dasarnya beliau kurang suka terhadap pemberian ekstra ini,
dengan bersabda, -Hendaklah orang Mukmin yang kuat memberi orang Mukmin
yang lemah.-
Rasulullah Shallallahu Alaihi waSallam mempunyai satu bagian dari harta
rampasan yang disebut ash-shah,. Beliau bisa memberikan bagian ini
kepada budak laki-laki, budak perempuan atau seekor kuda yang memang
beliau kehendaki, sebelum mengambil yang seperlimanya. A isyah berkata,
-Shafiyah termasuk orang yang mendapat ash-shafy." Pedang bel iai; yang
disebut Dzul-Faqar juga termasuk mendapat bagian dari ash-shah'.
Terkadang beliau juga memberikan bagian kepada orang yang tidak ikut
dalam peperangan demi kemaslahatan orang-orang Muslim, seperti bagian
beliau yang diberikan kepada Utsman sewaktu perang Badr. Dia tidak bisa
bergabung karena harus merawat istrinya yang sedang sakit. yaitu
Ruqayyah. putri beliau. Tentang hal ini beliau bersabda. -Utsman
(seakan) pergi untuk keperluan Allah dan keperluan Rasul-Nya."
Para shahabat pernah membeli sesuatu dalam peperangan lalu men-jualnya
lagi, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari jual beli itu.
Beliau yang melihat hal ini tidak melarangnya. Di antara mereka ada
yang mengupah seseorang kaitannya dengan peperangan. Ada dua macam
tentang hal ini. Pertama. seseorang ikut dalam peperangan dan dia
mengupah orang lain untuk mengurus segala keperluannya dalam
perjalanan. Kedua, sese¬orang mengupah orang lain untuk ikut dalam
peperangan. Orang-orang yang diupah ini disebut ja'a'il. . Beliau
bersabda tentang hal ini, "Orang yang berperang mendapat pahala, dan
orang yang diupah mendapat pahalanya dan pahala orang yang berperang."
Ada juga di antara mereka yang bersekutu dalam peperangan, yang terdiri
dari dua macam. Pertama, persekutuan fisik. Kedua, seseorang
menye¬rahkan onta atau kudanya kepada orang lain, lalu mereka membagi
sama rata hasil rampasan yang didapatkan, atau membagi bagian dari
harta rampasan. 1 bnu Mas' ud berkata, "Aku pernah bersekutu dengan
Ammar dan Sa'd tentang harta rampasan yang kami peroleh di perang Badr.
Ternyata Sa'd berhasil mendapat dua orang tawanan, aku tidak mendapat
apa-apa dan Am¬mar mendapat barang."
Terkadang beliau mengutus pasukan perang yang sebagian
nunggang kuda dan sebagian yang lain berjalan kaki. Tapi beliau tidak
mi berikan bagian dari harta rampasan kepada prajurit tambahan setelah
FL. Makkah. Beliau pernah memberikan bagian untuk kaurn kerabat kepada
E Hasyim dan Bani Al-Muththalib, dan tidak memberikannya kepada E Abdi
Syams dan Bani Naufal. Dalam hal ini beliau bersabda, "Bani Al-Mi
thalib dan Bani Hasyim seakan satu," lalu beliau menjalin jari-jari
tangy lalu bersabda lagi, "mereka tidak pernah meninggalkan kami sewa
Jahiliyah dan tidak pula semasa Islam."
Adakalanya beliau dan pasukan Muslimin mendapat harta rampa berupa
madu, korma dan makanan, lalu mereka mernakannya bersama-sE dan tidak
memasukkannya sebagai bagian dari harta rampasan. Ibnu Ui berkata,
"Semasa Rasulullah Shallallahu Alaihi Iva Sallam pasukan M limin
mendapatkan rampasan berupa madu dan makanan dan beliau ti mengambil
seperlima bagian darinya."
Sewaktu perang Khaibar, Abdullah bin Al-Mughaffal menenteng tong kul it
yang berisi makanan. Dia berkata, "Aku tidak akan memberi barang ini
kepada seorang pun." Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sale yang
mendengar ucapannya hanyatersenyum dan tidak mengatakan apa
Ibnu Abi Aufa pernah ditanya, "Apakah kalian menyisihkan seperli bagian
dari makanan yang didapatkan semasa Rasulullah'?" Maka dia mei wab,
"Sewaktu perang Khaibar kami berhasi I mendapatkan makan Seseorang
datang dan mengambil menurut kebutuhannya, kemudian beranjak pergi."
Sebagian shahabat berkata, "Kami pernah memakan kelapa dal peperangan
dan kami tidak membaginya, hingga kami menghampiri hek tunggangan kami."
Beliau melarang penyerobotan harta rampasan (sebelum dibagi). liau
bersabda, "Siapa yang menyerobot dengan suatu penyerobotan, m, dia
bukan term asuk golongan kami." Bahkan kuwali dari penyerobotan y
digunakan untuk memasak pun diperintahkan untuk ditumpahkan.
Beliau melarang seseorang menunggangi hewan dari tebusan tawar Jika
hewan itu rnenjadi lemah karenanya, maka beliau mengembalikani kepada
orang tersebut. Begitu pula kain dari tebusan tawanan. Jika kain rusak
atau basah, maka beliau mengembalikannya kepada pemakainya. I cuali
jika dipergunakan dalam pertempuran, maka beliau tidak melarangn
Beliau sangat mengecam pengkhianatan, seraya bersabda, itu
besar dan cela, orangnya mendapat neraka pada hari kiamat."
Ketika salah seorang pembantu beliau meninggal, maka rekan-rek nya
berkata, lamat baginya karena masuk surga.- Maka beliau bersab "Sama
sekali tidak. Dem i yang di ri ku ada di Tangan-Nya, sesungguht
mantel yang pernah diambilnya sewaktu perang Khaibar berasal
dari harta rampasan. Yang tidak diperoleh dari pembagian harta rampasan
benar-benar akan menj ad i api yang membakarnya." Lalu muncul seseorang
yang menyerahkan seutas tali sandal atau dua tali ketika dia mendengar
sabda beliau itu. Maka beliau bersabda, "Ini adalah seutas tali atau
dua utas tali dari api neraka."
Beliau pernah bersabda tentang seseorang yang membawa barang bawaan
dalam perjalanannya, sementara orang itu sudah meninggal, "Dia berada
di neraka.- Setelah mereka meneliti asal-usulnya, temyata barang bawaan
orang itu merupakan harta rampasan yang diambilnya secara khianat.
Dalam suatu peperangan orang-orang berkata, "Fulan mati syahid, Fulan
mati syahid." Ketika mereka melewati jasad seseorang yang lain, mereka
berkata. "Fulan mati syahid." Lalu beliau menyahut, "Sams sekali tidak.
Aku melihat dirinya ada di neraka, gara-gara mantel atau barang yang
dia ambit secara khianat." Lalu beliau bersabda kepada Umar, "I-lai
Ibnui¬Khaththab, bangkitlah. Hai Ibnul-Khaththab, bangkitlah dan
sampaikan kepada orang-orang, bahwa tidak akan masuk surga kecuali
orang-orang yang beriman."
Ada seseorang yang meninggal sewaktu perang Khaibar. Orang-orang
mengabarkan hal ini kepada beliau, lalu beliau memerintahkan mereka
untuk menshalati jenazahnya. Raut muka mereka langsung berubah, karena
orang yang mati syahid tidak perlu dishalati. Beliau bersabda,
"Sesungguhnya rekan kal ian ini telah berbuat khianat di jalan Allah."
Saat barang-barangnya diperiksa, mereka mendapatkan satu butir mutiara
milik orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham.
Jika mendapatkan harta rampasan, biasanya beliau memerintahkan Bilal
untuk berseru kepada orang-orang, lalu mereka datang sambil
me¬nyerahkan harta rampasan mereka. Lalu beliau mengambil seperlimanya
dan membaginya. Setelah pembagian itu ada seseorang yang datang sambil
menyerahkan tali kendali yang terbuat dari bulu. Beliau bertanya
kepadanya, "Apakah engkau tidak mendengar Bilal sudah berseru tiga
kali?"
"Ya, saya sudah mendengamya," jawab orang itu.
"Lalu mengapa engkau terlambat menyerahkannyar tanya beliau.
Orang itu memberikan alasan tertentu. Maka beliau bersabda,"Datang¬lah
engkau pada hari kiamat dengan barang ini, dan aku sama sekali tidak
akan menerimanya darimu."
Beliau memerintahkan untuk membakar barang yang diambil dengan cara
khianat dan menjatuhi hukuman cambuk kepada pelakunya. Begitu pula yang
di lakukan dua khali fah setelah beliau. Ada yang berpendapat, hal ini
terhapus berdasarkan beberapa had its, karena tidak ada yang
menyebutkan pembakaran itu. Ada yang membantah pendapat ini, dan ini
fah yang benar,
bahwa yang demikian itu termasuk masalah peringatan dan
sekaligus hu¬kuman, yang permasalahannya dikembalikan kepada ijtihad
para imam, tergantung dari kemaslahatannya. Beliau pernah membakarnya
dan mem-biarkannya. Yang serupa dengan hal ini ialah menjatuhkan
hukuman mati kepada peminum khamr, setelah mendapat hukuman dua atau
tiga kali. Yang demikian ini dimaksudkan sebagai peringatan yang
didasarkan kepada ijtihad para imam.
Tuntunan Rasulullah dalam Memperlakukan Para Tawanan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah memaafkan sebagian
tawanan, membunuh sebagian, menerima tebusan harta bagi sebagian yang
lain dan menukar sebagian yang lain dengan tawanan orang Muslim. Beliau
pernah melakukan semua itu, tergantung dari pertimbangan kemaslahatan.
Beliau menerima tebusan harta dari para tawanan perang Badr. Dalam hal
ini beliau bersabda, "Sekiranya Muth' im bin Ady masih hidup, lalu dia
be-rembug denganku tentang para tawanan itu, tentu aku akan membebaskan
mereka."
Sewaktu perjanjian Hudaibiyah, ada delapan orang dari orang-orang
musyrik yang mengintai dan hendak mencari kelengahan beliau. Tapi
kemu¬dian mereka semua ketahuan dan terpegang, lalu beliau memaafkan
dan membebaskan mereka.
Tsumamah bin Atsal pernah menawan pemimpin Bani Hanifah lalu
mengikatnya di serambi masj id. Tapi kemudian dia melepaskannya dan
ta-wanannya itu masuk Islam.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam meminta pendapat kepada para shahabat
tentang para tawanan perang Badr. Abu Bakar Ash-Shiddiq meng-isyaratkan
untuk meminta tebusan kepada mereka, yang kemudian bisa dipergunakan
untuk menambah kekuatan kaum Muslimin dalam menghadapi musuh, setelah
itu mereka dilepaskan. Siapatahu Allah memberikan petunjuk kepada
mereka untuk masuk Islam. Lalu Umar berkata, "Demi Allah, aku tidak
sependapat dengan Abu Bakar. Menurut pendapatku, engkau harus memberi
kesempatan kepada kami, lalu kami bisa memenggal leher mereka, karena
mereka adalah para pemimpin dan pemuka kekufuran."
Ternyata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam lebih condong kepa-da
pendapat Abu Bakar dan tidak setuju dengan pendapat Umar. Keesokan
harinya Umar datang dan mel ihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam menangis beserta Abu Bakar. Dia berkata, "Wahai Rasulullah,
karena apakah engkau menangis beserta temanmu ini? Jika aku merasa
harus menangis, maka aku pun akan menangis, dan jika aku tidak merasa
harus menangis, maka aku akan pura-pura menangis karena tangis kalian
berdua.-
Maka beliau menjawab, "Aku menangis karena masalah yang
disam-paikan teman-temanmu kepadaku untuk mengambil tebusan dari
mereka. Ternyata kemudian ditampakkan kepadaku siksa mereka yang lebih
dekat jaraknya dengan pohon itu." Lalu Allah menurunkan ayat,
"Tidak patut bagi .svorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia da¬pat
melumpuhkan musuhnya di muka bumf. Kamu menghendaki harta benda duniawi
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kamu)." (Al-Anfal:
67).
Manusia sal ing berbeda pendapat, tentang mana di antara dua pendapat
ini yang paling benar. Ada golongan yang menguatkan pendapat Umar
berda-sarkan hadits ini, dan ada golongan lain yang menguatkan pendapat
Abu Bakar. Masing-masing dengan alasannya. Sedangkan tentang tangis
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka itu merupakan si fat kasih
sayang beliau atas turunnya adzab terhadap orang-orang yang menghendaki
harta duniawi. Sementara beliau sendiri dan juga Abu Bakar sama sekali
tidak mengingin-kannya, sekalipun memang sebagian shahabat ada yang
menghendakinya, yang biasanya bisa menimbulkan cobaan, yang tidak hanya
menimpa seba¬gian orang yang menghendakinya secara khusus, tapi menimpa
semuanya, seperti yang terjadi sewaktu perang Hunain, ketika sebagian
orang-orang Muslim ada yang berkata, "Hari ini kami tidak akan
terkalahkan karena menghadapi musuh yang lebih sedikit jumlahnya."
Mereka tertipu karena jumlah yang banyak, yang justru membuat mereka
kalang kabut dan kalah, karena cobaan semacam itu. Tapi ketika kemudian
keadaannya tenang kembali, maka kemenangan pun dapat diraih.
Orang-orang Anshar pernah memintapembebasan tebusan bagi paman beliau,
Al-Abbas. Tapi beliau menjawab, "Jangan bebaskan dia walau sedir¬ham
pun.-
Abu Bakar pernah meminta seorang tawanan wanita dari Salamah bin
Al-Akwa', yang ditawan dalam suatu peperangan. Maka Salamah memberi¬kan
tawanan itu kepada A&i Bakar. Lalu Abu Bakar mengirimnya ke Makkah
untuk ditukar dengan beberapa tawanan orang Muslim. Rasulullah
Shal¬lallahu Alaihi wa Sallam juga pernah menukar dua orang Muslim
dengan seorang tawanan dari Ugail. Beliau pernah mengembalikan semua
tawanan Hawazin dan mengembalikan mereka kepada kaumnya, setelah para
tawanan itu dibagi di antara orang-orang Muslim. Beliau meminta
kerelaan mereka untuk membebaskannya. Namun bagi siapa yang tidak
menginginkannya, dia mendapatkan tebusannya. Beliau membunuh Uqbah bin
Abu Mu'aith dan An-Nadhr bin Al-Harits yang menjadi tawanan, karena
keduanya sangat keras dalam memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Ada beberapa
orang tawanan yang tidak mem il iki harta benda. Lalu Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadikan tebusannya dengan
cara mengajar¬kan baca tul is kepada anak-anak Anshar. Hal ini
menunjukkan diperboleh¬kannya tebusan dengan perbuatan, seperti
diperbolehkannya tebusan dengan harta benda."
Bagi orang yang masuk Islam sebelum menjadi tawanan, maka dia tidak
dianggap seperti budak. Tapi siapa pun bangsa Arab yang menjadi
tawanan, dianggap sebagai budak, seperti yang dilakukan Ahli Kitab.
Suatu kali kali Aisyah mendapat seorang tawanan wanita dari Ahli Kitab.
Maka beliau bersabda, "Merdekakanlah dia, karena dia berasal dari
keturunan Isma'il."
Beliau melarang memisahkan tawanan wanita dengan bayinya. Dalam hal ini
beliau bersabda, "Siapa yang memisahkan antara wanita dan bayinya (yang
menjadi tawanan), maka Allah memisahkan antara dirinya dengan orang
yang dicintainya pada hari kiamat."
Beliau pernah menemui para tawanan, lalu beliau menyerahkan satu
keluarga semuanya, karena tidak suka sekiranya mereka sating berpisah.
Diriwayatkan bahwa beliau pernah membunuh seorang mata-mata dari kaum
musyrikin. Tapi beliau tidak membunuh Hathib, yang ketahuan akan
membocorkan rahasia beliau. Ketika Urnar meminta kepada beliau untuk
mem enggal lehemya, maka beliau menjawab, "Apa pendapatmu sekiranya
Allah memaafkan orang-orang yang ikut dalam perang Badr?" Lalu beliau
melanjutkan, "Berbuatlah sesuka kalian, karena aku telah memaafkan
ka¬Ilan."
Riwayat ini menjadi dalil larangan membunuh mata-mata Muslim, seperti
pendapat Asy-Syatly, Ahmad dan Abu Hanifah. Tapi riwayat ini juga
dijadikan dalil oleh orang yang memperbolehkannya, seperti pendapat
Malik dan Ibnu Aqi I.
Di antara tuntunan beliau ialah memerdekakan budak orang-orang musyrik,
jika mereka bergabung dengan kaum Muslimin dan masuk Islam. Beliau
bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang dimerdekakan Allah."
Jika seseorang masuk Islam dan dia mem iliki sesuatu, maka beliau
me-ngakui barang itu menjadi mil iknya. dan beliau tidak mencari tahu
dari mana asalnya sebelum dia masuk Islam.
Sete lah Makkah dibebaskan, ada beberapa orang Muhajirin yang menghadap
beliau dan meminta kembali rumah-rumah mereka yang dikuasai orang-orang
musyrik. Tapi beliau tidak memenuhi permintaan mereka dan tidak
mengembalikan satu rumah pun kepada mereka, sebab mereka
mening-galkannya karena Allah dan mereka keluar dari Makkah karena
mencari ridha Allah, lalu Allah menggantinya dengan tempat tinggal yang
lebih baik tagi, yaitu surga. Maka mereka tidak layak meminta kembali
apa yang mereka tinggalkan karma Allah. Bahkan yang lebih tegas dari
ini, beliau tidak mem
beri kesempatan kepada seorang Muhajir pun untuk menetap di
Makkah setelah menyelesaikan manasik haji, lebih dari tiga hari. Sebab
dia mening¬galkan negerinya dan hijrah dari sana karena Allah. Karena
itu tidak se layak¬nya dia kembalilagi ke sana dan menjadikannya tempat
tinggal. Maka beliau merasa sangat kasih terhadap Sa' d bin Khaulah dan
menyebutnya orang yang mendapat mala petaka, karena dia meninggal di
Makkah dan dikubur di sana, setelah dia hijrah dari sana.
Tuntunan Rasulullah tentang Tanah Yang Menjadi Rampasan
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau
pernah membagi tanah Bani Quraizhah, Bani Nadhir dan Khaibar kepada
orang-orang yang berhak menerimanya. Sedangkan Madinah ditak¬lukkan
karena bacaan Al-Qur'an dan penduduknya masuk Islam, sehingga beliau
mengakui keberadaannya seperti apa adanya. Adapun Makkah ditak-lukkan
dengan pengerahan kekuatan dan tidakperlu membaginya. Ada yang
berpendapat, tanah Makkah tidak dibagi-bagi karena Makkah merupakan
tempat pelaksanaan manasik haji, sehingga menjadi wakaf bagi seluruh
orang Muslim, sehingga mereka mendapat bagian yang sama, atau bahkan
sama sekali tidak bisa dibagi. Ada pula yang berpendapat, Makkah
ditaklukkan secara damai, sehingga tidak boleh dibagi. Kalau pun Makkah
ini ditaklukkan dengan pengerahan kekuatan, tentunyatanah Makkah bisa
dianggap sebagai harta rampasan, sehingga bisa dibagi seperti halnya
hewan atau harta milik yang bergerak.
Tapi siapa yang memperhatikan hadits-hadits shah i h tentang masalah
ini, tentu dia akan mendapatkan bahwa semuanya menunjukkan kepada
pendapat Ju mh ur, bahwa Makkah ditaklukkan dengan pengerahan kekuatan.
Kemudian mereka saling berbeda pendapat, mengapa tanah Makkah tidak
dibagi? Ada yang berpendapat, karena Makkah merupakan tempat
pelaksa¬naan manasik haji dan ibadah. Maka itu merupakan wakaf dari
Allah bagi hamba-hamba-Nya yang Muslim. Ada yang berpendapat, bahwa
pemimpin diberi pilihan untuk memutuskan, apakah tanah itu dibagi atau
di jadikan wakaf. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membagi tanah
Khaibar dan tidak membagi tanah Makkah. Jadi kedua-duanya boleh
dilakukan.
Ada yang berkata, "Tanah tidak termasuk harta rampasan yang
diperintahkan untuk dibagi. Yang disebut harta rampasan seperti hewan
dan bend a-benda yang bergerak. Sebab Allah memperkenankan harta
rampasan hanya bagi umat ini. Allah telah menghalalkan tempat tinggal
dan tanah milik orang-orang kafir, sebagaimana firman-Nya,
"Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, 'Hai kaumku,
ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nahi di
antara kalian, dan dijcidilcan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan
diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah
diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. Hai
kaumku, masuklah ke tanah suci yang telah ditentukan Allah hagi
kalian'. " (Al¬Maidah: 20-21).
Allah befirman tentang tempat tinggal Fir'aun dan kaumnya serta tanah mereka,
"Demikianlah halnya dan Kami anugerahkan semua itu kepada Bani Israel. " (Asy-Syu'ara': 59).
Dari s in i dapat di ketahui bahwa tanah tidak termasuk harta rampasan.
Tapi pem impin diberi wewenang berkenaan dengan tanah Ito menurut
kemaslahatan. Sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah
mem-baginya dan juga pernah tidak membaginya. Sedangkan Um ar tidak
memba-ginya sama sekali dan mengakui seperti keadaannya semula, tapi
menetapkan pajak secara berkelanjutan untuk menunjang anggaran perang.
Bukan berarti tanah itu tidak bisa pindah kepemilikannya. Tanah itu
bisa dijual seperti bu¬dak yang bisa dijual. Siapa yang membelinya waj
ib membayar pajaknya. Jadi siapa pun di antara orang Muslim berhak atas
jual bell ini.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah membagi separoh tanah
Khaibar secara khusus. Sekiranya hukum tanah itu seperti harta
ram-pasan, tentunya beliau membagi semuanya setelah d iambi!
seperlimanya. Di dalam As-Sunan dan Al-Mustadrak disebutkan, bahwa
Khaibar dapat ditak-lukkan, Nabi Shallallahu A laihi wa Sallam
membaginya menjadi tiga puluh enam bagian, yang pada setiap bagi ini
dibagi lagi menjadi seratus bagian. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan orang-orang Muslim mendapat¬kan separohnya, men inggaikan
separoh sisanya untuk para urusan dan berbagai urusan.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Makkah ditaklukkan dengan pengerahan kekuatan:
1. Tidak ada satu riwayat yang menyatakan bahwa beliau berdamai dengan
pendu du k Makkah saat menaklukannya, tidak Pula seorang pun di antara
penduduknya yang menemui beliau dan membuat perjanjian. Yang datang
menemui beliau adalah Abu Sufyan, lalu beliau menjamin kearnanan bagi
siapa pun yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, atau menutup pintu
rumahnya send iri, atau tnasuk masj id atau menyerahkan senjatanya.
Seki-ranya Makkah ditaklukkan secara damai, tentunya beliau tidak
mengata¬kan, "Siapa yang masuk rumahnya, atau menutup pintunya, atau
masuk masjid, maka dia akan aman.- Sebab damai mengharuskan adanya aman
secara menyeluruh.
2. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah
mena¬han pasukan gajah untuk masuk Makkah. menguasakannya kepada
Rasul¬Nya dan orang-orang M ukm in, dan Dia mem perkenankan aku berada
di
sana beberapa lama pada siang hari." Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa Makkah ditaklukkan dengan pengerahan kekuatan.
Bukti lain, disebutkan di dalam Ash-Shahih bahwa Rasulullah
Shal-lallahu Alaihi wa Sallam menempatkan Khal id bin Al-Walid di sisi
pasukan sebelah kanan, Az-Zubair di sisi kiri dan Abu Ubaidah di tengah
lembah.
Saat itu Ummu Hani' memberi jaminan keamanan bagi seorang laki¬laki.
Ketika Ali melihatnya, dia hendak membunuhnya. Lalu Rasulullah
Shal¬lallahu Alaihi waSallam bersabda, "Kami melindungi siapa pun yang
dilin¬dungi Ummu Hani'."
Pada saat itu beliau memerintahkan untuk membunuh Magis bin Shu-babah
dan Ibnu Hathal serta dua orang budak wanita. Kalau pun Makkah
ditaklukkan secara damai. tentunya beliau tidak memerintahkan untuk
mem-bunuh siapa pun dari penduduknya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang orang Muslim me-netap
di tengah orang-orang musyrik selagi dia sanggup pindah meninggal¬kan
mereka. Dalam hal ini beliau bersabda, "Aku berlepas diri dari setiap
orang Muslim yang menetap di tengah orang-orang musyrik.-
Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa begitu?"
Beliau menjawab, "Agar api keduanya tidak sal ing berhadap-ha¬dapan."
Beliau juga bersabda, "Barangsiapa berkumpul dengan orang musyrik (di
suatu tempat saat damai) dan berdiam bersamanya, maka dia seperti orang
musyrik itu."
Beliau juga bersabda, "Hij rah tidak terputus hingga taubat terputus
pula, dan taubat tidak terputus hingga matahari terbit dari tempat
tengge¬lamnya."
Beliau juga bersabda, "Akan ada hijrah setelah hijrah. Penghuni bumi
yang paling balk ialah yang mengikuti hijrahnya Ibrahim dan berada di
muka bumi, sedang yang ada di bumi adalah orang-orang yang jahat, yang
merebut tanah mereka, yang dianggap kotor oleh Allah dan mereka
dihimpun di neraka bersama kera dan babi."
Tuntunan Rasulullah pada Waktu Aman dan Damai
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa ,S'allam bersabda,
"Jaminan perlindungan orang-orang Muslim itu satu. Orang
yang paling hina di antara mereka pun bisa berusaha dengannya. Siapa
yang menjerumuskan seorang Muslim ke dalam lubang, maka dia mendapat
laknat Allah, para malaikat dan semua manusia, Allah tidak menerima
darinya pada hari kiamat ibadahnya yang wajib maupun sunat.
(Diriwayatkan A1-Bukhbary dan Muslim).
o
"Barangsiapa antara dirinya dan suatu kaum ada perjanjian, maka
janganlah sekali-kali dia melepas.seutas tali dan tidak pula
mengikat¬nya, sehingga masa perjanjian itu berakhir, atatt secara
bersama¬sama dengan mereka dia bisa memhatalkan perjanjian itu."
(Diriwa¬yatkan Abu Daud dan At-Tirmidzy).
"Barangsiapa memberijaminan keamanan kepada seseorang lalu is memhunuhnya, maka aku berlepas diri dari orang yang membunuh. (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy dan Ahmad).
"Tidaklah suatu kaum melanggar perjanjian melainkan musuh
ditun¬jukkan untuk mengalahkan mereka. (Diriwayatkan Al-Hakim dan lbnu
Majah).
Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tiba di Madinah, ada tiga golongan orang kafir yang bersikap terhadap beliau:
1. Satu golongan yang mengukuhkan perjanjian untuk tidak memerangi,
tidak mengganggu beliau dan tidak berkomplot dengan musuh yang
me¬merangi beliau. Sekalipun mereka orang-orang kafir, tapi mereka
masih menyayangi darah dan harta bendanya.
2. Golongan orang-orang kafir yang memerangi dan mengibarkan bendera permusuhan terhadap beliau.
3. Golongan orang-orang kafir yang tidak memerangi dan tidak pula
mengikat perjanjian dengan beliau. Mereka bersikap menunggu apa yang
terjadi pada beliau dan musuh-musuh beliau, kemudian di antara mereka
ada yang berpikir untuk membantu beliau, ada juga yang berpikir untuk
bergabung dengan musuh beliau, ada yang zhahirnya bergabung dengan
beliau tapi batinnya memusuhi, agar mereka selamat dari kedua belah
pihak. Yang terakhir inilah yang disebut orang-orang munafik.
Beliau memperlakukan setiap golongan seperti apa yang diperintahkan
Allah. Maka beliau menja lin perjanjian dengan orang-orang Yahudi di
Madi-nah dan menulis perjanjian damai serta menjaga keamaan bersama.
Mereka ada tiga golongan: Bani Qainuqa', Bani Nadhir dan Bani
Quraizhah. Setelah perang Badr, Bani Qainuciai memerangi beliau,
menunjukkan kelalirnan dan kedengkian. Maka pasukan Islam menghampiri
mereka, yang dipimpin sen¬diri oleh Nabi Allah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, tepatnya pada hari Sabtu pertengahan bulan Syawal, dua puluh
bulan setelah hijrah. Mereka yang nota-benenya merupakan golongan
Yahudi yang paling pemberani, juga bekerja sama dengan Abdullah bin
Ubay bin Salul, pemimpin orang-orang munafik. Pembawa bendera pasukan
Muslimin saat itu adalah Hamzah bin Abdul-Muththalib. sedangkan Madinah
diserahkan kepada Abu Lubabah bin Abdul-Mundzir. Pasukan Muslimin
mengepung mereka selama lima be las hari, hingga muncul hilal bulan
Dzul-Qa'dah. Mereka bertahan di benteng-ben¬teng mereka. Ketika
pengepungan semakin diperketat, maka Allah menyu¬supkan rasa takut di
dalam hati mereka, yang jika hendak menghinakan suatu kaum, maka Dia
menyusupkan rasa takut itu di dalam hati mereka. Akhiniya mereka
menyerah kepada keputusan Rasulul lah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam,
apa pun yang beliau perbuat terhadap nasib diri mereka, harta, wanita
dan anak keturunan mereka. Maka beliau mem erintahkan agar mereka
ber¬kumpul semua.
Pada saat itulah Abdullah bin Ubay berusaha untuk menekan beliau dan
menyerahkan urusan mereka kepadanya. Tapi beliau tidak bergeming.
Karena itu beliau memutuskan agar mereka meninggalkan Madinah dan tidak
boleh hidup berdampingan dengan beliau di sana. Maka mereka pergi ke
wila¬yah Syam. Tapi hanya sedikit di antara mereka yang sampai di sana
dan keba-nyakan mati di perjalanan. Du lunya mereka adalah para
pencocok tanam dan pedagang. Mereka mempunyai sekitar sembilan ratus
prajurit dan tempat tinggal mereka di pinggiran Madinah. Harta mereka
ditahan dan dirampas. Beliau mengambi I dua buah baju besi, tiga
pedang, tiga tombak, lalu mem¬bagi harta rampasan itu menjadi lima
bagian. Yang bertugas mengumpulkan¬nya adalah Muhammad bin Maslamah.
Setelah itu Bani Nadhir metanggar perjanjian, tepatnya enam bulan
setelah perang Badr. Asal mulanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
mene-mui mereka bersama bebcrapa orang shahabat, dengan tujuan hendak
berem-bug dengan mereka tentang tentang tebusan ganti rugi atas
terbunuhnya dua orang dari Bani Ki lab (dari golongan mereka), yang
dilakukan Amr bin Umayyah Adh-Dhamry. Saat itu mereka berkata, "Kami
bisa menerimanya wahai Abul-Qasim. Maka silahkan duduk di tempat ini
agar kami bisa mem-persiapkan keperluanmu.-
Bard Peiyalam-z7/ e_41.dr271 227
Pada saat itu syetan menyusupkan keceiakaan yang meniang
sudah ditetapkan bagi mereka. Seketika itu pula mereka setuju untuk
membunuh beliau. Mereka saling menawarkan, "Siapakah di antara kalian
yang berkenan mengambi I batu penggiling ini dan naik ke atas sana.
lalu menjatuhkanny a ke kepala Muhammad untuk membunuhnya?"
"Aku," jawab orang yang paling celaka di antara mereka, Amr bin Jihasy.
Salam bin Misykam berusaha mencegah tindakan ini,"Jangan kalian lakukan
tindakan ini demi Allah, karena dia akan diberitahu tentang keingin¬an
kalian ini. dan itu pun merupakan pelanggaran terhadap perjanjian yang
sudah disepakati antara kita dan dia."
Saat itu langsun2 turun wahyu dari Allah yang memberitahukan ke¬inginan
mereka itu. Maka beliau buru- buru bangkit meninggalkan tempat itu dan
kembali ke Madinah. Para shahabat yang menyertai beliau menyusul, lalu
mereka berkata, "Tiba-tiba saja engkau bang-kit, sementara kami tidak
merasakan apa-apa tentang diri engkau."
Maka beliau memberitahukan apa yang hendak mereka lakukan. Lalu beliau
mengirim utusan untuk menyampaikan pesan kepada mereka, "Ke-luarlah
kalian dad Madinah dan jangan hidup berdampingan denganku di sini. Aku
memberi kesempatan selama sepuluh had kepada kalian. Siapa yang
kudapatkan setelah itu masih ada di Madinah, maka aku akan memeng¬gal
lehernya."
Maka mereka berkemas untuk meninggalkan Madinah h ingga bebe¬rapa hari.
Kemudian Abdullah bin Ubay mengirim utusan kepada mereka untuk
menyampaikan pesannya, "Janganlah kalian pergi meninggalkan kampung
halaman kalian, karena aku bersama dua ribu orang akan bergabung dengan
kalian di benteng kalian, siap coati membela kalian. Bani Quraizhah dan
sekutu kalian dari Ghathafan pun bisa membantu kalian."
Pemirnpin Bani Nadhir, Huyai bin Akhthab termakan oleh omongan pemimpin
munafiq in ini. Maka dia mengirim utusan kepada
RasulullahShal-lallahuAlaihi wa Sallam untuk menyampaikan pesan, "Kami
tidak akan ke-luar dari kampung halaman kami. Maka berbuatlah sesukamu."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat mengucap-kan
takbir, lalu mereka bangkit menghampiri Bani Nadhir. Pembawa bendera
saat itu Ali bin Abu Thal ib. Pasukan Muslimin mengepung mereka clan
meng-hujani mereka dengan anak panah dan bebatuan serta memutus bantuan
dari Bani Quraizhah. Sementara Abdullah bin Ubay dan sekutu mereka dari
Gha-thafan berkhianat, urung mengulurkan bantuan. Karena itu Allah
membuat perumpamaan tentang kisah mereka ini,
"Seperti (bujukan) svetan ketika dia berkata kepada tnanusia, Ka-firlah kumu maka tatkala manusia itu telah is berkata,
guhnya aku berlepas dirt dart kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam'. (Al-Hasyr: 16).
Surat A l-Hasyr mengungkap kisah tentang Bani Nadhir, semenjak
permulaan hingga kesudahan mereka. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sal-lam mengepung mereka, memotongi pohon korma mereka dan
membakar¬nya. Akhirnya mereka mengirim utusan kepada beliau dengan
pesan, "Kam i akan keluar dart Madinah." Beliau memerintahkan agar
mereka keluar meninggalkan Madinah beserta anak keturunan mereka, dan
mereka boleh membawa onta tapi tidak boleh membawa senjata. Beliau
tidak membagi harta benda mereka menjadi lima bagian, karena Allah
telah menyerahkan¬nya kepada beliau. Tapi beliau membagi harta dart
Bani Quraizhah.
Sementara Bani Quraizhah adalah golongan Yahudi yang paling keras
permusuhannya terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan
pa-ling kufur. Karena itu mereka mengalami akibat yang lebih fatal dart
apa yang dialami dua golongan Yahudi lainnya (Bani Qainuqa' dan Bani
Nadhir).
Sebab peperangan antara pasukan Muslimin dengan mereka ialah ke¬tika
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar ke perang Khandaq,
sementara mereka sudah terikat perjanjian dengan beliau. Suatu saat
Huyai bin Akhthab mendatangi Bani Quraizhah di tempat tinggal mereka,
seraya berkata, "Aku datang menemui kalian sambil membawa kemuliaan
zaman. Aku telah menemui para pemuka Quraisy dan juga Ghathafan beserta
pasu¬kannya. Sementara kalian adalah orang-orang yang mem il iki
kekuatan dan persenjataan. Maka marilah kita bersatu menyerang Muhammad
dan meng-habisinya."
Pemimpin Bani Quraizhah menjawab, "Demi Allah, engkau datang justru
membawa kehinaan zaman. Engkau datang sambil membawa awan yang telah
meneteskan airnya, menyambarkan kilat dan petir."
Tapi Huyai bin Akhthab tidak putus asa membujuk dan memberinya harapan
baru, hingga akhirnya pemimpin Quraizhah meminta syarat agar Huyai
bergabung bersarna mereka di dalam benteng Bani Quraizhah, sehing¬ga
dia juga harus menanggung apa yang merekatanggung. Cerita selanjutnya,
mereka me langgar perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sal-lam, mencela dan menjelek-jelekkan beliau. Kabar tentang hal ini
cepat terde¬ngar beliau. Maka beliau mengirim utusan untuk mencari
informasi. Temyata memang mereka telah melanggar perjanjian. Maka
beliau bertakbir seraya bersabda, "Terimalah kabar gembira wahai semua
orang-orang Muslim.-
Ketika beliau kembali ke Madinah dan belum lama meletakkan senja¬ta,
tiba-tibaJibril menemui beliau dan berkata, "Mengapa engkau meletakkan
senjata? Demi Allah, sesungguhnya para malaikat tidak pernah meletakkan
senjatanya. Bangkitlah dengan orang-orang yang bersamamu ke Rani Qurai
zhah. Aku akan berjalan di depanmu untuk mengguncang
benteng-benteng mereka dan menyusupkan perasaan takut di dalam hati
mereka."
Maka Jibril berjalan dalam sebuah prosesi para malaikat, sementara
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam membuntuti di belakangnya
beserta orang-orang Muhajirin dan Anshar. Saat itu beliau bersabda
kepada para sha-habat, "Janganlah sekali-kali seseorang di antara
kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah."
Seketika itu pula mereka memenuhi perintah beliau dan bangkit menu¬ju
Bani Quraizhah. Mereka masuk waktu shalat ashar ketika masih di
perja¬lanan. Sebagian ada yang berkata, -Kam i tidak akan shalat ashar
kecuali sete¬lah tiba di Bani Quraizhah seperti yang diperintahkan
beliau kepada kita." Sehingga mereka rnengerjakan shalat ashar itu
setelah shalat isya'.
Sementara yang lain ada yang berkata, "Yang beliau maksudkan dari kita
bukan itu, tapi agar kita segera keluar." Karena itu mereka melakukan
shalat ashar di tengah perjalanan. Tapi beliau tidak menegur satu pun
di antara dua golongan ini.
Para fuqaha saling berbeda pendapat tentang mana yang lebih afdhal di
antara dua golongan ini. Golongan pertama berkata, "Mereka yang
meng-akhirkannya adalah yang benar. Sekiranya kami bersama mereka,
tentu kami akan mengakhirkannya seperti yang mereka lakukan dan kami
tidak akan mengerjakan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani
Quraizhah, karena patuh kepada perintah beliau dan meninggalkan ta' wit
yang bertentangan dengan zhahir."
Golongan lain berkata, "Mereka yang shalat ashar pada waktunya di
tengah jalan dan yang lebih dahulu pergi adalah orang-orang yang
mendapat-kan dua fadhilah. Mereka bersegera melaksanakan perintah
beliau dan ber-segera mencari keridhaan Allah dengan shalat pada
waktunya, kemudian mereka bersegera menghadapi musuh. Jadi mereka
mendapatkan fadhilah j ihad, fadhilah shalat pada waktunya dan memahami
apa yang dimaksudkan dari perintah tersebut."
Jika dikatakan, "Penundaan shalat untuk jihad pada saat seperti itu
ada¬lah diperbolehkan menurut syariat. Karena itu Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam pernah mengakhirkan shalat ashar hingga ma'am hari
sewaktu perang Khandaq. Jadi menunda shalat ashar yang mereka lakukan
itu seperti apa yang dilakukan Nabi ShallallahuAlaihi waSallam.
Terlebih lagi hat itu terja¬di sebelum disyariatkannya shalat khauf."
i suatu pernyataan yang sangat bagus dan akurat, yang bisa dijawab dari dua nisi:
1. Tidak disebutkan secara jelas bahwa penundaan shalat dari waktunya
adalah sesuatu yang diperbolehkan setelah ada penjelasan waktu-waktu
yang sernestinya, dan tidak ada dalil tentang hal ini kecuali kisah
perang
Khandaq. Maka inilah yang dijadikan daliloleh mereka yang
memperbo-lehkannya. Padahal kisah ini kurang pas dijadikan dalil,
karena penundaan itu di lakukan secara tidak sengaja oleh beliau, yang
boleh jadi karena beliau lupa, apalagi jika dilihat dari rentetan
peristiwanya. Saat itu Umar berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah,
tadi aku hampir tidak bisa sha¬lat ashar hingga matahari hampir
tenggelam."
Maka beliau bersabda, "Demi Allah, aku justru belum mengerjakannya."
Lalu beliau bangkit dan mengerjakan shalat ashar, ketika waktu sudah
ma-lam.
Hal ini menunjukkan bahwa beliau lupa saat itu, mengingat kesibukannya
yang amat banyak dan keadaannya yang sangat genting saat itu, karena
harus memperhatikan musuh yang mengepung.
2. Taruklah bahwa penundaan mereka itu karena dalam keadaan takut,
se-hingga tidak sempat mengerjakan shalat ashar. Tapi keadaan para
shaha¬bat tidak seperti itu, karena mereka sedang dalam perjalanan ke
Bani Quraizhah, dan Bani Quraizhah tidak akan keluar dari benteng
mereka. Jadi hukum tentang mereka adalah hukum dalam perjalanan ke Bani
Quraizhah.
Saat itu bendera diserahkan kepada Ali bin Abu Thalib dan Madinah
diserahkan kepada Ibnu Ummu Maktum. Pasukan Muslimin mengepung benteng
Bani Quraizhah selama lima belas hari. Ketika pengepungan sema¬kin
diperketat, beliau menawarkan salah satu dari tiga perkara kepada
pe¬mimpin mereka, Ka' b bin Asad:
- Mereka menyerah dan bergabung bersama Muhammad serta masuk lam.
- Mereka bisa membunuh anak-anak mereka sendiri lalu keluar ke medan
pertempuran, hingga mereka dapat mengalahkan beliau atau mereka yang
akan dibunuh hingga orang yang terakhir di antara mereka.
- Mereka bisa menyerbu beliau dan para shahabat serta menghentikan ser
buan pada hari Sabtu, karena mereka merasa aman pada hari itu.
Tapi tak satu pun dari tiga tawaran ini yang diterim a. Lalu mereka me-
n rai im utusan yang menyampaikan pesan, "Kirimkan Abu Lubabah bin
Ab-dul-Mundzir, agar kami bisa meminta pendapatnya."
Ketika melihat kedatangan Abu Lubabah, mereka menghampirinya sambil
meneteskan air mata. Mereka berkata, "Wahai Abu Lubabah, bagai-mana
mungkin engkau berpendapat agar kami tunduk kepada ketentuan Muhammad?"
jawabnya. Lalu dia mem beri isyarat dengan tangan ke arah teng-gorokan, seraya berkata. "pemenggalan."
Baru kemudian Abu Lubabah sadar bahwa dia telah lancang dengan
pemberitahuannya ini, yang berarti dia merasa telah berkhianat kepada
Allah
dan Rasul-Nya. Maka dia langsung pergi dan tidak menemui
RasulullahShal-lallahu Alaihi wa Sallam, hingga dia tiba di masj id
Madinah dan mengikat badannya di masjid. Dia bersumpah tidak mau
dilepas kecuali oleh tangan beliau sendiri dan dia sama sekali tidak
akan menginjakkan kaki di Bani Quraizhah. Dan memang akhimya beliau
sendiri yang me lepas tali Abu Lu-babah, setelah dia bertaubat dari
kesalahannya.
Ketika mereka sudah menyerah, maka nasib mereka diserahkan kepada Sa'd
bin Mu' adz, yang saat itu berada di Madinah karena dia terluka.
Menim-bang kesalahan-kesalahan mereka yang terlalu besar. akhirnya Sa'd
bin Mu' adz memutuskan bahwa setiap orang I aki-laki Bani Quraizhah
dipenggal lehernya, sedangkan anak-anak dan wanita dijadikan tawanan,
dan harta benda mereka dibagi. Lalu beliau bersabda kepada Sa'd.
"Engkau telah rue¬mutuskan tentang diri mereka dengan hukuni Allah dari
atas langit yang tujuh."
Sebelum eksekusi, ada beberapa orang di antara mereka yang masuk Islam,
sedangkan Amr bin Sa'd, salah seorang pemuka Bani Quraizhah me-larikan
diri dan tidakdiketahui kemana rimbanya. Sebelumnya dia tidak mau
bergabung dengan mereka untuk melanggar perjanjian. Ada seorang wanita
yang juga dipenggal lehernya, karena dia pernah men i mpukkan batu
peng¬gi I ngan ke kepala Suwaid bin Ash-Sham it hingga meninggal dun
ia. Mereka digiring ke parit yang menjadi hang kuburan mereka. Pada
saat itu mereka berkata kepada pemimpin mereka, Ka'b bin Sa'd, "Hai
Ka'b, apa pendapat¬mu tentang tindakan Muhammad terhadap kita?"
Ka'b menjawab, "Apakah di tempat mana pun kalian tidak bisa berpi¬kir?
Tidakkah kalian melihat penyeru tidak akan melepaskan dan orang yang
pergi di antara kalian tidak bisa kembali iagi? Demi Allah, itu adalah
pem¬bunuhan."
Perang Bani Qainuqa' terjadi terjadi setelah perang Badr, perang Bani
Nadhir terjadi setelah perang Uhud dan perang Bani Quraizhah terjadi
setelah perang Khandaq.
Di antara tuntunan Rasulul lah Shallallahu Alaihi wa Sallam, j ika
beliau membuat perjanjian dengan suatu kaum, lalu sebagian di antara
mereka ada yang melanggarnya dan sebagian lain tetap memel iharanya,
maka beliau me¬merangi semuanya dan menganggap seakan mereka semua
melanggarnya, seperti yang beliau lakukan terhadap Bani Quraizhah,
Nadhir dan Qainuqa'. Begitulah Sunnah beliau terhadap orang-orang yang
mengikat perjanjian. Hal ini juga berlaku bagi ahli dzimmah seperti
yang ditegaskan fuqaha dari rekan-rekan Ahmad dan lain-lainnya. Tapi
rekan-rekan Asy-Syafi' y tidak sepen¬dapat. Mereka mengkhususkan hanya
pada orang-orang yang melanggar perjanjian dan tidak bagi orang-orang
yang tetap memel ihara perjanjian.
\lereka membedakannya dengan ahli dzimmah, yang mempunyai ikatan lebih kuat, berbeda dengan ikatan perjanjian.
Yang benar adalah pendapat pertama. Atas dasar ini pula kami
membe-rikan fatwa kepada penguasa, tatkala orang-orang Nasrani di Syam
memba¬kar harta benda orang-orang Muslim dan tempat tinggal mereka.
Mereka juga hampir membunuh masj id jam yang terbesar di sana, bahkan
mereka sudah membakar sebagian menaranya. Kalau bukan karena pencegahan
Allah, nis-caya mereka sudah membakarnya habis. Semua orang Nasrani
mengetahui kejadian ini, dan banyak di antara mereka yang diam saja.
Sementara mereka juga tidak memberitahukannya kepada penguasa setempat.
Ketika pihak penguasa meminta fatwa kepada para fugaha', maka kami
memutuskan bahwa mereka telah melanggar perjanjian, sehingga hukumannya
adalah hukuman mati, dan tidak ada pi lihan lain bagi pemimpin dalam
hal ini. Is¬lam tidak akan menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang
menjadi ahli dzimmah, selagi dia tetap patuh kepada hukum-hukum agama.
Hal ini ber¬beda dengan orang yang memerangi. Jika dia masuk Islam,
hukumnya sudah lain, sebagaimana ahli dzimmah yang menentang, juga
mempunyai hukum yang lain lagi. Inilah yang ditetapkan Ahmad dan juga
menjadi acuan fatwa Syaikh kami di berbagai kesempatan.
Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membuat perjanjian de-ngan
suatu kaum, lalu ada musuh beliau yang lain bergabung dengan mereka,
lalu ada pula kaum lain yang bergabung dengan beliau dalam perjanjian
ini, maka hukum penyerangan terhadap siapa pun yang masuk dalam
perjanjian ini berlaku untuk kelompoknya secara keseluruhan. Karena
sebab inilah beliau menyerang Makkah. Sebab waktu itu beliau sudah
membuat perjanjian gencatan senjata yang berlaku selama sepuluh tahun.
Bani Bakr bin Wa'il yang bergabung dengan pihak Quraisy menyerang Bani
Khuza'ah yang bergabung dengan pihak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dan mem¬bunuh mereka. Bahkan secara sembunyi-sembunyi Quraisy
membantu Bani Bakr dengan senjata. Maka dengan begitu beliau mengangap
Quraisy telah melanggar perjanjian.
Atas dasar inilah Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah mengeluarkan fatwa untuk
memerangi orang-orang Nasrani Marokko, ketika mereka membantu
musuh-musuh kaum Muslimin dengan harta dan senjata, sekalipun
orang-orang Nasrani itu tidak memerangi orang-orang Muslim. Syaikh
melihat perbuatan mereka itu sama dengan melanggar perjanjian,
sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menganggap
orang-orang Quraisy telah melanggar perjanjian karena membantu Bani
Bakr bin Wa'il untuk memerangi sekutu beliau dari Bani Khuza'ah. Maka
bagaimana jika ahli dzimmah membantu orang-orang musyrik untuk
memerangi orang- orana Muslim?
Jika ada para utusan musuh menemui beliau, sekalipun saat
itu pihak musuh sedang memerangi beliau, maka beliau tidak membunuh
utusan-utus¬an itu. Tapi ketika dua utusan Musailamah menemui beliau,
yaitu Abdullah bin An-Nuwahah dan Ibnu Utsal, maka beliau bersabda
kepada keduanya, "Apo yang kalian katakan?"
Keduanya menjawab, "Aku mengatakan seperti yang dikatakan Mu-sailamah."
Beliau bersabda, "Kalau bukan karena utusan itu tidak boleh dibunuh, niscaya kalian berdua sudah kubunuh."
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa sunnah beliau ialah tidak membunuh para utusan dad pihak musuh.
Beliau tidak menahan utusan yang masuk Islam dan tidak mencegah¬nya
kembali kepada kaumnya, seperti yang dikatakan Abu Rail' "Quraisy
mengutusku untuk menemui Nab i Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ketika aku
sudah berhadapan dengan beliau, maka hatiku langsung terpikat oieh
Islam. Maka kukatakan, "Wahai Rasulullah, aku tidak akan kembali lagi
kepada mereka."
Beliau menjawab, "Sesungguhnya aku tak suka melanggar perjanjian dan
menahan kurir. Maka kembalilah kepada mereka. Kembalilah kalau memang
hatimu sudah dirasuki apa yang engkau alami saat ini."
Menurut Abu Daud, hal ini terjadi pada saat ada perjanjian untuk
me-ngembalikan siapa pun yang hendak bergabung ke pihak Quraisy atau
pihak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang berarti beliau
harus rnengem-hal ikan kepada Quraisy siapa pun yang datang kepada
beliau, sekalipun dia masuk Islam. Tapi di luar saat itu apalagi pada
zaman sekarang, yang demi¬kian itu sudah tidak layak lagi untuk
diterapkan. Sabda beliau, "Aku tak suka menahan kurir", menunjukkan
bahwa hal ini hanyaberlaku untuk utusan saja. Pengembaliannya ke pihak
musuh, sekalipun dia masuk Islam, karena ada syarat yang mengharuskan
begitu seperti yang dikatakan Abu Daud di atas. Tapi untuk utusan,
mempunyai hukum yang lain lagi.
Di antara tuntunan beliau, jika musuh membuat perjanjian dengan sa
lah seorang shahabat, maka beliau membiarkannya selagi tidak membahaya
kan kaum Muslimin, seperti yang mereka lakukan dengan Hudzaifah dan
ayahnya, Al-Husail, bahwa keduanya tidak akan memerangi mereka bersa
ma-sama beliau. Maka beliau membiarkan perjanjian ini. Beliau bersabda
kepada keduanya, "Pergilah, dan kami akan menepati perjanjian itu, namun
kami juga memohon pertolongan kepada Allah untuk mengalahkan mereka."
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membuat perjanjian gencatan
senjata selama sepuluh tahun dengan pihak Quraisy. Lalu siapa yang datang
kepada beliau untuk masuk Islam, maka beliau harus mengembalikannya
kepada mereka, sedangkan j ika ada seseorang dari pihak
beliau mendatangi mereka, maka mereka tidak perlu mengembalikannya
kepada beliau. Lafazh ini bersifat umum yang berlaku untuk laki-laki
dan wanita. Tapi Allah meng¬hapus pengertian ini bagi hak wanita dan
hanya memberlakukannya bagi kaum laki-laki. Lalu Allah memerintahkan
beliau dan orang-orang Mukmin untuk menguji para wanita yang datang
kepada beliau. Jika wanita itu datang untuk beriman, maka dia tidak
dikembalikan kepada orang-orang kafir. Jika wanita itu sudah bersuami,
maka diperintahkan untuk mengembalikan mas-kawinnya kepada (mantan)
suatninya dan tidak mengembalikan wanita itu kepada suaminy a yang
kafir. Beliau jugs memerintahkan orang-orang Mus¬lim untuk
mengembalikan maskawin kepada istri yang lari kepada orang¬orang kafir.
Di sini terkandung dalil bahwa tidak adanya kebersamaan suami dan istri
yang termasuk hak suami, harus diperhatikan, tergantung dari apa yang
telah dikeluarkan suami. Berarti pernikahan yang dilakukan orang-orang
dilegalkan. Di sini terkandung pengertian bahwa pernikahan menjadi
gugur karena hijrah, bahwa wanita Muslimah yang berhijrah tidak boleh
dikembalikan kepada orang-orang kafir, meskipun ada syarat semacam itu,
bahwa wanita Muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, bahwa
orang Muslim bisa menikahi wanita yang berhijrah, jika masa iddahnya
sudah habis, lalu menyerahkan maskawin kepadanya. Di sini juga
terkandung dalil pen gharamkan pernikahan wanita musyrik dengan
laki-laki Muslim, sebagaimana pengharaman pernikahan wanita Muslimah
dengan laki-laki kafir.
Inilah beberapa ketetapan hukum yang dapat diambildari dua ayat, 10 dan
11 surat Al-Mumtahanah. Sebagian dari hukum-hukum ini sudah disepa-kati
para ulama dan sebagian lain diperselisihkan. Orang yang menganggap
adanya penghapusan hukum-hukum ini sama sekali tidak mempunyai hujjah.
Sebab syarat pengembalian itu hanya berlaku bagi kaum laki-laki dan
tidak berlaku bagi kaum wanita, sehingga beliau melarang untuk
mengembalikan para wanita yang hijrah kepada orang-orang kafir. Yang
dikembalikan ke¬pada mereka hanya rnaskawinnya. Begitulah hukum yang
ditetapkan Allah bagi ham ba-hamba-Nya, berdasarkan ilmu dan
hikmah-Nya. Tidak ada satu dalil pun yang menghapus ketetapan ini.
Selagi beliau membuat perjanjian dengan pihak Quraisy untuk
me-ngembalikan kaum laki-laki, maka beliau memberikan kesempatan kepada
mereka untuk mengambil seseorang di antara mereka yang datang kepada
beliau. Tapi beliau tidak memaksa orang tersebut untuk kembali kepada
mereka dan tidak pula menyuruhnya. Kalau pun kemudian orang itu
mem¬bunuh orang Quraisy atau merampas harta mereka, maka beliau lepas
diri dari perbuatannya. Maka ketika dia menghadang kafilah Quraisy,
beliau tidak
mengingkari perbuatannya dan tidak menjam in dirinya di
hadapan Quraisy. Sebab orang itu tidak termasuk dalam kekuasaan beliau
dan tidak pula beliau menyuruhnya. Jadi perjanjian itutidak menjamin
keselamatan j iwa dan harta kecuali bagi orang yang masuk dalam ikatan
perjanjian itu, sebagaimana tindakan beliau yang menjamin Bani
Judzaimah atas tindakan Khalid. De¬ngan begitu beliau mengingkari
perbuatan Khalid dan berlepas diri darinya.
Tapi setelah dikonfirmasi, ternyata tindakan Khalid itu atas dasar
penafsiran dan kerancuan, sebab Bani Judzaiman tidak mengatakan, "Kam i
masuk Islam", tapi, "Kam i keluar dari agama (Jahiliyah)", yang berarti
bukan Islam secara pasti. Karena itu beliau menjamin mereka dengan
separoh tebusan yang se mestinya, mengingat adanya penafsiran Khalid
tersebut, dan beliau menganggap mereka seperti Ahli Kitab yang menjadi
ahli dzimmah dan bukan sebagai orang-orang Muslim. Ikatan perjanj ian
in i tidak mengha¬ruskan beliau untuk menolong mereka yang diserang
seseorang yang tidak termasuk dalam ikatan dengan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam dan di bawah perintah beliau. Di sini terkandung dalil
bahwa jika dua pihak yang terikat dalam perjanj ian diserang segolongan
orang yang tidak termasuk dalam ikatan dengan pemimpin masing-masing
pihak, sekalipun mereka orang-orang Muslim, maka pemimpin itu tidak
berhak menyerahkan mereka kepada pihak lain dan dia tidak bertanggung
jawab terhadap tindakan mereka.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga membuat perjanjian dengan
pihak Yahudi Khaibar, ketika mereka mulia memperlihatkan kerjasama.
Mereka berhak atas pembagian hasi I bumi dan beliau berhak memegang
senjata serta menjaga keamanan mereka. Di sini disyaratkan agar mereka
tidak menyembunyikan sesuatu pun. Jika melanggar, maka perjanjian itu
dianggap gugur dan keamanan mereka tidak terjamin lagi. Ternyata
kemudian mereka menyembunyikan sebuah kantong kul it yang di dalamnya
tersimpan harta kekayaan dan perhiasaan milik Huyai bin Akhthab, yang
dia bawa ke sana dari Bani Nadhir. Ketika mengetahui hal ini, beliau
bertanya kepada paman Huyai, Sa'yah, "Apo yang terjadi dengan kantong
kul it Huyai yang pernah dia amankan dari Bani Nadhir?"
Dia menjawab, "Agar harta itu aman dari pengeluaran dan akibat peperangan."
Bel iau bersabda,"Perjanjian be lum lama dikukuhkan dan harta benda ada yang lebih banyak dari itu."
Kemudian Huyai terbunuh bersama Bani Quraizhah, karena dia berga-bung
bersama mereka. Ketika Sa'yah diserahkan kepada Az-Zubair untuk dikorek
keterangannya, disiksa dan ditekan sedemikian rupa, maka dia pun
mengaku, "Aku pernah mel i hat Huyai berputar-putar di reruntuhan
bangunan di suatu tempat." Ternyata memang kantong kulit tersebut
disembunyikan di sana.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membunuh dua anak
Abul-Huciaig, yang salah satu di antaranya adalah suami Shafiyah binti
l iuyai, yang kemudian dinikahi beliau.
Karena mereka telah melanggar perjanjian, maka para wan ita dan
anak-anak mereka dijadikan tawanan, harta benda mereka dibagi sesuai
de¬ngan pelanggaran yang mereka lakukan. Sebenarnya beliau hendak
mengusir mereka dari Khaibar. Tapi mereka berkata, "Biarkan kami di
sini agar kami dapat mengurus tanahnya, karena kami lebih tahu tentang
cocok tanam daripada kalian.-
Karena memang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mem-punyai
tenaga untuk mengurus tanah Khaibar, maka tanah itu diserahkan kepada
mereka, lalu semua hasilnya dibagi rata untuk mereka dan beliau.
Beliau tidak membunuh semua orang Khaibar seperti yang beliau lakukan
terhadap Bani Quraizhah yang sama-sama melanggar perjanjian. Beliau
membunuh penduduk Khaibar yang mengerti keberadaan kantong kul it milik
Huyai, karena begitulah syarat yang telah disepakati.
Di sini terkandung dalil tentang diperbolehkannya kerja sama pem¬bagian
pengairan dan cocok tanam. Tentang jenis tanamannya, terserah pada
daerah masing-masing. Benih yang hendak ditanam juga tidak harus
berasal dari pemilik tanah. Di sini juga terkandung dalil, bahwa
perjanjian gencatan senjata boleh dilakukan tanpa ada batasan waktunya,
terserah kepada pem im¬p in yang menetapkannya. Di sini juga terkandung
dalil tentang diperboleh¬kannya siksaan terhadap tertuduh. Yang
demikian ini termasuk pertimbangan pal itik.
Tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang mengambil jiz-yah
dari ahli dzimmah, tidak pernah dilakukan kecuali setelah turun surat
At-Taubah, tepatnya pada tahun kedelapan setelah hijrah. Setelah surat
ini turun, beliau mengambilnya dari orang-orang Majusi dan Nasrani.
Beliau mengutus M u' adz ke Yaman, lalu mengangkat orang-orang Yahudi
di sana yang tidak mau masuk Islam sebagai ahli dzimmah dan dia
mengambil jizyah dari mere¬ka. Tapi beliau tidak mengambil jizyah dari
orang-orang Yahudi Khaibar. Lalu muncul anggapan bahwa hal ini hanya
berlaku hanya untuk penduduk Khaibar saja. Ini anggapan yang salah.
Sebab beliau telah membuat perjanjian dengan mereka sebelum turun ayat
tentang jizyah. Kemudian turun perintah dari Allah agar beliau
memerangi Ahli Kitab sehingga mereka memberikan jizyah. Karena
perjanjian itu sudah dibuat sebelumnya, maka mereka tidak termasuk
dalam perintah ini. Mereka ada di Khaibar hanya sebagai pekerj a yang
harus menggarap tanahnya, dengan memperoleh separoh hasilnya. Pada masa
Umar, perjanjian itu pun sudah berubah, sehingga mereka sama dengan
Ahli Kitab lainnya.
RasulullahShallallahuAlaihi Iva Sallam membuat perjanjian dengan
orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, bahwa mereka
bersedia menye-torkan dua ribu pakaian, separohnya diserahkan pada
bulan Shafar dan sepa-rohnya lagi diserahkan pada bulan Rajab. Mereka
juga bersedia memberi pinjaman tiga puluh baju besi, tiga puluh ekor
kuda, tiga puluh onta dan tiga pulub untuk masing-masing jenis senjata,
yang dengan semua perlengkapan ini mereka bersedia berperang bersama
kaum Muslimin. Sementara orang¬orang Muslim bertanggung jawab terhadap
semuanya, hingga semua perleng¬kapan itu dikembalikan lagi kepada
mereka.
Ketika Mu'adz hendak pergi ke Yaman, beliau memerintahkan untuk
mengambil satu dinar dari setiap orang laki-laki yang sudah baligh,
atau me-ngambil kain yang seharga. Ini merupakan bukti bahwa jizyah
tidak hanya berupa satu jenis barang saja, tapi bisa berupa apa saja
menurut kebutuhan kaum Muslimin.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Al-Khulafa' ur-Rasyi dun
tidak membedakan jizyah antara orang Arab dan non-Arab. Bahkan beliau
juga mengambilnya dari orang-orang Arab Nasrani, dari orang-orang
Majusi yang masih terhitung bangsa Arab. Pada dasarnya orang Arab tidak
mempu-nyai satu kitab pun. Sementara setiap golongan di antara mereka
hanya sekedar mengikuti agama umat lain yang berdekatan dengannya.
Sabda beliau kepada Mu'adz, "Ambillah satu dinar dari setiap orang
laki-laki yang baligh", menunjukkan bahwa jizyah tidak diambil dari
para wanita dan anak-anak. Tentang riwayat yang menyebutkan, "Dari
setiap orang laki-laki dan wanita yang sudah baligh", maka riwayat ini
terputus dan sama sekali tidak shahih.
Tuntunan Rasulullah dalam Mensikapi Orang-orang Kafir dan Munafik
Wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam adalah perintah membaca dengan asma Allah yang menciptakan.
Ini terjadi pada permulaan nubuwah dan tidak ada perintah untuk
bertabligh. Kemudian turun wahyu berikutnya,
"Hai orang yang berselimut, bangunlah lalu berilah peringatan. " (AI¬Muddatstsir: 1-2).
Kemudian Allah memerintahkan agar beliau memberikan peringatan kepada
kaum kerabat yang dekat. Setelah itu beliau menyampaikan peri¬ngatan
kepada kaumnya, kemudian kepada orang-orang Arab di sekitarnya,
kemudian kepada semua orang di seluruh dunia. Lebih dari sepuluh tahun
beliau berdakwah tanpa ada perintah perang dan mengambil jizyah. Saat
itu beliau hanya diperintahkan untuk menahan diri, sabar dan tenggang
rasa. Lalu beliau diizinkan hijrah, dan disusul izin untuk berperang,
kemudian meme¬rangi orang-orang yang memerangi beliau, tidak memerangi
mereka yang
tidak memerangi beliau, lalu perintah untuk memerangi orang-orang musy¬rik, sehingga semua agama hanya bagi Allah.
Setelah ada perintah j ihad, orang-orang kafir terbagi menjadi tiga
go-longan: Ada yang membuat perjanjian gencatan senjata, ada yang
memerangi dan ada yang menjadi ahli dzimmah. Allah memerintahkan agar
beliau memenuhi perjanjian gencatan senjata dengan pihak lain, selagi
mereka masih mau menjaganya. Jika dikhawatirkan mereka akan melanggar,
maka beliau bisa menawarkan pembatalannya, lalu beliau bisa memerangi
mereka setelah itu. Beliau juga diperintahkan untuk memerangi Ahli
Kitab sehingga mereka mau menyerahkan jizyah. Beliau diperintahkan
memerangi semua orang kafir dan munafik. Maka beliau memerangi
orang-orang kafir dengan senjata, dan memerangi orang-orang munafik
dengan hujjah.
Beliau diperintahkan untuk membebaskan diri dari berbagai jenis
perjanjian dengan orang-orang kafir. Ada tiga golongan orang-orang yang
terikat dalam perjanjian dengan beliau:
Golongan yang boleh diperangi, yaitu mereka yang melanggar perjanjian dan tidak menjaganya. Maka beliau memerangi mereka.
Golongan yang terikat perjanjian untuk sementara waktu dan mereka tidak
melanggarnya. Maka beliau diperintahkan agar mereka menjaga perjan¬jian
itu hingga Batas waktu yang disepakati.
Golongan yang tidak terikat perjanjian dan tidak pula memerangi beliau.
Beliau diperintahkan agar memberikan kesempatan kepada mereka sela¬ma
empat bulan untuk mengambil sikap. Jika masa empat bulan itu sudah
lewat, maka beliau boleh memerangi mereka. Empat bulan ini seperti yang
disebutkan dalam At-Taubah: 5, yang dimulai dari tanggal 10 Dzul-Hijjah
hingga 10 Rabi'ul-Akhir, bukan seperti yang disebutkan dal am
At-Taubah: 36, yaitu bulan Dzul-Qa'dah, Dzul-Hijjah, Muharram dan
Rajab. Sebab pada bulan-bulan ini orang-orang musyrik tidak melakukan
perjalanan keluar dan juga tidak berurutan.
Setelah turun surat At-Taubah ini, kedudukan orang-orang kafir ini
menjadi jelas, yang bisa dibagi menjadi tiga golongan: Orang-orang yang
memerangi, orang-orang yang terikat perjanjian dan ahli dzimmah. Tapi
kemudian orang-orang yang mengikat perjanjian dengan be liau banyak
yang masuk Islam. Sehingga tanggal dua golongan: Orang-orang yang
memerangi dan ahli dzimmah. Orang-orang yang memerangi beliau menjadi
takut terhadap beliau. Dengan begitu ada tiga macam golongan penduduk
bumi saat itu: Orang-orang Muslim yang beriman kepada beliau,
orang-orang yang hanya sekedar tunduk kepada be I iau, dan orang-orang
yang memerangi tapi takut kepada beliau.
Tentang sikap Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam terhadap
orang¬orang munafik, maka beliau diperintahkan untuk menerima apa yang
mereka
tampakkan dan menyerahkan isi hati mereka kepada Allah,
menghadapi mereka dengan ilmu dan hujjah. Allah juga memerintahkan agar
beliau berpa¬ling dari mereka, mengerasi dan memperingatkan,
menyampaikan perkataan yang memungkinkan bisa meresap ke dalam hati
mereka. Allah melarang be¬liau menshalati jenazah mereka dan tidak
berdiri di dekat kuburnya. Allah mengabarkan bahwa sekiranya beliau
memintakan ampunan bagi mereka, maka Allah tidak akan memberikan
ampunan. Begitulah sikap beliau terhadap orang-orang kafir dan munafik
yang menjadi musuh beliau.
Adapun sikap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap para
penolong dan pasukannya, maka beliau diperintahkan untuk bersabar
bersama orang-orang yang menyeru Rabh-ny a pada pagi dan petang hari,
karena menghendaki Wajah Allah, tidak terlalu menyel idiki keadaan
mereka, lebih suka memaafkan mereka, memohonkan ampunan bagi mereka,
bermusyawarah dengan mereka dan memintakan syafaat bagi mereka. Beliau
juga diperintahkan untuk menghindari di antara mereka yang durhaka dan
mungkir, hingga dia bertaubat, seperti yang di lakukan terhadap tiga
orang yang tidak mau ikut dalam peperangan. Beliau juga diperintahkan
un-tuk menerapkan hukum terhadap orang yang terpandang maupun rakyat
biasa.
Beliau diperintahkan untuk membantah syetan-syetan dari jenis ma¬nusia
dengan cara yang paling baik, membalas keburukan dengan kebaikan,
kebodohan dengan keramahan, kezhaliman dengan maaf dan pemutusan
hubungan dengan jalinan hubungan. Jika beliau bersikap seperti ini,
maka musuh akan berubah menjadi peno long dan pendukung yang setia.
Sedang-kan dalam menghadapi syetan-syetan dari jenis j in, maka beliau
diperintah¬kan berlindung kepada Allah. Dua sikap ini dipadukan Allah
di beberapa tempat di dalam surat Al-A'raf, Al-Mukminun dan Ha Mim
As-Sajdah. Dalam sebuah ayat di surat Al-A'raf Allah menghimpun semua
akhlak yang mulia.
Ada tiga kondisi yang harus diperhatikan seorang pemimpin dalam
hubungannya dengan rakyat, yaitu: Dia harus mempunyai hak yang harus
dipenuhi rakyat, dia harus mempunyai perintah yang disampaikan kepada
mereka, dan tentu ada pelanggaran terhadap hak-haknya. Karena itu dia
harus mengambil hak yang secara suka rela mau mereka lakukan, yang
mudah dan tidak mempersulit mereka. Hak yang paling mudah dan yang
tidak menimbulkan bahaya dan manfaat adalah maaf dan perintah kepada
yang baik-baik. Dalam menyuruh kepada hal-hal yang baik tidak boleh
digunakan cara-cara kekerasan dan kasar. Orang-orang yang bodoh harus
dihadapi dengan cara yang baik, dan tidak boleh menghadapi dengan cara
yang se¬rupa.
Ringkasan tentang Beberapa Peperangan dan Pengiriman Pasukan Perang
Bendera pertama ialah yang beliau serahkan kepada Hamzah bin
Abdul-Muththalib, tepatnya pada bulan Ramadhan, menginjak waktu tujuh
bulan setelah hijrah. Bendera itu bewarna putih. Beliau mengutus Hamzah
bersama tiga puluh orang, yang semuanya dari kalangan Muhajirin untuk
menghadang kafilah dagang Quraisy yang datang dari Syam. Dalam kafilah
itu ada Abu Jahl bersama tiga ratus orang. Mereka tiba di pinggir
pantai dan bersiap-siap untuk berperang. Tapi yang lewat di sana hanya
Majdy bin Amr Al-Juhanny, yang menjadi sekutu bagi kedua belah pihak.
Kafilah itu lolos dan tidak terjadi pertempuran.
Lalu beliau mengutus Ubaidah bin Al-Harits bin Al-Muththalib dalam satu
pasukan ke perkampungan Rabigh pada bulan Syawwal, atau tepatnya
menginjak delapan bulan setelah hijrah. Bendera yang bewarna putih
dibaw a oleh Misthah bin Utsatsah bin Abdul-Muththalib. Jumlah pasukan
sebanyak enam puluh orang, yang semuanya dari kalangan Muhajirin dan
tak seorang pun dad Anshar. Mereka bertemu Abu Sufyan bersama dua ratus
prajuritnya di perkampungan Rabigh. Tapi tidak terjadi peperangan,
karena pasukan kembali lagi.
Sebulan kemudian beliau mengutus Sa'd bin Abi Waqqash bersama dua puluh
penunggang ke Al-Kharrar untuk mencegat kafilah dagang Qu¬raisy. Dia
bersumpah untuk tidak membiarkan kafilah itu melewati AI¬Kharrar. Maka
dia sembunyi pada slang harinya dan melakukan perjalanan pada malam
hari. Tapi ketika di sana, ternyata kafilah itu sudah lewat pada hari
kemarennya.
Kemudian beliau berangkat sendiri ke perang Al-Abwa', yang juga disebut
Waddan. Ini merupakan peperangan pertama yang beliau jalani sendiri,
tepatnya pada bulan Shafar, bersama orang-orang Muhajirin saja, dengan
tujuan untuk mencegat kafilah dagang Quraisy. Tapi kafilah itu bisa
lolos. Setelah itu beliau berangkat sendiri ke Buwath pada bulan Rabi'
ul¬Awwal bersama dua ratus shahabat untuk menghadap kafilah dagang
Quraisy, yang dipimpin Umayyah bin Khalaf Al-Jumahy beserta seratus
orang Quraisy, yang membawa dua ribu lima ratus onta beserta bawaannya.
Tapi kali ini pun tidak membawa basil apa-apa. Maka beliau kembali ke
Ma¬dinah.
Tiga belas bulan setelah hijrah beliau pergi untuk mencari Kurz bin
Jabir Al-Fihry, karena dia menyerang ternak penduduk Madinah dan
merampoknya. Tapi dikejar sampai Safawan, Kurz bisa rneloloskan diri.
Enam belas bulan setelah hijrah, beliau keluar lagi, tepatnya pada
bulan Jumadal-Akhirah bersama seratus lima puluh orang clad Muhajirin,
dan ada yang mengatakan dua ratus orang, untuk mencegat kafilah dagang
Quraisy
yang akan berangkat ke Syam. Kabar yang diterima, kafilah
itu membawa harta benda dari Makkah. Beliau tiba di Dzul-Usyairah di
bilangan Yanbu'. Tapi ternyata kafilah itu sudah lewat di sana beberapa
hari sebelumnya. Kafilah ini pula yang dicari-cari sekembalinya dari
Syam, yang belakangan menjadi pemicu perang Badr.
Kemudian pada bulan Rajab beliau mengutus Abdul lah bin Jahsy Al-Asady
ke Nakhlah bersama dua betas orang dari Muhajirin, yang setiap dua
orang diserahi seekor onta, hingga mereka tiba di Nakhlah untuk mencari
kabar tentang kafilah dagang Quraisy. Tapi dalam perjalanan ke sana,
onta Sa'd dan Utbah lepas, sehingga keduanya ketinggalan. Pada waktu di
Nakh¬lah itulah kafilah dagang Quraisy lewat. Mereka berkata, "Sekarang
kita berada di tangal terakhir dari bulan Rajab yang merupakan bulan
haram. Jika kita menyerang mereka, berarti kita melanggar bulan suci.
Tapi jika malam ini kita biarkan kafilah lobos, maka mereka akan masuk
tanah suci."
Akhirnya mereka semua sepakat untuk menyerang kafilah itu. Dalam
penyerangan ini mereka dapat membunuh Amr bin Al-Hadhramy, menawan
Utsman dan Al-Hakam. Sementara Naufal dapat meloloskan diri. Setelah
itu mereka kembali ke Madinah sambit membawa barang dagangan dan dua
orang tawanan Quraisy. Mereka juga sudah menyisihkan seperlima bagian
dari harta rampasan itu, dan inilah harta rampasan serta tawanan yang
perta¬ma kali terjadi dalam Islam. Tapi Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam mengingkari apa yang mereka perbuat, dan pengingkaran Quraisy
jauh lebih keras lagi, dengan begitu mereka mendapatkan sebab untuk
berkasak-kusuk, dengan mengatakan, "Muhammad telah menghalalkan bulan
suci."
Hal ini membuat orang-orang Muslim merasa sangat tertekan, hingga Allah menurunkan ayat,
"Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram.
Katakanlah, Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi
menghalangi (manusia) darijalan Allah, kafir kepada Allah,
(mengha¬langi masuk) Masjidil-Haram dan mengusir penduduknya dari
seki¬tarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan, fitnah itu lebih
hesar dosanya daripada membunuh." (Al-Baciarah: 217).
Dengan kata lain Allah befirman, "Sekalipun apa yang kalian ingkari ini
memang merupakan dosa besar, tapi apa yang kalian lakukan, seperti ku
fur kepada Allah, menghalangi manusia dari jalan Allah, menghalangi
mereka ke Baitullah, mengusir orang-orang Muslim, padahal mereka masih
terhitung keluarga kalian, syirik yang kalian lakukan dan perbuatan
aniaya kalian, jauh lebih besar dosanya di sisi Allah daripada
penyerangan yang mereka lakukan pada bulan suci."
Mayoritas mufasir mengatakan bahwa rnaksud fitnah di dalam ay at ini
adalah syirik, seperti yang juga disebutkan di beberapa ayat yang lain,
sekali
pun di beberapa ayat yang lain lagi juga disebutkan kata
fitnah, yang berarti ujian atau cobaan, seperti cobaan yang dinisbatkan
kepada Allah, yang bisa berupa musibah maupun nikmat. Jadi memang ada
perbedaan makna di antara keduanya. Ada juga fitnah yang berarti
kedurhakaan.
Pada bulan Ramadhan pada tahun yang sama, Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam mendapat kabar tentang kafilah Quraisy yang pulang dari Syam
dan dipimpin Abu Sufyan, bersama empat puluh orang. Kafilah itu membawa
harta kekayaan Quraisy dalam jumlah yang amat banyak. Maka beliau
menganjurkan orang-orang keluar untuk menghadangnya tanpa sempat
mengadakan pertemuan, karena beliau harus pergi cepat-cepat, bersa¬ma
tiga ratus tujuh belas orang. Dalam rombongan ini hanya ada dua ekor
kuda, milik Az-Zubair bin Al-Awwam dan Al-Miqdad bin Al-Aswad Al¬Kindy.
Di samping itu ada tujuh puluh onta yang dinaiki dua hingga tiga orang.
Sedangkan Rasulullah Shallallahu A laihi wa Sallam bersama Ali bin Abu
Thalib dan Martsad bin Abu Martsad.
Ketika Abu Sufyan mendengar kabar tentang penghadangan kaum Muslimin
ini, dia segera mengupah Dhamdham bin Amr A l-Ghifary ke Makkah,
meminta pengiriman pasukan untuk menyelamatkan kafilah dagang mereka,
sehingga mereka bisa mencegah tindakan Muhammad dan orang¬orang Muslim.
Maka mereka berbondong-bondong keluar dan tak seorang pun di antara
pemuka mereka yang ketinggalan, selain Abu Lahab. Tapi dia menunjuk
wakil untuk menggantikannya, karena orang itu mempunyai hutang
kepadanya. Bahkan kabilah-kabilah di sekitarnya juga ikut berga¬bung,
kecuali Bani Ady. Mereka keivar seperti yang digambarkan Allah,
"Dengan rasa angkuh dan dengan maksudriya' kepada manusia serta
menghalangi (manusia) dart jalan Allah. " (Al-Anfal: 47).
Lalu Allah mempertemukan mereka pada waktu yang sama sekali ti¬dak diduga-duga, sebagaimana firman-Nya,
"Sekiranya kalian mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari
pertempuran), pastilah kalian tidak sependapat dalam menentukan hart
pertempuran itu. " (Al-Anfal: 42).
Ketika mendengar kepergian orang-orang Quraisy, Rasulullah Shal-lallahu
Alaihi wa Sallam meminta pendapat kepada para shahabat. Maka
orang-orang dari kalangan Muhajirin ini saling berbicara, yang intinya
mere¬ka menganggap hal itu lebih baik. Beliau meminta pendapat mereka
sekali lagi tentang masalah ini, dan orang-orang Muhajirin melakukan
hal yang sama. Ketika beliau meminta pendapat mereka untuk ketiga
kalinya dalam masalah yang sama, maka orang-orang Anshar pun mengerti
bahwa sebenar¬nya yang beliau maksudkan adalah diri mereka. Maka Sa' d
bin Mu'adz menyampaikan ucapan yang sangat terkenal, "Wahai Rasulullah.
sepertinya engkau ingin menawarkan kepada kami."
Memang merekalah yang beliau maksudkan, karena mereka pernah
berbaiat untuk melindungi beliau dari gangguan siapa pun setelah beliau
menetap bersama mereka. Maka ketika hendak keluar, beliau meminta
pendapat mereka, sekedar untuk mengetahui apa yang ada di dalam hati
mereka. Maka Sa'd berkata, "Seakan-akan engkau khavvatir jika
orang-or-ang Anshar tidak mau menolong engkau kecuali di tempat tinggal
mereka. Aku berkata atas nama orang-orang Anshar dan aku memenuhi hak
atas nama mereka pula. Maka berangkatlah menurut kehendak engkau,
sambunglah tali hubungan dengan siapa pun menurut kehendak engkau,
putuslah tali hubungan dengan siapa pun menurut kehendak engkau,
ambillah harta kami menurut kehendak engkau, berikan kepada kami
menurut kehendak engkau, dan apa yang engkau ambit dari kami, lebih
kami sukai daripada apa yang engkau tinggalkan, dan suatu perintah yang
engkau perintahkan, maka kami ikut perintah engkau. Demi Allah,
sekiranya engkau berjalan hingga sampai ke Barkil-Ghamad (di Yaman),
niscaya kami akan berjalan bersama engkau. Demi Allah, sekiranya engkau
memperlihatkan lautan di hadapan kami, niscaya kami akan terjun bersama
engkau."
Al-Mk/dad menambahi, "Kami tidak mengatakan kepada engkau seperti yang
dikatakan kaum Musa kepada Musa, `Pergilah kamu bersama Rabbmu dan
berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini
saja'. Tapi kami akan berperang di sisi kanan kiri engkau, di muka dan
belakang engkau."
Maka seketika itu wajah beliau tampak ceria setelah mendengar perkataan
para shahabat. Lalu beliau bersabda, "Berangkatlah kalian dan terimalah
kabar gembira, karena Allah telah menjanjikan kepadaku salah saw dari
gua pihak, dan sesungguhnya aku telah melihat tempat kematian
orang-orang itu (Quraisy)."
Maka beliau bersama para shahabat berjalan menuju Badr dan langsung
mengambil posisi yang lebih menguntungkan. Setelah orang-or¬ang musyrik
muncul dan kedua belah pihak bisa sating melihat, beliau berdiri sambil
menengadahkan tangan, memohon pertolongan kepada Allah. Orang¬orang
Muslim juga berdoa memohon pertolongan kepada Allah. Maka Al¬lah
menurunkan wahyu,
"sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu
dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut. " (Al-Anfal: 9).
Kalau di dalam ayat ini disebutkan seribu malaikat, maka di dalam surat
Ali Imran: 124 disebutkan tiga ribu lalu disusul lagi dengan lima ribu
malaikat. Maka bagaimana cara mengompromikan antara dua hal ini?
Ada yang berpendapat, terdapat perbedaan pendapat antara yang tiga ribu
dan yang lima ribu ini menurut dua pendapat: Pertama, hal itu terjadi
pada perang Uhud. Tapi Bala bantuan itu tergantung kepada syarat. Jika
syaratnya tidak ada, maka bala bantuan pun tidak ada. Kedua,
hal itu terjadi pada perang Badr. Alasannya, susunan kalimatnya
menunjukkan bahwa hal ini terjadi di perang Badr. Bala bantuan yang
pertama berjumlah tiga ribu. Jika mereka bersabar dan bertakwa, maka
Allah menambah lagi dengan lima ribu. Sedangkan pendapat pertama
berhujjah, bahwa hal itu terjadi di perang Uhud. Tentang disebutkannya
Badr di dalam ayat yang bersangkutan, karena dimaksudkan sebagai
pengingkaran tentang apa yang terjadi di sana. Allah menyebutkan
nikmat-Nya pada perang Badr, lalu kisahnya kembali ke perang Uhud.
Kemudian Allah mengabarkan perkataan Rasul-Nya kepada mereka, "Apakah
belum cukup bantuan dari Allah?" Setelah itu beliau menjanjikan kepada
mereka, bahwa jika mereka bersabar dan bertakwa, maka Allah akan
menambahi bala bantuan itu sebanyak lima ribu malaikat. Ini adalah
perka¬taan Rasul. Sedangkan bala bantuan di perang Badr merupakan
perkataan Allah. Yang satu sebanyak lima ribu dan satunya lagi sebanyak
seribu. Yang satu bergantung kepada syarat dan satunya lagi tidak.
Kisah yang disebutkan di dalam surat All lmran merupakan kisah yang
panjang, berbeda dengan kisah yang disebutkan di surat Al-Anfal.
Sebelum pertempuran meletus, ada tiga orang dari pasukan Quraisy yang
menantang perang tanding. Maka muncul Ali bin Abu Thalib, Hamzah dan
Ubaidah, dan akhirnya tiga orang Quraisy itu dapat dibunuh.
Pada saat orang-orang Quraisy hendak berangkat dari Makkah, seba¬gian
di antara ada yang menyinggung peperangan antara mereka dengan Bani
Kinanah. Maka muncul Iblis dalam rupa Suraqah bin Malik, salah seorang
pemuka Bani Kinanah, seraya berkata kepada mereka, "Tidak ada seorang
pun manusia yang dapat mengalahkan kalian pada hari ini, dan
sesungguhnya saya ini adalah pelindung kalian, sekiranya Bani Kinanah
akan berbuat macam-macam yang tidak berkenan di hati kalian."
Maka mereka pun berangkat dark memang Iblis itu melindungi mereka serta
tidak berpisah dari mereka. Tapi ketika mereka sudah bersiap-siap untuk
bertempur dan musuh Allah ini melihat pasukan Allah yang turun dari
langit, maka Iblis itu pun melarikan di ri. Mereka bertanya, "Mau
kemana hai Sura¬qah? Bukankah engkau sudah mengatakan untuk melindungi
kami dan tidak men inggal kan kami?"
Iblis itu menjawab, "Aku bisa melihat apa yang kalian tidak bisa me I
ihatnya." Dia berdusta tentang perkataannya, "Aku takut kepada Allah."
Namun ada yang berpendapat, dia takut terhadap keamanan dirinya j ika
sekiranya sampai binasa bersama mereka. lnilah pendapat yang lebih pas.
Sementara ketika orang-orang munafik melihat dan mereka yang di dalam
hatinya ada penyakit, melihat jumlah pasukan Allah yang lebih sedikit
dan pasukan musuhnya yang lebih besar, lalu mereka mengira bahwa
kemenangan akan diraih pasukan yang lebih besar, dengan berkata, "Orang-
orang Mukmin itu telah tertipu oleh agamanya.- Maka Allah
mengabarkan bahwa kemenangan itu diperoleh dengan tawakal kepada-Nya,
bukan karena pasukan yang besar dan jumlah personel yang lebih banyak.
Sedangkan Allah Maha Perkasa dan tidak bisa dikalahkan, Bijaksana dan
menolong siapa yang layak ditolong, sekalipun dia lemah.
Ketika dua pasukan sudah semakin mendekat, Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam berdiri di tengah pasukan Muslimin, menyampaikan
nasihat dan mengingatkan kemenangan yang tak lama lagi akan diraih
serta pahala di akhirat, selagi mereka bersabar dan teguh hati. Beliau
juga mengabarkan bahwa Allah telah mewajibkan surga bagi siapa pun yang
mati syahid di jalan-Nya.
Akhirnya peperangan berakhir dengan kemenangan di tangan Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam dan pasukan Muslim in. Sekalipun begitu
ada empat belas orang dari orang-orang Muslim yang mati syahid, enam
dari Muhajirin dan sisany a dari Anshar. Rasulullah Shallallahu A laihi
wa Sallam selesai mengurus perang Badr dan para tawanannya pada bulan
Syawwal. Tujuh hari kemudian beliau berangkat menuju perang Bani Sulaim
dan tiba di sebuah mata air yang disebut Al-Kudru. Beliau menetap di
sana selama tiga hari, tanpa terjadi apa-apa dan setelah itu kembali ke
Madinah.
Sementara orang-orang musyrik kembali ke Makkah dalam keadaan murung,
sedih dan kccewa. Sampai-sampai Abu Sufyan bernadzar tidak akan
membasuh kepalanya dengan air hingga dia dapat memerangi Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam sekali lagi. Maka dia keluar bersama dua
ratus orang, hingga tiba di Al-Uwaidh di pinggiran Madinah dan menetap
di sana selama satu malam di rumah Salam bin Misykam, seorang Yahudi,
yang menyuguhinya dengan arak. Tapi Abu Sufyan menyembunyikan maksud
kedatangan ke sana. Pada pagi harinya dia menebangi beberapa pohon
korma dan membunuh seseorang dari Anshar dan sekaligus sekutunya
sendiri. Sete¬lah itu dia buru-buru kembali ke Makkah. Setelah
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar kejadian ini, beliau
segera mengejarnya hingga tiba di Qarqaratul-Kadri, namun tidak
mendapati Abu Sufyan dan orang-orangnya. Untuk meringankan beban,
orang-orang kafir itu meninggalkan bekal berupa sawiq (gandum) di sana,
yang kemudian diambil orang-orang Muslim. Maka peperangan ini disebut
perang Sawiq.
Beliau menghabiskan sisa bulan Dzul-Hijjah di Madinah. Lalu meme-rangi
orang-orang Najd yang hendak ke Ghathafan. Beliau menetap di sana
selama bulan Shafar, namun tidak terjadi apa-apa, hingga kembali lagi.
Bulan Rabi'ul-Awwal beliau berada di Madinah, lalu keluar dengan tujuan
Quraisy hingga tiba di Buhran. Beliau ada di sana hingga Rabi' ul¬Akhir
dan tidak terjadi apa-apa. Masuk bulan Jumadal-U la beliau kembali ke
Madinah.
Kemudian beliau memerangi Yahudi Bani Qainuqa', karena
me¬langgar perjanjian yang sudah disepakati dengan beliau. Setelah
dikepung selama lima belas hari, akhirnya mereka menyerah kepada beliau.
Setelah para pemuka Quraisy banyak yang terbunuh di perang Badr dan
mereka mengalami musibah yang tidak pemah mereka alami yang seperti
itu, maka di bawah komando Abu Sufyan, mereka berhimpun lalu pergi
mengarah ke Madinah, hingga tiba di dekat Uhud, yang kemudian
terjadilah perang Uhud yang terkenal. Hal ini terjadi pada bulan
Syawwal.
Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mem inta pendapat para
shahabat, apakah sebaiknya mereka keluar dari Madinah dan berperang
de¬ngan mereka, ataukah bertahan saja di Madinah? Beliau sendiri
menghendaki untuk tidak keluar dari Madinah. Jika orang-orang musyrik
menyerang Madinah, maka mereka dapat menghadapinya dari jalan-jalan di
Madinah dan bahkan para wanita pun bisa menghantam mereka dari
atap-atap rumah. Tapi para shahabat yang tidak bisa ikut dalam perang
Badr menghendaki menghadapi mereka di tempat terbuka dan keluar dari
Madinah. Akhimya diputuskan untuk keluar dari Madinah. Anak-anak banyak
yang menawarkan diri untuk ikut. Tapi beliau menolak keikutsertaan
mereka yang dianggap masih terlalu kecil, seperti Ibnu Umar, Usamah,
Zaid bin Tsabit dan Urabah bin Aus. Tapi yang dianggap mampu, beliau
memperkenankannya, seperti Samurah bin Jundab dan Rafi' bin Khudaij,
yang saat itu keduanya masih berumur lima belas tahun. Dalam sebagian
lafazh Ibnu Umar disebutkan, "Ketika mei ihatku memiliki kemampuan,
maka beliau memperbolehkan aku." Jadi ukuran boleh tidaknya ikut
berperang dari kalangan mereka adalah bukan karena baligh atau belum
baligh, tapi karena mampu atau tidak mampu.
Ketika pertempuran sudah usai, Abu Sufyan naik ke atas bukit seraya
berseru, "Apakah di tengah orang-orang itu ada Muhammad?" "Kalian tak
perlu menjawabnya," sabda beliau.
Abu Sufyan berseru lagi, "Apakah di tengah orang-orang itu ada Ibnu Abu Qahafah?"
"Kalian tak perlu menjawabnya," sabda beliau.
Abu Sufyan berseru lagi, "Apakah di tengah orang-orang itu ada Ibnul-Khaththab?"
"Tak perlu kalian menjawabnya," sabda beliau.
Abu Sufyan berkata, -Kalau begitu mereka telah terbunuh. Jika masih hidup tentunya mereka akan menjawab."
Umar bin Al-Khaththab tidak kuat menahan diri. Maka dia berkata, "Kau
dusta wahai musuh Allah, karena Allah menyisakan sesuatu yang akan
membuatmu kecewa dan murung.-
Abu Sufyan berkata. "Tinggikanlah Hubal, tinggikanlah Hubal!" Beliau bersabda, "Jawablah!"
"Apa yang harus kami katakan?" tanya mereka.
Beliau menjawab, "Katakanlah. 'Allah lebih tinggi dan lebih agung'."
Abu Sufyan berkata, "Kami memiliki Uzza dan kalian tak memiliki
-Jawablah," sabda beliau.
"Apa yang harus kami katakan?" tanya mereka.
Beliau menjawab, "Katakanlah, 'Allah pelindung kami sedang kalian tidak mempunyai
Abu Sufyan berkata, "Satu hari berbanding satu hari pada perang Badr, dan peperangan adalah kemenangan yang silih berganti.-
Umar menyahut, "Tidak sama. Orang kami yang terbunuh ada di surga dan orang kalian yang terbunuh ada di neraka."
Ada beberapa hukum yang bisa disimpulkan dari peperangan ini, di antaranya:
1. Jihad mengharuskan adanya ketaguhan. Siapa pun yang sudah
mengena¬kan baju perangnya dan mempersiapkan perlengkapannya, maka
tidak selayaknya dia kembali atau mundur, hingga dia bertempur dengan
mu¬suhnya.
2. Jika ada musuh yang hendak menyerang tempat tinggal orang-orang
Muslim. maka mereka tidak harus keluar dari sana. Tapi mereka boleh
meninggalkan tempat tinggal dan bertempur di luar selagi dimungkinkan
dapat meraih kemenangan.
3. Pemimpin boleh memberangkatkan pasukan perang dengan dana dari rakyat.
4. Pemimpin boleh menolak keikutsertaan anak-anak yang masih terlalu kecil dan belum memiliki kemampuan untuk berperang.
5. Boleh berperang dengan melibatkan para wanita atau meminta bantuan mereka dalam jihad.
6. Boleh menyusup ke tengah musuh seperti yang di lakukan Anas bin An-Nadhr dan lain-lainnya.
7. Jika imam terluka btu dia shalat dengan duduk, maka para makmum sha¬lat di belakangnya dengan duduk pula.
8. Seseorang boleh memohon terbunuh dalamjihadfisabilillah dan mengha-rapkannya. Ini bukan harapan mati yang dilarang.
9. Jika orang Muslim bunuh diri, maka dia berada di neraka, seperti
yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang Quzman.
10. Jasad orang yang mati syahid tidak perlu dimandikan dan dishalati
serta tidak dikafani kecuali dengan pakaian atau kain yang dikenakanny
a. Dia
dikubur dengan darah dan debu-debunya.
11. Jika orang yang mati syahid dalam keadaan junub, maka dia harus
diman-dikan, seperti para malaikat yang memandikan jasad Hanzhalah bin
Abu Amir.
12. Jasad orang yang mati syahid dikubur di tempat mereka terbunuh dan ti-dak dipindah ke tempat lain.
13. Boleh mengubur dua atau tiga jasad orang yang mati syahid di satu lu¬bang.
14. Siapa yang diperbolehkan Allah untuk tidak ikut bergabung dalam
pepe-rangan karena sakit atau cacat, dia tetap boleh bergabung,
sekalipun hal itu tidak wajib baginya.
15. Jika orang Muslim membunuh orang Muslim lainnya dalam peperangan,
karena orang yang pertama mengiranya orang kafir, maka pemimpin harus
memberi tebusan yang diambilkan dari Baitul-Mal.
Di samping hukum-hukum ini, ada beberapa hikmah dan tujuan terpuji yang
bisa dipetik dari perang Uhud ini, seperti yang di isyaratkan Allah
dalam firman-Nya yang mengawal i kisah ini, dari ayat 121 surat Ali
tmran, hingga enam puluh ayat berikutnya, di antaranya:
I. Menunjulckan kepada mereka dampak negatifdari kedurhakaan,
kelemah¬an dan perselisihan. Setelah mereka merasakan akibat
kedurhakaan terhadap Rasul, perselisihan dan kelemahan mereka, maka
kemudian me-reka menjadi sadar, berhati-hati dan mewaspadi hal-hal yang
bisa menimbulkan kekaiahan.
2. Hikmah Allah dan sunnah-Nya yang berlaku pada diri para rasul-Nya
dan para pengikut mereka, bahwa terkadang mereka menang dan terkadang
mereka kalah. Tapi kesudahan yang baik tetap berpihak kepada mereka.
Sebab sekiranya mereka menang terus, maka sulit untuk membedakan mana
yang tutus dan mana yang tidak. Tapi jika kalah terus, maka tujuan
pengutusan mereka tidak akan tercapai. Yang demikian ini merupakan
salah satu tanda para nabi, seperti yang dinyatakan Heraklius di
hadapan Abu Sufyan.
3. Orang Mukmin yang tulus harus dibedakan dengan orang munafik yang
pendusta. Ketika Allah rnemberikan kemenangan kepada roang-orang Muslim
di perang Badr, maka banyak orang yang zhahirnya menampak¬kan Islam,
padahal Islam itu sama sekali tidak ada di dal am hatinya. Maka telah
ada ketetapan hikmah al lah dengan membuat ujian bagi hamba-ham¬ba-Nya,
sehingga bisa dibedakan mana orang Mukmin dan mana orang munafik. Pada
perang Uhud ini orang-orang munafik berani mendongak¬kan kepada dan
menyatakan apa yang sebelumnya tersembunyi di dalam hati mereka. Dengan
begitu manusia bisa dibedakan secara jelas antara
orang kafir, Mukmin dan munafik, sehingga orang-orang Mukmin tahu
bahwa mereka mempunyai musuh di dalam sel imut, ada di tengah mereka.
"Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kalian sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk
(munafik) dart yang baik (Mukmin). Dan, Allah sekali-kali tidak akan
memperlihatkan kepada kalian hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah
memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul¬Nya. " (Ali
Imran: 179).
4. Tuntutan kepada para wall Allah untuktetap komitmen kepada ubudiyah
pada saat senang maupun susah, dalam perkara yang mereka sukai mau¬pun
yang mereka benc i, pada saat menang maupun pada saat kalah. Jika
mereka tetap teguh dalam ketaatan dan ubudiyah, maka mereka adalah
hamba-hamba Allah yang sejati, dan mereka tidak seperti orang-orang
yang menyembah Allah hanya pada satu keadaan saja, yaitu saat senang,
mendapat nikmat dan afiat.
5. Sekiranya mereka selalu menang di mana pun mereka berada, selalu
kuat dan dapat mengalahkan musuh, maka lama-kelamaan jiwa mereka bisa
terpedaya, congkak dan sombong.
6. Jika Allah menguj i mereka dengan kekalahan dan kerugian, tentu
mereka akan merasa remuk redam dan merendah sertatunduk, lalu mereka
memo-hon pertolongan dan kekuatan kepada Allah.
7. Allah telah menyediakan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman beberapa
kedudukan di tempat yang mulia di surga, yang tidak bisa dicapai oleh
amal mereka dan mereka sama sekali tidak bisa mencapainya kecuali
de¬ngan cobaan dan ujian. Maka Allah menciptakan beberapa sebab yang
bisa memunculkan ujian dan cobaan itu, sebagaimana amal shalih yang
juga ada sebab-sebabnya.
8. Jiwa manusia lebih suka menginginkan afiat, kemenangan dan kekayaan
secara terus-menerus dengan cara yang curang serta kecenderungan kepada
dunia. Yang dem ikian ini bisa menjadi penyakit yang menghambat
kesungguhannya dalam meniti jalan kepada Allah dan hart akhirat. Maka
harus ada cobaan dan ujian yang bisa menyingkirkan penyakit itu. Jadi,
cobaan dan uj ian itu tak ubahnya dokter yang mengobati penyakit.
9. Mati syahid di mata Allah merupakan kedudukan yang paling tinggi
bagi para wali-Nya. Para syuhada adalah orang-orang khusus dan
orang-orang yang paling dekat dengan Allah di antara hamba-hamba-Nya.
Tidak ada derajat yang lebih balk setelah shiddiq selain dart mati
syahid. Allah suka terhadap ham ba-hamba-Nya yang mati syahid, yang
darahnya tertumpah karena mencintai-Nya dan mencari ridha-Nya, yang
lebih mementingkan kecintaan dan ridha Allah dari pada kecintaan kepada
nyawanya send i ri
Tidak ada cara untuk mewujudkan hal ini kecuali dengan membuat musuh mereka lebih unggul dan menang.
10. Jika Allah hendak membinasakan dan melibas musuh-musuh-Nya, maka
Dia menciptakan sebab-sebab yang bisa mendatangkan kebinasaan dan
kehancuran mereka. Sebab kehancuran yang paling besar setelah kufur
adalah ke la! iman, kesewenang-wenangan, permusuhan dan gangguan
yang mereka lancarkan terhadap wali-wali-Nya. Sementara para wali
Allah semakin berlepas diri dari dosa dan kesalahannya. Firman Allah,
"Janganlah kalian bersikap lemah, danjanganlah (pula) kalian berse¬dih
hati, padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajat¬nya),
jika kalian orangb-orang yang beriman. Jika kalian (pada perang Uhud)
mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (lcafir) itu pun (pada perang
Badar) mendapat luka yang serupa. Dan, masa (kejaya¬an dan kehancuran)
itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat
pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang¬orang yang beriman
(dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kalian dijadikan-Nya
(gugur sebagai) syuhada '. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang
zhalim. "(Ali Imran: 139-140).
11. Perang Uhud menjadi mukadimah dan seakan-akan merupakan uji coba
sebelum kematian kematian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu
beliau menegur mereka yang melarikan diri dari medan perang jika beliau
sampai meninggal atau terbunuh. Yang harus mereka lakukan ialah
kete-guhan berpegang kepada agama dan tauhid. Sebab mereka menyembah
Rabb-nya Muhammad, Yang hidup dan tidak mati. Jadi meskipun Mu-hammad
meninggal atau terbunuh, maka tidak selayaknya mereka berpa¬I ing dari
agama-Nya. Sebab setiap j iwa pasti akan mati. Sementara beliau juga
tidak di utus untuk hidup kekal, tidak pula selain beliau. Maka
seha¬rusnya mereka mati atas nama Islam dan tauhid. Maka beliau menegur
mereka yang hendak berpaling dari Islam, ketika syetan berseru pada
peperangan Uhud itu, "Sesungguhnya Muhammad telah terbunuh." Lalu Allah
bell rman,
"Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh,
kalian berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik Ice
belakang, maka is tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah
sedikit pun dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur. " (Ali Imran: 144).
Ketika pertempuran sudah usai, orang-orang musyrik mundur ke bela-kang.
Sementara orang-orang Muslim mengira mereka akan menuju Madi¬nah untuk
merampas harta dan menawan para wanita serta anak-anak. Tapi sepertinya
itu tidak mungkin mereka lakukan. Maka beliau memerintahkan
agar All membuntuti mereka, mereka dan perhatikan apa yang
mereka lakukan dan apa yang mereka kehendaki. Jika mereka menuntun kuda
dan menaiki onta, berarti mereka menuju Makkah. Jika mereka menunggang
kuda dan menuntun onta, berarti mereka menuju Madinah. Demi yang diriku
ada di Tangan-Nya, jika mereka menuju Madinah, pasti aku akan
mengha¬dapi mereka untuk menghabisi mereka."
Setelah Ali membuntuti dan memperhatikan, ternyata mereka menun¬tun
kuda dan menaiki onta, yang berarti menuju Makkah. Pada saat itulah Abu
Sufyan muncul di atas bukit sambi I berteriak, "Tempat yang disepakati
untuk kalian adalah di Badr pada musim haj i." Setelah itu mereka
kembali ke Makkah.
Dalam perjalanan itu mereka sating mengejek. Di antara mereka ada yang
berkata, "Sebenarnya kalian sudah di atas angin. Tapi kemudian
mem¬biarkan mereka berhimpun kembali untuk menghadapi kalian. Maka
kern¬bal i lah agar kita bisa menghabisi mereka.-
Ketika kabar tentang keadaan orang-orang kafir ini didengar Ra¬sulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallarn, maka beliau memerintahkan kaum Muslimin
untuk bersiap-siap menghadapi musuh. Maka beliau dan para sha¬habat
mengejar musuh hingga tiba di Harnra' ul-Asad. Abu Sufyan bertemu
dengan seseorang dari orang musyrik yang hendak pergi ke Madinah. Maka
dia menitipkan sepucuk surat kepada beliau, dan setelah orang itu
kembali ke Makkah, Abu Sufyan akan memberinya imbalan. Isinya berisi
pemberita¬hu-an bahwa dia akan menghimpun pasukan, yang di kemudian
hari akan menghabisi beliau.
Perang Uhud ini terjadi pada bulan Syawwal tahun ketiga setelah hijrah.
Setelah itu beliau kembali ke Madinah dan menghabiskan sisa tahun itu
di sana. Ketika bulan sabit Muharram sudah muncul, beliau mendengar
kabar bahwa Thalhah bin Khuwail id dan saudaranya, Salamah bersama
kaumnya mengajak Bani Asad bin Khuzaimah untuk memerangi beliau. Maka
beliau mengutus Abu Salamah dan seratus lima puluh prajurit untuk
menghadapinya. Di sana mereka berhasil mendapatkan onta dan kambing,
sekalipun tidak terjadi pertempuran.
Pada tanggal lima Muharram Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
mendengar kabar bahwa Khalid bin Sufyan menghimpun pasukan untuk
me-merangi beliau. Maka beliau mengutus Abdullah bin Unais untuk
mengha-dapinya, dan berhasil membunuhnya. Dia membawa kepala Khalid ke
Madi-nah dan mcnyerahkannya kepada beliau. Lalu beliau memberikan
sebuah tongkat kepada Abdullah bin Unais, seraya bersabda, i menjadi
tanda antara diriku dan dirimu.- Sebelum meninggal dunia dia sudah
berwasiat agar tongkat pennberitaan beliau itu disertakan di dalam kain
kafannya.
Pada bulan Shafar ada beberapa orang utusan dari Adhal dan
Qarah yang mengabarkan bahwa di tengah mereka ada beberapa orang yang
masuk Islam. Maka para utusan ini mem inta agar beliau mengirim
beberapa orang kepada mereka untuk mengajarkan agama dan membacakan
Al-Qur'an. Tapi sesampainya di sana, para shahabat itu dibunuh sernua.
Sedangkan Uubaib bin Ady disalib di Tan'im.
Pada bulan Shafar ini pula terjadi peristiwa Bi'r Ma'unah, yaitu
terbu¬nuh beberapa orang shahabat yang dilakukan musuh Allah, Amir bin
Ath¬Thufail.
Pada bulan RabF ul-Awwal terjadi perang Bani Nadhir, yang karena¬nya turun surat Al-Hasyr.
Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berangkat sendiri ke
perang Dzatur-Riqa' pada bulan Jumadal-Ula, atau disebut pub perang,
Najd. Beliau pergi menuju Ghathafan. Tapi di sana tidak terjadi
pertempuran Pada saat itulah pertama kali dilaksanakan shalat khauf.
Begitulah yang dikatakan Ibnu Ishaq dan para pakar sejarah peperangan.
Tapi pendapat ini kurang akurat. Yang benar adalah di perang Usfan
seperti yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat At-Tirmidzy.
Pada bulan Sya'ban tahun berikutnya, dan ada yang mengatakan bulan
Dzul-Qa'dah, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallarn pergi ke Badr
seperti janji yang disampaikan Abu Sufyan. Beliau berada di sana untuk
menunggu kedatangan pasukan musyrikin. Sebenarnya Abu Sufyan juga sudah
berang¬kat dari Makkah bersama dua ribu prajurit, yang di antaranya ada
lima puluh penunggang kuda. Tapi belum seberapa jauh meninggalkan
Makkah, mereka kembali lagi, dengan alasan, "Tahun ini adalah tahun
paceklik."
Pada bulan RabFul-.Awwal tahun kclima setelah hijrah, beliau keluar ke
Dumatul-Jandal. Pasalnya, beliau mendengar di tempat itu scdang
ber¬himpun orang-orang yang akan menyerbu Madinah. Sebelum memasuki
tempat itu, beliau menyerbu para penggembala ternak milik mereka, yang
membuat mereka lari kocar-kacir. Ketika kabar kedatangan beliau ini
ter¬dengar, maka penduduk Dumatul-Jandal langsung mclarikan diri.
Pada bulan Sya'ban beliau mengutus Buraidah bin Al-Hushaib Al¬Aslamy ke
Ban i Musthaliq, yang dikenal dengan perang Al-Muraisi'. Pasal-nya,
pemimpin mereka„Al-Harits bin Abu Dhirar menghimpun kekuatan untuk
menyerang Madinah. Ternyata memang mereka sedang bersiaga untuk itu.
Tapi akhirnya mereka dapat di lumpuhkan, sehingga beliau menawan para
wanita dan anak-anak serta harta benda mereka.
Pada peperangan ini pula terjadi kisah Hadit.vul-yki (berita bohong).
Pasalnya, orang-orang munafik yang biasanya tidak ikut bcrperang, kali
ini mereka ikut bergabung. Mereka yang memang di dalam hatinya ada
penyakit, mel ihat satu momen untuk menvebarkan kebohongan, sehingga
mampu
mengguncang keluarga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
SaIlarn dan mere-sahkan hati semua orang-orang Muslim. Peristiwanya
bermula dari kalung Aisyah yang jatuh ketika hendak pulang ke Madinah.
Ketika mencarinya dia pun ditinggal rombongan, hingga dia ditemukan
Shafwan bin Mu' athil. Lalu orang-orang munafik menyebarkan berita yang
menyangsikan kesucian Aisyah. Bahkan banyak pula para shahabat yang
ikut termakan oleh isu orang¬orang munafik itu. fapi bagi pemuka
shahabat yang mean liki ma' ri fat ten-tang Allah dan Rasul-Nya,
seperti Abu Ayyub dan lain-lainnya, menanggapi berita bohong itu dengan
berkata, "Mahasuci Allah, ini adalah kebohongan yang amat besar.-
J ika ada yang bertanya, "Lalu bagaimana dengan Nabi Shallallahu Alaihi
wa Sallam yang terpengaruh oleh berita bohong ini, mencari tahu tentang
Aisyah dan meminta pendapat para shahabat, padahal beliau adalah orang
yan paling tahu tentang Allah, mengapa beliau tidak mengatakan seperti
yang dikatakan Abu Ayyub dan para pemuka shahabat lainnya?"
Jawabannya, ini merupakan kesempumaan hikmah Allah, yang menja-dikan
peristiwa ini sebagai sebab dan ujian bagi Rasul-Nya dan umat Islam
hingga hari kiamat. H in ega dengan peristiwa ini Dia bisa meninggikan
suatu kaum dan menghinakan yang lainnya, Dia menambahi petunjuk dan
iman bagi orang-orang yang inengikuti petunjuk, dan menambahi kerugian
bagi orang-orang yang zhalim. Ujian ini semakin sempurna, karena selama
sebu¬Ian penuh tidak ada wahyu yang turun kepada beliau tentang diri
Aisyah yang seakan menjadi tertuduh. Yang pasti banyak hikmah yang bisa
diambil dari kejadian ini.
Ketika wahyu sudah turun yang mengabarkan kesucian Aisyah, makz
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salimm menjatuhkan hukuman dera seba•
nyak delapan puluh kali kepada orang-orang yang secara jelas
menyebarkar berita bohong itu. Tapi justru Abdullah bin Ubay tidak
dijatuhi hukuman seru• pa, padahal dialah yang menjadi pelopor dan
pemimpinnya.
Ada yang menjawab, bahwa hukuman ini dimaksudkan sebagai gene. bus
kesalahan dan dosa. Penebusan dosa ini tidak berlaku bagi Abdullah bir
Ubay, karena dia telah dijanjikan adzab yang amat pedih kelak di
akhirat sehingga dia tidak pert u lagi hukuman tersebut. Dan rnasih ada
pendapat-pen dapat lain tentang hal ini, dan boleh jadi memang semua
pendapat itu bena adanya.
Pada bulan Syawwal tahun kelima setelah hijrah meletus perang Khan daq.
Sebabnya, ketika orang-orang Yahudi melihat kemenangan orang-orang
musyrik di perang Uhud dan mengetahui janji Abu Sufyan untuk memerang
kaum Muslimin, bahkan dia pun sudah sempat keluar dari Makkah untul
melaksanakan janjinya itu. namun kembali lagi dan berjanji akan datang
lag tahun depan, maka be berapa pemuka mereka menemui orang-orang
Qurais:
di Makkah, seperti Sallam bin Abul-Hugaiq, Sallam bin
Misykam, Kinanah bin Ar-Rabi' dan lain-lainnya. Tujuan mereka ialah
mendorong dan membe¬rikan sugesti kepada orang-orang Quraisy untuk
memerangi kaum Muslimin dan mereka berjanji untuk mengulurkan bantuan.
Kemudian mereka pergi ke Ghathafan dengan tujuan yang sama, dan
ternyata orang-orang Ghathafan pun menyam but baik ajakan mereka.
Beberapa kabilah lain juga mereka te¬mui. Sehingga berhimpun pasukan
sebanyak sepuluh ribu orang dari kaum kafir yang menghadapi parit.
Parit itu dibuat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kaum
Muslim in atas saran Salman Al-Farisy, sehingga mampu menghadang
serbu¬an musuh, di samping pasukan Muslimin bisa berlindung kepada
bukit di belakangnya. Orang-orang musyrik mengepung orang-orang Muslim
selama sebulan dan sama sekali tidak terjad i pertempuran antara kedua
belah pihak.
Akhirnya pasukan Allah yang terdiri dari para malaikat mengguncang
pasukan musyri k in dan menyusupkan rasa takut di dalam hati mereka.
Allah juga mengirim pasukan berupa angin yang menceraiberaikan tenda
dan se-gala peralatan mereka. Maka mereka pun meninggalkan tempat,
pulang ke tempat masing-masing, sehingga pasukan Muslimin pun pulang ke
Madinah. Selagi beliau mandi di rumah Ummu Salamah, Jibril mendatangi
beliau dan memerintahkan agar saat itu pula beliau menyerang Bani
Quraizhah yang telah melanggar perjanjian. Tentang peperangan ini sudah
disampaikan di bagian terdahulu.
Pada bulan Dzul-Qa'dah tahun keenam setelah hijrah, begitulah yang
disebutkan menurut pendapat yang paling kuat,
RasulullahShallallahuAlaihi wa Sallam keluar dari Madinah bersama
seribu lima ratus shahabat, ada yang mengatakan seribu empat ratus dan
ada pula yang mengatakan seribu tiga ratus, yang tujuan sebenarnya
untuk umrah. Tapi orang-orang Quraisy tidak memperkenankan beliau masuk
Makkah. Maka akhirnya disepakati perjan¬jian antara kedua belah pihak
di Hudaibiyah, yang intinya:
- Disepakati gencatan senjata selama sepuluh tahun. Setiap orang dari ma-sing-masing pihak harus menjaga keamanan pihak lain.
- Pada tahun depan beliau di perbolehkan datang ke Makkah dan boleh
me-netap di sana selama tiga hari, hanya dengan membawa senjata yang
biasa dibawa dalam perjalanan dan tersimpan di kantong geriba.
Siapa yang datang ke Quraisy dari pihak Muhammad tidak perlu
dikem-balikan, tapi siapa yang datang ke Muhammad dari pihak Quraisy,
harus dikembalikan kepada mereka.
Dalam kisah perjanjian Hudaibiyah ini ada beberapa hal penting dan hukum-hukum fig ih, di antaranya:
1. Allah menurunkan ketentuan tentang tebusan karena sak it bagi orang
yang mencukur ram butnya, dengan puasa, atau shadacjah atau korban.
Bekal Pe/Oilizyc77/ ylki"trz/ 255
2. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendoakan tiga
kali bagi orang yang mencukur rambutnya dan mendoakan satu kali bagi
orang yang hanya meinotongnya.
3. Mereka menyembelih seekor onta atau seekor sapi untuk tujuh orang.
4. Bel iau menyembelih onta mi I ik Abu Jabal untuk memancing kejengkelan orang-orang musyrik.
5. Turun surat Al-Fath.
6. Bel iau melaksanakan umrah pada bulan-bulan haji dan keluar pada bulan Dzul-Qa'dah.
7. Menuntun hewan korban disunatkan dalam umrah mufradah, seperti hal
nya pada qiran. Memberi tanda pada hewan korban juga sunat.
8. Anjuran mcmancing kejengkelan hati musuh-musuh Allah.
9. Komandan pasukan harus mengirim mata-mata di depan hingga mendekati arah musuh.
10. Mem inta pertolongan orang musyrik yang dapat dipercaya dalam jihad diperbolehkan, selagi memang dibutuhkan.
11. Pemimpin harus meminta pendapat bawahan, prajurit atau rakyat, guna
untuk merinci ketepatan pendapat, melegakan hati mereka, menghindari
cemoohan mereka dan untuk mengetahui kemaslahatan sebagian di anta¬ra
mereka yang mungkin tidak dimiliki sebagian yang lain.
12. Diperbolehkannya menawan para wanita dan anak-anak jika mereka
memisahkan diri dari kaum laki-laki mereka sebelum peperangan.
13. Menolak pernyataan yang batil sekalipun bukan ditujukan kepada manu¬sia, seperti terhadap hewan.
14. Sunat memberi nama sesuatu yang digunakan manusia, seperti menamai hewan tunggangan.
15. Diperbolehkan bersumpah untuk menguatkan pengabaran yang disam-paikan, apalagi jika berkaitan dengan agama.
16. Jika orang musyrik, ahli lalim dan zhalim meminta sesuatu yang
digunakan untuk mengagungkan sesuatu yang diagungkan Allah, maka
permintaan itu boleh dipenuhi.
l 7. Pemimpin diperbolehkan menawarkan perjanjian kepada pihak musuh, jika dia melihat kemaslahatan bagi orang-orang Muslim.
18. Sabar menghadapi kekerasan, kekasaran dan minimnyaadab utusan
orang-orang kafir, dan tidak menghadapinya dengan sikap yang serupa,
karena di sini terkandung kemaslahatan yang bersifat umum.
19. Kesucian dahak dan kesucian air musta'mal.
20. Anjuran rasa optimisme, dan hal ini tidak sama dengan perkiraan buruk yang dimakruhkan.
21. Mengukuhkan perjanjian dengan orang-orang musyrik, meski di dalam
nya terdapat sedikit ketidakadi Ian terhadap orang-orang
Muslim, diper-bolehkan, demi mendapatkan kemaslahatan yang lebih nyata
dan untuk menolak keburukan yang lebih besar. Yang demikian ini seperti
rnenolak kerusakan yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang I
cbih kecil.
22. Siapa yang bersumpah untuk berbuat sesuatu atau bernadzar atau
berjanj i kepada orang lain tanpa menyebutkan waktu tertentu dan tidak
secara langsung, maka itu sifatnya luwes, bisa dilakukan menurut
kesempatan.
23. Mencukur rambut termasuk manasik dan lebih balk daripada memotong rambut.
24. Suatu perintah, meskipun tidak disebutkan batasan waktunya, harus
di-laksanakan secara langsung. Jika tidak, tentunya beliau tidak akan
marah karena para shahabat tidak langsung melaksanakannya.
25. Perjanjian Iludaibiyah ini merupakan mukadimah sebelum tiba
penak¬lukan dan kemenangan yang lebih besar. Sebab dengan begitu
manusia merasa aman, tidak takut terhadap gangguan orang lain,
orang-orang Muslim bisa bergaul dengan orang-orang kafir, bisa menyeru
mereka kepada Islam dan membacakan Al-Qur'an, memperlihatkan Islam
secara rie I. Sehingga pada masa gencatan senjata itu cukup banyak
orang yang masuk Islam.
26. Perjanjian ini menjadi sebab yang diciptakan Allah untuk menambah
iman orang-orang Mukmin dan tunduk kepada sesuatu yang sebelumnya tidak
mereka sukai, sehingga hal ini menimbulkan keridhaan terhadap qadha"
Allah dan mereka pun seakan tinggal menunggu janji Allah.
27. Perjanjian ini merupakan sebab datangny a ampunan bagi Rasul-Nya,
ke-sempurnaan nikmat-Nya, petunjuk dan pertolongan-Nya dan kelapangan
dada meskipun beliau dizhalimi. Ini semua meruapakan sebab yang
ke-mudian hasilnya bisa dirasakan Rasul dan orang-orang Mukmin. Karena
itu Allah menyebutnya sebagai balasan dan juga tujuan. Perhatikan
bagai¬mana Allah mensifati hati orang-orang Mukmin yang terguncang di
tempat tersebut. Tapi kemudian hati mereka menjadi tenang karena iman.
Allah menegaskan bahwa baiat mereka kepada Rasul-Nya merupakan baiat
kepada-Nya, siapa yang me langgarnya. maka akibatnya akan kern-ball
kepada diri sendiri. Kemudian Allah menyebutkan perkiraan orang¬orang
Arab badui yang meleset, karena mereka tidak mengetahui Allah. Kemudian
Allah mengabarkan keridhaan-Nya terhadap orang-orang Mukrnin. karena
mereka telah berbaiat, dan Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati
mereka. yaitu berupa ketaatan. Karena itu Allah menu¬runkan ketenangan
ke dalam hati mereka, lalu dibalasi dengan keme¬nangan dan harta
rampasan yang melimpah. Kemenangan dan harta rampasan yang pertama kali
diperoleh adalah scat menaklukkan Khaibar.
Kemudian Allah menjanj ikan kepada mereka harta rnrnpasan
yang banyak dan kemenangan lain setelah itu, sekalipun belum bisa
diraih saat itu. Begitu seterusnya hingga akhir pengabaran Allah
tentang masalah mi.
Setibanya di Madinah, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mene¬tap
di sana selama dua puluh hari atau sekitar itu, kemudian pergi untuk
menyerang Khaibar, karena mereka telah melanggar perj an j ian. Tentang
Khaibar ini telah dijanjikan Allah kepada beliau di Hudaibiyah.
Penduduk Khaibar tidak tahu kedatangan beliau dan pasukan Muslimin,
ketika pagi itu mereka hendak pergi untuk bercocok tanam. Setelah tahu,
mereka pun Lang-sung masuk ke dalam benteng. Tapi akhirnya mereka
menyerah kepada beliau.
Ada beberapa hukum figih yang bisa disimpulkan dari perang Khaibar ini. di antaranya:
1. Bo leh memerangi orang-orang kafir pada bulan-bulan suci.13eliau
pulang dari Hudaibiyah pada bulan Dzul-Hijjah, lalu menetap di Madinah
bebera¬pa hari, kemudian pergi ke Khaibar pada bulan Muharram.
2. Pembagian harta rampasan untuk penunggang kuda adalah tiga bagian dan bagi pejalan kaki satu bagian.
3. Jika prajurit mendapatkan harta rampasan berupa makanan secara send iri-an, maka dia boleh mengambilnya.
4. Bala bantuan yang datang setelah pertempuran usai, tidak mendapat
pem-bagian dari harta rampasan, kecuali j ika semua prajurit setuju
untuk mem-berinya.
5. Pengharaman daging keledai yang jinak.
6. Perri impin boleh membuat perjanjian gencatan senjata dengan batasan ter-tentu dan boleh juga mencabutnya.
7. Jika ahli dzimmah melanggar sebagian syarat yang ditetapkan terhadap
mereka, maka status mereka sebagai ahli dzimmah menjadi batal.
8. Maskawin bisa berupa pembebasan budak atau tawanan.
9. Siapa yang tertidur atau lupa belum shalat, maka waktu pelaksanaannya ialah ketika dia bangun atau ketika mengingatnya.
Dan masih banyak hal-hal lain yang bisa disimpulkan dari beberapa
kejadian dalam peperangan ini. Sepulang dari Khaibar, beliau menetap di
Madinah hingga muncul bulan sabit bulan Dzul-Qa'dah.
Pada saat itulah beliau mengumumkan kepada orang-orang untuk ke¬luar,
tepatnya pada tahun ketujuh setelah hijrah, untuk melaksanakan umrah
qadha', yang setahun sebelumnya dihalangi orang-orang musyrik Makkah.
Setiba di Ya' juj, beliau meletalckan semua senjata, perisai, tombak,
busur dan anak panah, dan hanya membawa senjata yang biasa dibawa orang
yang
sedang dalam perjalanan, yaitu pedang yang dimasukkan ke
dalam sarung¬nya. Beliau ada di Makkah selama tiga hari. Sementara
orang-orang musyrik menyingkir dari Makkah dengan rasa kesal dan tidak
ingin melihat beliau yang sedang melakukan umrah.
Setelah kembali ke Madinah dan menetap di sana, ada beberapa satuan
pasukan yang dikirim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ke
beberapa tempat dan kabilah, hingga tiba Fathu Makkah, penaklukan yang
paling besar.
Adapun awal mulanya adalah orang-orang Bani Bakr menyerang Bani
Khuza'ah dan membunuhnya. Bahkan orang-orang Quraisy membantu Bani Bakr
dengan persenjataan. Padahal gencatan senjata telah disepakati dalam
perjanjian Hudaibiyah selama sepuluh tahun antara pihak Quraisy dan
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang harus di jaga kedua belah
pihak dan siapa pun yang bersekutu dengan salah satu di antara
keduanya. Bani Bakr bergabung dengan Quraisy. adapun Khuza'ah bergabung
dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan begitu telah
nvata adanya pelanggaran perjanjian dari pihak Quraisy. Abu Sufyan yang
datang ke Madi-nah untuk menetralisir masalah, tidak beliau tanggapi.
Maka dia kembali lagi ke Makkah tanpa membawa hasil apa-apa. Beliau
memerintahkan orang-orang Muslim bersiap-siap, dan rnengumumkan
tujuannya, yaitu ke Makkah. Maka beliau berangkat meninggalkan Madinah
bersama sepuluh ribu orang Muslim. Allah membuat orang Quraisy tidak
mendengar keberangkatan beliau ini.
Tanpa pertumpahan darah dan perlawanan sedikit pun dari pihak Quraisy,
beliau bisa masuk Makkah dengan selamat dan menaklukkannya. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam yang dikelilingi orang-orang Muha¬j irin
dan Anshar, di depan, di belakang, di samping kiri dan kanan, masuk
masjid dan langsung menuju Hajar Aswad lalu menciumnya. Kemudian beliau
thawaf di sekeliling Ka' bah, yang saat itu di sana ada tiga ratus enam
puluh berhala. Beliau merobohkan berhala-berhala itu hanya dengan
busur¬nya, seraya membaca ayat,
"Yang benar telah datang dan yang hatil telah lenyap. Sesungguhnya yang
batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. " (Al-I sra" : 8 1 ).
Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan
Bilal untuk adzan di atas Ka' bah. Sementara itu, para pemuka Quraisy duduk
tak jauh dari sana. Setelah itu sebagian di antara mereka menyatakan masuk
Islam.
Beliau masuk rumah Ummu fIani' binti Abu Thalib, mandi di
sana lalu shalat delapan rakaat di rumahnya. Waktu itu adalah waktu
dhuha, yang kemudian banyak orang mengira bahwa itu adalah shalat
dhuha. Padahal itu adalah shalat yang menandai kemenangan. Begitu pula
yang dilakukan para komandan pasukan [slam. Jika mereka berhasil
menaklukkan suatu benteng atau suatu wilayah, maka mereka jugs
mendirikan shalat ini, karena meng¬ikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam. Maka Ummu Hani' berkata, "Aku tidak pernah mei ihat beliau
melakukan shalat itu, sebelum maupun sesudahnya."
Beliau memberi jam inan keamanan bagi semua orang kecuali tujuh orang,
yang mereka itu diperintahkan untuk dibunuh, sekalipun didapati
ber-sembunyi di balik kiswah Ka' bah. Mereka adalah Abdullah bin Sa'd
bin Abu Sarh, Ikrimah bin Abu Jahl, Abdul-Uzza bin Khathal, Al-Harits
bin Nufail bin Wahb, Maqis bin Shubabah, Habbar bin Al-Aswad dan dua
budak penya¬nyi m ilik Ibnu Khathal serta Sarah, budak Bani
Abdul-Muththalib. Tapi kemudian Abdullah bin Sa'd bin Abu Sarh dan
Ikrimah bin Abu Jahal masuk Islam.
Dalam kesempatan ini beliau menyampaikan pidato, menyangkut berbagai
masalah, terutama yang berkaitan dengan Makkah yang telah disucikan
Allah. Dari peristiwa ini dapat diambil berbagai macam pelajaran,
hikmah dan hukum, sebagaimana yang banyak disebutkan dalam kitab-kitab
sirah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perjanjian Hudaibiyah
merupakan mukadimah dari Fathu Makkah ini, yang dengannya Allah
memenangkan Rasul-Nya, agama-Nya dan pasukan-Nya, lalu manusia masuk
Islam secara berbondong-bondong.
Ketika orang-orang Hawazin mendengar kabar tentang penaklukan Makkah
yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka mereka
menghimpun kekuatan bersama penduduk Tsaqif dan beberapa kabilah lain
untuk menyerang beliau. Maka mereka mengerahkan pasukan ke Hunain,
sebuah tempat antara Makkah dan Thba' if dan bermarkas di sana, hingga
peperangan ini disebut perang Hunain, sambil membawa serta anak¬anak,
wanita dan semua harta benda mereka. Beliau berangkat dari Makkah
bersama sepuluh Muhajirin dan Anshar yang bergabung sejak dari Madinah,
ditambah lagi dua ribu penduduk Makkah yang belum lama ditaklukkan dan
mereka sudah masuk Islam.
Pada awal mulanya Allah membuat pasukan Muslimin kalah, kocar¬kacir dan
banyak yang melarikan diri dari medan perang, sekalipun jumlah mereka
sangat banyak dan kekuatan mereka bisa diandalkan, dengan tujuan agar
kepala mereka yang tadinya tegak karena baru menaklukkan Makkah,
menjadi merunduk kepada Allah, tunduk dan pasrah kepada-Nya. Karena
hanya Dialah yang bisa memberi kemenangan dan pertolongan, yaitu bagi
siapa pun yang menolong agama-Nya. Allahlah yang mengatur
kemenangan Rasul dan agama-Nya, bukan karena jumlah mereka yang banyak
dan kuat. Setelah hati mereka tunduk dan pasrah, maka Allah menurunkan
ketenangan kepada Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin, serta menurunkan
pasukan yang tidak mereka lihat. Begitulah hikmah Allah, yang
menurunkan kemenangan kepada orang-orang yang hatinya tunduk dan pasrah.
Setelah musuh dapat dikalahkan dan sebagian lain ada yang melarikan
diri, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk
me-ngumpulkan semua harta rampasan dan tawanan, yang ternyata jumIahnya
sangat banyak, yaitu se banyak enam ribu tawanan, dua puluh empat ribu
ekor onta, lebih dari empat puluh ribu kambing, empat ribu uqiyah
perak. Setiba di Ji'ranah, beliau membagi harta rampasan itu.
Adapun Bani Tsaqif yang merupakan penduduk Tha if, setelah mengalami
kekalahan bersama Hawazin di perang Hunain dan mereka melarikan diri,
maka mereka langsung masuk ke dalam benteng dan bersiap-siap untuk
menghadapi pasukan Muslimin. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam men gerahkan pasukan ke sana, yang ternyata mereka pun cukup
gigih dan melancarkan serangan cukup gencar, dengan cara melontar¬kan
anak panah, sehingga ada dua belas orang yang meninggal dari pasukan
Muslimin, terkena anak panah mereka. Beliau mengepung mereka selama
delapan belas hart, sambil melancarkan serangan kepada mereka dengan
menggunakan manjaniq, alat pelontar peluru, dan ini merupakan manjaniq
pertama dalam Islam.
Beliau memerintahkan seseorang untuk berseru, "Siapa pun di antara
kalian yang turun dari benteng dan menemui kami, maka dia bebas."
Karena itu ada beberapa orang di antara mereka yang turun dari benteng,
lalu masing-masing diserahkan kepada seorang shahabat untuk mendapatkan
jaminan perlindungan. Tentu saja hal ini cukup menyulitkan posisi Bani
Isaqif. Seka¬lipun begitu beliau tidak mengizinkan orang-orang Muslim
untuk menyerang dan menaklukkan benteng. Bahkan kemudian beliau
memerintahkan mereka untuk meninggalkan tempat. Maka mereka pun menjadi
ri but dan berkata, "Apakah kita harus pergi, padahal Tha' if belum
kita taklukkan?-
"Kalau begitu kalian harus melakukan serangan." sabda beliau. Setelah
mencoba melakukan serangan, ternyata cukup banyak di antara orang-orang
Muslim yang teriuka.
"Insya Allah besok kita akan pergi," sabda beliau, yang membuat me¬reka
tampak gembira, sehingga beliau pun terseny um karenanya. Sebab pada
mulanya mereka seakan mereka prates atas keputusan beliau untuk pergi
meninggalkan benteng, tapi kemudian mereka senang dan gembira dengan
keputusan ini.
Ada yang berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah bagi orang Tsaqif."
Maka beliau bersabda, "Ya Allah, berikanlah petunjukkepada orang¬orang Tsaqif dan datangkanlah mereka kepadaku."
Dari Tha' if beliau menuju Jr ranah, dan dari sana beliau berihram
untuk umrah. Selesai umrah beliau langsung kembali ke Madinah bersama
semua Muhajirin dan Anshar.
Setelah tiba di Madinah pada tahun kesembi Ian setelah hijrah, beliau
mengutus beberapa orang untuk mengambil shadaqah dari orang-orang Arab
dan beberapa kabilah. Setelah itu masih ada beberapa satuan pasukan
yang dikirim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ke beberapa
wilayah dan kabilah.
Pada bulan Rajab tahun kesembilan setelah hijrah, yang saat itu udara
sangat panas dan kering, kemarau dan kehidupan cukup sulit, orang-orang
lebih suka berada di kebun sambil berteduh dan menunggui buah-buahnya
yang hampir masak, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salimm
melaku-kan persiapan untuk perjalanan secara sungguh-sungguh, dan
beliau juga memerintahkan orang-orang untuk bersiap-siap. Sementara
setiap kali hen¬dak keluar, maka beliau menyebut tujuannya, kecuali
kali ini atau ketika hendak keluar ke perang Tabuk, mengingat jaraknya
yang sangat jauh dan masanya yang cukup sulit dan berat. Maka beliau
menganjurkan kepada orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan shadaqah
dan infak untuk jihad fi sabilillah. Karena itu Utsman bin Affan
mengeluarkan infak yang sangat banyak, yaitu berupa tiga ratus ekor
onta, lengkap dengan segala perlengkap¬annya dan seribu dinar yang
diserahkan secara kontan.
Pasalnya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapat infor-masi
bahwa bangsa Romawi menghimpun kekuatan yang amat besar di Syam, dapat
menguasai beberapa kabilah di perbatasan, seperti Lakham, Ju-dzam,
Amilah dan Ghassan.
Perjalanan yang beliau tempuh bersama orang-orang Mukmin kali ini
benar-benar amat berat, sehingga terkadang mereka kehabisan air.
Padahal udara saat itu sangat panas.
Setelah tiba di Tabuk, pemimpin Ailah, Jarba dan Adzruh menemui beliau.
Mereka membuat perjanjian dengan beliau dan siap memberi jizyah. Begitu
pula yang dilakukan beberapa kabilah yang lain.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya sampai di Tabuk dan tidak
lebih dari sana. Beliau menetap di Tabuk tidak lebih dari tujuh belas
hari, lalu kembali lagi ke Madinah tanpaterjadi pertempuran dengan
pasukan Romawi. Sekalipun begitu pengerahan pasukan ini ke sana mem
iliki anti yang sangat penting, yang setidak-tidaknya mampu memberi
kesan kepada pihak
musuh mana pun, bahwa beliau dan pasukannya sudah kuat.
Apalagi prajurit yang dikerahkan saat itu mencapai tiga puluh ribu
orang.
Sebelum tiba di Madinah, beliau singgah di Dzu Awan, yang jarak
tern-puhnya ke Madinah kira-kira hanya selama satu jam. Orang-orang
munafik yang membangun masj id Dhirar pernah menemui beliau yang saat
itu sedang bersiap-siap hendak pergi ke Tabuk. Saat itu mereka berkata,
"Wahai Ra-sulullah, sesungguhnya kami sudah membangun sebuah masj id
yang kami pergunakan jika ada alasan dan keperluan tertentu, atau
ketika ma'am yang gelap dan turun huj an. Kam i ingin,agar engkau
mendatangi kami dan shalat bersama kami di masj id itu."
Tapi beliau menolak, karena memang saat itu beliau sangat sibuk
mengadakan persiapan. Ketika berada di Dzu Awan itulah bel iau mendapat
kabar dari langit tentang keberadaan masjid yang dibangun orang-orang
munafik itu. Maka beliau memerintahkan Malik bin Ad-Dukhsyum dan Ma'an
bin Ady untuk mendatangi masj id itu dan membakarnya. Keduanya segera
mendatangi masj id itu dan langsung membakarnya, hingga membuat
orang-orang yang ada di dalamnya lad menghindar. Maka turun ayat.
fi.o , ,fi
"Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang me
ndirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang¬orang
Mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang
Mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah
dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka .sesung¬guhnya bersumpah, 'Kann
tidak menghendaki selain kebaikan Dan. Allah menjadi saksi bahwa
sesungguhnya mereka itu adalah para pendusta." (At-Taubah: 107).
Saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memasuki Madinah,
orang-orang keluar untuk menyambut kedatangan beliau, begitu pula
anak¬anak dan para wanita sambil mengucapkan syair,
Sang rembulan telah muncul kepada kami
dari arah Tsamyyatul-wada' dia datang
rasa syukur wajib kami lakukan
alas doa yang dikabulkan
Sebagian perawi mengira syair ini diucapkan ketika beliau datang
pertama kali ke Madinah. Ini jelas anggapan yang salah. Sebab
Tsaniyyatul-
\Nada' merupakan tempat yang iii!ewati J i arah ice
iviadinail, yang sama sekali tidak terlihat oleh orang yang datar:
ciari arab Makkah ke Madinah, dan tidak di lewati kecuali oleh orang
yang berjalan dad Syam ke Madinah.
Masuk Madinah beliau Iangsung menuju masj id dan shalat dua rakaat di
dalamnya, lalu beliau duduk untuk menerima manusia. Orang-orang yang
tidak ikut dalam peperangan ini menemui beliau dan menyampaikan
berbagai macam alasan. Beliau menerima apa yang mereka sampaikan dan
hakikat diserahkan kepada Allah. Begitu pula tiga orang yang
ditangguhkan peneri¬maan taubatnya, karena mereka bertiga juga termasuk
orang yang tidak ikut dalam peperangan ini tanpa alasan yang j e las,
tapi mereka adalah orang¬orang yang jujur dan balk imannya. Mereka
adalah Ka' b bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Ar-Rabi'.
Setelah mereka merasa tersiksa karena mendapat hukuman pengucilan dari
beliau, tidak boleh berbicaradan bergaul dengan orang-orang, termasuk
dengan istri dan keluarganya sendiri, dan setelah mereka benar-benar
bertaubat kepada Allah, maka turun ampunan itu pun datang dari langit,
sebagaimana firman-Nya,
(…H La; U _.?"°-+J
:i• ‘, 0 A ' '.e 0 _A0 ., . 0 0 0 ….- 0 A ''' ….
If fi
LFH - L: i C * – ' ice "A C.3 –I – 7-4 r ..49 L t – - 1 _} 2 'L C – ' " L: A 41t' ! L.1'.4 4".–"Pci 2LPL:''
o -
' o
, .
, vi.o. :: -J ___ .. . .r…. … , , ,,…- .
L Ls—:;-,- li—iii. ‘:.r.1°.,:iil 02i1 L5.1..P j . ca—.171"- j L-i JC.- j rat: 461 C ft 4 XC.
'L
' 1..r , a .O .11 fi '''' " a 0 0 ,fi , .fi 0 fi '
) a :1;.) (*..1fr.A;C g:C. '.:41::;:, LL,. -9") 1,..0_,,uriliSil / f,- ir):C. ''. L:01,
A rd .. C.. 1 ''… 6; o A a fi …. a a – r . • . .:.: .1 ''' ''… - i … ' … '
L.r.)-,—:31 t' 4.° 'L.)! I .,9– _,-;-e-1- 7 ii.Lc. -'1:.' H `o…k-M Y '131 Le L''Ll-A
fi
41.'W o -C j61 L-?. •
A a
"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin
dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan,
setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah
menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka. Dan, terhadap tiga orang yang ditangguhkan
(penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumf telah menjadi sempit
bagi mereka, padahal bumf itu luas, dan j iwa mereka pun telah sempit
(pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak
ada tempat lati dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja,
kernudian Allah menerima taubat mereka, agar mereka tetap dalam
taubatnya. Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. Hai orang-orang
http://kampungsunnah.wordpress.com