PANAH SETAN
Oleh : Shalih bin Muhammad Al-Wunaiyyan
DAFTAR ISI
Mukadimah
Panah Pertama:
Nilai Ketaatan Yang Memudar dan Melemah
Faktor-Faktor Penyebab Melemah dan Memudarnya Nilai Ketaatan
Panah Kedua:
Penyakit Ujub Terhadap Diri Sendiri dan Amal
Definisi Ujub
Sebab-sebab Ujub
Dampak Negatif yang Timbul Akibat Ujub
Panah Ketiga:
Sanjungan yang Menghanyutkan
Tanya Jawab
Mukaddimah
Segala puji hanyalah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Kami
se-nantiasa memuji¬Nya, memohon pertolongan serta meminta ampunan
kepada-Nya. Kami memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan yang
dibisikkan oleh jiwa-jiwa kami, serta dari keburukan amal perbuatan
kami. Barangsiapa yang Allah berikan hidayah, niscaya tiada satu orang
pun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya,
niscaya tiada seorang pun yang dapat memberinya hidayah.
Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang ber-hak diibadahi dengan benar
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tiada sekutu baginya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang
hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah atas junjungan
kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, atas segenap keluarga
serta seluruh sahabat beliau.
Amma ba’du,
Wahai pembaca yang mulia, sebelumnya kami ucapkan: Salamun ‘Alaikum wa Rahmatullahi wa Bara-kaatuhu,
Sudah kita maklumi bersama bahwa banyak sekali tipu daya setan untuk
menyesatkan bani Adam. Oleh sebab itu, saya katakan dengan serta merta
meminta pertolongan kepada Allah, bahwa panah-panah setan tersebut
sangat banyak. Panah yang dapat melumpuh-kan mangsanya sehingga tidak
kuasa berbuat kebaikan dan mampu menggiringnya untuk selalu mengikuti
hawa nafsu serta berkhayal yang muluk-muluk. Jika se-buah panah meleset
dari sasarannya, pasti akan diikuti dengan panah kedua, ketiga dst.
Syair di bawah ini sangat tepat untuk menggambarkan hal itu:
“Sekiranya hanya sebuah panah niscaya akan dapat kuelakkan. Namun begitu satu meleset maka dua, tiga pun terbilang.”
Saudaraku yang mulia, membebaskan diri dari segala cela dan menghindar
dari panah tipu daya setan adalah fase yang sangat menentukan dalam
membentuk pribadi yang luhur dan terbina. Terutama bagi yang
mencanangkan dirinya berada di jalur dakwah menuju Dienullah.
Fase tersebut ibarat gerbang yang harus dilewati menuju
pembentukan diri. Yakni membebaskan diri dari segala cela merupakan
gerbang menuju pribadi mulia, yang akan membentuk akhlak dan tutur kata
yang luhur.
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis surat kepada para gubernur di seluruh wilayah kekuasaannya sebagai berikut:
“Jangan sampai ada perkara yang lebih penting un-tuk kamu perhatikan
selain perkara dirimu! Sebab sekecil apapun dosa itu, tetap tidak
pantas untuk disepelekan.”
Beliau memandang bahwa seluruh dosa, yang besar maupun yang kecil,
tetap menjadi beban berat bagi diri. Pokoknya selama bumi masih
berputar, Umar bin Abdul Aziz dan kaum salaf lainnya senatiasa menjaga
diri dari segala dosa-dosa, yang besar maupun yang kecil. Se-orang
penyair menitipkan pesan lewat sebuah syair:
Jauhkanlah dirimu dari segala dosa, yang besar mau-pun yang kecil, itulah hakikat takwa.
Jalanilah kehidupan bagaikan orang yang me-nempuh jalan penuh onak dan duri, senantiasa berhati-hati dari bahaya yang diihat.
Jan ganlah engkau remehkan dosa sekalipun kecil, bukankah gunung yang
menjulang tin ggi berasal dari kerikil-kerikil kecil yang terhampar?
Setiap kali kita mengingat keadaan kaum salaf rahimahumullah, lalu kita
bandingkan dengan keadaan diri kita, semakin terkuaklah borok-borok
diri. Kita teringat ucapan Abdul Aziz bin Abi Rawwad rahimahullah, ia
berkata: “Setiap kali kita mengingat keadaan kaum salaf, maka akan
kelihatan kekurangan kita.” Bagaimana pula jika dibandingkan dengan
keadaan kita yang hidup di zaman sekarang ini? Hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala semata kita memohon pertolongan.
Dalam buku yang sederhana ini kami akan menge-tengahkan kepada para
pembaca beberapa panah-panah yang dilepaskan setan dan bala tentaranya
yang diperankan oleh sebagian manusia, hingga mereka menjadi penyakit
yang sering dikeluhkan masyarakat./
PANAH PERTAMA:
NILAI KETAATAN YANG MEMUDAR DAN MELEMAH
Seringkali kita melihat seseorang sebut saja si Fulan yang meningkat
nilai ketaatannya kepada ajaran agama, namun begitu tidak kelihatan
(menghilang) beberapa waktu saja, tiba¬tiba suatu hari kita dikejutkan
dengan keadaan ketaatannya sudah jauh menurun. Sebagai contoh, lihatlah
keadaan kaum muslimin di awal bulan Ramadhan (yang penuh dengan ibadah
dan ketaat-an), kemudian bandingkan dengan keadaan mereka be-berapa
hari atau beberapa bulan setelah Ramadhan berlalu, kita akan dapat
melihat perbedaan yang amat mencolok.
Memudar dan melemahnya nilai ketaatan adalah dengan meninggalkan
ketaatan itu sendiri atau tidak mempertahankan keutuhan nilai-nilai
agama di dalam diri berupa amal-amal shalih, akhirnya jatuh kepada
perkara haram. Ada beberapa fenomena yang dapat kita saksikan di
tengah-tengah kaum muslimin berkaitan de-ngan masalah ini, sebagai
berikut:
Banyak sekali orang yang mengeluhkan masalah ini. Masih
sering kita jumpai seseorang yang membuat janji kepada saudaranya
sesama muslim, namun ia tidak menaruh perhatian terhadap janjinya itu,
bahkan sering kali ia langgar atau terlambat menepatinya. Lebih parah
lagi kadang kala ia malah meniatkan melanggar perjan-jian itu tanpa
mempedulikan akibatnya dan tanpa mem-perhitungkan pahala yang bakal
diperoleh dari menepati janji. Lucunya terkadang ia malah menggerutu
bila janji-janji itu ditepati sambil mengolok: “Apakah kita harus
berlagak kebarat-baratan?” Apakah ia lupa atau pura-pura tidak tahu
bahwa menepati janji adalah salah satu keistimewaan kaum muslimin.
Kalau tidak percaya, silakan buka lembaran-lembaran sejarah dan
biografi tokoh-tokoh Islam dalam hal menepati janji. Perlu di-ketahui,
ketika kaum muslimin meremehkan masalah ini, musuh-musuh Islam justru
mencaploknya. Sehingga sangat disayangkan bila mereka mengambil intinya
se-mentara kaum muslimin kebagian kulitnya saja.
2- Terburu-buru Dalam Memvonis Tanpa Cek dan Ricek (Tabayyun) Terlebih Dahulu
Berapa banyak kita jumpai orang-orang yang menim-bang dengan dua
timbangan (tidak fair dalam memvonis orang). Mereka membuat-buat
tuduhan lalu menjatuhkan vonis secara keji. Jika ditanya tentang
alasannya, tanpa malu-malu mereka berkata: “Begitulah dugaan saya!”
“Kata orang demikian!” “Aku dengar orang-orang berkata begitu!”
Bila ditanya tentang seseorang, ia langsung mem-vonis “Ia seorang ahli
bid’ah!” atau yang lebih parah dari itu. Tanpa ragu ia memvonis fasik
atau memvonis kafir orang lain. Jika engkau tanya: “Siapakah orang yang
memberi tahu kamu hal ini, apa bukti kamu?” Ia akan terdiam seribu
bahasa. Apakah mereka lupa atau tidak tahu bahwa tabayyun termasuk
manhaj (prinsip) Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Simaklah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada-mu orang fasik
membawa suatu berita, maka perik-salah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengeta-hui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Sungguh sangat mengherankan bila musuh-musuh Islam dengan beragam
tingkatannya dapat terhindar dari kebenciannya sementara
saudara-saudaranya seiman tidak dapat terhindar dari itu?!
Sikap mereka itu mengingatkan saya kepada sindiran salah seorang tokoh
salaf ketika mendapati seseorang mencela saudaranya seiman. Ia katakan
kepada orang yang mencela itu: “Apakah engkau pernah memerangi pasukan
Romawi?” “Belum!” jawabnya. “Apakah engkau pernah berperang melawan
tentara Parsi?” tanya beliau lagi. “Belum!” jawabnya. Beliau lantas
berkata: “Subha-nallah, musuh-musuh Allah dapat terhindar dari
ganggu-anmu sementara saudaramu seiman tidak!?” Lalu beliau membacakan
ayat:
“Maka men gapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya.” (Al-Maidah: 74)
Tidakkah mereka mengetahui bahwa setiap muslim akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh ucapan-nya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat penga was yang selalu ha dir.” (Qaaf: 18)
3. Berlaku Aniaya Dalam Pertengkaran dan Tidak Memperhatikan Etika Dalam Berbeda Pendapat
Sebagian orang ada yang begitu tertambat hatinya dengan
sebuah pendapat. Kadangkala ia menetapkan wala’ dan bara’ atas dasar
pendapat tersebut. Konsepnya me-ngatakan: “Jika kamu tidak bersamaku,
maka engkau adalah musuhku!” Oleh sebab itu ia tidak mau berge¬ming
dari pendapat itu meskipun sejengkal, atau paling tidak mengatakan
bahwa pendapatnya itu mungkin salah! Kadangkala ia mencampuri masalah
niat dan menebak¬nebak isi hati orang lain. Terkadang ia juga mendikte
dengan apa yang sebenarnya tidak diyakini oleh seterunya itu, atau
dengan cara-cara keji lainnya.
4. Mendengarkan Isu dan Kabar Dusta
Sekarang ini banyak kita temui orang yang suka mendengar kiri kanan,
suka mendengar isu¬isu dari setiap orang. Kemudian ia menyebarkan
seluruh yang didengarkannya tanpa rasa takut dan bersalah. Kadang-kala
sebuah berita dusta yang bersifat adu domba disampaikan kepada
seseorang, lalu ia sebarkan berita itu seolah-olah sebuah kebenaran
yang nyata. Realita yang sering kita temui pada hari ini cukup sebagai
buk-tinya.
5. Pilah-pilih Amal Ketaatan
Yaitu memilih amalan-amalan ketaatan yang sesuai dengan dorongan hawa
nafsunya saja. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Orang yang bijaksana adalah yang men goreksi dirinya dan
segera beramal seba gai bekal untuk hari Akhirat. Dan orang yang lemah
adalah yang selalu memperturutkan hawa nafsu, di samping itu ia men
gharapkan berba gai angan-angan kepada Allah Subhanahu wa Ta ‘ala.”
(HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Oleh sebab itu pula, sebagian orang hanya meng-ikuti kebenaran yang
sejalan dengan hawa nafsunya. Kalau tidak sejalan, maka ia akan menoleh
ke kiri dan ke kanan mencari tempat bersandar. Sebagian ulama salaf ada
yang berkata: “Hawa nafsu dapat menjadi ilah yang disembah-sembah.
Kemudian ia membaca ayat:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menja-dikan hawa nafsunya seba gai ilahnya.” (Al-Jatsiyah: 23)
6. Menelantarkan Urusan Keluarga
Tidak memperhatikan pertumbuhan keluarga dan anak-anak sampai kepada
kondisi yang diharapkan. Seringkali kita temui orang-orang yang sibuk
dengan karirnya, sementara keluarga dan anak-anaknya tengge-lam dalam
perbuatan dosa. Namun meskipun demikian, hatinya tidak tergerak untuk
merubahnya. Dengan dingin ia berkata: “Ah sudahlah! Yang penting tidak
mengganggu karirku.” Kadangkala ia memergoki dengan mata kepalanya
sendiri kemungkaran itu, tetapi ia diam seribu bahasa. Begitulah
akibatnya jika sudah terlalu banyak berbuat dosa, kesadaran pun sulit
tergugah.
7. Tidak Teguh Dalam Menghadapi Problematika Kehidupan, Cobaan dan Musibah
Gemerlap kehidupan dunia kerapkali menyesatkan banyak manusia. Sedikit
demi sedikit ia terseret ke dalam perbuatan haram. Tidak syak lagi,
gemerlap dunia itu sangat kuat pengaruhnya dalam menurunkan nilai
ketaatan seseorang, atau bahkan dapat menghilangkan nilai ketaatan itu
dalam dirinya.
Tidakkah engkau lihat, seseorang yang keluar dari rumahnya demi mencari
sesuap nasi, berbagai usaha pun dicobanya. Namun akhirnya ia terjerumus
dalam praktek riba, hingga jadilah ia orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya.
Contoh lainnya, seorang yang bergelimang berbagai kasus penipuan dalam
usahanya. Dan masih banyak lagi perkara lain yang merupakan
bentuk-bentuk melemahnya nilai ketaatan.
8. Mengabaikan Hak-hak Persaudaraan
Sudah barang tentu, disana ada beberapa hak yang wajib ditunaikan oleh
seorang muslim kepada saudara-nya seiman. Hal itu sudah disebutkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits beliau. Terkadang
seseorang mengabaikan hak-hak tersebut, seakan¬akan hak-hak persaudaran
itu semata-mata ada jika menguntungkannya saja. Sering kita temui
sebagian orang yang melihat saudaranya me-lakukan perbuatan maksiat dan
dosa, namun ia bersikap acuh tak acuh saja. Atau ada seorang saudaranya
seiman yang meminta nasihat dan pengarahan darinya, atau meminta
bantuannya untuk menghilangkan kesulitan, atau kepentingan-kepentingan
lainnya, namun ia tidak merespon hal itu sedikitpun, apalagi membantu
melepas-kan saudaranya itu dari kesulitan! Tentu saja sikap semacam ini
dapat mencederai nilai ketaatan.
Realita di atas sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, hal itu
dapat kita jadikan barometer dalam mengukur nilai ketaatan yang ada di
dalam diri. Semakin banyak hak persaudaraan yang kita abaikan, semakin
lemah pula nilai ketaatan kita.
Faktor-faktor Penyebab Melemah dan Memudarnya Nilai Ketaatan
1. Godaan-godaan Setan Terhadap Umat Manusia
Hendaknya masing-masing orang menyadari bahwa selama hayat dikandung
badan ia senantiasa berada dalam kancah peperangan melawan setan.
Setiap jalan-jalan kebaikan yang ditempuhnya, ia pasti berhadapan
dengan setan yang siap menghadang. Simaklah hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berikut ini:
“Sesungguhnya setan senantiasa siap menghadang bani Adam
dalam setiap lan gkah yang ditempuh-nya. Bila ia menempuh jalan Islam,
maka setan akan menggoda seraya berkata: ‘Apakah engkau sudi
meninggalkan ajaran nenek moyangmu dengan menempuh jalan Islam?’ Namun
seorang hamba Allah sejati tidak akan
men ghiraukan godaan itu dan tetap menempuh jalan Islam. Bila ia
menempuh jalan hijrah, maka setan akan datang men ggoda seraya berkata:
‘Apakah engkau sudi meninggalkan kampung halaman tercinta dengan nekad
berhijrah?’ Namun ia pun tidak menghiraukan godaan itu dan tetap
berhijrah. Bila ia menempuh jalur jihad, maka setan akan datang men
ggoda seraya berkata: ‘Jika engkau masih membandel tetap ikut berjihad,
niscaya engkau akan terbunuh, istrimu akan dinikahi orang dan hartamu
akan dibagi-bagikan! Namun ia menepis godaan itu dan tetap pergi
berjihad.” (HR. An-Nasaai dan Ahmad dalam musnadnya dari Sabrah bin Abi
Fakih radhiyallahu ‘anhu secara marfu’)
Ketahuilah bahwa kancah peperangan ini sangat berat dan melelahkan,
ditebarkan oleh setan dan bala tentaranya di mana-mana. Maka hendaklah
kita benar-benar siap menghadapinya. Setan, hawa nafsu, angkara murka
dan godaan dunia siap menjerat setiap saat.
Seorang penyair menuturkan:
Sungguh, diriku dihujam dengan empat anak panah,
yang tiada henti-henti melesat dari busurnya meng-hujam diriku. Yaitu iblis, dun ia, ambisi diri dan hawa nafsu.
Wahai Rabbku, hanya Engkau jualah yang kuasa menyelamatkan diriku.
Oleh karena itu, sudah seyogyanya kita selalu waspada
terhadap segala tipu daya setan. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah berfirman:
“Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.” (Fushshilat: 36)
Sadarilah bahwa pada detik ini kamu tengah berperang melawan setan,
janganlah sampai engkau dipecundanginya. Hati-hatilah terhadap tipu
daya setan, janganlah sampai mengicuh dirimu. Sesungguhnya tipu daya
setan itu sangat lemah wahai saudaraku! Dengarlah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:
“Oleh sebab itu, perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (An-Nisa’: 76)
2. Kurang Memahami dan Mengetahui Urgensi Menjaga Nilai Ketaatan
Sering kita temui sebagian orang yang melakukan berbagai bentuk
perbuatan dosa dan maksiat. Namun lucunya ia masih mengaku-aku sebagai
seorang multa-zim (orang yang menjaga nilai ketaatan). Ia sebenarnya
tidak memahami dan tidak mengerti hakikat iltizam (menjaga nilai
ketaatan). Sebab hakikat iltizam adalah melaksanakan amalan-amalan
ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan. Oleh sebab itu pula
sering kita mendengar selentingan pertanyaan dalam momen-momen tertentu
seperti ceramah, pengajian dll yang berbunyi: “Saya adalah seorang
pemuda ‘baik-baikç selalu mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa bulan
Ramadhan, menunaikan ibadah haji, namun aku masih suka mendengarkan
musik, atau aku masih suka melabuhkan kain sampai di bawah mata kaki
(isbal), atau aku masih suka melihat perkara yang diharamkan untuk
dilihat, atau perbuatan dosa lainnya. Bagaimana menurut Anda wahai
saudaraku? Seolah-olah sikonnya berkata: “Jika air sudah mencapai dua
qullah, niscaya tidak akan menjadi najis karena kotoran, yaitu selama
aku dalam keadaan demikian, aku tetap tergolong orang ‘ba ik-ba ik’,
meskipun dosa dan maksiat itu selalu kulakukan.
Sekali-kali tidak! Engkau tetap tertuntut untuk meninggalkan perbuatan
dosa itu, engkau harus menjauhkan diri dari dosa-dosa itu
sejauh-jauhnya. Dan hendaknya engkau memasang tekad yang kuat untuk
itu, mintalah pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jangan
mudah menyerah!
Seorang pemudi mengadukan halnya: “Aku adalah seorang gadis ‘baik-baik’
, namun aku masih sering ber-khalwat dengan sopir pribadiku di dalam
mobil atau dalam rumah.” Bagaimanakah pendapat Anda tentang masalah ini?
Saya tandaskan bahwa perbuatan seperti itu jelas melanggar rambu
syariat. Sedangkan iltizam yang hakiki mengharuskannya untuk
meninggalkan pelanggaran-pelanggaran syariat semacam itu.
3. Lingkungan yang Jauh dari Nilai-nilai Ketaatan
Kadangkala seseorang yang iltizam tumbuh di tengah-tengah lingkungan
yang jauh dari nilai-nilai ketaatan. Kadangkala ia hanya bisa diam
melihat dosa dan maksiat yang ada di sekitarnya, lebih parah lagi
terkadang ia terpengaruh dengan dosa dan maksiat itu. Sebagaimana yang
disebutkan dalam pepatah ‘ alah bisa karena biasa’, jika sudah terlalu
sering menyaksikan perbuatan dosa, akhirnya terpengaruh juga.
Maksudnya bukan secara seporadis merubah pelanggaran-pelanggaran
syariat yang dilihatnya di dalam rumah. Sebab cara seperti itu akan
membuahkan hasil yang mengecewakan. Beberapa pemuda semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala mencurahkan taufik kepadanya dan kepada kita semua-
terlalu terburu-buru dalam bertindak, begitu ia mendapat hidayah,
langsung saja ia datangi keluarganya seraya menyeru: “Kalian semua tahu
atau tidak bahwa perkara ini dan ini haram tidak boleh dilakukan!”
Dengan enteng keluarganya menjawab sebagaimana yang dilantunkan seorang penyair:
Kalian katakan ini dan itu tidak boleh kami laku-kan. Siapakah kalian, hingga kalian bisa berkata ini dan itu!
“Bukankah kamu seorang anak kecil baru lahir kemarin, masih bau kencur?
kok tiba-tiba saja menjadi mufti di dalam rumah, tunggu dulu janganlah
tergesa-gesa!” demikian sindir keluarganya.
Menurut hemat saya masalahnya tidak akan selesai dengan mengunci mulut
tidak bereaksi, dan tidak pula dengan cara seporadis seperti itu.
Sebagian orang berang-gapan bahwa solusinya adalah dengan meninggalkan
rumah (minggat), tentu saja ini merupakan cara yang keliru, sebab
minggat dari rumah tidak akan menyelesai-kan masalah (bahkan akan
menambah masalah). Beda halnya jika dengan meninggalkan rumah, kondisi
akan berubah menjadi lebih baik. Namun biasanya cara seperti itu justru
akan menambah berat jalan cerita.
Apabila engkau melihat sebuah kemungkaran (khu-susnya di dalam rumah
sendiri), maka siapkanlah senjata pamungkas yang membuat mereka tidak
bisa berkutik, tidak bisa berdalih ini dan itu. Hendaklah engkau
menyi-apkan petuah alim ulama yang terpandang mengenai bahaya
kemungkaran itu. Atau dapat juga engkau siapkan fatwa ulama, kitab
agama, kaset ceramah, buletin-buletin dan lain sebagainya. Kemudian
engkau persilakan mereka sendiri yang mendengar dan mem-bacanya. Sebab
terkadang mereka belum menemukan cara yang tepat untuk meninggalkan
perbuatan mungkar itu. Banyak pemuda yang terhimpit problematika
seperti ini, dengan menerapkan cara di atas banyak membuah-kan
hasil-hasil positif yang menggembirakan. Walham-dulilah
4. Musibah dan Cobaan
Berapa banyak orang yang berubah jalur hidupnya akibat musibah dan
cobaan yang menimpa. Terkadang musibah dan cobaan itu datang dari orang
lain atau karena akibat tingkahnya sendiri. Muslim yang sejati adalah
yang bertambah ketaatannya setiap musibah dan cobaan datang menerpa.
Adakah musibah dan cobaan yang lebih besar dari yang diterima
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sahabat-sahabat beliau?
Coba buka kembali sejarah peperangan Ahzab! Simaklah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikut ini yang menggambarkan betapa berat cobaan
yang dialami mereka, sehingga sulit diungkapkan dengan kata-kata;
“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan
ketika tidak tetap lagi pen glihatan(mu) dan hatimu naik menyesak
sam-pai ke ten ggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan
bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan
digoncang-kan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (Al-Ahzab: 10-11)
Coba bayangkan bagaimana keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
keti-ka itu, hamba yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala,
apakah dengan cobaan yang demikian nilai ketaatan mereka merosot?
Apakah pupus iman mereka kepada Allah? Ma’adzallah sekali-kali tidak!
namun kita ucapkan seba-gaimana yang diucapkan hamba-hamba yang beriman.
“Dan tatkala orang-orang mu’min melihat golongan-golongan yang
bersekutu itu, mereka berkata:”Inilah yang dijanjikan Allah dan
Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang
demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan
ketundukan.” (QS. Al-Ahzab: 22)
5. Terlalu Banyak Beban Kehidupan yang Dipikul dan Terlalu Berat Serta Panjang Perjalanan yang Dilalui
Terus terang saya katakan bahwa sebagian orang ada yang
membebankan dirinya di luar kapasitas normal, hingga ia sendiri tidak
sanggup memikulnya. Kadang ia lupa bahwa perjalanannya masih panjang.
Kita dapati ia mencampuri dan menggeluti hampir semua bidang. Sibuk
mengurus ini dan itu. Sampai-sampai ia mengabai-kan perkara-perkara
wajib.
Tidakkah pernah engkau jumpai seorang yang punya ambisi besar, setiap
celah yang bisa dimanfaatkan, pasti dimasukinya! Namun begitu selesai
dari segala aktifitasnya itu, staminanya menurun, akhirnya terkapar
tiada berdaya, tenggelam dalam tidur yang pulas. Terka-dang ia
melalaikan kewajiban-kewajibannya. Padahal yang dituntut adalah
menyucikan jiwa dengan berbuat taat. Lebih parah lagi, terkadang ia
melalaikan shalat fajar, tentu saja ia juga melalaikan doa-doa sebelum
tidur.
Hendaklah kita beramal sesuai dengan kemampuan yang ada. Ikutilah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang
ber-kesinambungan meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari, Muslim,
An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
6. Pengaruh Orang Tua
Pengaruh orang tua sangat besar terhadap pertum-buhan anak-anaknya.
Mereka dapat menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya nilai
ketaatan. Apalagi jika si ayah jauh dari tuntunan agama. Kadangkala
seorang anak tumbuh di atas bimbingan agama yang baik, ia menampik
perkara-perkara yang dilarang agama. Namun sayangnya si ayah berusaha
menghalanginya. Si ayah menyediakan segala fasilitas untuk memperdaya
anaknya itu, tentu saja lambat laun si anak akan terpengaruh hingga
melemahlah nilai ketaatannya.
7. Tidak Ada Kontrol dan Motivasi dari Orang Lain
Sering kali kita keluhkan tidak adanya waskat (pengawasan melekat)
antara sesama pemuda ketika gejala-gejala penyakit ini muncul
(maksudnya penyakit melemahnya gairah beramal). Berapa banyak orang
yang bertekad untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun
sangat sedikit yang mau peduli dengan kesungguhannya itu. Kontrol dan
suntikan motivasi ini sangat urgen, sebab seorang pemuda biasanya
memiliki masa lalu yang selalu diingatnya. Jika terbayang kembali masa
lalunya itu, setan akan segera menggodanya untuk kembali seperti yang
dulu. Kemudian datanglah bala tentara setan yang diperankan
manusia-manusia iblis, menakut-nakutinya dengan bayangan masa lalunya
itu. Bahkan terkadang mengancamnya bila ia tidak seperti yang dulu,
mereka akan membongkar boroknya di hadapan orang banyak! Pada saat-saat
seperti itu, ia tidak menemukan orang shalih dan istiqamah yang
memberikan motivasi kepadanya. Sehingga ia terpengaruh bisikan bala
tentara iblis tadi, akhirnya ia kembali kepada masa lalunya yang kelam.
Kadang kala mereka menyeretnya ke dalam kemu-nafikan, dengan
membisikkan ke telinganya: “Tetaplah engkau seperti ini secara lahir.
Dan secara batin engkau dengan perbuatanmu seperti itu sehingga engkau
pasti bersama orang-orang jahat juga nantinya!”
Seringkali kita temui cara yang kurang tepat, yaitu nasihat pertama
yang kita sampaikan kepada mereka adalah: “Hati-hati dengan si ‘Fulan’,
jangan sekali-kali kamu mendekatinya! Menurut pandangan saya, cara
seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan secara tidak
disadari kita telah membantu setan untuk menyesatkan si ‘Fulan’ itu.
Jarang sekali kita temui nasihat yang berbunyi: “Wahai saudaraku,
hendaklah engkau menemani si Fulan dan membimbingnya.”
Seorang teman saya pada suatu hari mengadu bahwa ia baru saja keluar
dari penjara, dan ia telah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan tegas ia katakan: “Apakah ada seorang teman yang shalih yang
sudi membimbingku? Apakah ada pendamping yang shalih
yang bersedia duduk bersamaku? Saya menjawab: “Tentu saja
ada!” Namun dengan memelas ia berkata: “Akan tetapi mereka semuanya
menjauh dariku!”
Jika kita biarkan dia begitu saja, berarti kita mem-biarkan dia menjadi
mangsa setan dan menjadi bala tentaranya. Jika Allah Subhanahu wa
Ta’ala menyukai orang-orang yang bertaubat, mengapakah kita tidak
menyukai mereka? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah bersabda:
“Demi Allah, sesungguhnya Allah sangat senang dengan taubat
hamba-Nya melebihi senangnya sese-orang di antara kamu yang menemukan
kembali ontanya yang hilang di padang luas.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim
dari Abdullah bin Mas’ud dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Jika kita memang menyukai orang-orang yang bertau-bat, mengapakah kita
tidak membimbing mereka kepada jalan kebenaran dan hidayah serta
ketaatan? Sudah selayaknya kita menuntun mereka untuk berbuat taat.
Tentunya kita semua pernah mendengar kisah seorang yang telah membunuh
sembilan puluh sembilan jiwa, kemudian bertanya di manakah orang yang
paling alim di muka bumi? Ia pun ditunjukkan kepada seorang rahib
(pendeta). Ia pun bertanya kepada pendeta itu, apakah masih terbuka
pintu taubat baginya, sementara ia telah membunuh sembilan puluh
sembilan jiwa? Pendeta itu menjawab: “Tidak!” Maka ia pun membunuh
pendeta itu sehingga genaplah seratus jiwa yang telah dibunuhnya. Lalu
ia bertanya lagi, di manakah orang yang paling alim di muka bumi? Ia
pun ditunjukkan kepada seorang ulama. Ia bertanya kepada ulama itu,
apakah masih terbuka pintu taubat baginya, sementara ia telah membunuh
seratus jiwa? Ulama itu menjawab: “Ya, siapakah yang menghalangimu dari
pintu taubat?” Ulama itu telah memberikan lampu hijau kepadanya untuk
menorehkan lembaran baru dalam hidupnya. Ulama itu berkata: “Pergilah
engkau ke negeri A, di sana terdapat orang-orang shalih yang senantiasa
mengesakan Allah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah, ikutilah
mereka!” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sekiranya orang itu menolak pergi ke negeri A tersebut, maka tidak ada
pilihan baginya kecuali kembali kepada lingkungannya yang rusak. Namun
takdir Allah shallallahu ‘alaihi wasallam menentukan lain, orang itu
mati di tengah perjalanan menuju ke sana.
Oleh sebab itu wahai saudaraku, apabila datang seorang yang benar-benar
ingin bertaubat, hendaklah kita bergembira dengan taubatnya itu. Namun
masih saja ada yang mencibir: “Taubatnya belum seratus persen!” Kepada
mereka saya katakan: “Wahai saudara-ku, barangkali ia masih khawatir
atau takut kepada sebagian orang!” Atau masih saja ada yang mencemooh:
“Ia baru kemarin meninggalkan alam maksiat, aku khawatir ia masih
menyimpan sesuatu!” Dan masih ba-nyak lagi komentar-komentar lainnya,
seperti: “Jangan¬jangan ia nanti mengambil hartaku lalu minggat!”
Apakah ini yang kau inginkan?!
Sikap seperti itu bersumber dari piciknya pan-dangan. Yaitu ketika
pertama kali engkau berkenalan dengan seseorang langsung saja engkau
tumpahkan segala uneg-unegmu kepadanya. Tahan dulu, jangan
terburu-buru! Sebab bukan seperti itu caranya, akan tetapi hendaklah
engkau teguhkan ia di atas ketaatan terlebih dulu, engkau luruskan dan
engkau tuntun tangannya hingga timbul kepercayaan dirinya dan setelah
itu ia dapat kembali ke daerahnya sebagai da’i kepada agama Allahsh
shallallahu ‘alaihi wasallam ./
PANAH KEDUA:
PENYAKIT UJUB TERHADAP DIRI SENDIRI DAN AMAL
Salah seorang ulama salaf pernah berkata: “Seorang yang ujub
akan tertimpa dua kehinaan, akan terbongkar kesalahan-kesalahannya dan
akan jatuh martabatnya di mata manusia.”
Salah seorang ahli hikmah berkata: “Ada seorang yang terkena penyakit
ujub, akhirnya ia tergelincir dalam kesalahan karena saking ujubnya
terhadap diri sendiri. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita ambil dari
orang itu, ketika ia berusaha jual mahal dengan kemampuan dirinya, maka
Imam Syafi’i pun memban-tahnya seraya berseru di hadapan khalayak
ramai: “Barangsiapa yang mengangkat-angkat diri sendiri seca-ra
berlebihan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjatuhkan
mar-tabatnya.”
Defenisi Ujub
Orang yang terkena penyakit ujub akan meman-dang remeh dosa-dosa yang
dilakukannya dan mengang-gapnya bagai angin lalu. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits:
“Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat
yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan
men gibaskan tan gan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya
bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR.
Al-Bukhari)
Bisyr Al-Hafi mendefenisikan ujub sebagai berikut: “Yaitu menganggap
hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”
Barangkali gejala paling dominan yang tampak pada orang yang terkena
penyakit ujub adalah sikap suka melanggar hak dan menyepelekan orang
lain. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah meringkas defenisi ujub sebagai
berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga
seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal
boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh
jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci
jiwanya ketimbang dirinya!”
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Iblis jika ia dapat
melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub
terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa
terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara
lain.” Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak
lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak
karena penyakit ujub? Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa
seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berkata:
“Siapakah yang lancang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku
tidak mengampuni Fulan?! Sun gguh Aku telah men gampuninya dan
menghapus amalan-mu!” (HR. Muslim)
Amal shalih itu ibarat sinar dan cahaya yang terka-dang padam bila dihembus angin ujub!
Sebab-Sebab Ujub
1. Faktor Lingkungan dan Keturunan
Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh.
Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan polesan tangan kedua orang
tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah
satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji,
selalu menganggap diri suci dll.
2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan
Sanjungan berlebihan tanpa memperhatikan etika agama dapat diidentikkan
dengan penyembelihan, seba-gaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits.
Sering kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji
hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri. Masalah ini akan kami
bahas lebih lanjut pada bab berikut.
3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub
Tidak syak lagi bahwa setiap orang akan melatahi tingkah laku temannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:
“Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah
seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai
besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Teman akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang.
4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya nikmat itu. Sehingga
hal itu menggiringnya kepada penyakit ujub, ia membanggakan dirinya
yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah menceritakan kepada kita kisah Qarun;
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)
5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna
Demi Allah, pada hari ini kita banyak mengeluhkan problematika ini,
yang telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini banyak
kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah
’sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang yang menjadi korban
dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang lebih parah
lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak
memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak
permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu. Namun
ironinya terkadang kita turut menyokong hal seperti ini. Yaitu dengan
memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini,
masyarakat umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas
seluruh yang berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari
yang merdu bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau
yang lainnya, lalu secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu
dari orang itu tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya
berkata: “Aku tidak tahu!”
Perlu diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah pemikiran lebih
berbahaya daripada bermain-main dengan api. Misalnya beberapa orang
yang berse-pakat untuk memunculkan salah satu di antara mereka menjadi
tokoh yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian mengadakan
acara penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul oleh
siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrok-annya.
Mengapa!? Sebab
perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan pemikiran.
Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun
masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!
6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)
Sekiranya seorang insan benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal
penciptaannya sampai tumbuh men-jadi manusia sempurna, niscaya ia tidak
akan terkena penyakit ujub. Ia pasti meminta kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala agar dihindarkan dari penyakit ujub sejauh¬jauhnya. Salah
seorang penyair bertutur dalam sebuah syair yang dituju-kan kepada
orang¬orang yang terbelenggu penyakit ujub:
Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.
Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran itu selalu hina.
Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam perut mereka, niscaya
tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya, baik pemuda
maupun orang tua.
Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan selain kepala?
Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!
Hidung beringus sementara telinga baunya ten gik.
Tahi mata berselemak sementara dari mulut men galir air liur.
Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal dilahap tanah,tahanlah
dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi santapan kelak.
Penyair ini mengingatkan kita pada asal muasal penciptaan manusia dan
keadaan diri mereka serta kesu-dahan hidup mereka. Maka apakah yang
mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya ia berasal dari setetes
mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang kotor sedangkan semasa
hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.
7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan
Seorang insan terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang
mengalir di tubuhnya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan
dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun ber-kepentingan.
Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak syak lagi, ini
merupakan penyebab utama datangnya penyakit ujub.
Dalam sebuah kisah pada zaman kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu
disebutkan bahwa ketika Jabalah bin Al-Aiham memeluk Islam, ia
mengunjungi Baitullah Al-Haram. Sewaktu tengah melakukan thawaf, tanpa
sengaja se-orang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala mengetahui
seorang Arab badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung
melayangkan tangannya memukul si Arab badui tadi hingga terluka
hidungnya. Si Arab badui itu pun melapor kepada Umar radhiyallahu ‘anhu
mengadukan tindakan Jabalah tadi. Umar radhiyallahu ‘anhu pun memanggil
Jabalah lalu ber-kata kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai
Jabalah!” Jabalah membalas: “Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash
atasku? Aku ini seorang bangsawan se-dangkan ia (Arab badui) orang
pasaran!” Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Islam telah menyamaratakan
antara kalian berdua di hadapan hukum!”
Tidakkah engkau ketahui bahwa:
Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi
Dan men ghinakan kedudukan Abu Lahab ka-rena syirik yang dilakukannya.
Ketika Jabalah tidak mendapatkan dalih untuk melepaskan diri dari
hukuman, ia pun berkata: “Berikan aku waktu untuk berpikir!” Ternyata
Jabalah melarikan diri pada malam hari. Diriwayatkan bahwa Jabalah ini
akhirnya murtad dari agama Islam, lalu ia menyesali perbuatannya itu.
Wal ‘iyadzubillah
8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati
Barangkali inilah hikmahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sahabat¬sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri
menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.”
(HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang
dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub
Sekiranya seorang insan menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari
penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ujub itu
adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap
ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasa llam:
“Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan
pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia. ” Ada
seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu
ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga
bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan
menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan
merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang
yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).
Dampak ujub
1. Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.
2. Dijauhkan dari pertolongan ilahi. Allah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman:
“Orang-orang yang berjihad (untuk mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)
3. Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.
Bila cobaan dan musibah datang menerpa, orang-orang yang terjangkiti
penyakit ujub akan berteriak: ‘Oii teman-teman, carilah keselamatan
masing-masing!’ Berbeda halnya dengan orang-orang yang teguh di atas
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala , mereka tidak akan melanggar
rambu-rambu, sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu.
Siapakah yang mampu lari dari hari kematian? Bukankah hari kematian hari yang telah ditetap-kan?
Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya. Namun siapakah yang dapat men ghindar dari takdir?
4. Dibenci dan dijauhi orang-orang. Tentu saja, seseorang
akan diperlakukan sebagaimana ia memperla-kukan orang lain. Jika ia
memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain akan membalas
lebih baik kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Apabila kamu dihormati dengan suatu pen ghor-matan, maka balaslah
pen ghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Namun seseorang kerap kali meremehkan orang lain, ia menganggap orang
lain tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Tentu saja tidak ada
orang yang senang kepadanya. Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau
menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain juga akan menyepelekanmu’
5. Azab dan pembalasan cepat ataupun lambat. Se-orang yang terkena
penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam
sebuah hadits dise-butkan:
“Ketika seorang lelaki berjalan dengan men genakan pakaian
yang necis, rambut tersisir rapi sehingga ia takjub pada dirinya
sendiri, seketika Allah membenamkannya hingga ia terpuruk ke dasar bumi
sampai hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari)
Hukuman ini dirasakannya di dunia akibat sifat ujub. Seandainya ia
lolos dari hukuman tersebut di du-nia, yang jelas amalnya pasti
terhapus. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang seorang yang
bersumpah atas nama Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni, ternyata
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya
sendiri.
Dengan begitu kita harus berhati-hati dari sifat ujub ini, dan
hendaknya kita memberikan nasihat kepada orang-orang yang terkena
penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang menganggap hebat amal mereka
dan menyepelekan amal orang lain./
PANAH KETIGA:
SANJUNGAN YANG MENGHANYUTKAN
Imam Ats-Tsauri menuturkan: “Apabila engkau bukan termasuk orang yang
takjub terhadap diri sendiri, hal lain yang perlu diingat ialah;
hindarilah sifat senang disanjung orang.” Maksudnya bukan orang lain
tidak boleh memuji perbuatanmu itu, tetapi janganlah kamu meminta
pujian dari orang lain. Hendaknya engkau selalu berhubungan dengan
Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan selalu mengingatnya-pent). Dalam
sebuah hadits disebutkan:
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala,
meskipun menimbulkan kemarahan manusia, niscaya Allah Subhanahu wa Ta
‘ala akan meridhainya dan akan membuat manusia ridha terhadapnya. Dan
barangsiapa yang mencari kesenangan manusia, hingga membuat Allah murka
maka Allah murka kepadanya dan membuat manusia murka terhadapnya.” (HR.
At-Tirmidzi).
Dan dalam suatu riwayat: Dua orang yang memu-jinya akan balik mencelanya.
Ats-Tsauri berkata: Dalam kategori ini: Engkau menginginkan
mereka memuliakanmu dan senang jika engkau mendapat kehormatan dan
kedudukan di hati mereka. Menurut hemat saya korban panah macam ini
banyak sekali tapi mereka bermacam-macam bentuknya, yang sebagian tidak
begitu tampak karena sebagian orang memahami pujian hanya dari satu
sisi saja dan melupakan sisi yang lain, di antaranya juga ada yang
datang dari sisi senang dipuji oleh orang lain lewat perkataan. Dan
banyak orang ingin membaca kehebatan bola ghoh orang yang memujinya
samapi-sampai ada yang menunjukkan bahwa pujian-pujian itu adalah
memang bukti nyata keadaan orang yang dipujinya seolah-olah dia
mengatakan seperti apa yang dikatakan seorang laki-laki yang berdiri di
depan Musailamah Alkadzab yang mengaku-aku sebagai nabi, Musailamah
berkata kepadanya: “Aku lebih tahu apa yang ada dalam hatimu!” Orang
itu berkata kepadanya: “Aku juga tahu apa yang ada di dalam hatimu!”
“Apa itu!” sergah Musailamah. Orang itu menjawab: “Demi Allah, aku tahu
sebenarnya engkau menyadari bahwa sesungguh-nya aku mengetahui engkau
adalah seorang pendusta!”
Oleh sebab itu, hendaknya seseorang menyederhanakan bahasa dan tutur
katanya. Jangan sampai lisannya menjadi batu sandungan bagi dirinya,
sebab dosa yang dituai lisan pada umumnya dari hal semacam ini.
Seandainya orang yang senang dipuji selalu ingat (bahaya yang timbul
dibalik pujian), niscaya ia menyadari bahwa dialah yang paling
mengetahui akan kelemahan dirinya sendirinya. Namun manusia itu selalu
lupa, mudah terpedaya dan suka berpaling dari nasihat orang lain yang
mengajarkan kepadanya etika pergaulan dan nilai-nilai agama. Seorang
ahli hikmah bertutur dalam syairnya:
Hai orang jahil yang terbuai dengan sanjungan men g-hanyutkan
Kejahilan orang yang menyanjungmu jangan sampai men guasai kesadaranmu akan kadar dirimu
Pujian dan sanjungan itu ia ucapkan tanpa sepe-ngetahuannya tentang hakikat dirimu
Dirimulah yang lebih men getahui tentang baik buruknya dirimu
Sekiranya kesadaran itu belum juga tumbuh, maka simaklah penuturan
Al-Fudhail bin ‘Iyadh yang telah meletakkan kaidah untuk mengetahui
kadar diri, beliau berkata: “Di antara tanda-tanda orang munafik adalah
senang dipuji atas sesuatu yang tidak ada pada dirinya, benci celaan
atas kejelekan yang ada pada dirinya, dan marah terhadap orang yang
mengoreksi kekurangan-nya.”
Segeralah introspeksi dirimu wahai saudaraku! Sekiranya seseorang
datang secara pribadi berkata: “Saya melihat kekuranganmu ini dan ini”,
apakah wajah-mu lantas memerah lalu engkau memakinya, engkau tetap
tidak bergeming dari kekurangan itu! Bahkan mengomel sambil
berkomat-kamit mengucapkan laa haula wala quwwata illa billah!
Ataukah engkau berkata: “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan kekuranganku”
Engkau akan dapati orang tersebut menjadi korban sanjungan
menghanyutkan itu. Seandainya seseorang menyanjungnya, hatinya langsung
berbunga-bunga, girang-gembira dan tenggelam dalam khayalan-khayalan
indah. Mengapa? Sebab dirinya akan terbuai dengan sanjungan itu. Namun
jika datang orang lain yang mena-sihatinya, sikapnya langsung berubah
aneh, dadanya menjadi sempit, langsung ditimpalinya dengan omelan
panjang, dan keluar kata-kata keji lagi kasar dari lisan-nya.
Wahai saudaraku, ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala banyak
menutupi kesalahan-kesalahan kita, dan itu merupakan nikmat yang sangat
besar. Setiap orang tentu lebih tahu tentang rahasia dirinya sendiri
daripada orang lain. Pujian orang lain kepada kita hanyalah
jaring-jaring godaan yang dilemparkan setan untuk menjerat diri kita.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari godaan setan dan
perangkapnya.
Seorang ulama salaf bernama Khalid bin Shafwan rahimahullah banyak
menyelidiki psikologis bani Adam, ia berkata: “Berapa banyak orang yang
terpedaya dengan sitrullah
(tirai Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menutupi kesalahan
manu-sia) dan tergoda dengan sanjungan orang. Maka jangan sampai
kejahilan orang yang menyanjungmu menguasai kesadaranmu akan kadar
dirimu. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kita termasuk
golongan mereka.
Jenis pujian lainnya adalah memuji diri sendiri atas kekurangan yang
ada padanya. Ini termasuk rekomen-dasi terhadap diri sendiri. Sebagian
orang sengaja memuji diri sendiri di hadapan orang banyak. Padahal
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Janganlah kamu men ganggap diri kamu suci” (An-Najm: 32)
Dan perbuatan tadi termasuk menganggap suci diri sendiri. Rabbah
Al-Qaisi pernah ditanya: “Apakah yang dapat merusak amalan seseorang?”
Beliau menja-wab: “Sanjungan orang dan lupa terhadap Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah memberi nikmat”
Seorang penyair berkata:
Sun gguh aneh orang yang memuji dirinya sendiri
Namun tidak menyadari bahwa pujiannya itu sendiri adalah kekurangan
dirinya Seorang pemuda memuji diri atas kekurangan yang ada padanya,
men yebut-nyebut aibnya sendiri hingga diketahui kejelekannya
Hendaknya seorang muslim menjauhi perbuatan seperti ini. Ada lagi yang
lebih aneh, sebagian orang yang telah dijangkiti sifat ujub membongkar
rahasianya sendiri dengan mencela diri sendiri di hadapan orang lain.
Mereka menyangka bahwa perbuatan seperti itu akan melahirkan anggapan
baik orang lain terhadap mereka, bahwa mereka jauh dari sifat ujub dll.
Sungguh mereka tidak menyadari bahwa sifat tawadhu’ merupakan karunia
ilahi tidak dapat dibuat-buat seperti itu. Barangsiapa yang mencela
dirinya sendiri di hadapan orang banyak, sebenarnya ia telah memuji
dirinya, dan yang demikian itu termasuk tanda¬tanda riya’ sebagaimana
yang dituturkan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah.
Yang tidak kalah aneh adalah sikap sebagian orang mencela kanan kiri
seolah-olah bertindak sebagai wasit (penengah). Padahal sebenarnya ia
tidak menengahinya. Ia tidak menasihati orang itu karena takut akan
membakar kemarahannya, dan tidak pula memujinya karena khawatir akan
ditentang orang banyak. Tetapi ia menyebut kekurangan orang lain.
Sebenarnya perbuatan-nya itu adalah pujian atas dirinya sendiri. Dan ia
pun sebenarnya tidak menyebutkan penyimpangan yang ada pada saudaranya
itu, namun ia cela si Umar sebagai orang yang lugu, si Zaid sebagai
pemalas dan lain sebagainya. Dengan itu jiwanya pun menjadi puas dan
senang. Realita seperti ini sangat cocok dengan ucapan Al-Fudhail bin
‘Iyadh rahimahullah: “Sesungguhnya di antara ciri-ciri orang munafik
adalah senang jika mendengar aib saudaranya.”
Oleh sebab itu, apabila kaum salaf mendengar aib salah seorang
saudaranya dibeberkan di hadapannya, ia akan marah. Ia akan lihat
terlebih dahulu apakah hal itu memang benar atau tidak! Dan kadangkala
mereka menegur orang yang membeberkan dan menyuruhnya untuk menyebutkan
langsung hal itu kepada yang bersangkutan.
Betapa bahagia orang yang dapat menjaga diri dari panah-panah setan
tersebut. Selalu mengoreksi diri dan menyadari kekurangan dirinya. Lalu
menyadari bahwa seberapapun banyak amal yang dikerjakannya, tetap kecil
dibandingkan dengan kewajiban bersyukur kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala atas nikmat-nikmat yang telah tercurah kepadanya. Hendaklah
selalu kita ingat salah satu dari tujuh orang yang dinaungi Allah di
bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya,
yaitu seorang yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya, sehingga
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan
kanannya. Dan seperti orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mudahkan
untuk beramal shalih, yang tidak diketahui kecuali oleh segelintir
orang saja. Manfaat amalnya dapat dirasakan segenap kaum muslimin,
namun mereka tidak mengetahui orang yang melakukannya. Dalam hadits
dikisahkan tentang seorang lelaki yang
berkata: “Saya akan mengeluarkan sedekah!” Kemudian dia
keluar pada malam hari dengan membawa sedekahnya itu. Ternyata
sedekahnya itu jatuh ke tangan seorang yang kaya. Keesokan harinya
orang-orang pada membicarakan peristiwa itu. Mereka berkata: “Seorang
kaya telah diberi sedekah!” Lelaki itu hanya berdoa: “Ya Allah, segala
puji bagi-Mu, sedekahku jatuh ke tangan orang kaya.” Ia berkata lagi:
“Saya akan mengeluarkan sedekah!” Kemudian dia keluar pada malam kedua
dengan membawa sedekahnya itu. Ternyata sedekahnya itu jatuh ke tangan
seorang pencuri. Keesokan harinya orang-orang pada membicarakan
peristiwa itu. Mereka berkata: “Seorang pencuri telah diberi sedekah!”
Lelaki itu hanya berdoa: “Ya Allah, segala puji bagi-Mu, sede-kahku
jatuh ke tangan orang kaya dan seorang pencuri.” Ia berkata lagi: “Saya
akan mengeluarkan sedekah!” Kemudian dia keluar pada malam hari dengan
membawa sedekahnya itu. Ternyata sedekahnya itu jatuh ke tangan seorang
pelacur. Keesokan harinya orang-orang pada membicarakan peristiwa itu.
Mereka berkata: “Seorang pelacur telah diberi sedekah!” Lelaki itu
hanya berdoa: “Ya Allah, segala puji bagi-Mu, sedekahku jatuh ke tangan
orang kaya, seorang pencuri dan pelacur.” Kemudian ditanyakan kepadanya
perihal tersebut, ia pun berkata: “Semoga orang kaya itu dapat memetik
pelajaran hingga bersedia mengeluarkan kewajiban zakatnya, semoga si
pencuri itu dapat menjaga kehormatan dirinya dengan harta itu, dan
semoga si pelacur dapat menjaga kehor-matan dirinya dengan harta itu
hingga dapat meninggal-kan perbuatan zina.” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dari hadits itu dapat kita ketahui bahwa para sahabat lebih suka bila
hubungan antara mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diketahui
orang banyak. Mereka tidak suka orang lain mengetahui apa yang mereka
amalkan. Mudrik bin ‘Aun Al-Ahmas berkata: “Ketika aku berada di sisi
Umar radhiyallahu ‘anhu, datanglah utusan An-Nu’man. Umar radhiyallahu
‘anhu pun menanyakannya tentang keadaan pasukan. Utusan itu menyebutkan
orang-orang yang terluka dan terbunuh di Nahawand, ia berkata: “Si
Fulan bin Fulan, Fulan bin Fulan dan lain-lain yang tidak engkau kenal.
Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengetahui mereka.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Akan tetapi Dzat
Yang telah mengkaruniakan mereka syahadah (mati syahid) mengetahui
wajah dan nasab mereka.”
Dalam kisah yang lain disebutkan ketika Masla-mah bin Abdulmalik
kesulitan merebut sebuah benteng yang tengah dikepungnya. Benteng itu
sangat kokoh sehingga sulit ditaklukkan. Maslamah berkata kepada
pasukannya: “Siapakah yang berani masuk menerobos lewat jendela itu
(ternyata pada benteng itu ada sebuah jendela), untuk membuka pintu
benteng dari dalam?” Maka majulah seorang yang bertutup muka, ia segera
menerobos jendela itu dan membuka pintu benteng dari dalam. Begitu
pintu terbuka pasukan kaum muslimin segera menyerbu masuk ke dalam
benteng, dan terja-dilah pertempuran yang sengit. Akhirnya pasukan kaum
muslimin dapat menaklukkan musuh. Selesai peperangan, Maslamah
duduk-duduk bersama segenap pasukannya. Ia berkata: “Siapakah engkau
wahai orang yang bertutup muka?” Namun segenap pasukan diam membisu!
Masla-mah berseru sekali lagi: “Siapakah engkau wahai orang yang
bertutup muka?” Namun mereka masih saja diam. Akhirnya Maslamah
berkata: “Demi Allah, wahai orang yang bertutup muka, silakan datang
menemuiku siang atau malam hari!” Pada malam harinya tiba-tiba ada
orang yang menggerak-gerakkan tenda Maslamah, Maslamah bertanya:
“Apakah engkau orang yang bertutup muka itu?” Orang itu menjawab:
“Orang yang bertutup muka itu membuat beberapa persyaratan kepada
kalian.” “Apa itu?” tanya Maslamah. “Ia mensyaratkan agar kalian tidak
bertanya tentang namanya dan nama ayahnya, dan kalian jangan memberinya
hadiah serta jangan laporkan namanya kepada khalifah” jawab orang itu.
“Kami penuhi syarat-syaratnya!” balas Maslamah. Orang itu berkata:
“Akulah orang yang bertutup muka itu!”
Tidakkah engkau lihat wahai saudaraku, keikhlasan telah meluruskan
amalnya. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita
dijauhkan dari setan dan dihindarkan dari panah-panahnya. Dan semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala mencurahkan keikhlasan kepada kita dalam
berucap dan beramal. Dan kita tutup permohonan ini dengan mengucapkan
Alhamdu-lillahi Rabbil ‘Alamin.
TANYA JAWAB TERKAIT
Soal Pertama
Saya adalah seorang pemuda baik-baik yang masih duduk di bangku
sekolah. Namun mayoritas teman-teman saya di kelas adalah anak-anak
nakal, sering berbuat jahat dan melakukan perbuatan haram. Saya mohon
agar Anda menjelaskan cara terbaik mengajak mereka untuk meninggalkan
maksiat, hingga mereka menyukai saya dan menyukai perbuatan baik.
Jawab
Saya anjurkan kepada Anda dan kepada pemuda yang berada di
tengah-tengah lingkungan pergaulan yang kurang baik agar jangan
sekali-kali menggurui anak-anak nakal tersebut. Namun pertama kali
hendaknya Anda memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam mengatasi mereka. Kemudian hadiahkanlah kepada mereka (anak-anak
nakal tersebut) kaset-kaset ceramah, buku-buku islami, atau tulislah
surat berisi nasihat kepada mereka. Atau boleh juga Anda meminta
bimbingan dan pengarahan dari guru-guru di sekolah, dengan melaporkan
masalah tersebut kepada mereka dan menjelaskan solusinya sehingga
mereka bisa ikut serta dalam menanggulangi masalah itu. Dengan cara
seperti itu Anda telah memain-kan peranan yang sangat berarti dalam
medan dakwah. Dan tidak perlu Anda melaporkan nama-nama mereka kepada
guru. Jika Anda tidak mampu menghadiahkan kaset atau buku kepada
mereka, hendaknya Anda mencari orang yang mampu untuk menghadiahkannya.
Bila Anda melihat mereka semakin sombong, menjauhi Anda dan tetap
berbuat jahat, hendaknya engkau hindari berkumpul bersama mereka.
Sehingga perbuatan jahat mereka tidak menular kepada diri Anda, dan
juga agar Anda tidak melihat maksiat dan kemungkaran sementara Anda
tidak dapat melarangnya. Adapun mengenai pindah sekolah, masalah itu
terserah Anda, boleh jadi keberada-an Anda di situ justru banyak
memperbaiki keadaan. Se-moga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah
kepada kaum muslimin yang tersesat.
Soal kedua
Apa peran yang dapat saya lakukan terhadap se-orang yang mulai menurun nilai ketaatannya?
Jawab
Peran Anda sangat besar dalam membimbingnya, janganlah Anda sepelekan
peran Anda tersebut. Hendak-nya Anda berusaha membimbingnya dan sering
mengajak-nya berdialog serta menyuntikkan motivasi kepadanya untuk
kembali berbuat taat. Boleh juga Anda utus seorang yang shalih seperti
Anda untuk menasihatinya. Jangan biarkan ia menjadi mangsa setan. Dan
hendak-nya Anda menjelaskan kepadanya azab dan siksa yang bakal
dirasakan oleh orang-orang yang berbuat dosa. Dan hendaknya Anda
menghadiahkan kaset-kaset dan buku-buku yang dapat menguatkan
keimanannya.
Soal ketiga
Sebagian orang ada yang mengaku seorang multazim (taat beragama),
padahal ia sering durhaka terhadap kedua orang tuanya. Bagaimana
nasihat Anda dalam masalah ini?
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyertakan hak kedua orang tua dengan hak-Nya. Dalam Al-Quran disebutkan:
“Bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
dalam ayat lain Allah berfirman:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah ka-mu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)
Orang yang ditanyakan di dalam soal tadi pada hakikatnya tidak mengerti
makna “iltizam”, bagaimana mungkin disebut multazim jika kemungkaran
yang besar ini (yaitu durhaka terhadap ibu bapak) ada pada dirinya?
Seorang pemuda muslim hendaknya selalu berbakti kepada ayah bundanya,
bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman: “Maka janganlah
kamu katakan ‘ah’ kepada keduanya”, apalagi engkau membentak keduanya
dengan ucapan jika mengatakan ‘ah’ saja sudah dila-rang!? Jika demikian
adanya, maka hal itu jelas menunjukkan bahwa nilai iltizamnya lemah.
Bagi yang mengetahui hal itu hendaklah memberikan nasihat kepadanya,
dan bagi orang tersebut hendaklah segera bertaubat kepada Allah.
Soal keem pat
Apakah ujub itu amal lahiriyah ataukah amal batin (hati)?
Jawab
Ujub berpangkal dari goresan hati yang teraplikasi dalam aktifitas
sehari-hari. Jika seorang telah terjangkiti penyakit ujub, ia akan
membanggakan diri sendiri dan meremehkan orang lain. Dari situ ia akan
benci mene-rima kebenaran dari orang lain. Di samping itu, ia suka
kepada orang yang membangga-banggakan dirinya.
Soal kelima
Apakah perasaan senang dan bahagia atas amalan yang telah kukerjakan
seperti shalat malam, puasa dan mengingat-ingat amalan tersebut
sepanjang hari terma-suk kategori ujub?
Jawab
Sebaiknya Anda tidak menganggap banyak amalan seperti itu, Anda memang
boleh berbahagia dapat me-ngerjakan amalan tersebut, yang demikian itu
sangat terpuji. Namun jangan sekali-kali Anda terpedaya setiap kali
mengerjakan suatu amalan seperti shalat malam misalnya, bahwa Anda
telah mengerjakan amalan yang banyak, barangkali orang lain tidak mampu
melakukan seperti yang Anda lakukan. Sebaiknya kebahagian Anda itu
diwujudkan dalam bentuk pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
senantiasa bersyukur kepada-Nya yang telah memu-dahkan Anda untuk
mengerjakannya. Yang jelas, jangan-lah Anda menganggap banyak amalan
ini, dan jangan pula Anda ceritakan kepada orang lain, sebab itu adalah
pintu menuju riya’, kecuali bila terdapat maslahat dakwah atau maslahat
lainnya dengan menceritakannya. Seperti yang dialami oleh Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu ketika Rasu-lullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bertanya: “Siapakah di antara kalian yang menjenguk orang sakit pada
hari ini? Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Saya”.
Bagaimana pendapat Anda dengan ucapan “Bersi-kap sombong terhadap orang sombong adalah ibadah”?
Jawab
Kesalahan jangan diperbaiki dengan kesalahan pula, Seperti dalam
permainan olah raga ada istilah draw kosong-kosong. Sebagaimana yang
diungkapkan dalam sebuah syair:
Ingatlah! Jangan sampai ada orang yang berbuat jahil terhadap kami
Niscaya kami akan berbuat jahil terhadapnya melebihi kejahilan yang pernah ada
Telah kita ketahui bersama bahwa sifat sombong itu tercela. Maka jika
kita melihat seseorang terkena penyakit sombong, ucapkanlah:
“Alhamdulillah yang telah menyelamatkan daku dari penyakit sombong yang
ada pada orang itu”. Dan doakanlah semoga ia mendapat hidayah serta
berilah nasihat kepadanya semampumu. Perlu diketahui, kita tidak boleh
menganggap sesuatu itu ibadah padahal sebenarnya bukan termasuk ibadah.
Soal ketujuh
Saya mohon agar Anda menjelaskan kepada kami bahaya yang timbul dari
gerombolan pemuda yang ber-kumpul di tepi-tepi jalan, persimpangan,
pertokoan dan tempat-tempat lain serta ejekan mereka yang pedas
terhadap orang yang coba menasihati dan menerangkan bahaya yang timbul
dari perbuatan mereka.
Jawab
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada para
sahabat kewajiban orang yang duduk-duduk di tepi jalan, beliau bersabda:
“Hindarilah duduk-duduk di tepi-tepijalan!” Mereka berkata:
“Wahai Rasulullah, kami tidak punya tempat lain selain itu, kami biasa
berbincang-bincang di situ! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata: “Jika kalian bersikeras, maka penuhilah hak jalan” Mereka
bertanya: “Apa itu hak jalan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab: “Menundukkan pandangan, tidak mengganggu orang, menjawab
salam dan menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.” (HR. Al-Bukhari dan
Mus-lim)
Hendaknya pemuda-pemuda yang berkumpul di pinggir jalan dan di
tempat-tempat lainnya mengetahui kewajiban tersebut, jika ada yang
mengucapkan salam kepada mereka lalu mereka tidak menjawab salamnya,
maka mereka semua berdosa. Seandainya lewat sese¬orang yang pendek atau
yang jangkung atau lewat seorang wanita atau anak-anak, hingga
pandangan tertuju padanya kemudian mereka mencemooh ini dan itu, mereka
jelas berdosa. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang tidak menyadari akibat buruknya. Akan tetapi, apa
peran kita dalam menanggulanginya? Apakah kita hanya bisa mengeluhkan
fenomena ini? Saya dapat memaklumi problema yang dihadapi saudara saya
yang dicemooh gerombolan pemuda itu setiap kali berusaha menasihati
mereka. Sekiranya khawatir mereka akan menuduh kita ekstrim, sok alim
dan lain sebagai-nya, bukankah hal itu tidak merugikan kita sedikit
pun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan kita dalam
hal ini. Beliau telah merasakan dua macam gangguan, cemoohan dan
ejekan, ada yang mengatai beliau gila, tukang sihir, dukun dan lain
sebagainya. Apakah mereka mengejek Anda demikian? Jikalau memang
demikian, tentu itu menunjukkan bahwa Anda berjalan di atas petunjuk
Nabi. Yang kedua adalah gangguan fisik, rumah beliau pernah
dilempari kotoran hingga beliau berkata: “Tetangga seperti
apakah ini?”, diletakkan isi perut unta ke atas kepala beliau ketika
tengah sujud, dicekik dengan keras hingga nyaris terbunuh, terluka
kepala beliau, putus gigi beliau dan penduduk Thaif memprovokasi
anak-anak serta orang-orang pasaran untuk melempari beliau dengan batu
hingga terluka kedua kaki beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
mengisahkan: “Aku pun kembali dengan perasaan sedih, tanpa sadar aku
telah sampai di Qarnu Tsa’alib.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
patut menjadi teladan yang baik bagi kita semua. Sampaikan-lah nasihat
yang tulus kepada mereka dan jangan hiraukan apa yang mereka katakan.
Ketahuilah hal itu justru mengangkat derajat Anda di sisi Allah. Dan
sebaiknya kita tangani serius gerombolan pemuda itu, misalnya kita
berjumlah sepuluh orang, tentu tidak mungkin mereka mengejek kita yang
berjumlah sepuluh orang, minimal mereka akan berpikir dan diam.
Demikianlah lakukan sekali, dua kali dan seterusnya. Mengapa tidak ada
yang berani mendatangi mereka untuk mengajak bicara? Barangkali mereka
mau mendengar nasihat, semoga Allah memberi mereka hidayah. Atau
barangkali mereka akan bubar, dengan demikian kejahatan mereka dapat
ditekan. Kesimpulannya adalah kita harus melaku-kan sesuatu untuk
menyadarkan mereka.
Peran imam masjid dan masyarakat kaum muslimin sangat besar dan berarti
dalam menanggulangi masalah ini. Janganlah hanya bisa mengeluh tanpa
dapat memberi-kan solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Soal kedelapan
Sebagian pemuda memiliki sifat tercela, yaitu ber-beda-beda dalam
mensikapi orang. Sikapnya terhadap si Zaid misalnya lemah lembut dan
bermanis muka, namun terhadap yang lain bermuka masam. Hampir-hampir
kita tidak dapat mempercayainya. Jika coba dinasihati, dengan santai ia
menjawab: “Bukankah hati manusia itu ibarat pasukan yang telah
dipersiapkan? Bagaimana pendapat Anda dengan jawaban tersebut?
Jawab
Memang benar, arwah itu ibarat pasukan yang sudah dipersiapkan, yang
cocok akan mudah bersatu, yang tidak cocok akan bercerai. Namun Dienul
Islam melarang Anda menimbang dengan dua timbangan (tidak fair dalam
menilai). Sebab yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah yang paling bertakwa. Dan Dienul Islam menganjurkan kita
berinteraksi sosial dengan baik. Sebaiknya pemuda yang memiliki sifat
seperti itu diluruskan dan diperbaiki. Maka hendaknya Anda bersi-kap
fair dalam menghadapi orang. Apabila perbedaan sikap itu muncul karena
suatu urusan, atau untuk berbasa-basi, tidak cukup dengan bermuka masam
saja, namun harus disertai dengan nasihat. Dalam Shahíh Al¬Bukharí
dikisahkan ketika seorang Arab badui datang menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata:
“Izínkanlah ía masuk, ía adalah sejelek-jelek pemímpín kaum.” Ketika ia
masuk, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap ramah dan
bermanis muka terhadapnya. Melihat hal itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pun
menjawab: “Seburuk-buruk manusía adalah yang díjauhí orang karena takut
akan keja-hatannya.”
Oleh sebab itu wahai saudaraku, Dienul Islam tidak membenarkan Anda
menimbang dengan dua timbangan (tidak fair dalam menilai), jika Anda
membenci sese-orang karena suatu sebab, maka ungkapkanlah kepada yang
bersangkutan.
Soal kesembilan
Banyak sekali saya temui para pemuda yang meng-alami kelesuan dalam aktifitas dakwahnya, bagaimanakah solusi masalah ini?
Jawab
Sebenarnya kita sendirilah yang menciptakan kelesuan itu dan kita
sendiri juga yang menebarkannya. Dan Anda adalah salah satu di
antaranya. Kadangkala kita juga diliputi kelesuan tanpa kita sadari.
Sebagai contoh, bila Anda biasa berdakwah di kampung-kam¬pung, di
sekolah, di tempat kerja, atau tempat-tempat lain yang menjadi lahan
dakwah Anda, lalu Anda melihat seseorang melakukan sebuah penyimpangan,
sebenarnya yang harus Anda lakukan adalah memberikan nasihat atau satu
dua patah kalimat yang bermanfaat untuknya. Apakah Anda melakukan
seperti itu? Alangkah baiknya jika Anda bertolak dari rumah dengan niat
yang baik yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, menebar nasihat
dan berbuat baik, niscaya Anda akan mendapat pahala yang besar atas
niat tersebut. Dan sebaiknya Anda bekerja sama dengan teman-teman Anda
dalam mengemban misi dakwah ilallah, sebab kerja sama itu akan membuat
Anda lebih kuat.
Soal kesepuluh
Setelah menjalani kehidupan jahiliyah akhirnya Allah menganugerahkan
hidayah kepadaku. Namun kadang-kala aku masih sering melihat perkara
yang diharamkan. Saya mohon bimbingan Anda.
Jawab
Tentu saja seorang yang baru saja berhijrah dari kehidupan jahiliyah
kepada kehidupan yang Islami masih terimbas dalam hatinya sisa-sisa
masa lalu. Oleh sebab itu, Anda harus membentengi diri dengan
amalan-amalan ketaatan. Dan memilih teman-teman yang baik serta
berusaha mengerjakan amal shalih sebanyak mungkin. Bukankah Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu men ghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)
Dan hendaknya Anda menjauhkan diri dari seluruh perkara yang dapat
mengingatkan masa lalu Anda. Hingga nilai hijrah anda menjadi kokoh
insya Allah. Kemudian jadilah penyeru kepada agama Allah.
Soal kesebelas
Sebagian pemuda masih suka menyorotkan pan-dangan mereka kepada yang
diharamkan Allah. Bagai-manakah cara penyembuhan dari penyakit ini?
Jawab
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman kepada Nabi-Nya:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hen-daklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 30)
Ayat di atas memerintahkan Anda untuk menahan pandangan dari yang
diharamkan. Jika pandangan Anda tiba-tiba tertumbuk pada sesuatu yang
diharamkan, maka segeralah palingkan pandangan Anda. Sebab Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang pandangan tak
sengaja, beliau menjawab: “Palin gkanlah pandanganmu, sebab pandangan
pertama dimaafkan, namun pandangan berikutnya membawa dosa.” (HR.
Muslim dalam Kitabul Isti’dzan, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Seorang penyair berkata:
Segala malapetaka berawal dari pandangan mata
Laksana api yang berkobar dari sebuah percikan kecil
Betapa banyak orang yang dilumpuhkan pandangan matanya
Yang merobek laksana panah melesat tanpa busur dan talinya
Puas matanya namun merana batinnya
Tiada kebahagiaan yang berakhir dengan malapetaka
Selama seseorang memiliki sepasang mata yang bebas ia sorotkan kepada wanita-wanita
Segala yang dipandangnya akan membahayakan diri sendiriPandangan haram
tersebut dapat melahirkan berba-gai penyimpangan yang berbuah
penyesalan di belakang hari. Padahal dengan menahan pandangan Anda akan
beroleh pahala. Mohonlah selalu pertolongan dari Allah dan jangan
melemah.
Soal kedua belas
Akhir-akhir ini muncul sebuah model rambut di tengah-tengah kaum
wanita, yaitu jambul yang terjurai ke depan. Apakah model semacam itu
dibolehkan? Berilah kami jawaban semoga Allah membalas Anda dengan
kebaikan.
Jawab
Seorang wanita muslimah hendaknya menyelaras-kan seluruh tingkah
lakunya dengan nilai¬nilai Islam. Hendaknya ia mengerjakan sesuatu yang
sesuai dengan tuntutan syariat dan meninggalkan segala yang
berten-tangan dengannya.
Sekarang ini banyak kita temui berbagai macam model rambut yang
dilarang syariat, khususnya di kala-ngan wanita. Sekiranya masalah ini
kita kupas panjang lebar, niscaya buku kecil ini tidak cukup untuk
memuat-nya. Namun dalam kesempatan kali ini cukup saya jelaskan sebagai
berikut: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk
golon gannya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad dengan matan yang lebih
lengkap. Ibnu Taimiyah menyatakan sanadnya bagus, demikian pula Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari)
Jika model rambut tersebut meniru model rambut wanita kafir, jelas
haram hukumnya. Demikian pula bila ia bentuk rambutnya seperti potongan
rambut lelaki. Sebab kaum wanita dilarang menyerupai kaum lelaki. Namun
sebagian wanita membuat jambul tersebut lalu berkata: “Saya tidak
bermaksud meniru wanita kafir” Apa sebabnya ia berkata demikian? Karena
tahu jika ia mengaku meniru wanita kafir, tentu secara tegas kita
katakan haram. Ada beberapa pengalaman menarik, salah seorang akhwat
menjelaskan kepadaku salah satu model rambut wanita lewat telepon. Saya
katakan kepadanya: “Kelihatannya model rambut seperti itu termasuk
tasyabbuh (meniru) model rambut wanita kafir.” Ia langsung
beristighfar: “Astaghfirullah , saya tidak bermaksud meniru wanita
kafir!” Lalu saya tanyakan kepadanya: “Kalau begitu, apa nama model
rambut ter-sebut?” Ia menjawab: “Michael!” Langsung saja saya katakan:
“Itulah yang dinamakan tasyabbuh!”
Seorang akhwat lainnya menerangkan kepadaku salah satu model rambut
melalui secarik kertas. Ia me-nerangkan sebuah model rambut dengan
detail. Namun saya belum begitu mengenal model rambut seperti yang
diceritakannya. Selesai ceramah tepatnya setelah menu-naikan shalat,
salah seorang akhwat mengutus seorang bocah kecil kepadaku. Bocah itu
berkata: “Salah seorang akhwat mengatakan kepada Anda bahwa nama model
rambut itu adalah Diana’s Dog. Saya langsung beristigh-far: ”
Astaghfirullah, apakah seorang wanita muslimah tega menghinakan dirinya
dengan menyerupakan diri seperti anjing seorang wanita kafir?!” Betapa
jauh berbeda keadaan mereka dengan Asma’ binti Abi Bakar dan sahabiyat
lainnya yang telah menorehkan sejarah dengan melahirkan
generasi-generasi muslim yang tangguh.
Pengalaman lain yang tak kalah menarik, seorang akhwat
pernah bertanya kepadaku: “Apa hukumnya meng-keriting rambut?” Saya
jawab: “Subhanallah, dahulu wanita tidak senang bahkan membenci rambut
keriting, namun pada hari ini rambut keriting justru digandrungi
mayoritas kaum wanita!?” Saya tidak berani memberikan jawaban, sebab
ada sesuatu yang tersembunyi dibalik masalah ini!” Beberapa waktu
kemudian, salah seorang ikhwan menghubungiku lewat telepon, ia mengaku
baru kembali dari Amerika bersama istrinya. Ia menceritakan bahwa sebab
wanita Amerika mengeriting rambut mereka sebagai berikut: Tersebutlah
seorang wanita Amerika yang memelihara seekor anjing berbulu keriting.
Kemu-dian anjing itu mati. Sebelumnya wanita itu telah bersumpah tidak
akan melupakan anjingnya itu. Wanita itupun mengeriting rambutnya untuk
mengenang anjing kesayangannya. Kemudian model rambut tersebut ditiru
oleh tetangga-tetangganya. Lalu menyebar luas bak aliran listrik.
Hingga ditiru oleh wanita-wanita muslimah. Oleh sebab itu saya
peringatkan kepada para akhwat agar senantiasa menyelaraskan
perbuatannya dengan nilai-nilai agama. Janganlah ia berbuat sesuatu
yang meniru wanita-wanita kafir atau kaum lelaki. Hendaklah ia
meneladani para ummahatul mukminin dan para sahabiyat seperti Khadijah,
Fathimah dan wanita mukminah lainnya Radhiyallahu anhunna.
Soal ketiga belas
Sekarang ini tengah menjamur kebiasaan buruk, yaitu seorang wanita
duduk berkumpul bersama saudara laki-laki suaminya, menghidangkan
minuman dan ber-bincang-bincang dengannya tanpa ada keperluan
mende-sak. Bagaimana pengarahan Anda dalam menangani masalah ini?
Apakah perbuatan seperti itu terpuji atau justru tercela?
Jawab
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Hindarilah berkhalwat (berduan) dengan kaum wanita!” Ada
yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan saudara ipar?”
Rasulullah menjawab: “Berkhalwat dengan saudara ipar itu adalah maut!”
(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Rasulullah mengibaratkan duduk berduaan dengan saudara ipar laksana
maut, yaitu sangat buruk dan ber-bahaya. Oleh sebab itu, kebiasaan
tersebut tidak terpuji bahkan sangat tercela. Penjelasannya sebagai
berikut.
Ketika seorang wanita duduk-duduk berkumpul dengan lelaki yang bukan
mahramnya di antaranya ada-lah saudara ipar- baik yang sudah menikah
ataupun belum, dapat tergoda dengan kelembutan suaranya apalagi bila
tawanya berderai. Terkadang ia bergerak hingga kelihatan lekuk
tubuhnya. Hal itu tentu merupa-kan suatu kesalahan besar yang dapat
menimbulkan musibah.
Sebaik-baik wanita adalah yang dapat menjaga kehormatan diri,
sebagaimana yang dituturkan Fathi-mah radhiyallahu ‘anhu. Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Siapakah wanita yang
paling baik?” Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu segera bangkit
seraya terus berfikir tentang masalah itu. Lalu ia tanyakan masalah itu
kepada Fathimah radhiyallahu ‘anhu. Ia menjawab: “Sebaik-baik wanita
adalah yang tidak melihat laki-laki yang bukan mahram dan mereka tidak
meli-hatnya.”
Hendaknya seorang wanita senantiasa menjaga dirinya sekalipun terhadap
saudara ipar. Kecuali jika ada kebutuhan mendesak, mereka boleh
berbicara dengan mereka sekadarnya saja. Bukan berarti harus timbul
perasan saling mencurigai, namun hendaknya seluruh perbuatan kita harus
berdasarkan kaidah-kaidah syar’i.
Apa maksudnya mencintai karena Allah? Apakah mencintai
muallimah (guru wanita) yang elok akhlaknya termasuk mencintai karena
Allah?
Jawab
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan kepada kita ba-tasannya dalam sebuah hadits:
“Tujuh golon gan yang dinaungi Allah pada hari yang tidak
ada naungan selain naungan-Nya, be-liau menyebutkan di antaranya: dua
orang yang bersaudara saling mencintai karena Allah, bertemu karena-Nya
dan berpisah juga karena-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Apabila pertemuan dan perpisahan itu didasari rasa cinta karena Allah
semata, tidak untuk maksud-maksud duniawi, maka itulah yang dinamakan
mencintai karena Allah. Namun jika pertemuan dan perpisahan itu karena
harta atau gengsi atau lainnya, tentu tidak termasuk mencintai karena
Allah. Meskipun ia berusaha memaksakan seolah-olah cintanya hanya
karena Allah.
Sekarang ini kaum wanita begitu mudah terpesona dengan penampilan dan
gaya wanita lain yang dianggap-nya hebat. Ini merupakan suatu penyakit
. Ia berusaha meniru seluruh gerak gerik dan tingkah laku wanita yang
diidolainya itu. Sehingga si wanita itu selalu ada dalam pikirannya
karena saking cinta dan terpesona kepadanya. Kadangkala hal itu
menyeret mereka kepa-da penyimpangan. Bukan membantunya dalam berbuat
taat, malah justru sebaliknya. Sudah banyak wanita-wanita yang menjadi
korban penyakit ini. Saya tidak perlu membeberkannya lebih lanjut.
Lucunya di antara kaum wanita itu ada yang tetap bersikeras bahwa sikap
seperti itu adalah wujud cintanya karena Allah! Namun kiranya realita
yang terjadi cukup sebagai buktinya.
Soal kelima belas
Bagaimana pendapat Anda dengan seseorang yang mengaku multazim (taat
beragama) namun masih suka membaca kisah-kisah cinta dan asmara. Apa
nasihat Anda kepada mereka?
Jawab
Pada jawaban yang lalu telah saya terangkan bah-wa banyak sekali orang
yang tidak mengetahui hakikat iltizam. Oleh sebab itulah mereka masih
saja melakukan pelanggaran demi pelanggaran. Apabila tujuan memba-canya
untuk membantah apa yang ada di dalamnya dan untuk memperingatkan orang
lain dari bahayanya, tentu saja dibolehkan. Namun jika tujuan
membacanya hanya sebagai hiburan dan mengisi waktu senggang, jelas
dilarang. Sebab hal itu dapat mengotori pikirannya. Me-nurut
pandanganku, membaca kisah¬kisah cinta seperti itu ibarat memakan
makanan busuk yang telah berakhir masa berlakunya. Jika dengan
membacanya pikiran menjadi busuk tentu bahayanya lebih dahsyat dan
lebih besar lagi.
Soal keenam belas
Tolong jelaskan kepada kami kewajiban-kewajiban seorang istri yang
tinggal di rumah mertua terhadap saudara-saudara iparnya. Apa saja
kewajibannya terha-dap mereka dan apa kewajiban mereka terhadapnya?
Jawab
Seorang istri yang tinggal di rumah mertua hen-daknya tidak memakai
wewangian bila bertemu dengan saudara-saudara iparnya, tidak memakai
perhiasan dan berusaha untuk tidak banyak berbincang-bincang dengan
mereka kecuali sekadar kebutuhan saja. Dan hendaknya menghindari
khalwat (berduaan) dengan mereka. Semo-ga Allah memberikan taufiq
kepada kita semua kepada amalan yang dicintai dan diridhai-Nya.
Soal ketujuh belas
Apa hukumnya memakai gaun sutera?
Jawab
Banyak sekali yang menanyakan tentang masalah ini. Menurut
sepengetahuanku gaun sutera ini ada bebe-rapa jenis. Jika gaun tersebut
ketat hingga menampakkan bentuk tangannya, tidak syak lagi pasti dapat
menimbulkan fitnah. Maka hendaknya ia tidak memakainya. Di sana ada
beberapa jenis gaun lainnya, pergelangan tangan gaun itu tampak tipis
hingga lengan dapat terlihat saat memakainya. Ini juga dapat
menimbulkan fitnah. Tentu saja dilarang mengenakannya. Namun jika gaun
itu besar dan luas serta tidak transparan, menurut pendapatku
boleh-boleh saja dikenakan.
Soal kedelapan belas
Ke mana sebaiknya disalurkan sedekah-sedekah jariyah, ke dalam negeri atau ke luar negeri?
Jawab
Penyalurannya disesuaikan dengan kebutuhan. Tem-pat mana saja yang membutuhkan berhak menerima penyaluran sedekah tersebut.
Soal kesembilan belas
Apa hukumnya mengecat rambut dengan warna hitam?
Jawab
Tentu saja, mengecat rambut dengan warna hitam adalah dilarang. Namun
sekarang ini muncul alat pewar-na rambut baru yang terkomposisi dari
berbagai warna. Sebagian wanita bertanya: “Apa hukumnya memakai
pe-warna rambut seperti itu? Dan apa maksudnya mewarna rambut? Saya
katakan: “Yaitu mengecat rambut dengan warna-warni.” Subhanallah, zaman
sekarang benar-benar edan, semuanya ada dan bebas dilakukan. Hingga ada
seorang akhwat yang berkata: “Dahulu aku mengecat rambut dengan warna
tertentu, lantas ingin kuhilangkan, namun ternyata rambutku berubah
jadi memutih, sehingga aku terpaksa mengecatnya dengan warna hitam.
Sung-guh edan memang!
Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar mencurahkan
ketakwaan kepada diri kita dan membersihkannya. Sesungguhnya Dia-lah
sebaik-baik yang mensucikannya dan Dia-lah walinya dan pemiliknya.
Ya Allah, ajarkanlah kepada kami hal-hal yang bermanfaat, dan
anugrahkanlah manfaaat dari ilmu yang kami ketahui. Ya Allah, jagalah
kami, dan peliharalah iman kami, jiwa kami, kehormatan kami, dan negeri
kami. Ya Allah, curahkanlah keamanan di dalam negeri kami dan
perbaikilah keadaan penguasa-penguasa kami. Karuniailah mereka
wazir-wazir yang baik lagi shalih. Dan kami tutup permohonan kami
dengan mengucapkan Alhamdulillahi rabbil
‘alamin.
Harap Cantumkan Dicopy dari :Website “Yayasan Al-Sofwa”
Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No.35 Jagakarsa, Jakarta – Selatan (12610)
Telpon: (021)-788363-27 , Fax:(021)-788363-26
www.alsofwah.or.id ; E-mail: info@alsofwah.or.id
Dilarang Keras Memperbanyak Buku ini untuk diperjual belikan !!!