BUKU
KELIMA

MASALAH HUKUM, PERNIKAHAN DAN JUAL BELI0094
Tujuan dari uraian buku ini bukan untuk mengemukakan ketentuan syariat secara umum meskipun ketetapan hukum-hukum di dalamnya yang bersifat khusus, sebenarnya juga merupakan ketentuan syariat secara umum, tapi maksud uraian ini ialah untuk mengemukakan tuntunan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam berbagai hukum parsial yang mungkin akan diserang pihak musuh, dan bagaimana tuntunan beliau dalam menetapkan hukum di antara manusia. Di samping itu, kami juga akan kemukakan beberapa kete¬tapan hukum secara global.
Permasalah Hukum Secara Umum
Disebutkan dari had its Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwaNabi Shallallahu A laihi wa Seam pernah menahan seorang laki-laki yang menjadi tersangka.*)
Inilah ketetapan-ketetapan hukum dan keputusan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam berbagai kasus:
1. Orang Yang Membunuh Budaknya
AI-Auza’y meriwayatkan dari Amr bin Syu ‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang laki-laki yang membunuh budaknya secara sengaja. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjatuhkan hukuman dera seratus kali kepada orang itu dan hukuman penguci Ian selama setahun serta menyuruhnya untuk memerdekakan seorang budak wanita, tanpa mem¬beri batasan waktu kepadanya.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Samurah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang membunuh budaknya, maka kami juga akan membunuhnya.”
Menurut Ahmad dan All bin A l-Madiny, isnad hadits ini shahih. Sementara menurut riway at At-Tirmidzy dan An-Nasa’y, isnadnya hasan.

Kalau pun hadits ini kuat, maka ancaman ini hanya sekedar sebagai peringatan yang keras, tergantung kepada imam kalau dia melihat hal itu mendatangkan kemaslahatan.
2. Orang-orang Yang Lebih Dahulu Menyerang
Tangan dan kaki mereka dipotong, mata mereka dibutakan, lalu mere¬ka dibiarkan mati kelaparan dan kehausan seperti yang mereka lakukan terhadap para penggembala Muslim.
3. Antara Pembunuh dan Wall Korban
Disebutkan di dalam Shahih Muslim. bahwa ada seorang laki-laki yang menuduh orang lain telah mem bunuh saudaranya. Lalu orang yang dituduh itu pun mengaku. Lalu beliau bersabda kepada pelapor. -13ebaskan dial¬Ketika sudah pergi, beliau bersabda, ka saudaramu itu juga membunuhnya, maka dia pun seperti orang itu.”
Pe lapor itu pun pergi. Pada lain kesempatan dia datang lagi menemui beliau lalu herkata, “Aku menyerahkan urusan ini kepada engkau.”
Bel iau bertanya, “Apakah engkau tidak ingin mengakui dosamu sen¬diri dan dosa rekanmu?”
“Ya, aku mengakuinya,” kata orang itu, dan orang yang dituduh se ba¬gai pembunuh itu pun dibebaskan.
4. Qishash terhadap Orang Yang Membunuh Budak Perempuan
Disebutkan di dal am Ash-Shahihain, bahwa ada seorang laki-laki Ya-hudi yang menggencet kepala seorang budak wanita dengan dua buah batu, karena perkara perhiasaan yang dipakai wanita itu. Setelah diadili, orang itu pun mengakui perbuatannya. Maka Nab i Shallallahu Alaihi wa Sallam me-merintahkan agar dia digencet dengan dua buah batu pada bagian kepalanya.
5. Orang Yang Memukul Wanita Hamil hingga Meninggal
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa ada dua wanita dari Bani Hudzail, yang salah seorang di antara mereka melempar yang lain dengan sebongkah batu, hingga korbannya meninggal dunia, begitu pula janin yang dikandungnya. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memutuskan agar pelaku membebaskan seorang budak wanita dan membayar tebusan untuk jiwa korban.
6. Empat Orang Yang Terpuruk di dalam Sumur
Al-Imam Ahmad, Al-Bazzar dan lain-lainnya meriwayatkan, bahwa ada beberapa orang di Yaman yang sedang menggali sumur. Salah seorang di antara mereka terjerumus masuk ke dalam sumur itu. Maka dia berpegang¬an kepada orang kedua, orang kedua berpegangan kepada orang ketiga, dan orang ketiga berpegangan kepada orang keem pat. Tapi justru akhirnya mere¬ka semua terjerumus masuk ke dalam sumur hingga mereka meninggal se¬mua. Lalu para wall mereka rnelaporkan kasus ini kepada All bin Abu Thalib.

Niaka Ali berkata. “Kumpulkan semua orang yang ikut menggali parit itu.” Lalu Aii memutuskan bahwa orang pertama (walinya) harus membayar seperempat nilai tebusan, karena di atasnya ada tiga orang yang meninggal. Orang kedua (walinya) membayar sepertiga nilai tebusan, karena ada dua orang di atasnya yang meninggal. Orang ketiga (walinya) membayar sete¬ngah nilai tebusan, karena ada satu orang di atasnya yang meninggal, dan orang keempat (walinya) membayar utuh senilai tebusan.
Setahun kemudian mereka mengisahkan kejadian ini kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka beliau bersabda, “Apa yang ditetapkan Ali itu sudah tepat bagi kalian.”
7. Orang Yang Menikahi istri Ayahnya (Mu Tiri)
Al-Imam Ahmad, An-Nasa’y dan lain-lainnya meriwayatkan dari Al¬Bara’ Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Aku bertemu pamanku, Abu Burdah yang sedang membawa bendera. Dia bercerita, “Aku sedang diutus Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menemui seseorang yang telah menikahi istri ayahnya (ibu tiri), agar aku membunuhnya dan merampas hartanya.”
8. Korban Men inggaI Yang Ditemukan di antara Dua Desa
Al-Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari hadits Abu Sa’ id Al-Khudry, dia berkata, “Ditemukan seorang korban yang meninggal di antara dua desa. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mengukur jarak di antara keduanya. Ternyata korban itu lebih dekat dengan salah satu di antara dua desa tersebut. Sepertinya aku melihat satu jengkal Rasulullah Shallulluhu A laihi Iva Sallam yang direntangkan kepada yang lebih dekat.-
9. Menunda Pelaksanaan Qishash Hingga Lukanya Sembuh
Abdurrazzaq menyebutkan di dalam Mushannaf-nya, dari hadits Ibnu Juraih, dari Arnr bin Syu’aib, dia berkata, “Nabi Shallallahu A laihi wa Sallam menetapkan hukum tentang seseorang yang memukul orang lain dengan sebuah tanduk di kakinva. Korban pemukulan berkata, “Wahai Rasulullah. laksanakan qishash atas apa yang menimpa diriku.”
Beliau bersabda, “Tunggu dulu hingga lukamu sembuh.”
Tapi orang itu tetap ngotot agar qishash dilaksanakan. Maka beliau memenuhinya. Akhirnya orang yang dijatuhi qishash sembuh dari lukanya, sementara orang yang menuntut qishash belum sembuh dan bahkan dia m en-jadi pincang. Maka dia berkata. “Bagaimana aku pincang sementara rekanku sembuh?”
Beliau menjawab, -Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tidak menuntut pelaksanaan qishash sehingga lukamu sembuh, tapi engkau tidak patuh kepadaku? Maka Allah menjauhimu dan engkau rnenjadi pincang
Tindakan seseorang yang melukai orang lain tidak perlu diterapkan qishash jika luka itu tidak mengakibatkan cacat atau kepincangan.

10. Qishash Bagi Orang Yang Meroinpalkan
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari had i ts Anas, bahwa seorang putri An-Nadhar, saudara Ar-Rubayyi’ menempeleng seorang budak wanita, hingga giginya ada yang rompal. Maka mereka pun saline melapor kepada Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam. Beliau memerintahkan untuk melaksana-kan qishash. Ibu Ar-Rubavyi’ berkata, “Wahai Rasulullah, apakah harus di-laksanakan qishash karena wanita itu? Demi Allah, dia tidak botch dijatuhi qishash.”
Beliau menjawab, “Mahasuci Allah wahai Ibu Ar-Rubayyi”. Kitab Allah itu sudah menetapkan qishash.”
Dia berkata, “Demi Allah, dia sama sekati tidak belch dijatuhi qi¬shash.”
Akhirnya wall korban memberi maaf dan mereka bersedia menerima tebusan. Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah itu ada yang apabila dia bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan memenuhi sumpahnya.”
11. Orang Yang Menggigit Tongan Orang Lain
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa ada seorang laki-laki yang menggigit tangan orang lain, lalu orang yang digigit itu menarik tangannya. Akibatnya, dua buah gigi serinya copot. Maka keduanya mengadu kepada Nabi Shallallahu laihi &Awn. Lalu beliau bersabda, “Sat ah seorang di antara kalian menggigit saudaranya seperti dia menggigit daging hewan jantan. Tidak ada tebusan bagimu.”
12. Orang Yang Men,,,intip Rumah Orang Lain
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda.

“Sekiranya seseorang menginttpmu tanpa izin, tofu engkau menim-puknya dengan kerikil hingga mencongkel matanya, maka engkau tidak bersalah. “
13. Orang Yang Mengaku Berzina
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa ada seorang laki-laki dari Bani Aslam menemui Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam, seraya mengaku telah berzina. Namun beliau berpaling dari orang itu. Sampai akhirnya dia bersaksi atas dirinya hingga empat kali. Maka beliau bertanya, “Apakah eng¬kau gita?”
“Tidak,” jawabnya.

“Apakah engkau sudah berkeluarga?- tanya beliau.
“Sudah,” jawabnya.
Maka orang itu dijatuhi hukuman rajam hingga meninggal dunia, lalu beliau menshalati jenazahnya.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan, bahwa ada seorang wanita Al-Ghamidiyah menemui beliau dan mengaku telah berzina. Namun dia juga mengaku telah mengandung dari hubungannya itu. Maka beliau menunda pelaksanaan rajam hingga wanita itu melahirkan dan menyapih anaknya. Ketika dia dirajam, Khaf id bin Al-Walid memungut sebuah batu dan menim¬pukkannya di kepalanya, sambi I mencacinya karena darahnya memercik ke mukanya. Maka beliau bersabda.-Sebentar wahai Khal id. Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, dia telah bertaubat dengan suatu taubat, yang sekiranya tukang penarik pajak memintakan taubat baginya, tentu taubatnya itu akan diterima.”
Lalu beliau memerintahkan untuk mengurus jenazahnya, beliau juga menshalati jenazahnya lalu dia dikuburkan sebagaimana layaknya.
14. Hukum Islam Berlaku untuk Ahli Kitab
Di dalam Ash-Shahihaindisebutkan, bahwa orang-orang Yahudi me-nemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka memberitahukan tentang seorang laki-laki di antara mereka yang berzina dengan seorang wa¬nita. Beliau bertanya, -Apakah kalian tidak mendapatkan hukuman rajam di dalam Taurat?”
Mereka menjawab, “Kami biasa menghinakan mereka yang berzina dan dijatuhi hukuman dera.”
Abdullah bin Salam menyela, “Kalian berdusta. Memang di dalam Taurat ada hukuman rajam.”
Maka kitab Taurat didatangkan. Setelah kitab itu dijejer-jejer, salah seorang di antara mereka me f etakkan jarinya di tempat ayat yang men¬jefaskan tentang rajarn, lalu dia membaca ayat-ayat sebe I um dan sesudahn a. sehingga ayat tentang raj am itu terlewati.
-Angkat tanganmu,- kata Abdullah bin Salam.
Setelah orang tersebut mengangkat tangannya, terlihatlah ayat tentang rajam. Mereka berkata. -Benar wahai Muhammad, memang di dalam Taurat ada ayat tentang rajam.-
Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi tva Sallam memerintahkan agar dua orang itu dijatuhi hukuman rajam.
15. Orang Yang Menzinahi Budak Wanita Istrinya
Disebutkan di dalam Al-MusnaddanAs-Sunan yang empat, dari hadits Qatadah, dari Habib bin Salim, bahwa ada seorang laki-laki yang namany a Abdurrahman bin Hunain. Dia menzinahi budak wanita mill k istriny a. Orang

itu dilaporkan kepada An-I\ u’ man bin Ba.syir gubet fan.. u mar, berkata, -Aku benar-henar akan tnemberi keputusan t ntang dirimu seperti keputusan yang dibuat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika dia berkenan atas tindakanmu, maka aku akan rnenderamu seratus kali deraan, dan jika dia tidak berkenan atas tindakanmu, maka aku akan merajammu dengan batu. Setelah diperiksa, ternyata budak wanita itu mei-Jiang berkenan atas tindakannya. Maka dia dijatuhi hukuman dera seratus kali.”
Tidak pernah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau membuat keputusan hukum tentang liwath (homoseks.), sebab hubungan seksual antarlelaki ini tidak dikenal bangsa Arab. Tetapi diriwayatkan dengan isnad yang shahih bahwa beliau bersabda, -Bunuhlah kedua pelakunya.”
Abu Bakar pernah membuat ketetapan hukum tentang homoseks dan menu liskan surat keputusan ini untuk dikirimkan kepada Khalid bin Al¬Walid. s,:telah bermusyawarah dengan para shahabat. Sementara sikap Ali ji_istru I( keras lagi.
I ullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membuat ketetapan hukum bagi orang yang melemparkan tuduhan zina, yaitu scat Allah menurunkan ayat yang berisi kebebasan istri beliau, A isyah, yang turun dari langit. Maka beliau menjatuhkan hukuman dera kepada dua orang laki-laki dan seorang wanita. yaitu Hassan bin Tsabit dan Misthah bin Utsatsah. Sedangkan yang wanita adalah Hamnah binti Jahsy.
Untuk orang yang keluar dari Islam atau murtad. hukumannya adalah dibunuh. Hukuman ini herlaku untuk dan wanita. Abu Bakar Ash-Shiddiq mernbunuh seorang wanita yang murtad. yaitu Uminu Qirfah.
Untuk peminum khamr dijatuhi hukuman dera empat puluh kali, dipu¬kul dengan pelepah daun korma dan selop. Hukuman ini juga diterapkan Abu Bakar. Sementara Umar mclipatkan menjadi delapan puluh kali.
16. Hukuman bagi Pencuri
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjatuhkan hukuman po-tong tangan bagi pencuri perisai yang harganya tiga dirham, dan beliau mene-tapkan tidak ada hukuman potong tangan j ika barang yang dicuri kurang dari empat dinar. Ada riwayat shahih, bahwa beliau bersabda,

“Potonglah tangan karena pencurian senilai empat dinar, dan ja
Menurut At-Tirmidzy dan lain-lamnya, isnad hadits ini tidak kuat dan ada yang majhul.

nganlah kalian memotong tangan untuk barang yang nilainya kurang dari itu. ” (Diriwayatkan Ahmad).
Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Semasa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tangan pencuri tidak dipotong, jika barang yang dicuri ku-rang dari nilai delapan perisai atau tarneng. Padahal hargatameng atau perisai sangat mahal.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
Ada pula riwayat shahih, bahwa beliau bersabda,
_ 0 1„ A 0 Of-Li 67, 1 L’I)-,;-e j:-.4 -4.3)11-3 fiJSI
AA
“Allah melaknat pencuri yang mencuri tali, sehingga tangannya perlu dipotong, dan mencuri telor sehingga tangannya perlu dipotong. (Diriwayatkan AI-Bukhary dan Muslim).
Yang dimaksudkan tali dalam hadits ini adalah tali perahu, dan telor di sini adalah telor besi. Ada yang berpendapat, apa pun jen is tali dan telor. Ada yang berpendapat, ini hanya sekedar pengabaran tentang apa yang terj ad i.
B el iau pernah menetapkan hukuman potong tangan bagi wanita yang mem injam barang, lalu dia memungkirinya, dan masih banyak kasus-kasus lain yang juga dijatuhi hukuman potong tangan. Tapi ada pula kasus pencu¬rian yang bebas dari hukuman potong tangan, seperti barang yang dicuri beru¬pa korma dan mayang korma.
17. Menuduh Orang Lain Mencuri
Abu Daud meriwayatkan dari Azhar bin Abdullah, bahwa ada sego-longan orang kehilangan barang-barangnya, lalu mereka menuduh beberapa orang dari Al-Hakah sebagai pencurinya. Maka mereka melaporkan orang-orang Al-Hakah itu kepada An-Nu’ man, shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. An-Nu’man memutuskan untuk menahan para tertuduh itu, tapi tak seberapa kemudian dia membebaskan mereka.
“Apakah engkau melepaskan mereka tanpa menjatuhkan hukuman apa pun?” tanya para pelapor kepada An-Nu’ man.
An-Nu’ man menjawab, “Apa yang kalian kehendaki? Apakah kalian menghendaki agar aku menghukum mereka? Kalaupun barang kalian ada di tangan mereka, bolehlah hukuman itu dilaksanakan. Tapi jika tidak, maka kalianlah yang akan kuhukum seperti hukuman yang kujatuhkan kepada mereka.”
“Apakah ini hukum yang engkau putuskan?” tanya mereka. “Ini adalah hukum Allah dan Rasul-Nya,” jawab An-Nu’man.

18 Orang Yang Mencaci Rasuiullem
Abu Daud dan lain-lainnya meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwabeliau menjatuhkan hukuman mati bagi ibu seorang anak yang buta, setelah budaknya jugadijatuhi hukuman mati karena mencaci maki beliau.
Be I iau juga menjatuhkan hukuman mati kepada beberapa orang Yahu¬di yang pernah mencaci maki dan menyakiti beliau. Sewaktu penaklukan Makkah, beliau menjatuhkan hukuman mati kepada beberapa orang yang pernah mencaci maki, menyiksa dan menyakiti beliau. Mereka empat orang laki-laki dan dua wanita.
19. Orang Yang Meracuni Rasulullah
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa ada seorang wanita Ya-hudi yang membubuhkari racun di daging domba lalu menyuguhkannya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bel iau sudah memakan satu suap¬an, kemudian memuntahkannya. Sementara Bisyr bin Al-Bara’ yang juga ikut makan bersama beliau, meninggal karena racun itu. Namun begitu beliau memaafkannya dan tidak menghukumnya. Begitulah yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain.
Sementara dalam riwayat Abu Daud disebutkan, bahwa beliau meme-rintahkan untuk membunuhnya. Ada yang berpendapat, beliau memaafkan wanita itu berkaitan dengan hak diri beliau yang tidak meninggal karena ra¬cun itu. Tapi ketika kemudian Bisyr meninggal dunia, maka perlu di laksana¬kan qishash.
20. Tukang Sihir
At-Tirmidzy meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “1-lukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang.” Namun hadits ini mauquf pada Jundub bin Abdullah.
Ada riwayat shahih dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. bahwa dia memerintahkan untuk membunuhnya. Hafshah, putri Umar juga memutuskan hal yang sama. Tapi Utsman mengingkari pendapatnya ini, ka-rena dia melakukannya tidak menurut perintahnya. Ai syah juga menetapkan hukuman mati bagi tukang sihir.
Ada riwayat yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menjatuhkan hukuman mati bagi orang Yahudi yang menyihir beliau. Pendapat ini menjadi pegangan Asy-Syafi ‘y dan Abu Hanifah. Me¬nurut Malik dan Ahmad, tukang sihir harus dijatuhi hukuman mati.
21. Mata-mata atau Orang Yang Membocorkan Rahasia Nabi
Diriwayatkan bahwa Hathib bin Abi Balta’ah bermaksud hendak membocorkan rahasia Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Lalu Umar meminta kepada beliau untuk memenggal lehernya. Tapi beliau tidak mem

perkenankannya, karena Hathib termasuk orang yang bergabung dalam perang Badr bersama beliau.
22. Para Tawanan Perang
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi vva Sallam pernah menjatuhkan hukuman mati bagi sebagian tawanan, sebagian lain ada yang dimaafkan, sebagian lain dibebaskan dengan membayar tebusan, sebagian lain ditukar dengan tawanan orang Muslim dan sebagian lain ada yang dijadi¬kan budak. Tetapi sebagaimana yang terjadi, beliau tidak pernah menjadikan orang yang sudah dewasa sebagai budak. Sewaktu perang Badr beliau mem¬bunuh Uqbah bin Abu Mu’aith dan An-Nadhr bin Al-Harits yang menjadi tawanan. Bahkan cukup banyak tawanan orang-orang Yahudi yang di bunuh.
Tawanan perang Badr dibebaskan dengan tebusan harta sebanyak em-pat ribu hingga empat ratus ribu perkepala. Ada pulatebusannya dengan cara mengajarkan baca tulis kepada sejumlah orang Muslim, dan ada pula yang dimaafkan seperti Abu Azzah, seorang penyair. Beliau juga pernah mencbus dua orang Muslim, ditukar dengan satu orang m usyrik. Sewaktu penaklukan Makkah cukup banyak orang yang dimaafkan dan dibebaskan, sehingga me-reka disebut Ath-Thulaqa’.
Hubungan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan orang-orang Yahudi, pada mulanya beliau membuat perjanj ian dengan mereka tak lama setelah tiba di Madinah. Tapi ketnudian orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ memerangi beliau, hingga mereka bisa ditaklukkan. Kemudian Bani Nadhir yang menyerang beliau, hingga mereka dapat ditaklukkan. Kemudian Bam Quraizhah yang menyerang beliau, dan akhirnya mereka bisa ditakl ukkari.
23. Saat Menaklukan Khaibar
Rasulul lah Shallallahu Alaihi wa Sallam memperbolehkan orang-orang Yahudi Khaibar tetap di sang, lalu mereka harus mengolah tanahnya dan me¬nyerahkan scparoh buah-buahan dan hasil tanamannya kepada beliau. Juga dip utuskan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada duaanak Abut-Hug aiq yang telah melanggar perjanj ian, yang isinya, mereka tidak boleh menyembu¬nvikan harta mereka sedikit pun. Tapi nyatanya mereka menyembunyikan¬nya.
24. Saat Penaklukan Makkah
Beliau memutuskan bahwa siapa yang menutup pintu rumahnya, atau masuk ke rn asj id atau masuk ke rumah Abu Sufyan, atau meletakkan senjata, maka dia aman. Beliau menjatuhkan hukuman mati kepada enam orang, empat laki-laki dan dua wanita. Saat itu beliau juga memutuskan untuk tidak mengejar orang yang melarikan diri dan tidak membunuh tawanan.
25. Pembagian Harta Rampasan
Beliau memutuskan bahwa penunggang kuda mendapatkan tiga bagian dan pejalan kaki mendapat satu bagian. Inilah keputusan yang senantiasa

beliau ambit dalam setiap pepeangan. M aka pula
Jumhur ulama. Dari seluruh harta rampasan diambil lerLbin .,:ahulu so pet limanya. Firman Allah,

“Ketahuilah, apa saja yang dapat lcalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak.-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil.” (Al¬Anfal: 41).
Tetapi beliau pernah mem bagi sem ua rampasan di antara orang-orang yang ikut berperang dan tidak mengambil seperiimanya. lni semua tergan¬tung kepada keputusan beliau.
26. Mengembalikan Harta Orang Muslim Yang Diambil Musuh
Di dalam Shahih A1-Bukhary disebutkan bahwa seekor kuda milik Umar bin Al-Khaththab lepas lalu diambil musuh. Ketika pasukan Musl im in dapat mengalahkan musuh, maka kuda itu dikembalikan lagi kepada Umar. Ada seorang budak yang melarikan diri, lalu bergabung dengan pasukan Romawi. Ketika orang-orang Muslim berhasil memukul pasukan Romawi dan budak yang melarikan diri itu tertawan, maka dia dikembalikan kepada Khalid, karena dialah yang dulu menjadi tuannya.
Ada pula riwayat yang shahih, bahwa orang-orang Muhajirin menuntut kembali rumah-rumah mereka saat penaklukan Makkah. Tapi beliau tidak memenuhi tuntutan mereka. Sebab dulu mereka hi jrah meninggalkan Mak¬kah karena Allah dan demi agama-Nya.
27. Hadiah Yang Diberikan kepada Rasulullah
Para shahabat biasa memberikan hadiah kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan beliau menerimanya, entah berupa makanan atau apa pun, ialu beliau membalas pemberian itu dengan jumlah yang lebih banyak atau lebih balk. Ada beberapa raja yang juga pernah memberikan hadiah ke¬pada beliau, lalu beliau membaginya di antara para shahabat dan mengambil sebagian menurut apa yang beliau kehendaki.
28. Pembagian Harta
Jenis-jenis harta yang dibagi Rasulullah Shallallahu A laihi wa Sallam ada tiga macam: Zakat, rampasan dan tebusan. Zakat dan rampasan tidak mesti diberikan kepada seluruh delapan golongan manusia yang berhak menerimanya. Terkadang beliau memberikan hanya kepada salah seorang golongan saja. Tentang tebusan, maka sewaktu perang Hunain beliau mem-bagikannya kepada orang-orang yang baru masuk Islam (dari penduduk Mak-kah), dan orang-orang Anshar tidak diberi sedikit pun. Ketika mereka kasak

kusuk mempermasalahkan hal ini, maka beliau bersabda, “Apakah kalian tidak ridha j ika manusia pergi dengan membawa domba dan onta, sementara kalian pergi bersama Rasul Allah dan kalian bisa menuntunnya ke kemah kalian? Demi Allah, apa yang kalian bawa kembali lebih baik daripada apa yang mereka bawa kembali.”
29. Memelihara Perjanjian dengan Musuh dan Melindungi Duta Mereka
Ketika dua orang utusan Musailamah Al-Kadzdzab mengatakan ke¬pada beliau, bahwa Musailamah adalah seorang utusan Allah, maka beliau bersabda, “Ka lau bukan karena utusan itu tidak boleh di bunuh, tentu aku su¬dah membunuh kalian berdua.-
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa ketika Abu Rafi’ diutus pihak Quraisy untuk menemui beliau, tapi kemudian dia ingin menetap bersama beliau dan tidak mau kembali ke pihak Quraisy, maka beliau bersabda, -Aku tidak suka melanggar perjanjian dan tidak sutra menahan utusan. Maka kembalilah kepada kaummu. Jika kemudian di dalarn dirimu tetap ada keinginan itu, maka kembalilah lagi ke sini setelah itu.-
Beliau juga mengembalikan Abu Jandal yang masuk Islam ke pihak Quraisy, karena mem ang begitulah yang disepakati dalamklausul perjanjian Hudaibiyah. Tapi para wanita yang mendatangi beliau dan masuk Islam, tidak dikembalikan ke pihak Quraisy. Maka ketika Subalah Al-Aslamiyah masuk Islam dan meninggalkan Makkah, suaminya mencarinya, lalu turun ayat,
(A
J. a )1 ft ‘0 w,I
19

“Hai orang-orang yang beriman, bila datang berhijrah kepada kalian wanita-wanita yang beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, makajika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, ja¬nganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.” (Al-Mumtahanah: 10).
Maka beliau mem inta sumpah setia para wanita Mukminah itu, bahwa tidak ada yang membuat mereka keluar dari Makkah melainkan karena kecintaan kepada Islam, bukan karena perkembangan Baru yang terjadi di tengah kaum mereka dan bukan karena ketidaksukaan mereka kepada suami. Lalu beliau memberikan sejumlah maskawin kepada mantan suami mereka yang kafir.

30. Jaminan Perlindungan Bisa Dibe•ikan K:: um 2latipun
Wanita
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda,

e 0 ,
-3L-4•-? L.9
“Orang-orang Muslim adalah setara darah mereka. Yang paling le¬mah di antara mereka pun bisa memberikan jaminan perlindungan kepada mereka. (diriwayatkan Alimad, Abu Daud dan lbnu Ma¬jah).
Beliau pernah memberi jaminan perlindungan bagi cua orang, karena sebelumnya dua orang itu telah mendapat perlindungan clari Ummu Hani’, putri paman beliau. Begitu pula yang beriaku untuk Abui-Ash bin Ar-Rabi’, atas perlindungan putri beliau, Zainab. Kemudian beliau bersabda, “Yang paling lemah di antara mereka pun bisa memberi jaminan perlindungan atas orang-orang Muslim.”
lnilah empat perkara yang universal, yaitu:
- Kesetaraan darah mereka, yaitu larangan membunuh orang Muslim ka¬rena membela orang kafir.
- Orang yang paling lemah di antara mereka pun bisa memberi jaminan perlindungan, yang mengharuskan diterimanya perlindungan wanita dan budak.
- Orang Muslim merupakan tanggungan bagi Muslimin lainnya. Berarti orang-orang kafir dilarang menjadi wali bagi mereka.
- Jaminan ini berlaku bagi siapa pun orang Muslim, meskipun dia berada di tempat yang jauh.
31. Jizyah dan Nilainya
Tugas yang pertama kali dibebankan Allah kepada beliau ialah berdak-wah kepada-Nya, tanpa disertai peperangan, apalagi penarikan jizyah (pajak atau upeti yang dibayarkan non-Muslim kepada kaum Muslim in). Hal ini ber-jalan hingga sepuluh tahun lebih selagi beliau berada di Makkah. Kemudian beliau diizinkan berperang, dan setelah hijrah perang itu hukumnya wajib. Allah memerintahkan beliau memerangi siapa yang memerangi dan tidak memerangi siapa yang tidak memerangi. Kemudian turun surat Bara’ ah (At¬Taubah) pada tahun kedelapan setelah hijrah, berisi perintah untuk meme¬rangi setiap orang Arab yang tidak mau masuk Islam, baik yang memerangi atau pun yang tidak memerangi, kecuali mereka yang membuat perjanjian dengan beliau dan tidak melanggar perjanjian itu sedikit pun. Beliau hanya diperintahkan agar perjanjian itu dijaga dan tidak diperintahkan untuk meng

ambit jizyah dari orang kafir atau musyrik. Kemudian orang-orang Yahudi memerangi hingga beberapa kali, dan jizyah tetap belum diperintahkan. Kemudian ada perintah untuk memerangi semua Ahli Kitab hingga mereka masuk Islam ataukah mereka membayarjizyah.
Maka beliau melaksanakan perintah Allah ini dan memerangi mereka, hingga sebagian di antara mereka masuk Islam dan sebagian lain tetap pada agamanya, tapi mereka harus rnembayar jizyah, dan beliau bertanggung jawab terhadap keamanan mereka. Beliau hanya mengambil jizyah dari Ahli Kitab, seperti dari penduduk Najran dan Allah serta orang-orang Majusi. Tapi beliau tidak mengambi I j izyah dari orang-orang musyrik Arab. Menurut Ah¬mad dan Asy-Syafi ‘ y, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengambil jizyah kecuali dari tiga go longan: Orang-orang Yahudi, Nasrani dan Majusi.
32. Kesepakatan Gencatan Senjata dan Yang Menggugurkannya
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengukuhkan gen-catan dengan penduduk Makkah untuk jangka waktu selama sepuluh tahun. Bani Bakr yang menjadi sekutu Quraisy, bergabung dengan mereka dalam perjanjian gencatan senjata ini, sedangkan Khuza’ah bergabung ke pihak bel iau. Bani Bakr yang berpihak kepada Quraisy menyerang Khuza’ah yang berpihak kepada beliau. Sementara Quraisy yang mengetahui hal ini tidak berusaha untuk mencegah, dan bahkan secara diam-diam mereka membantu Bani Bakr. Dengan kcj ad ian ini, berarti pihak Quraisy telah melanggar per-janjian.
Beliau juga mengukuhkan perjanjian dengan orang-orang Yahudi set;- ba di Madinah. Tapi kemudian orang-orang Yahudi itu melanggar perjanjian hingga beberapa kali, dan yang terakhir adalah Yahudi penduduk Khaibar. Beliau membiarkan mereka tetap berada di Khaibar laiknya pekerja. Hal ini menunjukkan. bahwa pemimpin boleh membuat perjanjian dengan musuh¬nya, seberapa pun jangka waktu lamanya perjanjian itu.
Dalam klausul perjanjian beliau dengan pihak Quraisy, bahwa siapa pun botch bergabung dengan beliau atau pun dengan mereka. dan siapa pun dari Quraisy yang mendatangi beliau, maka dia harus dikembalikan kepada mereka. Sementara siapa pun dari pihak beliau yang mendatangi Quraisy, tidak perlu dikembalikan kepada beliau. Pada tahun berikutnya beliau diper¬bolehkan masuk Makkah dan berada di sana se lama tiga hari. Beliau tidak boleh masuk ke sana kecuali hanya dengan membawa pedang yang dimasuk¬kan ke dalam sarungnya, seperti yang biasa dibawa musafir.
Hukum-hukum Pernikahan dan Segala Permasalahannya I. Wanita Gadis dan Janda Yang Dinikahkan Ayahnya
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa Khansa’ binti Khidam

hendak dikawinkan ayahnya, tapi dia menolaknya. Dia yang sudah janda menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan melaporkan hal ini. Maka beliau menolak pernikahannya itu.
Di dalam As-Sunan disebutkan dari hadits Ibnu Abbas, bahwa ada seorang anak gadis yang menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, seraya bercerita bahwa ayahnya hendak menikahkan dirinya, tapi dia menolaknya. Maka beliau memberinya kesempatan untuk menentukan pilihannya sendiri.
Wanita yang kedua bukan Khansa” seperti yang disebutkan dalam ri-wayat yang pertama. Jadi ini merupakan dua kasus yang berdiri sendiri¬sendiri. Beliau memberikan kesempatan kepada janda maupun gadis untuk menentukan pilihannya sendiri.
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa beliau bersabda, “Wanita gadis tidak dinikahkan hingga dia dimintai perkenannya-.
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana perkenannya?” Beliau menjawab, “Jika dia diam.”
Kesimpulannya, wanita gadis yang sudah baligh tidak boleh dipaksa dalam masalah pernikahan dan tak boleh dinikahkan kecuali dengan ridha¬nya. Ini merupakan pendapat Jumhur salaf. Inilah yang memang sejalan de¬ngan hukum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, perintah dan larangan beliau, kaidah-kaidah syariat serta kemaslahatan umat.
2. Nikah Tanpa Wali
Disebutkan di dalam As-Sunan, dari hadits A isyah Radhiyallahu Anha. dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Saltarn, beliau bersabda.
LJZ1 0 I L.4;

3po Lp-
L„ •
U (53_, 0Qa_L_SL,
“Siapa pun wanita yang menikahkan dirinya tanpa izin walinya, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil. Jika suami sudah berkumpul dengannya, maka istri mendapatkan maskawinnya karena suami telah mengumpulinya. Jika para wall saling hersengke¬ta, maka penguasalah yang menjadi wall bagi siapa yang tidak mempunyai wall. “
Menurut At-Tirmidzy, ini adalah hadits hasan. Disebutkan pula di dalam As-Sunan Al-Arba ‘ah, beliau bersabda, “Tidak sah pernikahan tanpa wall.
3. Pernikahan Yang Dikuasakan kepada Orang Lain
Dalam Sunan Abu Daud disebutkan, bahwa beliau bertanya kepada seorang laki-laki, -Maukah engkau kukawinkan dengan Fulanah?”

“Ya, mau,” jawabnya.
Lalu beliau bertanya kepada Fulanah yang dimaksudkan, “Maukah engkau kukawinkan dengan Fulan?-
“Ya, mau,” jawabnya.
Maka beliau menikahkan keduanya, tanpa ada penyerahan maskawin apa pun, dan keduanya pun berkumpul seperti layaknya suami istri. Ketika sang suami hendak meninggal dunia, dia menyerahkan bagian dari tanah Khaibar kepada istri, sebagai ganti dari maskawinnya.
Kesimpulan dari hadits ini, pernikahan diperbolehkan tanpa menyebut-kan maskawinnya dan boleh bed sekalipun belum menyebutkan maska¬winnya.
4. Menikahi Wanita Yang Ternyata Sudah Hamil
Di dalam As-Sunan dan Al-Mushannafdisebutkan dari hadits Sa’ id bin Al-Musayyab, dari Bashrah bin Aktsam, dia berkata, “Aku menikahi seorang wanita gadis yang se lalu mengenakan kain. Ketika aku berkumpul dengan¬nya, ternyata dia sudah hamil. Setelah hal in i kulaporkan kepada Nabi Shai¬lallahu Alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda, “Dia berhak mendapatkan maskawin karena engkau telah menghalalkan kemaluannya, apabila kelak dia sudah melahirkan, anaknya menjadi budakmu dan setelah itu dia dihukum dera.- Beliau juga menceraikan mereka berdua.
5. Syarat dalam Pernikahan
Disebutkan di dalam Ash-Slwhihain. bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Se sun i2,-g u hny a syarat-syarat yang paling Iayak untuk kalian penuhi ialah yang dengann) a kalian meminta penghalalan kemaluan.-
Di dalamnya juga disebutkan, bahwa beliau melarang seorang wanita meminta Syarat bagi perceraian saudarinya. Di dalam Musnad Ahmad d i se-butkan, “Seorang wanita tidak boleh dinikahkan dengan perceraian yang lain.”
Hal in i mengandung pengertian tentang kewajiban memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam akad nikah, se lagi tidak ada upaya untuk meru¬bah apa yang sudah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
6. Pernikahan Syighar, Muhallil, Mut ah, Menikah Saat Ihram dan Pernikahan Wanita Pezina
Ada riwayat yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang nikah syighar. Artinya, pernikahan model Jahiliyah. Seba¬gai contoh, seorang laki-laki berkata kepada lelaki lain, “Nikahkan aku de-ngan putrimu atau siapa pun wanita yang ada dalam perwalianmu, dan aku akan menikahkan kamu dengan putriku atau siapa pun wanita yang ada dalam perwalianku, tanpa ada maskawinnya.

Ahmad dan At-Tirmidzy meriwayatkan dari hadits lbnu Mas’ud Ra-dhiyallahu Anhu, dia berkata,

“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat muhallil dan mu¬hallal lahu.”
Kedua laki-laki ini mendapat laknat beliau, yang berarti pernikahanny a
batil.
Tentang nikah mut’ah, telah diriwayatkan bahwa beliau menghalal¬kannya pada tahun penakiukan Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau melarangny a. Ada yang mengatakan, larangan nikah murah ini sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar ialah pada tahun penakiukan Mak¬kah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan daging keledai piaraan. Memang Ali bin Abu Thalib pernah berkata kepada lbnu Abbas. “Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallcun melarang nikah mut’ah dan keledai piaraan sewaktu perang Khaibar”. Lalu sebagian rawi mengira bahwa penye¬butan Khaibar ini berlaku untuk dua masalah tersebut. Tapi ada seorang rawi yang menyebutkan pembatasan salah satu di antaranya dengan perang Khai¬bar.
Zhahir perkataan Ibnu Mas’ud yang disebutkan di dalam Ash-Sha¬hihain adalah pembolehan nikah mut’ah. Tetapi di da lam Ash-Shahihain juga disebutkan dad Ali bin Abu Thalib, bahwa beliau melarangnya. Jadi, pengha¬raman ini setelah pembolehan.
Tentang pernikahan orang yang sedang ihram, telah disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Utsman bin Affan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Orang yang sedang ihram tidak baleh menikah dan tidak pula dint¬lcahkan. “
Tentang pernikahan wanita pezina, maka Allah telah menegaskan pengharamannya di dalam surat An-Nur,

Sebagai gambaran, A menceraikan istrinya dengan talak tiga. Tapi kemudian dia ingin ruju. lagi dengan mantan istrinya itu. Maka dia menyuruh B untuk menikahinya, dengan syarat_ setelah itu dia harus menceraikannya. agar A dapat menikahinya lagi. B disebut muhallil dan A disebut muhallal lahu, pent.

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang ber¬zina atau wanita yang musyrik; dan wanita yang berzina tidak dilcawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang Mukmin. ” (An-Nur: 3
Jadi jelas, bahwa le laki yang berzina hanya boleh menikah dengan wa-nita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina hanya be leh menikah dengan lelaki pezina atau laki-laki musyrik.*)
7. Orang Kafir Yang Mempunyai Istri Lebih Empat Orang atau Istri Kakak Beradik Lalu Masuk Islam
At-Tirmidzy meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Ghailan masuk Is-lam. Sementara dia mempunyai sepuluh istri. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, empat orang di antara mereka.” Da-lam riwayat lain disebutkan pula, “Ceraikan yang lainnya.”
Fairus Ad-Dailamy masuk Islam, sementara dia mempunyai istri kakak beradik. Maka beliau bersabda.

Pilihlah di antara mereka berdua mana yang engkau suka.
Hukum ini menunjukkan keabsahan nikahnya orang-orang kafir. Artinya. mereka yang masuk Islam tidak perlu mengadakan pernikahan yang baru lagi.
8. Wanita-wanita Yang Dilarang Dinikahi
Ada beberapa wanita yang dilarang dinikahi laki-laki, sebagaimana yang telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu: – I bu dan para wanita yang mempunyai garis keturunan dari ibu atau ayah,
ibu ibunya. ibu ayahnya dan seterusnya.
- Putri dan para wanita yang mempunyai garis keturunan yang d in isbatkan kepadanya, putri kandung, putri anak-anaknya dan seterusnya.
.1 Ada pertanyaan. apakah dengan zina itu seorang Muslim laki-laki atau wanita dianggap keluar dari Islam seperti orang murtad, sehingga dia menjadi kafir atau musyrik? Tentu jawabnva tidak. Padahal dalam surat Al-Munitahanali: 10. disebutkan. “,1.tereka (wanita-wanita Mirk/71i¬nah) tidak halal bagi orang-orang kafir au dan orang-orang kafir itu tidak halal Pula bagi mereka.- Demean kata lain. penghoraman dalam surat An-Nur bukan berarti pengha¬raman dengan harga coati. tapi untuk kemakruhan. Artinya, laki-laki pezina tidak layak menikah kecuali hanya dengan wanita pezina. dan wanita pezinatidak layak menikah kecuali dengan laki-laki pezina. pent.

- Saudari dari segala sisi.
Para bibi, yaitu para wanita saudari ayah dan seterusny a.
- Bibinya paman dari pihak ayah. Tapi dari pihak ibu tidak termasuk yang dilarang.
Bibi dari pihak ibu atau saudari ibu.
- Putri saudara dan putri saudari (keponakan).
- Ibu penyusuan, termasuk ibu dari pihak ayah dan ibu susuan serta siapa yang dilarang seperti larangan terhadap nasabnya.
Putri tiri dan keturunannya, jika istri sudah dijima’.
- Putri menantu.
Ibu tiri.
- Menghimpun istri kakak beradik, istri dan bibiny a dart ayah maupun ibunya.
9. Suami Yang Menangguhkan Islamnya
Ibnu Abbas Radhi_yallahu Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengembalikan Zainab, putri beliau, kepada Abul-Ash bin Ar-Rabi’ berdasarkan pernikahan mereka yang pertama dan tidak menye-lenggarakan pernikahan yang baru.”
Dalam riwayat lain disebutkan,”Setelah enam tahun dan tidak menye-lenggarakan pernikahan baru.” Dalam riwayat lain disebutkan, -Zainab masuk Islam enam tahun lebih dahulu dari ke-Islaman Abul-Ash.
Ibnu Abbas juga berkata, “Ada seorang wanita yang masuk Islam pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu dia menikah dengan laki-laki lain. Suaminya yang pertama mendatangi beliau seraya berkata. “Wahai Rasulullah, aku sudah masuk Islam dan mantan istriku juga sudah tahu bahwa aku sudah masuk Islam.”
Maka beliau mengambil wanita itu dari suaminya yang kedua dan menyerahkannya kepada suaminya yang pertama, tanpa maskawin dan tanpa pernikahan yang baru.
Yang demikian ini juga berlaku bagi suami yang lebih dahulu masuk Islam, sementara istrinya be lum masuk [slam, tapi kemudian dia masuk Is¬lam.
W. Coitus Terputus
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari Abu Said, dia berkata, “Ka¬mi mendapat tawanan wanita. Jika kami berjima’ dengannya, maka kami melakukan coitus terputus (sperma dikeluarkan di luar vagina karena meng-hindari kehamilan). Beliau bertanya hingga tiga kali, “Apakah kalian benar¬benar melakukannya?” Lalu beliau melanjutkan, “Tidak ada di antara makh¬luk hidup hingga hari kiamat melainkan is tetap makhluk hidup.”
Di dalam As-Sunan disebutkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, aku mempu¬nyai seorang budak wanita. Aku melakukan coitus terputus karena aku tidak ingin dia hamil. Tapi aku tetap menginginkan seperti apa yang diinginkan kaum laki-laki. Sementara orang-orang Yahudi mengabarkan bahwa coitus terputus itu sama dengan membunuh jiwa secara hidup-hidup tetapi dosanya lebih kecil.”
Beliau bersabda, “Orang-orang Yahudi itu berdusta. Sekiranya Allah ingin menciptakannya, toh engkau tak sanggup merubahnya.”
Di dalam Shahih Muslim, clari Abu Sa’ id, dia berkata. “Kam i melaku-kan coitus terputus pada zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ketika mendengar kabar ini beliau tidak melarangnya.”
11. Berjima dengan Wanita Yang Menyusui
Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

“Tadinya aku akan melarang jima. dengan wanita yang sedang me
nyusui, h ingga aku teringat orang-orang Romawi dan Persi yang me
lakukan hal itu dan ternyata tidak membahayakan anak-anak mereka.
Abu Daud meriwayatkan dari hadits Asma’ binti Yazid,dariNabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam,

“Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian secara sembunyi-sembunyi. Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, yang demikian itu juga dialami orang Persi, namun keinudian mereka menganggapnya tindakan yang bodoh.
Sabda beliau, “Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian secara sembunyi-sembunyi-, artinya jima’ dengan istri yang sedang menyusui dan yang bisa membahayakan anak. Jadi yang dimaksudkan pembunuhan di sini bukan dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebab j irna’ ini memang bisa mendatangkan dampak yang kurang baik. Tapi tentunya laki-laki tidak kuat menahan keinginannya untuk bed ima” dengan istri.
12. Larangan bagi Laki-laki Berj ima dengan Wanita Hamil Yang Bukan dari Hasil Hubungannya

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari hadits Abud-Darcia’, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatangi seorang wanita (tawanan) yang sedang hamil tua di dekat pinto gerbang Fusthath. Beliau bersabda, “Boleh jadi yang memilikinya hendak berjima’ dengan wanita itu.”
Orang-orang menjawab, “Behar.”
Beliau bersabda. “Aku ingin melaknatnya dengan suatu laknat yang akan dia bawa hingga ke kuburnya. Bagaimana mungkin dia menjadikan bayi itu sebagai ah I i warisnya, padahal is tidak halal baginya, dan bagaimana dia menjadikannya sebagai budaknya, padahal is tidak halal baginya (karena se¬perti anaknya sendiri)?”
Di dalam As-Sunan disebutkan dari hadits Abu Sa’id Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulul lah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang para tawanan wanita Authas,

“Wanita yang hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan. Yang tidak hamil juga tidak botch disetubuhi hingga bersih dari haidnya.”
Diriwayatkan dari Al-Irbadh bin Sariyah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengharamkan berj ima’ dengan para tawanan wanita yang hamil, hingga mereka melahirkan bayinya.”
Di sin i juga terkandung dali I yang je las tentang diharamkannya meni-kahi wanita hamil, entah dari pihak mana pun atau dengan cara apa pun kehamilannya itu.
13. Laki-laki Memerdekakan Budaknya dan Menjadikan Kemerde-kaannya Sebagai Maskawin
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memerdekakan Shafiyyah dan menjadikan kemerdekaan¬nya ini sebagai maskawinnya. Ketika Anas ditanya, “Apa maskawin yang beliau berikan kepada Shafiyah?” Dia menjawab, “Maskawinnya adalah dirinya sendiri.”
14. Kesetaraan dalam Pernikahan
Allah befirman tentang kedudukan manusia, antara yang satu dengan lainnya, antara Muslim dengan Muslim lainnya, yang pada dasarnya tidak mengenal kelas dan perbedaan status sosial,

“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kalian dari seorang laki¬laki dan seorang wanita, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku„supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguh¬nya orang yang paling mid is di antara kalian ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. ” (Al-Hujurat: 13).

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah bersaudara. ” (Al-Hujurat: 10).

“Dan, orang-orang yang beriman, lelaki dan wanita, sehagian mereka ialah menjadi penolong bagi sehagian yang lain.” (At-Taubah: 71). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidakadakelehihan hagi orang Arab atas orang non-Arab. tidakpula bagi orang non-Arab alas orang Arab. tidakpula bagi orang kulit putih atas arcing kulit kitam, lidak pula bugi orang kulit hitam atas orang kulit putih, melainkan karena takwa. Manusia berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.” (Diriwayatkan Ahmad).


“Sesungguhnya kaum kerabat Bani Fulan bukanlah (semata) peno-long-penolongku. Sesungguhnya penolong-penolongku adalah orang¬orang yang bertakwa, bagaimana pun keadaan mereka dan di mana pun mereka berada.” (Diriwayatkan A1-Bukhary).
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan sabda beliau,

“Jika ada orang yang kalian agama /an akhlaknya, datang
kepada kalian, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan. maka
hal int akan menjadi bencana di dunia dan kerusakan yang besar.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam men ikahkan Zainab binti Jahsy A l¬Qursyiyah dengan Zaid bin Haritsah, pembantu beliau, menikahkan Fathi¬mah binti Qais Al-Fihriyah A1-Qursyiyyah dengan Usamah, anak angkat beliau. Bilal bin Rabbah juga menikah dengan saudarinya Abdurrahman bin Auf. Jika ditilik dari status sosial di antara pasangan-pasangan ini, maka di sana ada perbedaan yang sangat mencolok. Tapi Allah sudah rnenjelaskan, bahwa laki-laki yang baik itu bagi wanita yang balk pula. dan wanita yang balk itu bagi laki-laki yang balk pula.
Yang menjadi dasar pertimbangan beliau dalam menikahkan satu orang dengan lainnya adalah kesetaraan dalam agama, sehingga beliau tidak meni-kahkan wanita Muslimah dengan laki-laki kafir, wanita tehormat dengan laki¬laki kotor. Al-Qur’an tidak mempertimbangkan kesetaraan selain itu, tidak mempertimbangkan keturunan dan profesi, tidak kaya tidak miskin, hamba sahaya atau orang merdeka. Bahkan beliau memperbolehkan laki-laki hamba sahaya menikahi wanita terpandang dan kaya raya, selagi laki-laki itu orang Muslim yang baik.
15. Maskawin Bisa Sedikit dan Bisa Banyak
Disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, bahwa maskawin Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang diserahkan kepada para istri beliau sebanyak dua belas uqiyah, atau seni Lai lima ratus dirham.*)
Umar bin Al-Khaththab berkata, “Aku tidak pernah meli hat Nabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam menikahi istri beliau, dan tidak pula menikahkan putrinya dengan maskawin yang lebih banyak dari dua belas uqiyah.
Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari hadits Sahl bin Sa’d. bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada seorang laki¬laki,

“Menikahlah engkau meskipun dengan maskawin cincin dari besi. Di dalam Sunan Abu Daud disebutkan dari hadits Jabir, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

satu uqiyah sama dengan empat puluh dirham

“Siapa yang menyerahkan maskawin sebanyak satu telapak gandum atau karma, maka nikahnya telah sah.
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan bahwa ada seorang wanita dari Bani Fazarah yang rnenikah dengan maskawin dua selop. Maka beliau bertanya, -Apakah engkau ridha terhadap dirimu dan hartamu dengan maska-win dua selop?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Maka beliau memperbolehkan¬nya.
Di dalam Musnad Ahrnad disebutkan dari hadits Aisyah Radhiyallahu Anha. dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

“Sesungguhnya pernikahan yang paling besar barakahnya ialah yang paling sederhana maskawinnya.”
Bahkan di dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa beliau rnenikahkan seorang laki-laki dengan seorang wanita, dan maskawinnya hanya berupa ba-caan Al-Qur’an, karena memang orang itu tidak mempunyai apa-apa, meski-pun hanya sebuah cincin dari besi.
Hadits ini menunjukkan bahwa maskawin itu tidak ada batasan min i-malnya. Segenggam gandum atau korma, cincin besi, dua selop, sudah bisa disebut maskawin, dan dengan maskawin itu istri sudah sah dicampuri. Sebaliknva, maskawin dengan jumlah ang berlebih-lebihan adalah tindakan yang climakruhkan dan sedikit barakahnya. Bahkan jika seorang wanita setuju dengan ilmu calon suami atau bacaan Al-Qur.an, sebagai maskawinnya, ma¬ka pernikahan pun sudah dianggap sah.
16. Pengabdian Istri terhadap Suami
Ketika Ali bin Abu Thalib dan istrinya, Fathimah yang juga putri be¬liau, mengadu kepada beliau agar diberi pembantu, maka beliau menetapkan jenis pekerjaan di dalam rumah yang harus di laksanakan Fathimah. dan menetapkan pekerjaan di luar rumah kepada
Menurut Ihnu Hubaib, pekerjaan di dalam rumah meliputi pembuatan tepung. memasak, mengatur tempat tidur, membersihkan rumah dan me-ngambil air.
Para wanita shahabat lainnya pun melakukan hal yang serupa di dalam rumah tangganya.
17. Hubungan Suami Istri Yang Retak
Abu Daud meriwayatkan di dalam Sunan-nya, dari hadits Aisyah Ra-dhiyallahu Anha, bahwa Habibah binti Sahl rnenjadi istri Tsabit bin Qais bin Syammas. Suatu kali dia memukul Habibah hingga retak sebagian tulangnya. Maka seusai shalat subuh Habibah menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa

Sallam dan melaporkan kejadian ini. Beliau menr,rivgil Ts3!-)it . I 111-.1%.!rkata kepadanya, “Ambit sebagian hartanya dan ceraikan dia.”
Tsabit bertanya, “Apakah yang demikian ini cukup baik wahai Rasulullah?”
“Ya,- jawab beliau.
Tsabit berkata, “Aku memberinya maskawin berupa duabidang kebun, dan satu bidang kini berada dalam kekuasaannya.-
Bel iau bersabda, “Kalau begitu ambilkedua-duanya dan ceraikan dia.” Maka Tsabit melaksanakannya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa mengambil kepu-tusan di antara suami istri yang hubungannya retak dan sal ing bersengketa, atas perintah Allah,
“Dan, jika kalian khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang pengadil dart keluarga laki-laki dan seorang pengadil dart keluarga wanita. Jika kedua pengadil itu bermaksud mengadakanperbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. ” (An-Nisa’: 35).
18. Permintaan Cercu dart Pihak Istri
Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dart Ibriu Abbas, bahwa sete-lah dicerai, mantan istri Tsabit bin Qais menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sama sekali tidak mencela akhlak dan agama Tsabit bin Qais. Tetapi aku tidak suka kekufuran dalam Islam.”
Beliau bertanya, “Apakah engkau sudah mengembalikan kebunnya kepada dia?”
“Ya,” jawabnya.
Beliau berkata kepada Tsabit, “Terima kebun itu dan ceraikan dia dengan sekali talak.”
Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya tuntutan cerai dart pihak istri, dengan menyerahkan kompensasi kepada pihak suami, seperti menye¬rahkan kembali maskawinnya. Orang yang menolaknya tidak mempunyai alasan yang kuat. Hal ini telah difirmankan Allah di dalam Kitab-Nya,

“Tidak halal bagi kalian mengambil kembali dari sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Al-Baciarah: 229).
Keputusan Hukum Rasulullah Seputar Talak
1. Talak Samba Bersenda Gurau, Orang Gila, Orang Mabuk dan Di¬paksa
Di dalam As-Sunan disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

“Tiga perkara yang kesungguhannya memang merupakan kesungguh-an dan senda guraunya merupakan kesungguhan, yaitu nikah, talak dan ruju’. “
Beliau juga bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menghukum umat ini karena kekeliruan, kelalaian dan apa yang dipaksakan.”
Di dalam Shahih AI-Bukhary disebutkan dari Ali, dia berkata kepada Umar, “Tidakkah engkau tahu bahwa hukuman dibebaskan dari tiga golong¬an: Dari orang gila hingga dia sadar, dari anak hingga baligh dan dari orang tidur hingga dia bangun.”
Di dalam Ash-Shaihain disebutkan sabda beliau,

“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang melintas di dalamjiwa dan belum diucapkan atau dikerjakan. “
Dari sini dapat disimpulkan bahwa siapa yang tidak mengucapkan kata talak, cerai, sumpah, nadzar atau lain-lainnya, maka dia dimaafkan, dan tidak ada perhitungan terhadap niat di dalam hati. Ini merupakan pendapat Jumhur,

Tentang orang yang mabuk, maka perkataannya tak bisa dianggap, karena dia tidak sadar tentang apa yang diucapkannya. Diriwayatkan Bari Utsman bin Affan, bahwa dia berkata, “Tidak ada talak dari orang gila dan mabuk.”
Sedangkan talak ketika sedang marah, maka Ahmad meriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda.

“Tidak ada talak dan pembehasan hudak saat marah.-
Karena marah itu, maka dada menjadi sempit dan orangnya seakan tidak sadar tentang apa yang diucapkannya. sehingga keadaannya m i rip dengan orang mabuk. Tapi marah itu sendiri ada tiga macam: Pertama, marah yang menghilangkan fungsi akalnya, sehingga pelakunya tidak sadar tentang apa yang diucapkannya. Yang seperti ini talaknya tidak sah. Kedua. marah yang tidak membuat pelakunya hi lang kesadaran tentang apa yang diucap¬kannya. Dalam keadaan seperti ini talaknya dianggap sah. Ketiga, sangat ma-rah tapi tidak menghilangkan fungsi akalnya secara total, lalu dia menyesal atas apa yang diucapkannya setelah amarahnya reda. Keadaan ini menimbul¬kan perbedaan pendapat. Tapi pendapat yang Iebih kuat, talaknya dianggap tidak sah.
2. Tidak Boleh Mentalak Wanita Hold, Nifas dan Yang Dikumpuli Selama Masa Suci
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa Ibnu Umar Radhivallahu Anhuma mentalak istrinya yang sedang haid pada zaman Rasulullah Shal-lallahu Alaihi wa Sallam. Maka ayahnya, Umar bin Al-Khaththab menanya-kan hal ini kepada be llau. Lalu bel tau bersabda, “Suruhlah dia ruju’ dengan istrinya itu, kemudian hendaklah dia membiarkannya hingga suci, datang haid lagi lalu suci lagi. Kemudian jika menghendaki, dia bisa mempertahan¬kannya setelah itu dan jika menghendaki dia bisa menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah jika wanita ditalak.”
Dari beberapa lafazh yang lain yang serupadengan ini, dapat disimpul-kan beberapa macam talak: Ada yang halal dan ada yang haram. Yang halal, suami mentalak istrinya saat suci dan selama suci itu dia tidak menyetubuhi¬nya. Yang haram, dia mentalaknya ketika haid, atau dia mentalaknya saat suci dan selama suci itu dia menyetubuhinya. Hal ini berlaku bagi orang yang pemah bersetubuh dengannya. Tapi bagi suami yang sama sekali tidak pemah bersetubuh dengan istri, maka dia bisa menceraikannya kapan pun yang dikehendaki, balk saat suci maupun saat haid, sebagaimana firman Allah,


“Tidak ada kewajiban membayar (Mahar) atas Icalianjika kalian men¬ceraikan istri istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelurn kalian menentukan maharnya.” (Al-Baciarah: 236).
3. Menjatuhkan Talak Tiga dengan Satu Kata
Di dalam Sunan An-Nasa’y dan lain-Iainnya disebutkan dari hadits Mahmud bin Lubaid, dia berkata, “Aku mengabarkan kepada Rasulullah tentang seseorang yang menceraikan istrinya dengan talak tiga secara seka¬ligus. Maka beliau langsung bangkit dengan marah, seraya bersabda, -Apa¬kah Kitab Allah akan dipermainkan sementara aku masih berada di tengah¬tengah kalian?”
Orang itu pun bangkit sambil bertanya, “Apakah prang itu harus kubu-nuh wahai Rasulullah?”
Di dalam Shahih Muslim disebutkan perkataan lbnu Umar kepada orang yang menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, “Dia haram atas dirimu sehingga dia menikah dengan laki-laki selain dirimu, dan engkau telah mendurhakai Rabb-mu tentang apa yang diperintahkan-Nya, karena engkau menceraikan istrimu.”
Siapa yang memperhatikan Al-Qur’an secara cermat, tentu akan ngetahui hal ini dan mengetahui bahwa talak yang disyariatkan setelah terjadi persetubuhan ialah talak yang diwarnai kasih sayang. Allah tidak mensyariat¬kan talaktiga dengan satu ucapan secara sekaligus. Maka firman-Nya, “Talak itu dua kali.” Dua kali dalam pengertian Bahasa Arab ialah yang terjadi secara berurutan, seperti sabda beliau, “Siapa yang bertasbih seusai setiap shalat sebanyak tiga puluh tiga kali, bertahmid sebanyak tiga puluh tiga kali dan bertakbir sebanyak tiga puluh empat kali….” Artinya, tasbih. tahmid dan takbir sebanyak itu di lakukan secara berurutan, susul-menyusul.
4. Talak Ada di Tangan Suami, Bukan di Tangan Selainnva Allah befirman,
wa o °

“Apabila kalian mentalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma ‘ruf. ” (Al-Bagarah: 231).
Kuputusan talak ada di tangan orang yang menikah dan dia pula yang berhak untuk ruju’ dengan istrinya. lbnu Majah meriwayatkan di dalam

Sunan-nya, dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata, “Ada seorang,I4 mene¬mui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya berkata, “Wahai Ra¬sulullah, tuanku menikahkan aku dengan budak wanitanya, lalu dia ingin menceraikan aku dengannya.” Maka beliau naik ke atas mimbar seraya ber-sabda,

-

“Wahai semua manusia. mengapa salah seorang di antara kalian me¬nikahkan hudaknya dengan budak wanitanya, keinudian dia hendak menceraikan mereka berdua? Sesungguhnya talak itu bagi orang yang menikah.
Sekalipun di dalarn hadits ada yang disangsikan isnadnya, tapi Al-Qur’an juga menguatkannya, dan itulah yang keputusan yang dibuat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallow?. Berarti keputusan itulah yang layak diikuti.
5. Wanita Yang Ditalak Tiga Tidak Halal bagi Suami Pertama sebelum Dia Berjima dengan Suami Kedua
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari A isyah, bahwa istri Rifa’ah Al-Qurzhy menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya berka¬ta, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku dan per¬ceraian ini sudah kuat. Setelah itu aku menikah dengan Abdurrahman bin Az¬Zubair. Tapi sepertinya dia canggung.” Maka beliau bersabda, “Sepertinya engkau ingin kembali lagi kepada Rifa’ah. Tidak bisa. Engkau harus merasa¬kan jima’ dengannya dan dia merasakan jima’ denganmu.”
Dari sini dapat disimpulkan bahwa alasan wanita, bahwa suami kedua tidak sanggup berj ima’ dengannya, tidak bisa diterima. Jima’nya suami kedua merupakan syarat kehalalan wanita bagi suami pertama. Jadi tidak cukup hanya dengan adanya akad semata. Jima’ antara wanita itu dengan suami kedua sudah cukup, meskipun tidak terjadi coitus (keluarnya sperma).
6. Suami Menolak Pengakuan Istri tentang Perceraian, Meskipun Dikuatkan Seorang Saksi
Ibnu Wadhdhah menyebutkan dari Ibnu Abi Maryam, dari Amr bin Abu Salamah, dari Zuahir bin Muhammad, dari Ibnu Juraij, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

“Jika seorang istri mengaku telah diceraikan suaminya dengan menghadirkan seorang saksi yang add, lalu suami berani bersumpah jika dia diminta untuk bersumpah, maka kesaksian seorang saksi itu menjadi batal. Jika strand menegaskannya, maka hal ini sama kedu¬dukannya dengan saksi lain, dan talaknya pun sah.”
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari hadits yang dishahihkan Al-Bushiry ini:
Kesaksian seorang saksi dalam talak dianggap belum cukup, sekalipun disertai dengan sumpah istri. Menurut Al-lmam Ahmad, satu orang saksi dan sumpah hanya berlaku untuk masalah harta secara khusus, tidak berlaku untuk masalah talak, nikah, hukuman, pencurian, pembunuhan dan pembebasan budak.
Suami bisa dimintai sumpahnya tentang pengakuan talak dari istri, jika istri tidak memiliki saksi penguat. Tapi sumpahnya ini harus disertai keha¬diran seorang saksi.
Keputusan talak harus disertai seorang saksi.
Penegasan suami sama kedudukannya dengan saksi lain di samping saksi yang sudah ada.
7. Rasulullah Pernah Menawari Para Istri Beliau untuk Bertahan ataukah Bercerai
Di dalam Ash-Shahihain diriwayatkan dari A isyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, “Saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam diperintahkan (Allah) untuk menawarkan pi I ihan kepada para istri be I iau, rnaka beliau me¬rnulai dari aku. Beliau bersabda, -Aku akan menawarkan sesuatu kepadamu, maka janganlah engkau terburu-buru memutuskannya sebelum meminta pendapat kedua orang tuamu.”
Aisyah berkata, “Padahal beliau tahu bahwa kedua orang tuaku tidak akan memerintahkan aku untuk bercerai dengan beliau. Lalu beliau membaca ayat,

“Hai Nabi, katakanlah kepada kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhia•annya, maker inariiah supaya kuberikan kepada kalian mut ‘ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang balk. Dan, jika kamu sekalian menghendak (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat balk di antara kalian pahala yang besar ‘.” (Al-Ahzab: 28-29).
Aku bertanya, “Apakah aku harus meminta pendapat kepada dua orang tuaku dalam urusan in i? Sesungguhnya aku menghendaki Allah dan Rasul¬Nya serta kampung akhirat.”
Kemudian Aisyah menuturkan, “Lalu para istri beliau mengatakan seperti kukatakan, dan yang dem i kian itu bukanlah
Menurut Ibnu Syihan, ada salah seorang di antara mereka yang mem i¬I ih dirinya sendiri, yaitu seorang wanita badui. Menurut Amr bin Syu’aib, dia adalah putri Adh-Dhahhak, yang kemudian kembali kepada keluarga. Ada yang berpendapat, kemudian wanita itu biasa memunguti kotoran hewan, seraya mengatakan, “Akulah wanita yang menderita.” Ada pula yang berpendapat, beliau tidak pernah berjima’ dengan wanita itu.
8. Beberapa Hukum Yang diturunkan Allah Berkaitan dengan Apa Yang Diharamkan Rasulullah
Allah befirman,

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah mengha¬lalkannya bagimu, kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewaj ibkan kepada kamu sekalian membeba•kan diri dan sumpah kalian. ” (At-Tahrim: I -2).
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam minum madu di rumah Zai nab binti Jahsy, yang karena hal inilah Aisyah dan Hafshah merancang tipu daya, sehingga beliau bersabda, “Aku tidak akan minum madu lagi.” Dalam lafazh lain disebutkan, “Aku ber-sumpah.”
Di dalam Sunan An-nasa’y disebutkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mempunyai seorang budak wanita yang dicampurinya. Tapi Aisyah dan Hafshah senantiasa berada di sisi beliau hingga beliau mengharamkan budak wanita itu. Maka kemudian Allah menu-runkan ayat di atas.

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Jika seorang laki-laki mengharamkan istrinya, maka itu sama dengan sumpah yang harus ditebusnya.” Lalu dia berkata, “Sudan ada contoh yang baik pada diri Rasulullah.”
Di dalam Jami’At-Tirmidzy disebutkan dari Aisyah RadhiyallahuAn-ha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersumpah karena istri-istri beliau dan mengharamkan, lalu menjadikan apa yang beliau haram¬kan itu menjadi halal dan membayar tebusan untuk sumpah.”
Al-Laity bin Sa’d mengabarkan dari Yazid bin Abu Hubaib, dari Ab-dullah bin Hubairah, dari Qabishah bin Dzu’aib, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar tentang seseorang yang berkata kepada istrinya, “Engkau haram bagiku.” Maka kedua-duanya men¬jawab, adalah sumpah yang harus dibebaskan.” Begitu pula pendapat Ibnu Mas’ ud tentang masalah yang sama.
Dari Jarir bin Hazim, dia berkata, -Aku pernah bertanya kepada Nafi’, pembantu Ibnu Umar tentang pengharamkan tersebut. apakah itu sama de-ngan talak? Dia menjawab, -Bukan. Bukankah Rasulullah ,S’haltallahu Alaihi wa Sallam pernah mengharamkan budak wanita beliau, lalu beliau memerin-tahkan untuk membayar denda untuk pembebasan sumpah dan mengharam-kan wanita itu bagi diri beliau?”
Di dalam Shahih A I-Bukhary disebutkan dari Sa’ id bin Jubair, bahwa dia pernah mendengar Ibnu Abbas berkata, “Jika seseorang mengharamkan istrinya. maka itu tidak mem batalkan nikahnya. Telah ada teladan yang baik pada diri Rasulullah.”
9. Suami Yang .VIenyuruh Pulang Istrinya ke Tengah Keluarganya
Disebutkan di dal= Shahih Al-Bukhary, bahwa ketika putri A I-Jaun masuk ke tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka beliau men-&kat ke arahnya. Tapi dia berkata, “Aku berlindung dari dirimu.”
Beliau bersabda, “Engkau telah berlindung dengan sesuatu yang amat besar. Kalau begitu pulanglah kepada keluargamu.-
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa ketika utusan Nabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam menemui Ka’b bin Malik, maka Ka’ b berkata kepa-da istrinya, “Pulanglah kepada keluargamu.”
Ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Ada yang mengatakan, itu sa-ma dengan talak, baik meniatkannya untuktalak maupun tidak meniatkannya seperti itu. Ini merupakan pendapat ahli zhahir. Mereka mengatakan, beliau tidak melakukan akad dengan putri Al-Jaun. Beliau hanya mengirim utusan untuk melamarnya. Hal ini jugs dikuatkan dalam riwayat AI-Bukhary.
Di dalamShahih Muslim jugadisebutkan dari Sahl bin Sa’d, dia berka¬ta, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar kabar tentang

seorang wanita Arab. Maka beliau mengutus Abu Usa id, agar wanita itu didatangkan. Ketika sudah tiba, dia ditempatkan di bentang Bani Sa’idah, Lalu beliau menemui wanita itu dan mendekatinya. Ketika beliau berbi eara dengan wanita yang menundukkan kepalanya itu, dia berkata, “Aku berlin¬dung kepada Allah dari dirimu.”
Beliau bersabda, “Rupanya aku telah membuatmu berlindung dari diriku.”
Orang-orang bertanya kepada wanita itu, Tahukah kamu siapa beliau
ini?”
“Aku tidak tahu,” jawabnya.
“Beliau adalah Rasulullah, datang kepadamu untuk me lamarmu,” kata mereka.
W anita itu berkata, “Ka lau begitu aku adalah orang yang paling men-derita dari itu.”
Semua ini merupakan pengabaran dari satu kisah, berkaitan dengan satu orang wanita dan merupakan satu peristiwa. Jadi jelas bahwa beliau be¬lum mien ikahi wanita tersebut. Tapi beliau hanya datang untuk melamarnya.
Nieskipun begitu, Jumhur ulama berpendapat, perkataan semacam in i bisa berarti talak jika memang dimaksudkan untuk talak.
10. Masalah Zhihar, Ketetapan dari Allah dan Makna Ruju ‘ Yang Mengharuskan Membayar Kafarat
Allah befirman,

“Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kalian (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.

Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan, sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendakmenarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadakalian, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) herpuasa dua bulan berturut-turut sehelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluhorangmiskin. Demikianlah supava kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang amat pedih.” (Al-Mujadilah: 2-4).
Disebutkan di dalam As-Sunan dan Al-Masanid, bahwa Aus bin Ash
Shamit menzhihar istrinya, Khaulah binti Malik bin isa’labah, lalu dia itulah
yang menyampaikan gugatan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
sehubungan dengan zhihar suaminya itu. Dia mengadu kepada Allah dan
mendengar pengaduannya dari atas langit yang tujuh. Dia berkata, “Wahai
Rasulullah. sesungguhnya Aus bin As-Sham it menikahiku selagi aku masih
remaja putri yang layak untuk dicintai. Tapi setelah gigi-gigiku copot dan
perutku mengendor, dia menyamakan diriku dengan ibunya.”
Bel iau bersabda, “Aku belum bisa memutuskan urusanmu ini sedikit
pun:
Khaulah berkata, “Ya Allah, aku mengadu kepada Engkau.”
A isyah berkata. “Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya mei i¬puti segala suara. Khaulah binti Tsa’ labah datang untuk mengadu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sementara aku bersembunyi di da-lam rumah sambil merekam sebagian perkataannya. Maka kemudian Allah menurunkan ayat.
1

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang menga¬jukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan, Allah mendengar soal jawab antara ka¬lian berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Meli¬hat. ” (Al-Mujadilah: 1).
Beliau bersabda, “Hendaklah dia memerdekakan seorang budak wanita.”
Sekal Peiy?ilezliv,/ as.;

Khaulah Tnenjawab, “Dia tidak sanE,,gop
Beliau bersabda, “Hendaklah dia puasa dua bulan berturut-turut.- Khaulah berkata, “Wahai Rasdlullah, dia sudah lanjut usia. Dia tidak kuat puasa.”
Beliau bersabda, “Hendaklah dia memberi makan enam puluh orang miskin.”
Khaulah menjawab, “Dia tidak mempunyai sesuatu pun untuk dishada-qahkan.-
Aisyah menuturkan, “Pada saat itu pula beliau mendapatkan sekeran¬jang karma. Maka kukatakan, “Wahai Rasulullah, aku akan membantunya dengan sekeranjang korma yang lain.”
Beliau bersabda, “Engkau telah berbuat yang baik. Maka berikanlah ini kepada enam puluh orang miskin dan kembalilah kepada anak pamanmu.- Maksudnya suami Khaulah.
Di dalam As-Sunan di sebutkan bahwa Salamah bin Shakhr Al-Baya¬dhy menzliihar istrinya pada waktu bulan Ramadhan. Pada suatu malam dia mencampuri istrinya sebelum sempat menebusnya. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, “Apakah engkau melakukannya wahai Sala¬mah?”
Dia menjawab, -Memang, aku melakukannya hingga dua kali wahai Rasulullah, dan aku sabar terhadap hukum Allah. Maka hukumilah aku seper¬ti apa yang diperintahkan Allah kepada engkau.-
-Merdekakanlah seorang budak wan ita,- sabda beliau.
Dia berkata, “Demi yang mengutus engkau sebagai nabi dengan mem
bawa kebenaran, aku tidak mempunyai seorang budak kecuali dia.” Beliau bersabda, “Kalau begitu puasalah dua bulan berturut-turut.” Dia bertanya, “Apakah aku tidak mempunyai pilihan lain selain puasa?” Beliau bersabda, “Kalau begitu berikan makanan berupa satu takar
karma kepada enam puluh orang miskin.”
Dia berkata, “Demi yang mengutusmu dengan membawa kebenaran. Sudah dua hari ini kami tidak mempunyai makanan.”
Beliau bersabda, “Kalau begitu temuilah seseorang yang seharusnya mengeluarkan shadaqah dari Bani Zuraiq, suruhlah agar dia menyerahkan shadaqahnya kepadamu, lalu berilah makanan kepada enam puluh orang miskin dari korma dan makanlah sisanya bersama keluargamu.”
Salamah menuturkan, “Maka aku segera menemui kaumku, seraya kukatakan kepada mereka, Aku mendapatkan kesempitan dan pendapat yang buruk dari kalian, dan kudapatkan kelapangan dan pendapat yang baik dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau telah memerintahkan kepadaku untuk mendapatkan shadaqah kalian.”

Yang demikian ini membatalkan kebiasaan semasa Jahiliyah dan pada permulaan Islam, yang menganggap zhihar sama dengan talak, padahal tidak sama dengan talak.
I I . Masalah Ila
Disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhary, dari Anas, dia berkata, “Ra-sulullah meng-ila’ istri-istri beliau. Karena saat itu kaki beliau bengkak, maka beliau menetap di kamar beliau selama dua puluh sembilan hari. Kemudian beliau turun. Mereka (pm shahabat) berkata, -Wahai Rasulullah, bukankah engkau meng-ila selama sebulan?”
Bel iau menjawab, “Sebulan itu ada yang dua puluh sembilan hari.” Allah telah befirman tentang ila’ ini,


“Kepada orang-orang yang meng-Ilcr’ istrinya, diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (A l-Bagarah: 226).
Pengertian ila’ menurut bahasa ialah penolakan yang disertai sumpah. Sedangkan menurut ketetapan syariat ialah tidak mau berkumpul dengan istri yang disertai sumpah. Allah telah menetapkan jangka waktu empat bulan, yang karena ila’ itu mereka dilarang berkumpul dengan istri. Jika sudah lewat empat bulan, maka mereka harus membayar tebusan ataukah mentalak istri. Ada riwayat yang masyhur dari Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas, bahwa
itu diucapkan karena dalam keadaan marah dan tidak ridha, seperti yang terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap istri istri beliau. Pendapat Jumhur sejalan dengan apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an.
12. Masalah Li ‘an
Allah befirman,

“Dan, orang-orang yang menucluh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka per¬saksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atas dirinya, jika dia ter¬masuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali alas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah atas dirinya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (An-Nur: 6-9)
Disebutkan di dalamAsh-Shahihain, dari hadits Sahl bin Sa’d, bahwa Uwaimir Al-Ajlany berkata kepada Ashim bin Ad), “Apa pendapatmu jika seorang laki-laki menganggap istrinya berbuat serong dengan laki-laki lain, apakah dia hams membunuh laki-laki itu atau apa yang harus dia perbuat? Lebih baik tanyakan hal ini kepada Rasulullah.”
Maka Ashim menanyakannya kepada beliau. Tapi tampaknya beliau kurang suka dengan masalah seperti itu dan bahkan mencelanya. Maka apa yang didengarnya dari beliau ini merupakan beban bagi Ashim. Kemudian ganti Uwaimir yang menanyakan masalah ini kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka beliau bersabda. “Telah turun ayat tentang dirimu dan istrimu. Maka pergi lab dan suruhlah istrimu datang ke sini.”
Setelah datang, keduanya saling me-li ‘an di hadapan beliau. Setelah mereda Uwaimir berkata, “Aku berdusta terhadap dirinya wahai Rasulullah jika aku telah ruju’ dengannya.” Pasalnya, dia telah mentalak tiga terhadap istrinya sebelum dia mendapat suatu perintah dari beliau.
Menurut Az-Zuhry, memang pada waktu itu lagi banyak orang yang me-li ‘an. Saat itu istri Uwaimir sedang hamil, dan anaknya dinisbatkan kepada pihak ibu. Tapi kemudian ada ketetapan As-Sunnah, bahwa anaknya menjadi ahli waris Umaimir, sebagaimana yang juga ditetapkan Allah.
Dalam suatu lafazh disebutkan, “Lalu keduanya saling me-1 ‘an di dalam masjid. Maka beliau memisahkan di antara keduanya, lalu beliau bersabda, “Itu sama dengan perpisahan di antara suami istri yang saling me¬li ‘an.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari hadits Ibnu Umar, bahwa Fulan bin Fulan berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapat engkau jika salah seorang di antara kami mendapati istrinya berbuat serong? Apa yang harus dia perbuat? Jika dia bicara, tentu dia akan bicara masalah yang besar, dan jika diam, diamnya pun seperti itu pula.”

Beliau hanya diam dan sama sekali tidak menjawabnya. Beberapa lama kemudian Fulan bin Fulan tersebut menemui beliau lagi seraya berkata, “Apo yang kutanyakan ini telah menimpa diriku.”
Maka Allah menurunkan ayat di atas, lalu beliau membacakannya di hadapan orang itu dan mengingatkannya, bahwa siksa dunia itu lebih ringan daripada siksa akhirat. Orang itu berkata, “Tidak. Demi yang mengutus eng¬kau dengan membawa kebenaran, aku tidak dusta tentang
Kemudian istrinya dipanggil, lalu beliau memperingatkannya bahwa siksa di dunia itu lebih ringan daripada siksa akhirat. Maka sang istri berkata, “Tidak. Demi yang mengutus engkau dengan membawa kebenaran, dialah yang berdusta.-
Bel iau mulai memproses orang itu dan memintanyabersumpah dengan menyebut nama Allah empat kali, bahwa dia termasuk orang-orang yang be¬nar (tidak berdusta). Sedangkan yang kelima kalinya dia siap menerima lak¬nat Allah jika termasuk orang-orang yang berdusta. Kemudian istri orang itu disuruh melakukan hal yang sama. Setelah itu beliau memisahkan keduanya.
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Umar pula, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada dua orang suami istri yang saling melemparkan tuduhan, “Hisab kalian di hadapan Allah, bahwa salah seorang di antarakalian adalah pendusta, dan setelah itu engkau tidak lagi memililci istrimu.”
Orang itu bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana dengan hartakuT’
Bel iau menjawab, “Tidak ada hartamu. Jika tuduhanmu benar terhadap dirinya, maka harta itu menjadi rnilikny a, karena engkau telah menghalalkan kemaluannya. Jika engkau dusta terhadap dirinya, maka harta itu lebih jauh lagi dari dirimu.”
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau memisahkan suami istri yang saling melemparkan tuduhan, seraya bertanya, “Demi Allah, salah se¬orang di antara kalian berdua adalah pendusta. Tidak adakah di antara kalian yang bertaubat?”
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa beliau menyerahkan anak ke¬pada ibunya. Masih banyak riwayat-riwayat lain yang serupa dengan riwayat ini, dan semuanya shahih.
Dari sini dapat diambil beberapa ketetapan hukum Nabawy, di antaranya:
1. Li ‘an bisa muncul dari pihak suami istri, baik sama-sama Muslim maupun sama-sama kafir, orang yang baik maupun buruk, dibatasi dengan adanya tuduhan maupun tidak.
Di antara gambaran ‘an itu sendiri, semacam seorang suami yang menu-d uh istrinya berbuat serongdengar laki-laki lain. Maka Allah menjelaskan

bagaimana cara menyelesaikannya. Dalam li an in! terkumpul dua sifat. Sumpah dan kesaksian. Allah menyebutkan kesaksian dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutnya sumpah.
2. Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam menetapkan hukum dalam ma-salah li ‘an berdasarkan wahyu dan seperti yang ditunjukkan Allah, bukan menurut pemikiran beliau sendiri. Beliau tidak membuat keputusan hu¬kum tentang li ‘an sehingga turun wahyu dan ayat Al-Qur’an.
3. Li ‘an dilakukan di hadapan pemimpin atau wakilnya, dan tidak dilakukan di hadapan rakyat biasa atau orang awam, sebagaimana pemimpinlah yang berhak membuat keputusan di antara keduanya.
4. Ada baiknya jika ‘an itu dilakukan di hadapan orang banyak sehingga mereka bisa menjadi saksi, karena begitulah yang dilakukan para shaha¬bat.
5. Orang yang sating me-ii ‘an dalam posisi berdiri, lalu keduanya diminta untuk bersumpah empat kali atas nama Allah dengan posisi berdiri pula.
6. Yang pertama kali bersumpah adalah pihak suami dan bukan pihak istri.
7. Masing-masing suami istri yang saling me-ll ‘an harus diberi peringatan dan ancaman tentang siksa dunia dan akhirat.
8. Kehamilan istri dianggap tidak ada karena adanya li ‘an, sehingga suami tidak bisa lagi mempermasalahkannya. Berarti nasab anak dinisbatkan kepada pihak ibu.
13. Pengakuan Anak dari Zina dan Pengangkatannya Sebagai Ahli Waris
Abu Daud meriwayatkan di dalam Sunan-nya, dari hadits Ibnu Abbas, dia berkata, “Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam bersabda, ‘T idak ada perzinaan dalam Islam. Siapa yang berzina pada zaman Jahiliyah, maka anak dari zina itu termasuk kerabatnya, dan siapa yang mengakui seorang anak tanpa adanya jima’, maka dia tidak bisa mewarisi dan mewariskan’.”
Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam menghapus perzinaan dalam Islam, tidak mengakui hubungan nasab dengan hashl zina, memaafkan zina semasa Jahiliyah dan mengaitkan nasab anak dari zina itu kepadanya.
Ada beberepa orang semasa Jahiliyah mempunyai beberapa budak wanita yang d igi lir. Jika ada seorang budak milik salah seorang di antara mereka, meskipun budak itu juga berjima’ dengan lelaki lain, maka anaknya diakui oteh tuannya atau bisa juga diakui orang lain yang berjima’ dengannya. Sehingga sering timbul perselisihan dalam masalah ini, hingga datang Islam, lalu Rasulullah menetapkan bahwa anak itu menjadi milik tuannya.
14. Be berapa Lelaki Yang Menyetubuhi Seorang Wanita Pada Satu Masa Suci
Abu Daud dan An-Nasa’y meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Al

Khalil, dari Zaid bin Arciam Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Ketika aku sedang duduk di dekat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari penduduk Yaman. Lalu dia bercerita, “Ada tiga orang dari penduduk Yaman yang mengadu kepada Ali. Mereka mempere-butkan seorang anak di hadapan Ali. Pasalnya mereka telah menyetubuhi wanita itu pada sate masa sucinya. Maka All berkata, “Kalian adalah sekutu yang saling berselisih. Aku akan mengundi di antara kalian. Siapa yang men¬dapat undian, maka anak tersebut menjadi miliknya, dan dia harus membayar dua pertiga nilai tebusan kepada dua orang lainnya.” Maka All melakukan undian dan memberikan anak tersebut kepada orang yang berhasil menang dalam undian itu.”
Mendengar penuturannya itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tersenyum, hingga terlihat gigi geraham atau gigi seri beliau.
Dalam hal ini ada dua masalah pokok, yaitu mengundi untuk menetap-kan keturunan, dan keharusan membayar dua pertiga tebusan anak kepada dua pesaingnya. Undian memang bisa digunakan apabila sudah tidak ada lagi penguat selain itu.
15. Siapakah Yang Lebih Berhak Mengasuh Anak?
Abu Daud meriwayatkan di dalam Sunan-nya dari hadits Amr bin Syu’aib, dari ayahnya. dari kakeknya Abdullah bin Amr bin Al-Ash, bahwa ada seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah anak yang dulu kukandung, kususui dan juga kuasuh di dalam bilikku. Kemudian ayahnya rnenceraikan aku dan dia ingin mengambilnya dari sisiku.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda. -Engkau lebih ber-hak terhadap anak itu selagi engkau tidak menikah lagi dengan laki-laki lain.”
Di dalam Ash-Shahihain di sebutkan dari hadits Al-Bara’ bin Azib. bahwa putri Hamzah diperebutkan All dan Ja’far serta Zaid. All berkata, “Aku lebih berhak terhadap dirinya, karena dia putri pamanku.”
Ja’far berkata, “Putri paman dan bibiku dari pihak ibu harus ada dalam pengasuhanku.”
Zaid berkata, “Dia adalah putri saudaraku.”
Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memutuskan anak itu ada dalam pengasuhan bibinya dari pihak ibu, seraya bersabda, sama kedu¬dukannya dengan ibu.”
Alus-Sunan meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu A n-hu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah meinerintahkan seorang anak untuk memilih ayah atau ibunya.”
Diriwayatkan pula bahwa ada seorang wanita yang datang menemti i beliau, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, suamiku ingin perH sambi mem¬bawa anakku.”
Bawl Per.Vicazaw Xe21A,heril 41 1

Beliau bersabda, “Berl kesempatan kepada anak itu.”
Sang swami berkata, “Siapa yang akan membuat perkara denganku tentang anakku?”
Beliau bersabda kepada anak itu, “Ini adalah ayahmu dan itu ibumu. Sekarang peganglah tangan salah seorang di antara mereka berdua yang engkau kehendaki.”
Karena anak itu meraih tangan ibunya, maka dia diserahkan kepada ibunya.
Di dalam Sunan An-Nasa’y disebutkan dari Abdul-Humaid bin Sala-mah Al-Anshary. dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa kakeknya masuk Is¬lam, namun istrinya menolak masuk Islam. Maka dia datang sambil memba¬wa anaknya yang masih kecil dan belum baligh. Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam mendudukan ayah dan ibu anak secara berdampingan, lalu menyuruh anak itu untuk memilih salah seorang di antara mereka berdua. Beliau bersab-da. -Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada anak Maka dia menghampiri ayahnya.
Abu Daud meriwayatkan dari Abdul-Humaid, dia berkata, -Kakekku Raft’ bin Sinan mengabarkan bahwa dia masuk Islam, dan istrinya menolak masuk Islam. Maka istrinya menemui Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sal
seraya berkata, “Ini adalah putriku yang baru saja
Rafi’ menyahut, “Dia adalah putriku.”
Maka beliau menyuruh Rati’ duduk di satu sisi, dan menyuruh istrinya duduk di sisi lain. lalu anak putri itu duduk di antara mereka berdua, kemudian beliau bersabda kepada mereka berdua, -Panggillah anak
Ketika anak itu menengok ke arah ibunya, beliau bersabda, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada anak itu.”
Maka kemudian dia menoleh ke arah ayahnya, sehingga dialah yang berhak mendapatkannya.
Hadits yang pertama dijadikan dalil untuk menetapkan keputusan dengan mengabaikan pihak yang tidak hadir. Sebab di dalam hadits ini tidak disebutkan kehadiran ayah atau penentangannya. Wanita itu datang untuk meminta fatwa. Maka beliau menetapkan keputusan berdasarkan keterang-annya.
Hadits ini juga menunjukkan, bahwa jika ayah ibu becerai, sementara mereka mempunyai anak kecil, maka ibu lebih berhak terhadap anaknya dari-pada ayah, selagi tidak ada hal-hal yang bisa menghambat penyerahan anak itu kepada ibunya atau jika anak bclum bisa menentukan pilihannya. Kepu¬tusan ini tidak ada yang mempermasalahkannya. Seperti ini pula keputusan yang diambil Abu Bakar dalam perkaranya Umar bin Al-Khaththab_dan tak seorang pun yang menentangnya. Begitu pula yang ditetapkan Umar ketika menjadi khalifah.

Perwalian terhadap anak itu ada dua jenis. Satu jenis pihak ayah men-dapatkan prioritas daripada pihak ibu. Hal ini berkaitan dengan perwalian harta dan pernikahan. Satu jenis lagi yang lebih memprioritaskan pihak ibu daripada ayah, yaitu perwalian pengasuhan dan penyusuan. Hal ini dimaksud¬kan untuk kemaslahatan anak. Karena ibu lebih mengetahui tentang mendidik anak, lebih mampu melaksanakannya, lebih sabar, lembut dan Iebih banyak kesempatannya, maka pengasuhan yang kedua ini diserahkan kepada ibu. Tapi karena laki-laki Iebih sanggup mendatangkan kemaslahatan bagi anak dan lebih mampu menjaga masalah persetubuhan, maka pengasuhan berikut¬nya diserahkan kepada pihak ayah.
Sabda beliau, “Engkau lebih berhak terhadap anak itu selagi engkau tidak menikah lagi dengan laki-laki lain”, terkandung dali 1 bahwa penga¬suhan ada di pihak ibu. Tapi keputusan beliau merry erahkan pengasuhan anak kepada ibu, bukan berarti menunjukkan keumuman keputusan serupa untuk semua ibu, sehingga setiap anak harus diserahkan kepadanya. Jika ibunya wanita kafir, pelacur, fasik, musafir atau budak, maka tidak boleh mengacu kepada keputusan ini. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi orang yang diserahi pengasuhan anak. Di antaranya adalah kesamaan dalam agama. Sebab tidak ada hak pengasuhan bagi orang kafir terhadap orang Muslim, yang didasarkan dua alasan:
Pengasuh tentu ingin mendidik anak kecil sesuai dengan agamanya dan membesarkannya dengan ajaran agamanya. Maka setelah besar is akan sulit meninggalkan ajaran agama itu. Sebab anak itu sudah dirubah dari fitrah yang diciptakan Allah kepada hamba-hamba-Nya, sehingga sulit untuk dikembalikan lagi, sebagaimana sabda beliau, “Setiap anak dilahir¬kan di atas fitrah, lalu kedua oarang tuanya menjadikannya memeluk agama Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Allah telah memutuskan uluran pertolongan di antara orang-orang Mus¬lim dan kafir, menjadikan orang-orang Muslim sebagai penolong bagi sebagian yang lain, dan orang-orang kafir sebagai peno long bagi sebagian yang lain. Sementara pengasuhan merupakan bentuk uluran pertolongan yang paling kuat. [(arena itu Dia memutus pengasuhan di antara kedua belah pihak
Ada yang berpendapat, anak tidak perlu diberi kesempatan untuk me-netapkan pilihannya di antara ayah atau ibu. Dal il yang digunakan adalah sabda beliau, “Engkau lebih berhadap anak itu”. Sebab jika anak disuruh memilih, maka ibu tidak berhak atas anak kecuali jika anak memilih dirinya, sebagaimana ayah tidak berhak terhadap anak kecuali jika dia memi I ihnya. Banyak pendapat tentang hal ini. Di antaranya pendapat Al-Lai ts bin Sa’ d. bahwa ibu lebih berhak terhadap anak hingga is mencapai umur delapan tahun. Jika anak putri, hingga m:..11capai baligh. Setelah itu ayah lebih berhak

terhadap anak. Menurut Al-Hasan bin Hay i, ibu lebih berhak terhadap anak putri hingga payudaranya mulai tumbuh, dan Iebih berhak terhadap anak laki-laki hingga baligh. Setelah itu anak diberi kesempatan untuk menentukan pilihannya, baik laki-laki maupun wanita.
Di sini ada ijtihad dalam menetapkan pilihan di antara ayah dan ibu bagi anak putri, dengan pertimbangan bahwa ibu Iebih dekat dengan anak dan mana yang lebih bermaslahat bagi anak. Abu H ani fah, Malik dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. lebih cenderung kepada ibu, dan inilah yang didukung dalil. Tapi pendapat Ahmad yang Iebih masyhur dan rekan¬rekannya, cenderung kepada ayah.
Orang yang lebih cenderung kepada ibu berpendapat, bahwa ayah lebih banyak disibukkan oleh pekerjaan mencari penghidupan, lebih sexing keluar rumah dan bertemu dengan orang-orang. Sementara ibu Iebih banyak berada di dalam rumah. Sehingga anak putri yang diasuh ibu lebih terjaga dan terpelihara, matanya senantiasa bisa mengawasinya. Hal ini berbeda dengan ayah yang waktunya lebih banyak berada di luar rumah. Apalagi anak perlu mendapat pendidikan yang berkaitan dengan kewanitaan, yang harus mengurus berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Yang demikian ini hanya bisa dilakukan kaum wanita, bukan kaum laki-laki.
Sementara yang cenderung kepada ayah mengatakan bahwa kaum laki-laki lebih cemburu terhadap anak putrinya daripada kecemburuan ibu. Berapa banyak ibu yang justru membantu putrinya untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya, yang membuatnya tidak bisa memerankan pikirannya secara sehat hingga mudah tertipu. Keadaan ini berbeda dengan ayah. Atas dasar seperti inilah yang berhak menikahkan anak putri adalah ayah, bukan ibu. Di antara kebaikan syariat Islam, bahwa anak putri harus tetap berada bersama ibunya selagi dia masih membutuhkan pengasuhan dan pendidikan..lika sudah mencapai baligh dan layak dan mulai tumbuh dewasa, maka dia harus berada dalam pengasuhan ayah, yang lebih mampu melin¬dungi dirinya dan mendatangkan kemaslahatan baginya.
Saya pernah mendengar Syaikh kami bercerita, ada seorang ayah dan ibu yang berebut anak di hadapan hakim. Lalu hakim memberinya kesem¬patan kepada anak itu untuk menentukan pilihannya. Ternyata dia memilih ayahnya. Tetapi sang ibu protes, dengan berkata, “Tolong tanyakan kepada anak itu, apa alasannya dia mem ilih ayahnya?”
Ketika ditanya, dia menjawab, “Karena setiap hari ibu mengirimku untuk belajar menulis, sementara pak guru suka memukuliku. Sementara ayah membiarkan aku bebas bermain bersama anak-anak lain.”
Karena alasan anak tersebut, akhirnya hakim memutuskan untuk menyerahkannya kepada ibu, sambil berkata, “Engkau lebih berhak terhadap anak ini.”

Tentang kisah putri Hamzah, yang kemudian menjadi rebutan antara Ali, Zaid dan Ja’far, maka Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam menye¬rahkan pengasuhannya kepada Ja’ far, karena bibi anak itu adalah istri Ja’far, kerabat yang paling dekat dengannya, sehingga Ali dan Zaid j uga lapang dada menerima keputusan beliau ini.
16. Nafkah Yang Harus Diberikan kepada Istri
Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam tidak pemah mematok berapa nilainya dan tidak riwayat yang mengarah kepada nilai nafkah. Beliau hanya menyebutkan penyerahan nafkah kepada istri dengan cara yang ma’ ruf, menurut kelaikan.
Disebutkan di dalam Shahih Muslim, bahwa beliau menyampaikan pidato sewaktu haji wada’, yang saat itu dihadiri orang dalam jumlah yang melimpah ruah, kira-kira delapan puluh tiga hari sebelum kematian beliau. Di dalam pidatonya itu beliau bersabda,
Jam,
,
“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan kalian menghalalkan kemaluannya dengan kalimat Allah. Mereka berhak mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian secara layak.
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, bahwa Hindun, istri Abu Sufyan berkata kepada beliau, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku beserta anakku selain dari apa yang kuambil dari hartanya, sementara dia tidak mengetahuinya.”
Maka beliau bersabda, “Ambillah apa yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang layak.”
Abu Daud meriwayatkan di dalam Sunan-nya, dari hadits Hakim bin Mu’awiyah, dari ayahnya, Mu’awiyah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Aku pemah menemui Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam, seraya kukatakan, “Wahai Rasulullah, apa pendapat engkau tentang istri-istri kami?”
Beliau menjawab, “Berilah mereka makan sama dengan apa yang kalian makan, berilah mereka pakaian sama dengan apa yang kalian kenakan, janganlah kalian memukul wajah mereka dan janganlah kalian memburuk¬burukkan mereka atas nama Allah.”
Keputusan Rasulullah ShallallahuAlaihi wa Sallam ini sama dengan yang disebutkan di dalam Kitab Allah,
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan, ke¬wajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cam yang ma ‘ruf. ” (Al-Bagarah: 233).
Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam menyamakan keharusan bagi suami untuk memberikan naflcah antara istri dan pembantu, tanpa menyebutkan nilainya, dan hal ini harus dilakukan dengan cara yang ma’ ruf atau layak. Ma¬ka beliau bersabda, -Budak yang dimiliki mendapatkan makanan dan pakaian darinya dengan cara yang ma’ ruf.” Beliau juga bersabda tentang budak-bu¬dak yang dimiliki, “Berilah mereka makanan seperti apa yang kalian makan dan berilah mereka pakaian seperti yang kalian kenakan.”
Ada beberapa pendapat tentang ukuran makan yang harus diberikan setiap harinya. Tapi menurut Jumhur, tak satu pun riwayat dari para shahabat yang menetapkan nilai nafkah kepada istri, tidak satu mudd dan tidak pu la satu rithl. Menurutlbnu Mas’ud, makanan untuk kelas pertengahan ialah roti dan minyak samin, roti dan minyak, atau roti dan daging. Menurut fbnu Umar, ukuran pertengahan makanan yang diberikan suami kepada keluarganya ialah roti dan susit, roti dan minyak, roti dan minyak samin. Makanan paling baik ialah roti dan daging. Ukuran makanan ini tidak bisa diukur dengan makanan yang diberikan kepada orang-orang miskin ketika membayar kafarat atau tebusan sumpah atau lain-lainnya.
Di dalam hadits Hindun terkandung dali I bahwa seseorang boleh men-ceritakan orang lain yang herhutang kepadanya. ketika dia mengadukan per-masalahanny a, dan itu bukan ghibah. Yang serupa dengan ini ialah perkataan seseorang ketika beperkara dengan orang lain. “Wahai Rasulullah, dia adalah orang yang nakal, tidak peduli terhadap sumpah yang telah diucapkannya.”
Di sini juga terkandung dalil bahwa hanya ayahlah yang berkewajiban memberikan nafkah bagi anak-anaknya. Kewaji ban ini bukan merupakan persekutuan dengan ibu. Ini merupakan ijma’ ulama. Di dalamnya juga ter-kandung dal il, bahwa nafkah bagi istri dan kerabat hams memenuhi kecukup-an dan secara ma’ ruf atau layak. Siapa yang berhak mendapat nafkah, botch mengambil harta suami secara langsung, j ika suami menahan pemberian nafkah kepadanya dan kepada siapa pun yang seharusnya menerima nafkah itu.
1 7 . Rasulullah Memberi Peluang kepada Istri untuk Meninggalkan Suami Yang Tidak Mampu Memberi Najkah
A I -Bukhary meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari hadits Abu Hu-rairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulul fah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Shadaqah yang paling utama ialah meningalkan kekayaan.”
Dalam lafazh lain disebutkan, “Yang berasal dari orang kaya, dan ta-ngan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan mulailah dari orang yang ada dalam tanggunganmu.-
Istri bisa berkata, “Berilah aku makan atau engkau harus menceraikan aku.- Budak bisa berkata, -Berilah aku makan dan pekerjakanlah aku.” Anak bisa berkata, “Berilah aku makan, lalu kepada siapa engkau akan menyerah¬kan aku?”
Orang-orang bertanya, -Apakah engkau mendengar yang dem ikian itu dari Rasul u I lah?”
Dia menjawab, “Tidak, tetapi ini berasal dari perbendaharaan Abu Hurairah sendiri.”
An-Nasa’y jugs menyebutkan hadits seperti ini, yang di dalamnya be¬liau bersabda, “Dan mulailah dari orang yang ada dalam tanggunganmu.”
Ada yang bertanya, “Siapalcah yang ada dalam tanggunganku wahai Rasulullah?”
Bel iau menjawab, “Istrimu, yang berkata, Berilah aku makan. Jika ti¬dak, maka ceraikanlah aku. Pembantumu berkata, ‘Berilah aku makan dan pekerjakanlah aku’. Anakmu berkata, Berilah aku makan, lalu kepada siapa engkau membiarkan aku?’”
Para fuciaha sating berbeda pendapat tentang hukum masalah ini, yang tecermin dalam beberapa pendapat, di antaranya:
I . Suami bisa dipaksa untuk memberi nafkah atau menceraikan istrinya. Pen-dapat ini diriwayatkan dari Yahya bin Sa’ id Al-Anshary dan Ibnul-Musay-yab.
2. Hakim harus memutuskan agar suami menceraikan istrinya. Ini merupa¬kan pendapat Malik. Tapi dia diberi tempo selama satu bulan atau sekitar itu. Jika deadline sudah teriewati dan istri dalam keadaan haid, maka harus ditunggu sampai is suci.
Ada dua pendapat dari Asy-Syafi’y. Pertama, istri diberi kebebasan untuk memiliki. Jika menghendaki, dia bisa tetap bertahan hidup dengan suami, lalu nafkah yang seharusnya diserahkan kepada istri menjadi semacam hutang yang harus diserahkan kepada istri. Kedua, istri tidak harus mem inta cerai, tapi suami memberi kesempatan kepada istri untuk berusaha sendiri.
18. Suomi Tidak Berkewajiban Memberi Nafkah dan Tempat Tinggal kepada Istri Yang Ditalak Tiga
Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Fathimah binti Qais, bahwa Abu Amr bin Hafsh mentalaknya dengan talak tiga, lalu dia pergi. Dia
.1%,Artl Pe/y?ilamevr e_Vhirril 41 7

mengutus wakilnya untuk menemui Fathimah hinii Qais sambi! menverah¬kan gandum. Tapi ada sikap Fathimah yang membuatnya marah, sehingga dia berkata, “Demi Allah, engkau tidak berhak mendapat apa pun dari karni.-
Maka Fathimah binti Qais menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sal-lam dan menceritakan masalah ini dan juga perkataannya itu. Maka beliau bersabda, “Memang engkau tidak mendapatkan nafkah darinya.”
Lalu beliau menempatkan Fathimah di rumah Ummu Syarik. Tapi ke-mudian beliau bersabda, “Dia adalah seorang wanita yang pernah menjadi istri beberapa shahabatku. Habiskanlah masa iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum. Dia adalah orang buta, sehingga engkau bisa melepas bajumu. Jika masa iddahmu sudah habis, beritahukan kepadaku.”
Fathimah bin Qais menuturkan, “Ketika masa iddahku sudah habis, maka aku memberitahukan kepada beliau, bahwa Mu’awiyah bin Abu Suf¬yan dan Abu Jahm bermaksud melamarku. Beliau bersabda, “Tentang Abu Jahm, dia tidak mampu meletakkan tongkatnya di atas pundak. Sedangkan Mu’awiyah adalah orang miskin yang tidak mempunyai harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.”
Pada mulanya aku tidak mau. Tapi setelah beliau mendesak, aku pun mau menikah dengan Usamah dan Allah pun mendatangkan kebaikan yang banyak kepadanya, sehingga aku merasa senang.”
Disebutkan pula darinya, bahwa dia ditalak suaminya semasa Ra¬sulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Saat itu dia mendapat nafkah yang sedikit sekali. Maka dia berkata, “Aku akan melaporkan hal ini kepada beliau. Kalau memang aku berhak mendapatkan nafkah, maka aku akan mengambil yang mencukupi kebutuhanku. Jika aku tidak mendapatkan nafkah, maka aku tidak akan mengambilnya sedikit pun.”
Ketika dia menceritakan masalahnya, maka beliau bersabda, “Tidak ada nafkah bagimu.”
Masih dalam kisah yang sama, bahwa Abu Hafsh mentalaknya dengan talak tiga. Setelah itu Abu Hafsh pergi ke Yaman. Keluarga Abu Hafsh ber¬kata kepadanya, “Kami tidak berkewajiban memberimu nafkah.”
Khalid bin Al-Walid beserta beberapa orang menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di rumah Maimunah. Mereka berkata, “Sesung-guhnya Abu Hafsh mentalak istrinya dengan talak tiga. Apakah istrinya itu berhak mendapat nafkah?”
Beliau menjawab, “Dia tidak mendapat nafkah tapi masa iddah tetap berlaku baginya.” Kemudian beliau mengirim utusan untuk menyampaikan pesan, “Janganlah engkau mengambil keputusan tentang dirimu tanpa memberitahukan kepadaku.”
Beliau memerintahkannya untuk pindah ke rumah Ummu Syarik. Tapi kemudian dia dipindahkan lagi ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta.

Setelah masa iddahnya sudah habis, beliau menikahkannya dengan Usamah bin Zaid bin Haritsah.
Di dalarn Shahih diriwayatkan dari Asy-Sya”by, dia berkata, “Aku menemui Fathimah binti Qais untuk menanyakan keputusan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bagi dirinya. Maka dia menjawab, “Suamiku telah mentalakku dengan talak tiga. Lalu aku mengadu kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang nafkah dan tempat tinggal. Ternyata beliau memutuskan untuk tidak memberikan nafkah dan tempat tinggal bagiku, dan beliau memerintahkan agar aku menghabiskan masa iddahku di rumah Ibnu Ummi Maktum.”
Masih ada beberapa riwayat lain yang menggambarkan kisah ini dan keputusan yang diambil Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang sesuai dengan hokum di dalam Kitab Allah,


“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu serta ber¬takwalah kepada Allah, Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang ltulah hukum¬hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kami tidak mengetahui barangkali Allah me ngadakan sesudah itu s u a tu hal yang haru. Apabila mereka telah mende kat, .’lkhir

iddahnya, maka rujukilah mereka dengan balk atau lepaskanlah mereka dengan balk atau lepaskanlah mereka dengan bark dan persak¬sikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian dan hen¬daklah kalian tegakkan kesak.sian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memherinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan hagi tiap-tiap sesuatu. (Ath-Thalaq: 1-3).
Allah memerintahkan para suarni, bahwa jika masa iddah istri sudah hampir habis. maka hendaklah mereka ruju’ atau melepaskannya. Pada masa itu mereka tidak boleh mengusir istri dari rumah mereka dan istri tidak holeh keluar dari rumah. Berarti siapa yang tidak ada peluang untuk ruju’ setelah talak, boleh mengeluarkannya dari rumah. Allah telah menetapkan beberapa hukum hagi istri-istri yang ditalak, yang sal ing kait-mengait dan tidak bisa dipisah-pisahkan antara yang satu dengan lainnya. Hukurn-hukum ini ialah:
- Suami tidak boleh mengeluarkan istri yang ditalak dari rumahnya.
- Para istri yang ditalak tidak holeh keluar dari rumah.
- Para istri bisa diruju’ dengan cara yang ma’ ruf sebelum habis masa iddah-nya, atau melepasnya dengan cara yang haik.
- Dipersaksikan orang-orang yang adil.
19. Masalah-masalah Penyusuan
Disebutkan di dalam A.sh-Shahihain dari hadits Aisyah Radhiyallahu Anha, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
L-4
“Sesungguhnya penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram pada anak. “
Disebutkan pu la dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditawari agar menikahi putri Hamzah. Tapi beliau bersabda, tidak halal bagiku, karena dia putri saudaraku dari penyusuan. Apa yang haram karena hubungan keluarga juga haram bagi hubungan penyusuan.’
Disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

“Tidak haramjika hanya satu atau dua kali sedotan. “
Dalam riwayat lain disebutkan, “Tidak haram jika satu atau dua kali hisapan.”
Dalam Iafazh lain disebutkan, ada seseorang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah sekali menyusu juga haram?” Beliau menjawab, “Tidak.”
Diriwayatkan pula dari A isyah, bahwa Nab i Shallallahu A laihi wa Sal-lam bersabda. “Penyusuan itu hanya yang berupa meminurn air susu.”
Disebutkan di dalam Jaini’ At-Tirmidzy, dari Ummu Salamah Radhi-yallahu Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi 11,(1 Sallam bersabda,
„si U
“Tidak diharamkan karena penyusuan kecuali yang mengenyangkan usus karena menyedot dari parudara dan dilakukan sebelum masa menyapili.
Disebutkan di dalam Sunan Ad-Daruquthny dengan isnad yang shahih, dari lbnu Abbas, dia memarfu’kannya,”Tidak ada hukum penyusuan kecuali yang berjalan selama dua tahun.”
Disebutkan di dalam Sunan Abu Daud, dari hadits Ibnu Mas’ud. dia memarfu’ kannya, “Tidak diharamkan karena penyusuan kecuali yang me-numbuhkan daging dan mengeraskan tulang.”
Hadits-hadits ini mengandung beberapa hukum yang berkaitan dengan penyusuan. Sebagian disepakati para ulama dan sebagian lain dipersel isih¬kan, di antaranya:
1. Sabda beliau, “Sesungguhnya penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram pada anak”, sudah disepakati seluruh umat.
2. Menyusu dengan sekali atau dua kali sedotan tidak mengharamkan. Batas minimalnya adalah lima kali sedotan seperti yang disebutkan di dalam ri¬wayat Muslim dan Abu Daud. Tapi ada ulama salafdan khalaf yang meng-haramkan karena penyusuan, sedikit maupun banyak. Pendapat ini diriwa-yatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Said bin Al-Musayyab, A I-Hasan, Qatadah, Az-Zuhry, Al-Auza’y, Malik, Abu Hanifah dan lain-lainnya. Golongan lain berpendapat, minimal lima kali sedotan atau hisapan. Ini merupakan pendapat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Az-Zubair, Atha’, Thaqus dan lain-lainnya. Golongan yang pertama beralasan, selagi sudah ada sebutan penyusuan, maka semua hukum yang berkaitan dengan penyu¬suan sudah berlaku. Sedangkan golongan kedua berhujjah dengan hadits yang ada.

3. Penyusuan yang berkaitan dengan pengharaman ialah yang dilakukan sebelum masa menyapih dan pada masa menyusui sebagaimana lazimnya. Namun masalah ini diperselisihkanpara ulama. Tapi disebutkannya masa dua tahun di dalam satu riwayat, dianggap mansukh.
20. Masalah Iddah
Masalah iddah ini telah dijelaskan Allah secara lengkap dan rine i di dalam Kitab-Nya, yang semuanya sudah terhimpun di sana. Allah menyebut-kan empat jenis iddah:
. Iddah-nya wanita hamil ialah sampai dia melahirkan bay iny a, balk dia ditalak dengan talak ba ‘in maupun raj ‘i, baik suami masih hidup atau sudah matt. Firman-Nya,


“Dan, wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai nwreka melahirkan kandungannya.” (Ath-Thalaq: 4).
Di dalam ayat ini terkandung tiga macam keumuman: Pertama, ke¬urn uman obyek yang dikabarkan, yaitu wanita-wanita yang hamil, yang berarti berlaku untuk semuanya. Kedua, keumuman waktu iddah, yang menjadikan seluruh waktu ham it sebagai masa iddah. Ketiga, pernyataan dan jawaban pernyataan sama-sama diketahui secara jelas. Berarti jawaban per-nyataan membatasi pernyataan. Maka wanita hamil yang suaminya mati, masa iddah-nya juga seluruh masa hamilnya itu.
2. Iddah-nya wanita yang ditalak pada saat haid, yaitu tiga guru’ (bisa berarti suci atau haid), sebagaimana firman-Nya,

“Wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali guru’. ” (Al-Baqarah: 228).
3. Iddah-nya wanita yang tidak haid saat ditalak. Adapun wanita yang masih kecil sehingga belum haid, atau wanita tua yang sudah tidak haid lagi. telah dijelaskan Allah,

“Dan, wanita-wanita yang sudah tidak haid lagi di antara wanita-wanita kalian, jika kalian ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula wanita-wanita yang

tidak haid.” (Ath-Thalaq: 4).
4. Wanita yang ditinggal mati suaminya. Allah telah menjelaskan masa iddah-nya,

"Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan mening¬galkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menanggguhkan dirinya empat bulan sepuluh hari. " (A I-Baqarah: 234).
Hal ini berlaku bagi wanita yang sudah dicampuri maupun belum, yang muda maupun yang tua, tapi tidak termasuk wanita yang hamil.
Ada perbedaan pendapat tentang guru', apakah artinya haid atau suci? Menurut para pemuka shahabat, artinya haid. Ini merupakan pendapat Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Musa, Ubadah bin Ash-Sha¬mit, Abud-Darda', Ibnu Abbas, Mu'adz bin Jabal do Iain-lainnya. Tapi ada pula yang mengartikannya suci. Ini merupakan pendapat Aisyah Ummul¬Mukminin, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar.
Ada beberapa perkara yang harus dihindari wanita yang berada pada masa iddah. sebagaimana yang disebutkan mash dan bukan menurut penda-pat-pendapat yang sama sekali tidak ada dalilnya, yaitu:
I. Memakai wewangian, yang didasarkan kepada hadits shahih dari "Janganlah dia memakai wewangian." Hukum memakainya adalah hararn bagi wanita yang berada pada masa iddah.
2. Tidak boleh memakai hiasan di tubuh, seperti celak, bedak dan lain-lain¬nya dari macam-macam berhias.
3. Tidak botch memakai hiasan pakaian, seperti pakaian yang dicelup de¬ngan warna tertentu.
Hukum-hukum Yang Berkaitan dengan Jual Bell
1. Hal-hal Yang Tidak Boleh Diperjualbelikan
Disebutkan di dalam Ash-shahihain dari Jabir bin Abdullah Radhi-yallahu Anhuma, bahwa dia pernah mendengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan menjual khamr, bangkai, bahi dan patung. "Ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, apa pendapat engkau lentang lemak he wan yang sudah matt (Menjadi bangkai), yang hisa digunakan untuk mengecat kapal dan mentinyaki kulit serta bunyak orang yang menggunakannva sebagai minyak lam¬pu? Be liau menjawah, 'Tidak &Veit. Itu acialah Karam. " Kemudian saat itu pules Rayulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, Allah memusuhi orang-orang Yahudi, karena Allah telah mengharamkan lemak hewan yang sudah matt (untukdikonsums0, tapi mereka mengo-lahnya kemudian menjualnya, sehingga mereka mengambil dari harganya."
Di dal am Ash-Shahihainjuga disebutkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Umar mendengar kabar bahwa Samurah menjual khamr. Maka dia berkata, -Allah memusuhi Sarnurah. Tidakkah diatahu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda, "Allah melaknat orang-orang Yahudi, karena lemak diharamkan atas mereka, tapi mereka mengolahnya lalu men-jualnya."
Al-Hakim dan Al -Baihaqy menyandarkan hadits ini kepada Ibnu Abbas, yang di dalamnya ada tambahan lain, dengan lafazh, "Dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di Mas¬jidil-Haram. Bel iau menengadah ke arah langit, lalu tersenyum, seraya ber-sabda, "Allah melaknat orang-orang Yahudi. Allah melaknat orang-orang Yahudi. Allah melaknat orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak kepada mereka, tapi mereka menjualnya dan mengam¬bil harganya. Sesungguhnya Allah mengharamkan memakan sesuatu kepada suatu kaum, dan juga mengharamkan harganya kepada mereka.-
Di dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, juga disebutkan seperti hadits di atas, dan ada tambahannya, "Sesungguhnya jika Allah mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harganya."
Ungkapan kalimat dalam hadits ini mengandung pengharamkan tiga
jenis:
- Minuman yang merusak akal.
- Makanan yang merusak tabiat dan memakan hal-hal yang kotor.
- Pandangan mata yang merusak agama dan menimbulkan cobaan serta syi-rik.

Pengharaman ini mengandung penjagaan terhadap akal, hati dan agama. Untuk dapat memahami batasan sabda-sabda beliau, kandungannya, kalirnat-kalimatnya dan segala keumumannya, ta'wil lafazh dan maknanya, merupakan pemahaman yang spesifik tentang Allah dan Rasul-Nya, yang porsinya berbeda-beda antara yang sate dengan yang lain. Tapi Allah meng¬anugerahkannya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Pengharaman menjual khamr berarti pengharaman menjual barang apa pun yang memabukkan, yang jenisnya cair maupun padat, diperas maupun dimasak, termasuk pula perasan anggur, korma, gandum, madu dan apa pun yang memabukkan dan mengguncangkan hati yang tenang. Semua ini terma-suk kategori khamr yang di larang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam secara jelas dan gamblang, "Segala yang memabukkan adalah khamr."
Ada riwayat yang shah ih dari para shahabat, yaitu orang-orang yang paling mengetahui maksud perkataan beliau dan rnaknanya, bahwa yang disebut khamr adalah yang melalaikan dan merubah akal dari keasliann, a Jadi semua jenis di atas masuk dalam istilah khamr. Tidak boleh mengeluar¬kan sebagian dari jenis ini dengan mengalihkan namanya. sebagaimana larangan mengeluarkan sebagian dari jenis-jenis barang yang memabukkan dari istilah khamr. Dalam hal ini ada dua catatan yang harus diwaspadai:
- Mengeluarkan dari perkataan beliau apa yang dimaksudkan untuk d ima-sukkan ke dalamnya.
- Ditetapkannya suatu hukum yang berbeda dengan hukum beliau. dengan merubah lafazh-lafazh dari pembawa syariat dan makna-maknanya. Anti-nya, j ika seseorang menamakan suatu jenis tidak seperti nama yang diberi-kan pembawa syariat, maka hukumnya menjadi berbeda, lalu dia mene-tapkan hukum lain. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah menyadari bahwa di antara umatnya akan ada yang mendapat cobaan seperti ini, sebagaimana sabda beliau, -Benar-benar akan muncul orang-orang yang meminum khamr, dengan menamakannya bukan khamr.-
Maka beliau membuat ketetapan yang bersifat universal dan umum, tidak mengambang dan tidak pula mengundang interpretasi, dengan bersab¬da, "Semua yang memabukkan adalah khamr."
Tentang pengharamkan bangkai, termasuk segala jenis bangkai, baik yang mati karena lepas hidungnya atau karena disembelih dengan cara yang tidak sah, termasuk pula semua bagian dari organ tubuhnya. Karena itu seba-gian shahabat masih ada yang menganggap rumit masalah pengharaman menjual lemak. Padahal lemak itu sangat bermanfaat. Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa lemak itu haram, meskipun ia bisa dimanfaatkan. Ini menjadi topik yang diperdebatkan manusia. karena per¬bedaan mereka dalam memahami maksud perkataan beliau, vaitu.
ia haram.-

Apakah perkataan beliau ini tertuju kepada penjualannya atau tertuju kepada perbuatan yang mereka tanyakan? Menurut Syaikh, hal itu tertuju kepada penjualannya. Sebab ketika beliau mengabarkan bahwa Allah men 2- haramkan menjual bangkai, mereka berkata, "Sesungguhnya lemaknya ba¬nyak manfaatnya,- Artinya, apakah dengan begitu boleh menjualnya? Beliau menjawab, is adalah haram.-
Jadi seakan-akan mereka mencari pengkhususan lemak dari bagian bangkai yang diperbolchkan, sebagaimana Al-Abbas yang meminta peng-khususan pohon idzkhir yang botch dipotong di tanah suci. Yang pasti, lemak bangkai itu haram dan menjualnya juga haram.
Yang termasuk dalam pengharaman menjual bangkai ialah menjual bagian-bagiannya selagi masih hidup, lalu lepas ketika mati, seperti daging, lemak dan urat. Tapi tidak termasuk but u-bulunya, karena bulu tidak terma¬suk bangkai. Menurut para ulama, bulu bangkai hewan tetap suci selagi hewannya suci. Ini merupakan pendapat para imam, selain Asy-Syaft'y, yang menganggapnya naj is.
Jika ada yang bertanya, "Apakah pengharaman menjual bangkai juga termasuk pengharaman menjual tulang, tanduk dan kulitnya setelah disamak, karena keumuman istilah bangkai?"
Dapat dijawab sebagai berikut: Yang diharamkan untuk dijual dari bangkai itu ialah yang diharamkan untuk dimakan dan dipergunakan, seperti yang di isyaratkan Rasulul tab ShallallahuAlaihi wa S'allatn, "Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan harganya.-
Adapun kulit yang sudah disamak menjadi benda yang sue i, yang hisa dimanfaatkan untukpakaian dan alas atau manfaat lainnya. Berarti tidak di la-rang dan boleti dijual. Menurut Asy-Syafi'y, hal itu tidak boleh. Sementara rekan-rekannya sating berbeda pendapat tentang hal ini.
Pengharaman babi berlaku untuk keseluruhan dan semua bagiannya yang tarnpak maupun yang tersembunyi. Perhatikan bagaimana disebutkan¬nya daging, yang mengisyaratkan pengharaman memakannya, karena mayo¬ritas bagian pada babi adalah dagingnya. Disebutkannya daging merupakan peringatan tentang memakannya, tidak seperti pengharaman barang yang disebutkan se belumnya, dan berbeda dengan buruan. M aka tidak dikatakan, -Diharamkan atas kalian daging buruan-. Tapi yang diharamkan adalah buru¬an itu sendiri, yang berarti memakan dan membunuhnya. Atas dasar inilah maka ketika diharamkan penjualan bagi, disebutkan secara keseluruhan dan tak ada pengkhususan pada dagingnya, yang berarti berlaku untuk keadaan¬nya seperti apa pun, hidup maupun mati.
Tentang pengharaman menjual patung, dapat disimpulkan dari peng-haraman menjual segala alat yang digunakan untuk kemusyrikan, apa pun bentuk dan jenisnya, entah berupa patung, berhala atau salib, atau buku-buku yang berisi kemusyrikan dan penyembahan kepada selain Allah. Semua ini

harus dihilangkan dan dimusnahkan. Menjual barang-barang itu sama dengan membuka peluang untuk menggunakannya, yang berarti lebih layak diharam-kan penjualannya daripada barang-barang lain. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebutkannya di bagian paling akhir, bukan karena permasalah-annya yang dianggap enteng, tetapi merupakan penahapan dari yang ringan kepada yang lebih berat. Khamr lebih baik keadaannya daripada bangkai. Allah tidak menetapkan hukuman bagi orang yang memanfaatkan bangkai, tapi cukup dengan larangan, karena tabiat manusia sudah merasa jijik kepada¬nya. Berbeda dengan khamr dan babi yang lebih keras larangannya daripada bangkai. Karena itu Allah menyendirikan hukum babi dengan sebutan kotor, sebagaimana firman-Nya.

"Katakanlah, Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak mema¬kannya, kecauli kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya is kotor. " (A1-An'am: 145). Meskipun kata ganti pada katafainnahu kembali kepada tiga barang
ini, karena pertimbangan lafazh "Yang diharamkan", tapi ada semacam pe
nguatan yang dikhususkan kepada daging babi.
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu atau mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan harganya", bisa dimaksudkan dua hal:
- Barang dan pemanfaatannya haram secara keseluruhan, seperti khamr, bangkai, darah, babi dan alat-alat kemusyrikan. Harga dari barang-barang ini haram, bagaimana pun bentuknya.
- Boleh dimanfaatkan selagi tidak dimakan, seperti kulit bangkai yang su¬dah disamak dan keledai piaraan atau pun baghal yang dagingnya tidak boleh dimakan. Yang demikian ini tidak termasuk dalam pengertian hadits ini. Karena yang dimaksudkan ialah yang haram secara mutlak. Tapi ada juga yang berpendapat, yang dem ikian ini juga termasuk di dalam penger¬tian hadits ini, yang pengharaman harganya berlaku jika is dijual untuk manfaat yang juga diharamkan. Jika baghal dan keledai piaraan dijual untuk keperluan makan, maka harganya haram. Jika dijual untuk kenda¬raan, maka harganya halal.
2. Hasil Penjualan Anjing dan Kucing
Disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari Abu Mas'ud, bahwa Ra¬sulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang hasil•penjualan anjing, upah

dari melacur dan upah untuk dukun.
Di dalam Sahib Muslim disebutkan dari Abuz-Zubair, dia berkata, "Aku bertanya kepada Jabir tentang hasil penjualan anjing dan kucing. Maka dia menjawab, "Nabi ShallallahuAluihi wa Sallam melarang yang demikian itu.
Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan dari hadits Rafi' bin Khudaij, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Sebriruk-huruk penghasilan adalah upah dari melacur, hasil pen-jualan anjingdanpenghasilan para tukang membekam."
Di dalam Summ Abu Daud disebutkan dari Abuz-Zuhair. bahwa Nabi
ShallallahuAlaihi ira Sal lam melarang hasil penjualan anjing dan kucing. Di dalam hadits-hadits ini terkandung empat masalah:
I. Pengharaman menjual anjing, haik yang kecil maupun yang besar. untuk berburu, penunjuk jalan maupun rnengolah tanah. In i merupakan pen-dapat para fugaha ahli hadits. Tapi rekan-rekan Abu Hanifah memperboleh-kan menjual anjing dan memakan hasil penjualannya. Al-Qadhy Abdul¬Vv'ahhab berkata, "Rekan-rekan saling berbeda pendapat tentang menjual anjing yang pemanfaatan anjing itu diperbolehkan. Yang lain ada yang me¬makruhkannya dan yang lain lagi mengharamkannya."
Ada yang berpendapat, apabila pemanfaatan sesuatu hukumnya haram, maka penjualannya juga haram. Jadi hukum penjualannya mengikuti hukum barang dan pemanfaatannya atau gambarannya secara umum, apalagi jika ada pencampuran antara yang halal dan yang haram.
Atas dasar inilah muncul masalah tentang menjual anjing untuk berburu. Sebab ternyata anjing memiliki manfaat yang tidak sedikit. Dalam hal ini berhagai manfaatnya bisa dikumpulkan, lalu ditimbang. Anjing yang manfaatnya lebih banyak bersifat harm), maka ia harus dilarang. Jika sebalik¬nya, maka ia diperbolehkan. Anjing buruan terrnasuk pengecualian dari la¬rangan beliau menjual anjing, sebagaimana yang diriwayatkan At-Tirmidzy, dari hadits Jabir, bahwa Nabi Shallailahu Alaihi wa Sallam melarang hasil penjualan anjing kecuali anjing buruan." Tapi alasan pengecualian ini tidak kuat, sebab hadits-hadits dari beliau tentang pengecualian anjing buruan tidak shahih.
2. Pengharaman menjual kucing, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits shahih dari Jabir bin Abdullah, bahwa dia memakruhkan hasil penjualan kucing. Sementara tak seorang pun shahabat yang berlainan pen-dapat dengannya mengenai hal ini. Fatwa ini pula yang menjadi pilihan Umar bin Abdul-Aziz.

3. Upah dari melacur, atau penghasilan yang diterima wanita yang melacurkan diri, entah wanita merdeka maupun budak. Beliau menetapkan hukum, bahwa hal itu amat kotor dan keji. Apalagi yang biasa melacur pada zaman beliau adalah wanita-wanita budak. Karena itu Hindun bertanya saat baiat, "Apakah wanita merdeka itu ada yang melacurkan diri?"
4. Upah praktik perdukunan. Abu Umar bin Abdul-Barr mengatakan, bahwa yang demikian ini termasuk memakan harta dengan cara yang batil. Pengharaman upah praktik perdukunan merupakan peringatan tentang pengharaman upah ahli nujum, peramal nasib dan pengundi serta membaca peruntungan masa depan yang termasuk masalah gaib. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang mendatangi dukun, "Barangsiapa mendatangi dukun dan dia mempercayai apa yang dikatakannya, maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad."
Tidak dapat diragukan, banyak orang yang percaya dan meyakini apa yang dikatakan para dukun dan tukang ramal, apalagi orang-orang yang lemah akalnya, orang-orang yang bodoh, para wanita, orang-orangbadui dan mereka yang tidak mengetahui hakikat iman. Mereka inilah yang biasa meminta saran dan nasihat dari para dukun, lalu mereka berbaik sangka kepada dukun, sekalipun sebenarnya dukun itu musyrik kepada Allah secara terang-terangan. Hal ini terjadi, karena mereka tidak mengetahui petunjuk yang disampaikan Allah kepada Rasul-Ny a dan tidak mengenal agama yang benar serta lurus. Maka firman Allah,
43L"'i ij 4-°
"Dan, barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah,
tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun." (An-Nur: 40).
Para shahabat berkata kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Para dukun itu terkadang mengabarkan sesuatu kepada kami, dan ternyata benar-benar terjadi seperti yang mereka katakan." Maka beliau mernberitahukan bahwa yang demikian itu termasuk kiat syetan, yang me-nyampaikan perkataan yang sebenarnya kepada para dukun itu, padahal sebenarnya mereka menarnbah seratus macam kedustaan, lalu mereka membenarkan hanya dengan satu perkataan itu.
5. Buruknya mencari mata pencaharian dari praktik berbekam. Tapi dokter dan orang yang biasa mencelaki orang lain tidak termasuk dalam hukum ini.
Sementara ada riwayat yang shahih, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah meminta orang lain untuk membekam beliau, dan be! iau juga memberikan upah kepadanya, hingga banyak fugaha yang kesulitan mengompromikan dua riwayat ini, lalu mereka mengira bahwa

larangan mencari mata pencaharian dengan berbekam ini terhapus oleh pemberian upah kepada orang yang membekam beliau. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Ath-Thahawy. A lasannya, hal ini seperti larangan beliau untuk memakan dari hasil penjualan anjing pada saat beliau memerintahkan untuk membunuh semua anjing. Tetapi kemudian mengha-pusnya dan memberikan rukhshah terhadap anjing buruan. Maka larangan mencari mata pencarian dari berbekam ini juga terhapus oleh tindakan beliau yang memberikan upah kepada tukang membekam.
Pendapat ini dapat disanggah sebagai berikut, bahwa rukhshah terha-dap anjing buruan dan anjing untuk menjaga domba disebutkan setelah perintah untuk membunuh semua anj ing. Anjing yang diperbolehkan untuk dimiliki adalah yang diharamkan hasil penjualannya. Anjing selain itu tidak biasa diperjualbe I ikan, berbeda dengan anjing yang boleh dimiliki. Tentang tindakan beliau yang memberikan upah kepada tukang membekam, tidak bertentangan dengan sabda beliau, "Mata pencaharian tukang berbekam itu buruk-. Sebab beliau tidak bersabda_ "Memberinya upah adalah buruk", bahkan memberinya upah adalah wajib, atau sunat atau boleh, dan menerima upah itu tetap buruk bagi tukang berbekam. Keburukannya din isbatkan dengan mengambil upah membekam, sehingga membekam itu merupakan mata pencaharian yang buruk, dan tidak harus haram. Bel lau menyebut ba¬wang putih dan bawang merah sebagai makanan yang buruk, tapi memakan¬nya tetap diperbolehkan.
Secara umum dapat dikatakan, buruknya upah membekam seperti makan bawang merah atau putih. Yang pertama keburukan menjadikannya sebagai mata pencaharian dan kedua keburukan memakannya. Lalu apa mata pencaharian yang paling baik? Yang paling balk adalah mata pencaharian dari berniaga dan berdagang. Yang lain-lainnya dalam urutan setelah itu, dengan berbagai macam ragam dan jenisnya.
3. Menjual Keturunan Pejantan
Di dalam Shahih AI-Bukhary disebutkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang keturunan pejantan.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Jabir, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi waS'allam melarang menjual keturunan hewan pejantan.
Hadits yang kedua menafsiri hadits yang pertama, bahwa maksud larangan dalam hadits yang pertama adalah menjualnya atau memasang tarif. Larangan ini bersifat mutlak. Tapi orang yang memanfaatkan keturunan hewan pejantan, lalu dia memberi sesuatu atau upah kepada pemilik hewan pejantan, tidak diharamkan, sebab dia memberikan hartanya untuk mendapat¬kan hal yang mubah dan yang dia butuhkan. Diperbolehkannya hal ini sama dengan memanfaatkan orang yang membekam dan memberinya upah. Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang orang yang biasa menarik upah dari keturunan pejantan.
4. Larangan Menjual Kelebihan Air Yang Biasa Dimanfaatkan Orang Banyak atau Milik Bersama
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari haditsJabir Radhiyallahu An-hu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual kelebihan air."
Dalam riwayat lain juga di dalam Shahih Muslim disebutkan, dia her-kata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual keturunan hewan pejantan, menjual air dan tanah untuk ditanami."
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Kelebihan air tidak boleh dihalangi karena untuk menghalangi tum¬buhnya rumput."
Dalam lafazh lain disebutkan,
J -1
"Janganlah kalian menghalangi kelebihan air karena kalian ingin menghalangi tumbuhnya rumput."
Di dalam Al-Musnad disebutkan dari hadits Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau ber-sabda,

"Barangsiapa menghalangi kelebihan airnya atau kelebihan rumput¬nya, maka Allah menghalangi karunia-Nya pada hari kiamat dari dirinya.
Di dalam Sunan lbnu Majah disebutkan dari hadits Abu Hurairah Ra-dhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Tiga hal yang tidak boleti dihalangi: Air, rerumputan dan api. " Disebutkan pula dari Ibnu Abbas, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam

bersabda,

"Orang-orang Muslim itu saling bersekutu dalam riga hal: Air, api dan rerumputan, dan harganya adalah Karam. "
Pada dasarnya air diciptakan Allah sebagai mi I ik bersama hagi mann¬sia dan hewan. Tak seorang pun yang mem i liki hak prioritas dari yang lain terhadap air, sekalipun dia berada paling dekat dengan air itu. Maka Umar bin A l-Khaththab berkata, "orang yang sedang dalam perjalanan lebih her¬hak terhadap air daripada orang yang tinggal dekat dengannya.
Sedangkan orang yang sudah memasukkan air itu ke dalam geriba atau kantongnya, maka tidak termasuk air yang disebutkan di dalam hadits-hadits ini. Hal ini sama saja dengan segala barang yang mubah untuk diambil, seperti kayu bakar yang diambil dari hutan dan dikemas sedemikian rupa lain dijual. Begitu pula rerumputan dan garam.
Jika ada yang bertanya, "Seseorang menggali tanah yang menjadi hak miliknya untuk dijadikan sumur. Apakah air sumur itu menjadi miliknya dan dia juga boleh menjualnya, karena air itu sudah melebihi kebutuhan keseha-riannya?"
Tidak dapat diragukan bahwa sumur dan airnya menjadi miliknya. Jika sumur itu ada di dalam pekarangan rumahnya, apalagi ada di dalam bangunan rumahnya, maka orang lain tidak boleh mengambilnya kecuali seizin pemi-liknya. Tapi jika tidak ada di dalam pekarangan rumahnya, maka menurut zhahir hadits-hadits di atas, tidak boleh menjualnya.
5. Larangan Hashat, Gharar, Mulamasah dan Munabadzah
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah, bahwa Ra-sulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menjual dengan hashat dan menjual dengan merahasiakan identitas barang yang dijual.
Jual beli dengan hashat (kerikil), maksudnya seperti jual bell dengan pilihan atau untung-untungan. Gambarannya, pembeli melempar sebuah
ke beberapa pakaian yang tersedia setelah membayar satu dirham umpa-manya, di mana kerikil itu jatuh, maka dia berhak atas pakaian itu.
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang mulamasah dan munabadzah.
Di dalam Shahih Muslim dijelaskan, bahwa mulama.sah artinya, dua orang saling mengusap kain orang lain tanpa boleh melihat dan memperhati-kannya. Munabadzah artinya, masing-masing melempar kainnya kepada orang lain tanpa boleh met ihat dan memperhatikannya.
Jual beli secara gharar artinya pembeli tidak tahu identitas sesuatu yang hendak dibelinya, atau penjual tidak mau menjelaskan identitas barang

http://kampungsunnah.wordpress.com

 
Make a Free Website with Yola.